Share

Namanya Lily

Laki-laki itu masih berdiri di sana, mengintip, tanpa bergerak sedikit pun. Sepertinya gadis ini juga melihatnya, karena sekarang, tatapan kami sama-sama tertuju pada pohon jambu air yang cukup besar di depan sana. Di mana laki-laki itu berdiri dengan gelagat yang mencurigakan. Bahkan saat aku melihatnya, ia tidak berniat untuk pergi.

“Dia lagi.”  Kalimat yang ke luar dari mulut gadis ini membuat perhatianku teralihkan.

 Dia? Siapa? Aku masih menunggu kalimat selanjutnya, karena sepertinya ia mengetahui sesuatu. Tapi tarikan napas panjang yang ke luar dari mulutnya membuatku makin penasaran.

“Dia?” tanyaku akhirnya.

Ia berjalan menuju pintu gerbang, sementara aku sedikit mundur, waspada, karena kemungkinan besar dia adalah salah satu para pembersih yang dikirim untuk membunuhku. Jika benar, maka bukankah aku seharusnya kabur?

Gadis berambut panjang itu berjalan membuka gerbang dan meraih sesuatu yang sepertinya tergeletak di sana. Sebuah dus besar berwarna cokelat. Ia terlihat diam cukup lama, lalu menjatuhkan dus itu spontan dan mematung di tempat.

Aku makin penasaran, akhirnya memutuskan untuk mendekat, mencari tahu apa yang terjadi di sana karena sudah tiga menit, ia hampir tidak bergerak. 

“Brengsek!” Gadis itu berlari, melewatiku, masuk ke dalam Villa setelah mengumpat. 

Aku mendekat, mencari tahu apa isi dari dus itu hingga membuatnya begitu kesal. Tak lama kemudian, pria yang mengintip di balik pohon juga pergi begitu saja setelah gadis itu masuk ke dalam. Ini menjadi semakin membingungkan. Padahal aku berniat mengejar.

Sampai akhirnya aku menatap isi dari dalam dus besar itu. Sebuah boneka yang menyeramkan, dengan rambut panjang dan tompel buatan di mata sebelah kanan, persis seperti si gadis. Lalu wajahnya dipenuhi darah, gaun berwarna putih yang tercabik dan ada sebuah kertas yang ditulis menggunakan spidol merah darah.  ‘kamu akan mati jika masih berani masuk sekolah, Gembel!’  Begitu isinya.

Aku cukup terkejut membaca isi tulisan itu. Seseorang dengan berani datang menerornya dan memberikan paket mengerikan ini, apalagi sampai mengancam nyawanya.

 Luar biasa!  Biar kutebak, ia pasti memiliki banyak musuh. Tapi benarkah? Jika melihat penampilannya sekilas, sepertinya tidak mungkin. Bahkan aku mampu mencium aura yang negatif hanya dengan menatap seseorang, sementara pada gadis ini, aku sama sekali tidak dapat menebaknya.  

Tatapanku beralih ke arah pohon tadi. Apa dia yang melakukannya? Lelaki yang tadi? 

“Cih!” Aku berdecih.  Melihat bagaimana dia melakukan permainan kekanakan, mengancam seorang gadis dengan cara yang memalukan.

Bukankah ini akan menjadi balas budi yang impas? Aku akan mencari dan menghukumnya, jika perlu, sebelum ia melemparkan ancamannya lagi, aku akan lebih dulu membunuhnya. 

Aku kembali masuk ke dalam Villa dan mendapati bahwa gadis itu sudah duduk di pojok ruangan, melukis dengan brutal, membuat garis hitam panjang dengan kasar. Bahkan cairan cat yang berada di kuasnya terciprat ke segala arah.

 Bahunya naik turun, menandakan bahwa ia sedang frustasi dan kesal. Aku membiarkannya hingga selesai, setelah ia menurunkan kuas, berhenti dan tenang, barulah aku mendekat. 

“Siapa dia?” tanyaku masih berdiri di belakang.

Ia kembali mengangkat kuasnya, menempelkan pada papan lukis, kali ini sedikit lebih lembut. Setelah mengambil napas, ia merapikan garis-garis yang berantakan.

“Bukan urusanmu!” jawabnya ketus.

“Dia menerormu dan mengancam akan membunuhmu. Kau punya banyak musuh, ya?”  

Ia mendengkus kasar, lalu berbalik dan menatapku tajam. “Memangnya kenapa? Kamu mau menolong?” Nadanya sinis. Bukankah sudah jelas bahwa aku bisa menolong?

“Menjijikan!” Ia kembali berbalik dan melanjutkan lukisannya. “Orang sepertiku memang hidup seperti ini. Dengan wajah terkutuk ini! Bahkan orang tuaku tidak mau mengakuiku sebagai anak karena wajah ini. Dan orang-orang memang biasa mengolok. Apa yang bisa kau tawarkan, hah?” Ia tertawa kecut, tapi terdengar putus asa.

Aku menarik napas, berjalan mendekat dan meraih salah satu kuas di dekatnya.

“Seandainya aku bisa balas budi, apa yang kamu inginkan?” Aku mengambil campuran cat dan memperbaiki warna yang berantakan di papan lukisnya. 

