Share

Di mana ini?

Aku mendikte setiap kata yang pernah kupelajari dan kuhafal. Menyimpannya sebagai perisai untuk melindungi diri dari ketiadaan. Kadang kala kalimat-kalimat petuah yang bijak tidak ada gunanya kecuali kata penjahat yang menyenangkan. Coba dengarkan mereka, kamu akan tahu maksudnya. 

Setiap barisan not yang berjejer seperti tangga kehidupan, menaik dan menurun, berirama dan bersenandung. Tergantung bagaimana kamu menyusunnya agar terdengar indah, dan di sini, aku akan menceritakan semuanya, tentangku, tentang penjahat ini, dan tentang kebusukan dunia.

Setelahnya kalian bisa menilai, siapa di antara kami yang jahat, siapa di antara kami yang lebih kejam. Kalian boleh menilai dari seluruh sudut pandang, kalian boleh menyangkal dengan membawa argumen bebas, tapi aku akan menunjukkan kehidupanku. Bagaimana dunia bersikap tidak adil pada orang sepertiku. Dan bagaimana ia bermain dengan orang-orang lemah seperti kalian.

--

... “Borneo  ... lari!” Suara itu mengalun di udara seolah menembus cakrawala, merintih, memohon. Suara tembakan beruntun terdengar begitu keras sahut bersahutan.

... “Lari!” Aku menatap tubuh wanita dengan rambut panjang bergelombang menahan tubuh pria berbadan kekar yang membawa pistol. Terus berteriak. 

Darah mengalir dari dahi dan mulutnya, namun yang ia khawatirkan justru aku?

Borneo kecil menatap sekitar yang penuh dengan darah, memeluk mainan robotnya kuat, mundur satu langkah. Tidak, ia bukan takut, hanya bingung dengan keadaan. Apa yang dapat dicerna oleh anak usia sembilan tahun? Ia hanya berpikir ini seperti mainan robot yang ia pegang, bermain. Mereka hanya bermain. Sama seperti ketika ia bermain dengan teman-temannya.

... Dor! 

Satu tembakan menembus perut si wanita, tembakan lain terdengar liar. Lelaki itu menepis tubuh wanita itu dan menatap tajam ke arahku, dan aku hanya tersenyum polos saat ia kini berada tepat selangkah di depan. Wajahnya tampak terkejut sekaligus kesal. Entahlah, mungkin berharap sesuatu yang lebih dari senyuman. Takut, minsalnya.

Ia menjulurkan moncong pistol, bersiap menarik pelatuk. Wajahnya tampak berkeringat dan resah, seolah-olah ragu untuk menarik pelatuk pistol itu. aku menyambutnya lagi lagi dengan senyuman termanisku.

... “Kamu seharusnya tidak lahir.” Suaranya bergetar ketakutan. Gestur tubuhnya mengerikan. Ia mengigit bibir. Wajah itu tampak takut dan menyesal. Tangannya bergerak ke arah pelatuk pistol yang ia pegang, lalu menempelnya tepat di kepalaku. Lalu menatapku dengan sorot mata yang sulit dimengerti.

“Maafkan Ayah, Nak ....” Suaranya tertahan. Bergetar dan serak. Tiap tarikan napasnya seperti tersendat.

“Ayah menyayangimu, tapi kamu tidak boleh hidup seperti ini.” 

Ayah? 

Dor!

Aku mengerjapkan mata, merasakan seluruh tubuh basah, berkeringat. Suara detak jantung yang berpacu keras. Lagi-lagi mimpi yang sama datang. Borneo kecil. 

Sejak sebulan terakhir, saat aku berhenti mendapatkan suntikan otak dari Ibu, otakku bekerja berantakan. Bayangan aneh selalu muncul. Dan anak laki-laki yang sama selalu beraksi solah itu aku. Tatapan mata kosongnya, senyuman menyeringainya. Aku bahkan tidak tahu bahwa aku pernah memiliki orang tua, karena seperti kata Levale, aku juga merupakan bayi eksperimen yang dikembangkan olehnya.

Bukankah aneh? Aku bahkan tidak ingat apa yang pernah kulakukan 20 tahun terakhir selain membunuh. Tapi kepingan puzzle yang selalu muncul di dalam mimpi, atau ketika aku tidak sengaja memikirkannya membuatku merasa bahwa ada sesuatu yang tertinggal di belakang sana. Ada sesuatu yang kulupakan dan berusaha mencarinya. Tapi apa?

Pandanganku beralih menatap gadis yang sepertinya sudah lama berdiri membelakangi. Rambut yang tampak lurus dengan dress putih selutut. Itu adalah gadis yang tadi. Gadis yang kulihat melukis di luar.

Ia tampak sibuk memandangi lukisan balerina yang terpajang di depannya. Balerina yang terlihat menaikkan kaki di belakang, mengenakan gaun balet berwarna putih. Ke dua tangannya terpaut di atas kepala. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi itu seperti gerakan angsa. Ia diam cukup lama di depan sana, mengamatinya. 

“Cantik, ya?” Dia yang mengatakannya. Suara yang terdengar rendah dan dingin.

