Share

Pembulllyan?

Sesuai perjanjian, aku mengantar Lily ke sekolahnya. Sekolah elit yang terletak di tengah desa cukup unik. Awalnya kupikir desa ini tertinggal kuno, ternyata tehnologi di sini cukup maju. Hal ini kusadari setelah mengantarnya hingga gerbang sekolah. Gedung dengan dua tingkat yang cukup megah.

“Kapan kau akan pulang?” tanyaku. Menatap ke samping. Kulihat wajahnya terus menunduk. Poninya masih menutupi wajahnya.

“Jam dua.” Jawaban itu singkat. Ia langsung ke luar dari mobil tanpa melihat ke arahku.

Aku memandangi punggungnya yang perlahan menghilang di balik gerbang. Tampaknya juga ia mendapat sambutan hangat dari beberapa gadis yang kupikir mungkin temannya.

Ting!

Suara pesan masuk dari ponsel membuatku segera menoleh.

[Lo anterin dia ke sekolah, kan?]

Itu adalah pesan dari Rian. Pria itu tampak begitu peduli dengan Lily, apalagi jika kupikir kembali alasan dia membantuku semalam karena gadis itu. Setelah kuberitahu alasanku berada di sana, aku memberikan ia nomor telponku agar mudah menebak orang seperti apa dia. Juga, seperti kesepakatan kami semalam.

Aku tidak berniat membalas pesan itu. Memilih untuk memutar mobil dan kembali ke Villa, karena baru saja Pak Rahman memintaku untuk memotong rumput di halaman belakang.

Tepat saat aku menginjak pedal gas, kulihat seorang pria dengan seragam SMA yang cukup kucel sudah berdiri di depan, dengan tatapan tajam. Detik berikutnya, ia menampilkan smirk aneh.

Aku memencet klakson agar ia menyingkir, namun tampaknya ia tidak berniat.

Pria itu masih berdiri di sana, tersenyum menyeringai. Aku berniat ke luar untuk menyingkirkan ia dari jalan. Apa ia tidak diajarkan oleh orang tuanya untuk tidak berurusan dengan orang asing?

“Minggir!” Aku berdiri tepat di depannya. Jarak kami hanya beberapa senti lagi. Memberikan tatapan nyalang.

Ia tidak menjawab, masih tersenyum menyeringai. Sedikit mendongak untuk menatap mataku.

“Kalau gue nggak mau, lo mau apa?” Jawaban itu menantang.

“Gue tabrak.” Jawabku singkat.

Ia tertawa keras, tawa yang terdengar tidak asing di telingaku. Tawa yang sering ku keluarkan saat berhasil membunuh korban dan melihat mereka sekarat. Tawa yang mungkin orang bilang tawa psikopat, bagiku bukan demikian. Itu adalah tawa iblis yang merasa puas dengan keberhasilannya. Ia memiliki tawa itu. Mengesankan!

“Lo yakin?” Tantangnya lagi.

Apa ia sedang mengujiku? Aku tersenyum menyeringai, menoleh ke arah lain, lalu beralih menatapnya lebih tajam.

“lo mau coba?” Aku membalas tantangan itu.

Ia diam. Menatapku dari atas hingga bawah. Lalu menarik napas kasar. Berjalan melewatiku sambil berbisik tepat di telinga seperti angin lalu.

“Bukannya lo lebih suka denger teriakan mereka dulu?”

Kalimat itu sukses membuatku tertegun sejenak, sementara ia pergi begitu saja, masuk ke dalam gerbang sekolah dengan santainya, sambil bersiul tanpa menoleh lagi. Otakku masih memproses apa yang baru saja dikatakan oleh pemuda itu.

Perkataannya tadi benar-benar mengganggu. Dari mana ia tahu? Siapa dia? Apa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya? Jika diingat lagi, tidak ada anggota Taneeba yang seperti dia. Tidak ada tanda, tidak ada sinyal. Ia jelas bukan dari organisasi.

Jika ia salah satu anggota Taneeba, aku pasti mengetahuinya. Dari chip yang terpasang di tubuh.

“Sial, siapa dia?” Well, bukankah kita harus mencari tahunya sekarang?

Aku memutar setir, tidak berniat kembali ke Villa. Ada satu tujuan yang lebih penting saat ini. Ponsel sejak tadi terus berdering, panggilan dari Bibi Ane, wanita gemuk itu benar-benar serius memantau.

“Kamu mau ke mana?” Ia langsung bertanya saat aku mengangkat panggilan.

“Ponselmu sudah saya pasang pelacak jadi pikirkan lagi jika kamu mau melakukan sesuatu yang bodoh.”

