Share

Bab 3

Author: Sella
Ekspresinya terlihat seperti menyeringai, seperti sedang menonton pertunjukan.

Dia menunggu aku bertindak gila, seperti sebelumnya.

Memang benar, aku sudah berkali-kali hancur terpuruk karena hubungan mereka.

Saat peringatan hari jadian kami, Brian bisa begitu saja dipanggil Cindy hanya dengan satu panggilan telepon. Alasannya karena Cindy malas begadang membuat PPT dan meminta Brian yang membuatnya.

Saat aku dirawat di rumah sakit karena demam tinggi hingga radang paru-paru, Cindy bilang listrik rumahnya mati dan dia takut gelap. Brian pun memilih untuk menemaninya.

Di malam yang gelap dengan petir menyambar, hanya karena Cindy telat membalas pesan, Brian cemas dan langsung keluar mencarinya.

Akhirnya, mereka malah minum anggur merah dan hanya tidur bersama sambil mengobrol sepanjang malam.

Aku pernah mengamuk dan bertanya dengan histeris, bahkan memohon tanpa harga diri agar Brian tidak meninggalkanku.

Namun, dia selalu menjawab dengan dingin, “Jangan berlebihan.”

Brian mencari berbagai alasan untuk tidak mau datang ke tempat ini bersamaku, ternyata alasannya sederhana, yaitu gadis yang ingin dia ajak foto adalah orang lain.

Kebenaran ini cukup membuat diriku yang dulu hancur terpuruk.

Namun, sekarang aku mengerti. Orang yang tidak peduli padamu tidak akan melihat rasa sakitmu. Mereka hanya akan menganggapmu berisik.

Aku hanya memandangi mereka dengan tenang, “Kenapa melihatku? Perlu bantuanku untuk fotoin kalian?”

Brian terkejut. Rasa canggung di tatapannya langsung berubah menjadi amarah.

“Mutia, kamu menguntit kami? Untuk apa bicara sinis seperti itu?”

“Kamu sendiri yang keras kepala dan minta putus, padahal aku sudah memberimu kesempatan untuk berbaikan, tapi kamu yang nggak mau.”

“Aku lagi banyak pikiran, jadi keluar makan dan foto bersama teman lama. Apa salahnya?”

“Kamu tahu nggak, perilaku menguntit seperti ini membuatku merasa tertekan dan hanya akan mendorongku semakin menjauh darimu?”

Jarang sekali Brian bicara begitu banyak padaku.

Tentu saja itu bukan karena cemas atau peduli padaku, tapi hanya karena merasa bersalah.

Namun, itu tidak lagi penting bagiku.

Aku menjawab dengan datar, “Aku hanya datang untuk makan. Lagipula, kita sudah putus. Apapun yang kalian lakukan nggak ada hubungannya denganku.”

Cindy mengangkat alisnya, reaksiku di luar dugaannya.

“Mutia, jangan bicara gegabah seperti itu,” katanya dengan santai.

“Aku hanya bilang lagi nggak nafsu makan hari ini, makanya Brian datang menemaniku seharian. Tapi jangan salah paham, kami hanya teman.”

Sebenarnya Cindy memang agak wanita bermuka manis tapi berhati licik. Dulu aku tidak mengerti, dia tidak mau menerima Brian, tapi kenapa masih saja menghabiskan begitu banyak waktu untuk menggantungkan Brian seperti itu? Apa itu menyenangkan?

Bagaimanapun juga, itu tidak ada lagi hubungannya denganku, jadi aku pun tidak tertarik untuk mencari tahu lebih dalam.

Aku tidak lagi mempedulikan mereka. Aku mencari tempat duduk yang membelakangi mereka dan membuka menu.

Dulu, jika melihat pemandangan seperti ini, aku mungkin sudah menangis dan keluar dari tempat itu dengan tidak ada harga diri.

Namun, bukan aku yang salah. Aku hanya ingin makan enak di tempat yang sudah lama kuincar.

Aku memesan banyak hidangan, semuanya makanan kesukaanku, tanpa perlu memikirkan orang lain.

Satu per satu hidangan pedas yang lezat datang.

Aku bersyukur tidak melewatkan makanan seenak ini hanya karena orang yang tidak penting.

Aku tidak bisa melihat mereka, tapi suaranya terus mengganggu.

“Sejak kapan kamu jadi sekaku ini? Aku ingat kamu jago menghibur.”

Ada suara tepukan yang pelan dan familiar. Tanpa melihat pun aku tahu, itu pukulan mesra Cindy pada Brian.