Untuk sesaat aku menengok ke segala arah, memastikan bahwa yang ia ajak bicara adalah aku. Dan benar. Tidak ada siapa-siapa di dalam ruangan ini. Hanya kami berdua. Berarti dia memang sedang bicara padaku.

“Apa kamu juga suka melihat gadis yang cantik?” katanya lagi.

“Yah, mereka selalu menonjol di mana-mana. Orang-orang selalu menyukai orang seperti mereka. Tidak peduli seburuk apa pun yang mereka lakukan,” sambungnya. Tanpa berniat berbalik.

Ia terlihat begitu cemas. Tampak dari bagaimana ia mengepalkan tangan dan melepaskannya perlahan. Persis seperti kamu menarik napas saat tersengal lalu menghembuskannya ke luar.

“Kamu juga begitu, kan?” katanya lagi.

Baik, bahkan tanpa mau mendengarku, ia sudah dengan lancang menyimpulkan. Lagi pula, memang apa yang sedang ia bicarakan? 

Tertarik, aku memutuskan turun dari ranjang. Perlahan mendekat dan memilih berdiri di sampingnya, melihat lukisan yang sama, sebelum aku menyimpulkan sesuatu dari percakapan ini. Ia benar-benar istimewa. Alih-alih menanyakan siapa aku, ia justru menanyakan bagaimana pandanganku.

Aku melirik sekilas ke arahnya. Wajah yang tampak aneh, rambut yang panjang dan terakhir aku ingat sebelum pingsan, ada tompel yang ia tutupi di balik poni panjangnya. Ia seperti gadis kebanyakan, tidak percaya diri saat berhadapan denganku. Apa itu alasannya? Atau ia memang seperti itu?

“Di mana ini?” tanyaku. 

Ia tampak menghela napas panjang. Terus menunduk, lalu dengan berani menatapku. “Apa kamu takut aku menculikmu?” katanya. “Karena aku buruk. Apa aku terlihat seperti monster?” Ia menyerbu, membuatku bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan gadis ini?

Aku menyengitkan alis. Tidak mengerti. Jika kondisinya lebih baik, aku pasti sudah tertawa, karena dari pada takut, aku bahkan jauh lebih berbahaya darinya andai dia tahu. Monster? Itu lebih cocok untukku.

“Aku hanya mau tahu ini di mana,” kataku menegaskan. Karena aku benar-benar harus tau.

“Villa. Aku menemukanmu di bawah jembatan, di pinggir sungai. Kamu pingsan dan hampir mati. Jadi aku menolongmu.” Tanpa mengalihkan pandangan dari lukisan balerina di dinding, ia menjawab ketus.

“Karena tidak bisa membawamu ke rumah sakit, jadi aku membawamu ke Villa. Bodoh, kan?” Hanya mengatakan itu, lalu ia pergi begitu saja. Ke luar dari ruangan ini. Aneh.

Aku mengikutinya dari belakang. Menyusuri ruangan yang besar lainnya. Ada banyak gambar seorang model wanita bernama Livia Alexsandra. Gambarnya bahkan sangat banyak di sepanjang ruangan. Apa si pemilik Villa terobsesi dengan wanita ini?

“Air terjun itu.” Aku mengangkat suara. “Di mana?” tanyaku.

Ia menghentikan langkah dan berbalik. Sebenarnya, wajahnya tidak terlalu buruk, bibir yang tipis, kulit yang pucat, bahkan bola matanya besar. Hanya saja, poni dan tompel itu yang mengganggu.

“Aku akan memberi tahu pak Tarto untuk mengantarmu pulang jika kamu sudah kuat,” jawabnya.

“Tidak. Aku hanya mau tau sejauh apa aku dari sana,” desakku.

Ia terlihat diam cukup lama. “Kamu mungkin mengganggapku gila, tapi pulau itu cukup jauh dari Villa ini. Aku membawamu ke sini karena aku tidak bisa membawamu ke rumah sakit di dekat sana, atau membiarkanmu mati di tempat itu.” Ia lanjut melangkah dan aku terus mengikutinya dari belakang, hingga kami sampai di luar Villa.

“Kenapa tidak?” tanyaku lagi.

“Karena memang tidak bisa.”

Pemandangan yang menyambut kami masih sangat asri. Ada taman bunga anggrek yang luas. Kolam ikan dan air mancur di tengahnya. Tidak ada gedung tinggi  yang berdiri, berarti ini bukan kota. Hanya villa serupa yang banyak berdekatan. Itulah yang membuatku terkejut sebelumnya. Pemandangan yang sangat berbeda dari yang sering kulihat.

Sampai mataku tertuju pada seorang pria yang terlihat bersembunyi di balik pohon, tepat di luar pagar, pada bukit kecil di sana. Ia mengenakan pakaian hitam, jaraknya cukup jauh, tapi mataku sudah terlatih untuk teliti menangkap bayangan seperti itu.  Aku membawa langkah kaki mundur, langsung waspada. Sial! Apa gadis ini bersekongkol dengan Ibu?

Aku memperhatikannya lama, sampai mata kami bertemu di satu titik dan ia langsung berbalik. 

“Damn!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status