Share

Pria di balik pohon itu ...?

Ia tertawa begitu keras. Tapi tawa itu tak terdengar menyenangkan, terdengar mengejek, seolah aku memberinya harapan mustahil. Sampai kemudian Ia berhenti dan tampak sesak

.

“Aku bahkan tidak mempercayaimu sepenuhnya. Kau adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menatapku dengan tatapan itu. Aku membencinya, tapi kau berhutang budi dengan nyawamu. Aku meminta balasan.”

Hening lagi. Aku menikmati proses tenggelamnya matahari yang turun begitu cepat. Menelan cahaya yang tadinya terhampar ke halaman Villa.

Angin datang dengan lembut, menerbangkan rambut gadis ini. Aku tahu cara menjinakkan wanita. Aku tahu apa yang mereka suka. Aku tahu apa yang mereka mau. Tetapi yang ini? Ia terlalu banyak menderita, jadi aku tidak yakin apa tak tik lama akan bisa membantuku meluluhkannya.

“Besok aku akan ke sekolah. Antar aku, lalu pulang. Setelah pulang sekolah, temani aku ke hutan di bawah sana. Ada yang harus aku lakukan. Kau tidak berpikir untuk kabur, kan?” Terdengar seperti perintah mutlak dan sindiran.

“Hanya itu?” tanyaku.

“Iya, hanya itu.”

“Bagaimana dengan rencanamu yang awal? Menemanimu makan, berpura-pura menyukaimu agar teman-temanmu iri?”

“Aku memikirkannya ulang. Aku sedang marah saat itu. Jangan melakukannya apa pun di luar perintah. Atau aku akan memberi tahu Sofie agar membunuhmu.”

Aku tertawa renyah. “Baiklah. As you wish, girl.”

**

Lalu pada malam harinya, aku mulai menggali semua hal yang dapat menuntunku pada Jason. Mencari tahu di mana tepatnya aku berada saat ini, keluarga ini, dan hal hal yang membahayakan. Ia berada di kota dan aku perlu menemuinya sebelum Levale.

Aku ke luar dari kamar pak Rahman menuju desa di bawah sana. Menuruni bukit yang terhubung pada desa kecil yang sebelumnya Lily tunjukkan. Pukul 11: 00 Villa mulai me non aktive kan aktivitas, semua pelayan tidur dan waktu itu kugunakan untuk ke luar.

Sampai di gerbang desa, lampu berwarna kuning dan putih masih menyala menghiasi jalan, beberapa orang masih beraktivitas. Para pemuda berkumpul di pinggir jalan, bermain gitar, catur dan hal lainnya. Beberapa orang tua juga masih terlihat berlalu lalang, masih cukup ramai di bawah sini.

“Permisi, di mana jalan menuju kota?” tanyaku pada salah satu pemuda yang tampak asyik bermain remi di posko keamanan.

Mereka semua diam dan menoleh ke arahku, menatap dengan tatapan bingung, lalu mengintimidasi. Mereka saling menoleh, menatap satu sama lain. Seolah baru saja melihat alien yang datang dari langit. Beberapa menit tak ada jawaban.

“Apa kalian tuli atau berpura-pura tuli?” Kesabaranku habis.

Satu orang melempar rokoknya dan mendekat, menatap tubuhku dari atas hingga bawah.

“Oh, jadi lo, pacar barunya si Tompel?” lelaki ini kutaksir usianya seumuran denganku, atau lebih muda lagi. Tetapi gelagatnya memuakkan sekali.

“Di mana jalan menuju kota?” Aku bertanya sekali lagi. Tidak ada waktu untuk meladeni mereka.

“Disewa berapa sama dia buat jadi pacarnya, hah?” Mereka tertawa mengejek.

“10 juta, 20, 30, oh, atau seratus juta?” Tertawa lagi.

Aku menghela napas.

“Giman bodynya, punya tompel juga?”

Sepertinya bukan ide yang bagus bertanya pada mereka. Jadi kuputuskan untuk pergi dari sana, karena waktuku tak banyak. Aku harus kembali sebelum orang Villa bangun. Namun kalian sudah bisa menebak, para bajingan ini tidak suka kedamaian.