Ia membeku di tempat, memperhatikanku yang mengubah arah lukisannya. Mencampurkan warna kuning dengan hijau dan mengacaukan lukisan itu tanpa rasa bersalah. Setidaknya, cerah, kan?

“Temani aku. Apa bisa?” Aku menghentikan gerakan tangan, merasakan embusan napasnya yang ke luar masuk tertahan di telinga. Berusaha mencerna kalimat yang baru saja ke luar.

 “Temani aku ke mana pun aku pergi. Dan pura-pura menyukaiku.”

Aku menoleh ke arahnya, sementara dia masih terpaku dengan lukisannya yang ku rusak. Atmosfer di ruangan ini seketika berubah, menjadi lebih hangat dan panas. Anak rambutnya melambai indah, mengelus pipiku. Aroma shampoo rasa strawbery yang manis tercium dari sana.

“Untuk apa?” tanyaku tidak mengerti. Selama dua puluh tahun bekerja di Taneba, aku tidak pernah mendapatkan permintaan aneh ini. Permintaan kekanakan.

“Aku ingin balas dendam pada mereka. Mereka akan iri dan kesal jika ada orang yang menyukai gadis jelek sepertiku. Mereka akan merasa terkalahkan dan tersaingi. Hanya itu yang akan membuat mereka kesal. Dan karena aku ingin membuat mereka kesal sekali saja.”

“Mereka?” Aku masih belum paham, karena jelas yang kulihat di belakang pohon tadi adalah satu orang laki-laki. Apa ada lagi yang lain? 

“Yang mengirimkan boneka itu adalah teman-teman sekolah-ku.” Jeda, ia tampak ingin melanjutkan kalimat, tetapi membatalkannya. Lebih memilih meraih kuasnya di tanganku dan meletakkannya kembali ke ember.

“Balas budi aku dengan itu.” 

Ia menoleh membuat mata kami bertemu di satu titik. Bola mata berwarna biru yang cantik, siapa yang bilang kamu jelek? Hanya perlu menyingkirkan tompel dan menata rambut panjang itu agar lebih rapi, maka kamu akan terlihat cantik. 

Aku mengalihkan pandangan. Lagi pula, selama dua hari aku di rumah ini, aku sama sekali tidak melihat para pembersih itu. Dan juga, aku butuh tempat persembunyian untuk sementara waktu, sebelum aku benar-benar pulih total dan kembali untuk mengatur rencana. Rencana hebat yang akan menghancurkan organisasi itu. 

Pilihannya tidak banyak. Jika aku tidak menghancurkan mereka lebih dulu, maka mereka yang akan membunuhku. Jadi, aku berencana untuk meledakkan mereka dengan caraku. Mempublikasikan pekerjaan mereka, lalu dunia yang akan menghancurkannya perlahan.

“Siapa namamu?” tanyaku.

“Lily.”

“Panggil aku Dylan. Aku akan membantumu melakukan rencanamu. Tapi aku butuh tempat tinggal untuk sementara waktu,” kataku. 

“Ada banyak kamar yang bisa dipakai di Villa ini. Aku mau kamu tinggal di sini selama membantuku.” Aku bisa menebak kalau gadis ini suka memerintah dan memaksa. Nada suaranya ketus dan sedikit arogan. Aku mencoba menerka, orang seperti apa dia ini, tetapi ia cukup menarik.

“Nona, Lily, apa yang sedang Anda bicarakan? Dia tidak bisa tinggal di sini.” Wanita dengan pakaian hitam putih dan sedikit gemuk datang tergesa dari belakang. Itu adalah wanita gemuk yang kulihat pertama kali.

“Nona ....”

“Apa aku meminta persetujuan Anda, Bibi Ane?” Gadis itu melawan. Memberikan tatapan tajam dan marah. Tidak suka ditentang.

“Jika Nyonya tau masalah ini ....”

“Akulah Nyonyanya di sini, Bibi. Anda harus belajar memahami keputusan siapa yang lebih tinggi sekarang. Dia tidak ada di sini. Toh juga dia memang tidak akan pernah ke sini, ‘kan?”

“Nona Lily. Anda cukup tau apa yang akan dilakukan oleh Mama pada orang yang berani masuk dan bersama Anda.”

“Apa selama ini ia peduli tentangku?”

Mereka mulai bertengkar satu sama lain. Aku tidak tahu siapa Nyonya yang sedang mereka bicarakan, tapi aku bisa menyimpulkan bahwa itu adalah Ibu gadis ini dan aku tidak mau peduli.

“Anda tahu apa yang terjadi pada wartawan yang mematai Anda sebulan yang lalu?” Wanita itu menarik napas dalam.

“Dia mati secara tiba-tiba, bahkan tidak ada yang tahu kenapa ia mati dan siapa dia. Anda mau itu terjadi padanya juga?” 

Lily tampak diam dan menatapku. “Hanya seminggu. Aku janji dia akan pergi sebelum Mama tau. Aku hanya butuh bantuan dia melakukan sesuatu yang tidak bisa Mama lakukan untukku.”