Well, aku akui wanita ini cukup bernyali dan cerdik. Semalam saat menuju kota dengan Rian, aku mendapat kabar bahwa Levale sudah menemui Martin lebih dulu dan membunuhnya. Itu sebabnya kau kembali lagi ke Villa. Levale akan menggeledah seisi kota untuk menemukanku, sekarang di sini adalah satu-satunya tempat paling aman saat ini.

“Pak Rahman meminta dibelikan gergaji, dia bilang gergaji yang berada di Villa sudah tidak tajam.” Aku mengeles tentunya.

“Kamu tidak pandai berbohong rupanya. Sebaiknya kamu kembali ke Villa sekarang juga dengan mobil nona Lily. Atau kamu tahu konskuensinya!”

Ia mematikan sambungan sepihak. Aku menarik napas. Akan rumit jika wanita gemuk itu mengusirku dari Vila.

Kulihat anak-anak sudah masuk ke dalam kelas, aku masih berada di luar gerbang sekolah dan memutuskan untuk turun, menemui satpam yang berjaga di sana.

“Permisi,” sapaku.

“Ada yang bisa dibantu?” Ptia yang mengenakan seragam satpam itu langsung menoleh.

“Ahm, begini. Aku tadi bertemu dengan pria yang pakaianya agak kucel, dia menjatuhkan sesuatu dan sepertinya saya harus mengembalikannya. Oh, ya tadi kami belum sempat berkenalan, jadi saya tidak tahu pasti siapa namanya.” Hanya ini alasan yang bagus agar aku dapat masuk ke dalam.

“Oh, anak yang kucel dan songong itu?” Ia sepertinya tahu. Baguslah kalau begitu.

“Namanya Andre, dia baru saja pindah ke sekolah ini beberapa bulan yang lalu. Oh, ya kamu bisa menemuinya di kelas 3A. Saya liat tadi kamu antar Lily, ya? Nah, kalau kamu kenal anak itu, Andre sama Lily sepertinya satu kelas.” Ia menjelaskan.

“Kamu bisa titipkan ke saya barangnya biar saya bisa kasih dia nanti setelah ke luar.”

“Mmm, begini, saya tidak tahu kalau namanya Danu takutnya nanti salah orang, bukankah sebaiknya saya coba lihat dulu? Tidak apa-apa, ‘kan, Pak?” tanyaku membujuk.

“Betul juga. Ya sudah, jangan lama-lama, ya, soalnya takut mereka ke ganggu belajarnya.”

Aku mengangguk dan langsung masuk ke dalam. Meski tadi aku sempat mendengar bell masuk, rupanya masih banyak anak-anak yang nongkrong di luar dan sepertinya guru-guru tidak peduli sama sekali. Bahkan kulihat anak-anak gadis berkumpul dan merokok di tempat tertentu. Skolah macam apa ini?

Aku mencoba mengamati suasana di sekolah mewah ini. Berjalan menuju koridor di mana banyak anak cowok yang berkumpul dan sepertinya suka membuat kegaduhan.

Lalu hingga sampai di halaman belakang, ada segerombolan anak yang sepertinya sedang melakukan sesuatu. Aku mengamatinya, suara tawa terdengar bersamaan dengan makian kotor yang tajam.

Karena penasaran, aku berjalan lebih dekat ke arah mereka. Ada lima anak yang berdiri memegang cat berwarna berbeda, dua orang di antaranya adalah cewek dan tiga orang cowok lalu yang berjongkok di depannya merupakan seorang gadis yang menunduk ketakutan.

Apakah sebegitu bancinya mereka mengeroyok gadis yang sendirian? Aku biasanya tidak suka ikut campur, tetapi para pria itu memalukan.

“Hey!” Aku berteriak membuat mereka semua menoleh.

“Well, well, well ... sepertinya ada yang mau join.” Seorang pria dengan potongan wolf cut memiliki mata elang yang cukup intens meletakkan cat di tangannya dan mendekat, disusul oleh yang lain sambil menyeret rambut gadis itu secara kasar. Brengsek!

“Gue baru liat lo di sini? Anak baru, ya?” tanyanya mengintimidasi.

“Kayaknya bukan, deh, Reno. Dia ga pake seragam sekolah. Cakep, sih.”

“Lepasin dia.” Aku masih mau berdamai dan membiarkan mereka melakukannya dengan baik-baik.

“Siapa? Dia?” Pria yang dipanggil Reno itu tertawa.

“Lo ga mau liat tompel dia dulu?” Ia menarik rambut gadis itu ke belakang hingga membuatnya terjengkang dan meringis kesakitan.

Sekarang aku menyadari siapa gadis yang mereka bully ini. Pria ini menepuk pipinya dengan kasar dan terus menyentuhnya.

“Lo mau mati?” kataku. Mendekat ke arahnya dengan tatapan yang paling dibenci oleh semua orang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status