Share

Si Gadis

Di tengah hutan rimba yang gelap, suara burung hantu menjadi begitu sunyi, saat hewan malam yang kerap berisik menjadi begitu senyap, aku memacu ke dua kaki untuk terus berlari, menerjang akar pohon, meloncati kayu yang tumbang sepanjang hutan, menepis dedaunan yang menghalangi jalan, sesekali rantingnya menggores kulit pipi, tetapi aku terus berlari.  Suara napas yang ke luar masuk semakin cepat. Detak jantung yang berpacu semakin keras.

Suara gemeresik dedaunan beradu dengan ranting yang patah, merobek kulit kaki telanjang, menghasilkan darah segar yang terus mengalir sepanjang jalan. 

“Angkh!” Aku meringis, merasakan nyeri yang tak tertahankan.

Suara tembakan di belakang sana terdengar tujuh kali beruntun membelah kesunyian, menembus jantung pohon. Aku kembali berlari tanpa arah, hingga tiba di ujung tebing, tepat di atas air terjun. Baik, tidak ada jalan lagi. Aku akan mati, benar-benar akan mati malam ini. 

Mereka pasti melacak sinyal tiga orang yang non-aktiv tiba-tiba dan menyusul dengan cepat. Para pembersih akan segera menemukanku dan ini semua akan berakhir. Apa yang kupikirkan dengan mengambil keputusan konyol ini? Sial, sial, sial!

Tepat saat bulan bersembunyi di balik kabut, suara petir yang menggelegar bersahutan dengan suara tembakan di belakang sana. Mereka semakin dekat dan aku kehabisan akal. Hujan mulai turun perlahan, menutup jejak kaki. Menciptakan atmosfer dingin dan mencekam, suara air terjun yang berdebum seperti seruling kematian yang menggiringku.

 Darah terus mengalir di sekujur tubuh. Perlahan aku menyeret langkah mundur hingga ke ujung tebing.  Batu kerikil jatuh memberikan sebuah reka adegan mengerikan yang menyambutku. Suara napas yang tersengal beradu dengan suara deras air hujan dan arus sungai di bawah sana. 

Dor!

Suara tembakan menyusul terdengar semakin dekat dan aku sudah bersiap menyambut kematian. Aku menyeret langkah mundur, hingga benar-benar berada di tepi tebing.

Kemudian ...

Ujung tebing yang kuinjak retak, membawa tubuhku jatuh ke dalam air sungai dengan arus yang gila.

Air perlahan menerobos masuk ke hidung, mulut, mengambil seluruh pasokan udara yang tersisa. Terhempas, terombang-ambing melawan arus yang setiap detik semakin keras menerjang. Bebatuan yang besar berkali-kali menghantam tubuh dan membuat tulang terasa retak dan patah. Tidak ada waktu untuk berpikir. Aku benar-benar terseret.

 Air masuk memenuhi rongga paru-paru, membuat sesak dan pengap. Berkali-kali terbatuk membuat air justru masuk dengan paksa melalui hidung dan mengalir ke otak.

Sesekali tanganku berusaha meraih udara kosong hanya karena berharap sesuatu dapat kugapai dan menghentikan tubuh yang terus terseret di sepanjang sungai. Selama hampir lima belas menit aku bertahan, merasakan air terus menerobos masuk. Pada akhirnya, air sungai yang terlalu deras mustahil dilawan. Semakin banyak aku bergerak, tubuhku semakin terseret oleh alirannya.

Perlahan semuanya hampa, berbatuan maupun kerikil yang kembali menghantam tubuh sudah tidak dapat kurasakan lagi. Pelan, suara bedebum mengambang ke udara menembus cakrawala dan semuanya menjadi gelap gulita.

Kematian selalu menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian orang.

Bagiku, kematian itu seperti alarm di setiap dentingan jam berupa perintah. Sederhana. Saat telunjuk lentik itu naik ke arah jam 12 lalu mengetuk meja bundar, menyetel detik dan menit, menghitung berapa lama aku memiliki waktu untuk mencabut nyawa atau mempertahankannya. Kadang hanya berupa kode acak yang dengan mudah kumengerti. Biasanya aku akan menghitung berapa lama yang dibutuhkan untuk korban bertahan hidup, dan sekarang aku justru menghitung berapa lama aku akan mati.