Mereka semua berkumpul dan menghalangi jalan. Ada sekitar empat orang, dengan umur yang tak jauh berbeda. Mereka memainkan kerah bajuku. Mengintimidasi.

“Boleh juga sih, lo.”

Aku meraih tangannya yang baru saja mau menyentuh rambutku. Memeras jemari itu lalu menekannya ke belakang hingga membuatnya meringis kesakitan. Yang lain mencoba menyerang, aku melayangkan tendangan dan memukul setiap wajah yang berusaha mendekat. Hanya satu pukulan dengan gerakan cepat membuat mereka terpelanting ke belakang dan mundur.

Mereka pria lemah yang hanya sekali pukul akan langsung tumbang. “Di mana jalan menuju kota?” Aku masih mengajukan satu pertanyaan, tetapi mereka masih tidak bersedia menjawab. Jadi kupikir meladeni mereka akan membuang-buang waktu.

“Kota masih jauh dari sini, satu jam perjalanan menggunakan motor. Satu jam setengah jika naik angkot.” Aku menoleh saat mendengar suara itu.

Seorang pria dengan kaos hitam pendek, mengenakan kaca mata tampak berdiri di sana. Tampak familiar.

“Di mana aku bisa menemukan angkot?” tanyaku.

“Jam segini?” Ia berdecih.

“ Tidak ada angkot jam sepuluh. Tapi kalau lo mau, gue bisa antar ke sana pakai motor gue.”

Aku menimang sejenak. Ini tidak mungkin gratis, kan? Tidak peduli, aku bisa langsung membunuhnya jika merepotkan.

“Antar aku ke sana.” Ini adalah perintah, bukan permintaan.

Pemuda di depan sana terlihat tenang dan tampak tak keberatan. Aneh dan sukses membuatku sedikit waspada.

“Tunggu gue di sini, gue ambil motor.” Begitu saja, dia langsung pergi.

Aku menoleh ke segala arah, lima pengganggu tadi sudah kabur, jadi kuputuskan untuk menunggu lima menit, jika pria itu berbohong aku akan membunuhnya jika bertemu dengannya lagi nanti.

Tidak seperti dugaanku, ia datang lebih awal dengan motor supra X butut yang terdengar sedikit berisik. Tanpa banyak bicara aku langsung meraih kunci dan mendorongnya dari atas motor hingga ia terjatuh.

“Lo nggak akan tau jalan ke kota.” Ia protes saat aku mengambil alih motornya. Bangkit dan menepis debu di baju, berdiri sambil mengatur napas.

“Oh ya?” Aku menaikkan smirk yang akan membuatnya paham bahwa yang sedang berada di depannya ini adalah hasil experiment Levale yang paling sempurna.

“Desa ini berada di tengah hutan, antara pulau Athena dan kota. Ada banyak perampok dan begal yang menghadang gerbang menuju kota. Gue tau jalan aman untuk melewatinya tanpa harus berurusan dengan mereka.

Aku menoleh lagi. Turun dari motor dan menatapnya. “Bagaimana aku tahu kalau kamu tidak berbohong?”

Mengintimidasi matanya. Sejak awal pria yang satu ini memang membuatku penasaran.

“Cukup pake otak lo aja. Gue nggak mungkin dengan suka rela dateng bawa motor gue ke lo.”

Itu juga pertanyaanku sebelumnya. Kenapa ia mau membantu. Padahal ia sama sekali tidak mengenalku. Apalagi penampilannya yang biasa saja, dengan gelagat khas orang bodoh, maksudku khas anak idiot lainnya.

“Jadi ... kenapa kamu mau membantu?” Akhirnya kuputuskan untuk bertanya.

“Gue punya urusan sama lo.” Ia menarik napas, menoleh ke sisi lain. “Dan Lily,” sambungnya.

Aku menyengitkan alis. Baru ingat, dia lah pria yang kulihat bersembunyi di balik pohon. Dia juga mungkin yang mengirimkan Lily hadiah kekanakan itu. Jadi, urusan apa yang ia punya?

Aku melempar kunci motor ke arahnya. Waktu berjalan cepat, aku tidak bisa meraba jalan menuju kota, jadi aku juga butuh pemandu.

“Antar aku ke kota.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status