“Dulu saat kelas dua SMP, aku gagal dalam ujian matematika. Setiap hari ada bunga lily kesukaanku di meja. Setelah itu aku baru tahu ternyata itu darimu untuk menghiburku.”

“Saat kelas tiga SMP, aku stres mau ujian nasional, kamu selalu menulis kutipan motivasi untukku. Katamu bisa kasih semangat sekaligus bantu menambah nilai esai.”

“Saat SMA, kamu nggak pernah absen membawakan sarapan untukku, mengantar jemput meski hujan badai, bahkan bangun hanya untuk membelikan aku figur eksklusif untukku. Kok sama pacar sendiri malah nggak bisa sesabar itu?”

Kalimat demi kalimat, penuh rasa kemenangan dan pertanyaan yang disengaja.

Brian terdiam sejenak, lalu dengan suara kesal dia menjawab,

“Mana bisa dia dibandingkan denganmu.”

Aku tetap makan dengan tenang, meski hampir meneteskan air mata karena tersedak rasa pedasnya.

Tujuh tahun berpacaran, yang aku dapatkan hanya satu kalimat seperti itu.

Aku juga pernah berkali-kali meragukan diri sendiri, bertanya-tanya apakah diriku yang kurang baik, sehingga Brian tidak begitu mencintaiku.

Ternyata, itu bukan salahku.

Sejak awal, semua cinta dan ketulusannya sudah diberikan pada orang lain, bahkan sampai sekarang pun belum bisa melepaskannya.

Dan aku… memang sudah saatnya melepaskannya.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 20

    “Mutia, aku tahu kita sudah nggak mungkin lagi. Aku hanya mau… berpamitan dengan baik.”Wajahnya tampak sangat lesu, tapi pakaiannya tetap rapi dan bersih.Kemeja putih dan celana jeans.Pakaian yang sama seperti saat pertama kali kamu bertemu.Waktu sudah berlalu lama, dia jelas bukan lagi pemuda yang dulu sempat membuatku terkesima.Namun, melihat sorot matanya yang penuh permohonan, aku sadar, sepertinya memang belum pernah ada perpisahan yang tuntas di antara kami.Dulu, saat aku meminta putus, dia tidak benar-benar percaya.“Iya.”Aku pun mengangguk setuju.Hubungan tujuh tahun, memang seharusnya diakhiri dengan baik.Kami duduk berhadapan di sebuah kafe.Setelah lama terdiam, akhirnya dia membuka mulut.“Aku hanya ingin tanya satu hal. Kalau dulu Cindy nggak kembali dari luar negeri, kamu bakal menikah denganku?”Aku menyeruput kopi. Americano itu pahit, tapi meninggalkan rasa manis di akhir.“Iya.”“Bahkan kalaupun dia kembali, selama kamu yakin memilihku, jawabanku tetap akan s

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 19

    “Brian, selama menjabat sebagai direktur divisi desain dua, kamu berkali-kali membantu Cindy menutupi pekerjaannya yang terbengkalai. Tugas yang nggak bisa dia selesaikan, kamu alihkan ke karyawan lain, sampai mereka harus lembur setiap hari demi menutupinya. Sebagai atasan, sikapmu yang berat sebelah ini jelas sudah termasuk kelalaian.”“Yang lebih parah lagi, tiga hari lalu, desain yang Cindy serahkan ternyata hasil menjiplak karya kompetitor. Tapi, kamu bahkan nggak menyadarinya, malah demi memberinya kesempatan tampil, kamu langsung mengirimkan desain itu ke klien.”“Sekarang, setelah menemukan hal ini, klien mengajukan pembatalan kontrak dengan kita.”“Kamu sudah menimbulkan kerugian nama baik dan ekonomi perusahaan. Mengingat prestasimu di cabang Grup Roma selama ini, kami minta kamu mengundurkan diri secara sukarela.”Brian hanya mendengarkan dalam diam.Aku mengira dia akan membela diri atau setidaknya memohon diberi kesempatan kedua.Selama ini, aku tahu betul betapa pentingny