Selama dua puluh tahun, yang kulakukan hanya mengikuti perintah, bersandiwara dan membunuh. Tidak ada yang kuketahui selain itu. Tidak terpikirkan olehku, bahwa akan ada satu kata baru yang masuk ke dalam kamus besar hidupku. Berkhianat! Lalu kata baru lain menyusul, seperti anak kecil yang baru belajar tentang frasa, aku mulai mengetahui dunia itu seperti apa.

Gelap!

** **

Aku mengerjapkan mata, mencium bau aneh yang menyengat tepat dihidung, perpaduan bau daun dan minyak yang sangat-sangat keras. Lalu merasakan tubuh terasa hangat dan berat. Apa mereka menyediakan bau minyak yang seperti ini di neraka?

“Dia bangun!” Suara wanita terdengar berseru, menyusul suara langkah kaki yang ramai. 

“Bagaimana keadaannya?”

“Tidak parah. Tulangnya hanya keseleo dan aku sudah meluruskannya kembali. Dia tangguh bisa selamat di sungai Cipalu yang sedang banjir karena hujan lebat. Ditambah, ia juga tidak cedera parah. Hanya beberapa luka gores yang cukup parah di bagian tubuhnya. Luka luar yang cepat sembuh. Nona Lily menolongnya tepat waktu.”

Wanita bertubuh gempal dengan wanita berpakaian serba putih yang baru saja mengecek kondisi infus berhadapan, mendiskusikan sesuatu. Wajahnya tidak terlalu jelas, karena sinar lampu di atas kepala membuat pandanganku benar-benar silau.

“Bukankah Anda seharusnya membawa dia ke rumah sakit, Ane? Jika Nyonya tahu Lily membawa orang luar ke rumah, keadaan bisa kacau. Terlebih dia adalah orang yang tidak dikenal.”

“Aku tahu, Dokter. Tapi akan lebih berbahaya lagi jika kita membawanya ke rumah sakit. Kamu pasti paham maksudku. Kita tidak punya kondisi yang lebih menguntungkan di sini.”

Wanita yang dipanggil dokter mendengkus pasrah.

“Ngomong-ngomong, bagaimana dia bisa terseret oleh sungai, padahal itu pulau kosong. Itu adalah pertanyaan yang menggangguku sejak kemarin. Terlebih sungai itu terhubung pada air terjun, tidak pernah tenang dan airnya selalu deras. Jadi, sangat tidak mungkin jika ia hanya bermain di sana.”

“Kita akan segera tahu.”

Dokter itu mengeluh lagi.

 “Baiklah, aku hanya khawatir dengan Aleta. Anda sekali lagi kecolongan dengan membiarkannya kembali ke pulau Athena. Beruntung dia kembali, jika tidak, Anda tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”

“Aku tahu, Dokter. Kemarin aku sempat ke kota menemui Nyonya. Ada masalah serius yang sedang terjadi di kota. Nyonya memintaku untuk menahannya di rumah sampai ia bisa berkunjung dan kondisinya membaik. Aku hanya meninggalkannya sehari dan keadaan mulai kacau.”

“Wanita itu sepertinya selalu sibuk, ya? Baiklah, aku akan pergi. Hubungi aku jika terjadi sesuatu.” Wanita berpakaian putih pergi meninggalkan ruangan dengan ekspresi menyesal, tetapi ia berhenti sebentar di depan pintu “Ingat, Ane, dia harus pergi secepat mungkin. Dan pastikan nyonya tidak tahu mengenai hal ini.”

“Tenang saja, Sofie, aku tahu apa yang harus aku lakukan.” 

Akhirnya tubuh wanita berpakaian putih itu lenyap di belakang pintu. Sempat kuperhatikan sebentar.

Sementara wanita yang bertubuh gempal masih berdiri menatapku. Tidak berniat bertanya. Sedikit memeriksa kondisiku. Ia diam sebentar, lalu mendengkus kasar. Setelahnya ia ke luar dari ruangan. Meninggalkanku.

“Istirahatlah.” Itu adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan.