Wanita yang dipanggil Bibi Ane sekali lagi mengembuskan napas kasar. “Hanya seminggu. Tidak boleh lebih dari itu.”

Setelahnya ia pergi meninggalkan kami berdua.

Kini aku yang balas menatap bola mata yang berpaling sesaat. “Apa maksudnya wartawan yang mati?” tanyaku penasaran.

Dia balas menatapku berani. “Masih ada waktu untuk mundur dan membatalkannya jika kamu takut.” Dia pergi lagi, seperti sebelumnya.

Aku tertawa renyah dan menampilkan smirk yang akan membuatnya selalu ingat nanti, bahwa yang sedang ia lawan bicara bahkan sudah menatap kematian lebih dari seribu kali dalam hidupnya.

 “Aku akan tetap tinggal dan membantumu, anggap saja sebagai balas budi yang impas!” Aku sedikit berteriak, karena tubuhnya sudah melesat cukup jauh, tapi aku yakin ia masih mendengarkannya.

Setidaknya untuk sekarang, aku telah jauh dari Taneeba. Mungkin tidak akan lama, sebelum para pembersih menemukanku. Dengan berada di sini selama seminggu, itu bisa memberiku waktu yang cukup untuk mengumpulkan data yang kuperlukan. Ditambah lagi, aku harus menemui seseorang untuk membantuku melawan Levale, dan orang itu berada di kota. Aku harus menemukannya lebih cepat.

--

Tempat ini cukup nyaman dan sepi. Tidak bising dan jauh dari keramaian. Aku memilih untuk ke luar dan mengamati lebih jauh. Lalu aku menyadari bahwa Villa ini memang sedikit unik. 

Cat dengan perpaduan warna hitam dan abu, mewah tetapi sejenak mungkin tampak mengerikan. Terlalu gelap di bagian luar dan masih terlalu gelap di dalam juga. Ukiran tiang dan pintu juga unik. Seperti akar kayu yang menjalar dengan kelopak bunga yang melengkung tipis. Tetapi uniknya lagi, ukiran itu dilukis di pintu besi yang jika masuk, akan membutuhkan akses.

“Kau suka?” 

Aku langsung menengok ke belakang. Gadis itu sudah berdiri di sana dengan dress hitam selutut, memamerkan kaki panjang putihnya.

“Mama memesannya untuk menutup apa yang ada di dalam. Ukiran ini dibuat di pintu besi agar tidak terlalu mencolok bahwa Villa ini sedang terkunci rapat. Sekilas ia begitu menyeramkan dan klasik. Siapa yang tahu bahwa semua hal di dalamnya benar-benar tersegel rapi.” 

“Memangnya apa yang disembunyikan?” Aku berbalik dan menatap bola matanya.

Rambut hitam panjang yang berkilau masih menutup wajah sebelahnya. Ia berjalan menuntunku ke halaman depan dan aku mengikuti dari belakang.

“Aku,” jawabnya.

“Kau?”

“Seluruh penduduk di desa ini begitu fanatik. Mereka mengucilkanku dan menyuruh anak mereka untuk menjauhiku. Semua orang memandang seolah aku adalah penyihir yang tinggal di Villa menyeramkan, seorang gadis aneh yang buruk dan menakutkan.” Ia tertawa hambar. Menengadah ke langit yang perlahan mulai gelap.

“Dan Mama memang merancangnya demikian. Lihatlah Villa ini, tampak seperti istana penyihir. Aku diasingkan. Mereka berperilaku seolah aku tidak ada di antara mereka.”

“Kau juga takut saat pertama melihatku, kan?” sambungnya.

Aku tertawa, tetapi tidak ingin mengatakan apa-apa. Terus mengikutinya hingga kami tiba di salah satu pohon jambu yang berada di dalam Villa itu, di bawahnya ada sedikit bukit yang memberi kami pemandangan ke bawah. Banyak rumah berjejer di sana. Itu adalah desa yang di maksud. Villa ini terletak sedikit menjauh dari sana.

“Aku pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Presetan dengan semuanya, aku sudah muak!”

“Sayangnya selalu gagal. Suruhan Mama dan wanita gemuk tadi selalu berhasil

menghentikanku. Ironis, ‘kan? Mau mati saja Tuhan tidak mengizinkan.” Ia menarik napas. Duduk di bawahnya.

“Lalu apa rencanamu sekarang, Nona Lily?” tanyaku.

“Panggil aku Lily saja. Aku mau balas dendam pada mereka semua. Pada anak-anak di sekolah, pada warga desa, pada Mama, pada semua orang yang memperlakukanku seperti sampah.” sambungnya.

“Kamu ingin aku membunuh mereka?” tanyaku.

Wajahnya tampak datar. Terus menatap senja yang perlahan turun dari atap desa. “I wish it could happened.” Suaranya lirih, tetapi aku mampu mendengarnya dengan jelas.

“Bagaimana kalau aku bisa melakukannya?”

Ia menoleh, membuat mata kami bertemu di satu titik yang sama. Hening sejenak. Aku bahkan dapat merasakan hembusan napasnya yang ke luar perlahan.

“Melakukan apa?” 

“Membunuh,” jawabku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status