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 18

    Cindy sudah sadar bahwa dirinya kalah. Dia pikir semua triknya akan membuat Mutia tidak berhasil mendapatkan hati Indra.Apalagi membuatnya menjadi istri direktur.Sorot matanya penuh dengan perhitungan licik, jelas sekali punya ide baru.“Mau aku pergi? Bisa. Tapi harus ada kompensasi, jumlahnya harus memuaskan aku. Kalau nggak, aku akan cari media untuk membongkar bahwa Grup Roma melanggar undang-undang tenaga kerja, memecat karyawan semena-mena!”“Bukannya belakangan ini Grup Roma sedang dalam tahap pembicaraan kerja sama proyek besar? Kalau di saat genting ini muncul berita negatif, akan ada kerugian sebesar apa, seharusnya nggak perlu kujelaskan lagi, ‘kan?”Semakin membicarakannya, Cindy merasa posisinya semakin kuat.“Soal jumlah kompensasi, aku mau Pak Indra sendiri yang negosiasi denganku. Hanya kami berdua.”Melihat sorot matanya yang penuh ambisi, aku pun sadar. Ternyata dia masih belum menyerah sampai sekarang.Masih bermimpi bisa memanfaatkan kesempatan berduaan untuk memb

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 17

    “Aku memang bersama dengan Mutia.”Ujar Indra dengan tenang.Suaranya tidak keras, tapi punya kekuatan yang mengesankan.Kerumunan langsung hening, tapi karena kata-kata itu, mereka kembali riuh berbisik-bisik.Cindy berteriak paling kencang,“Sekarang kalian percaya, ‘kan? Mutia itu pelakor! Dasar pelakor nggak tahu malu!”Namun segera, suara orang-orang menutupi suaranya.“Apa? Mutia dan Pak Indra?”“Pak Indra belum menikah, dari mana datangnya pelakor? Dia itu pacarnya!”“Dilihat-lihat mereka berdua terlihat serasi, aku dukung mereka.”“Hanya aku yang menyadari Pak Indra memanggilnya Mutia? Padahal biasanya Pak Indra formal sekali, tapi barusan entah kenapa terdengar begitu lembut.“Aduh, iri sekali dengan Mutia. Pasti di kehidupan sebelumnya dia menyelamatkan galaksi, makanya bisa seberuntung itu.”…Cindy mendengarkan dengan tidak percaya dan membantah dengan suara serak, “Meskipun bukan pelakor, itu juga pasti dibiayai. Keluarga kaya seperti Pak Indra, mana mungkin suka sama man

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 16

    Aku menghindari tarikannya, kebetulan petugas keamanan juga datang.Melihat Brian yang terlibat, sikap petugas keamanan masih cukup sopan.“Pak Brian, bicarakan baik-baik, jangan main tangan.”Brian bahkan tidak melirik petugas keamanan itu, hanya menatapku lekat-lekat.“Mutia, kenapa nggak menjawabku?”“Jadi… itu benar? Kamu berani sekali! Mutia, berani sekali kamu!”“Jadi kamu bisa masuk ke Grup Roma dari posisi resepsionis itu karena Pak Indra, ya?”“Kamu sudah lama bersama dengan dia, makanya minta putus denganku?”“Kita sudah bersama bertahun-tahun, kok kamu bisa begitu saja melepaskannya?”Namun, tak lama kemudian, nada tuduhannya berubah menjadi penuh kesedihan.Bahkan suaranya terdengar serak.“Hubungan kita yang sudah bertahun-tahun, kok kamu bisa begitu mudah melepaskannya?”Perlahan, beberapa karyawan mulai berdatangan. Melihat kami bertiga yang tegang seperti itu, mereka pun menonton dengan penasaran.Setelah diam sejenak, tiba-tiba Cindy berteriak,“Kalian pasti penasaran

  • Dia, Yang Mudah Dihibur   Bab 15

    “Aku janji samamu, aku bakal usulkan pada divisi desain 1 untuk memindahkanmu ke divisi desain 2. Lalu memindahkan Cindy ke divisi desain 2. Setelah kita menikah, aku akan putuskan hubungan dengan dia.”“Sudah puas?”Akhirnya, aku pun tak tahan lagi dan berkata, “Brian, tamparan saat putus kemarin masih nggak cukup menyadarkanmu?”“Kita sudah putus! Aku nggak mau kamu lagi! Apalagi menikah denganmu!”“Soal pemecatan Cindy itu semua karena ulah dia sendiri.”Brian terdiam, tidak menyangka aku akan menolak.“Aku bilang mau menikahimu, bukannya kamu paling mau menikah denganku?”Brian memandangku ragu, ada kegelisahan di matanya.Dia bahkan mengangkat tangan seolah ingin menyentuh dahiku.“Terlalu senang sampai bodoh? Mutia, aku bilang mau menikah.”Aku menghempaskan tangannya menjauh.“Kata-kataku sudah sangat jelas, aku tak mau mengulanginya lagi. Kalau kamu masih nggak pergi sekarang, aku bakal panggil petugas keamanan.”Aku membalikkan badan dan menekan tombol alarm.Tiba-tiba, Cindy

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status