Alih-alih memedulikannya, aku lebih tertarik membaca situasi dan mengenali di mana aku sekarang. Ini jelas bukan markas Taneba, karena kalau iya, aku tidak akan membuka mata dan bisa bernapas seperti sekarang. Lalu, di mana ini?

Ruangan ini cukup besar, dengan dinding berwarna hitam. Ada lampu berwarna white calm di sudut ruangan. Ornamennya terlihat klasik dengan banyak lukisan lawas di dinding. Bukan lukisan lawas sebenarnya, tetapi seperti coretan abstrak yang mungkin sedikit kuno.

Tepat ketika tubuhnya menghilang di belakang pintu, aku mencabut infus di pergelangan tangan, berusaha menggerakkan tubuh yang terasa berat. Bagaimana pun juga, di sini tidak akan aman. Aku harus pergi sejauh mungkin, sebelum para pembersih menemukanku.

Perlahan, aku berjalan terpincang menuju pintu dengan ukiran yang klasik, tetapi sedikit moderen. Saat membuka pintu yang terbuat dari logam berbentuk mawar ini, aroma bunga anggrek tercium begitu keras, padahal aku baru membuka beberapa senti.

Sepertinya ini tembus ke ruang tamu. Ada sofa yang berjejer di ruangan dengan meja bundar di tengahnya, dan sepertinya aroma anggrek yang kuhirup tadi berasal dari  kayu aroma terapi yang dibakar di atasnya. Atmosfer dingin seketika menyergap tubuh yang telanjang dada, berasal dari AC yang cukup banyak di ruangan itu. Well, ini seperti Villa yang megah. 

Perlahan aku menarik kaki ke luar, waspada, jika ada jebakan di sini. Tetapi ini begitu sepi. Wanita gemuk yang tadi juga menghilang begitu saja. Untuk ukuran rumah yang terlalu megah ini, bukankah mustahil jika tidak ada pekerja atau semacamnya?

Pandanganku beralih pada gadis yang duduk di pojok ruangan dekat jendela sendirian, mengenakan gaun putih yang menjuntai ke lantai. Ada lebih dari belasan lukisan berbeda di depannya. Ia duduk menghadap luar, sesekali memperhatikan objek yang sedang ia lukis. 

Saat ini aku menyadari bahwa lukisan di dalam tadi adalah lukisannya, karena sebelumnya pun aku tidak pernah melihat lukisan semacam itu. Lukisan abstrak yang benar-benar gelap.

Aku berjalan mencari pintu ke luar tanpa memedulikannya, yang harus kulakukan adalah pergi sejauh mungkin agar tidak ditemukan. Tetapi rasa sakit yang seketika menghujam membuat tubuhku lemas dan menggerogoti setiap sel otak hingga semuanya seperti berputar melawan gravitasi. Sial! Aku terus menyeret langkah menuju pintu yang berada di dekat gadis Itu, ia juga tidak bereaksi, mungkin juga belum menyadari keberadaanku.

Dan tepat, ketika gagang pintu berwarna putih itu berhasil kugapai, pemandangan yang menyambutku di luar sana benar-benar membuatku tertegun dan tidak bergerak sama sekali. 

Tenagaku belum pulih total. Detak jantung berpacu kian cepat. Napas yang ke luar masuk tidak lagi beraturan dan hanya butuh beberapa detik untuk membuat tubuhku ambruk di depan pintu.

“Ngkh! Fuck!”

Kulihat gadis yang tadinya sibuk melukis menghentikan gerakan tangannya yang membentuk garis lingkar, perlahan menaruh kuas di dekatnya dan terlihat menarik napas. 

Siluet tubuh yang berjalan mendekat, serupa bayangan yang transparan. Rambut yang lurus panjang hingga ke pinggang. Ia menatapku dengan tatapan kosong. Poninya yang panjang menutupi mata sebelah kanan, kulit yang putih pucat dengan bibir tipis yang jika tersenyum akan sangat manis, seperti Alea.

Angin yang entah datang dari mana membuat poni sebelahnya  terbuka, aku dapat melihat tompel besar di sana, berwarna cokelat dan samar. Sekuat tenaga yang tersisa, aku mati-matian mempertahankan kesadaran. Tetapi sayang, detik selanjutnya, semuanya kembali menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status