Share

Dia-lo-gue
Dia-lo-gue
Author: Anna Kuhas

PART I

Author: Anna Kuhas
last update Last Updated: 2021-10-29 17:52:46

Kuis kimia baru saja berakhir. Aku mendesah panjang sambil melepas semua kepenatan karena harus belajar berbagai unsur dan reaksi yang menjadi topik kuis hari ini. Rencananya, aku akan segera pulang jika saja temanku tidak menahanku. Dari semenjak masuk kelas, dia selalu mengatakan ada hal yang ingin dia sampaikan padaku.

“Ada apa sih, Sheryl?” tanyaku padanya. Tanganku masih sibuk memasukan buku-buku dan alat tulis ke dalam tas punggungku.

“Gue enggak tahan harus bilang ini sama lo.” Dia tersenyum lebar sambil menyatukan kedua telapak tangannya di dada.

“Bilang apa?”

Sheryl tidak langsung bicara. Dia menghentikan kegiatanku yang masih sibuk membereskan meja dan memintaku menghandap ke arahnya.

“Katy, gue jadian sama Jace.”

Aku terdiam, lalu mencoba mengkonfirmasi kembali apa yang sudah aku dengar tadi. “Apa? Jadian?”

Sheryl mengangguk dengan sangat bersemangat. Matanya berbinar dengan senyum yang mengembang di wajahnya

Seketika, ada pisau tak kasat mata yang menusuk dadaku. Empat kata yang temanku ucapkan tadi seolah telah mengambil kemampuanku dalam bernapas. Rasanya sakit dan sesak. Sampai aku tidak mampu lagi berbicara.

Aku ingat ketika cowok yang bernama Jace itu memperhatikanku saat malam api unggun. Malam di mana kami dinobatkan sebagai siswa baru di SMA. Tatapannya selalu mengarah ke arahku. Aku bisa pastikan itu.

Malam itu, aku terlalu terganggu dengan tatapannya. Aku merasa cowok itu sedang mempelajari gerak-gerikku. Sampai akhirnya, aku tidak tahan untuk tidak balik mencuri pandang padanya. Dia masih melihat ke arahku. Bahkan dia tersenyum kecil setelahnya.

“Katy, Lo liat cowok yang bawa gitar itu?” tanya Sheryl kala itu. Dia baru saja kembali dari warung dadakan yang digelar warga di sekitar area api unggun.

Aku menoleh ke tempat tangannya mengarah. Sheryl menunjuk Jace. Cowok yang baru saja melemparkan senyuman karena kami tidak sengaja saling beradu pandang sebelum Sheryl duduk di sampingku. Sekarang cowok itu sedang sibuk dengan gitar di pangkuannya.

“Kenapa?” Aku mencoba terlihat tidak acuh.

“Gila, ganteng banget,” puji Sheryl dengan mata yang berbinar-binar.

Aku tidak berkomentar. Aku memilih untuk pura-pura sibuk dengan handphone-ku. Lalu rasa penarasan menelisik masuk ke dalam hatiku. Siapa tahu dia punya informasi tentang cowok yang sedang kami bicarakan ini.

“Lo kenal?” tanyaku dengan nada yang dibuat sewajar mungkin.

“Enggak sih. Tapi nanti pasti gue dapetin nomornya.”

Aku tidak akan besar kepala kalau tidak ada bukti bahwa pandangan Jace memang selalu mengarah padaku. Saat Sheryl pergi ke kamar mandi, atau membeli jajanan ke warung warga, Jace akan selalu menaruh matanya padaku. Itu yang membuatku tidak terlalu menganggap serius ucapan Sheryl saat itu.

Sampai, acara api unggun selesai, tidak ada yang berani untuk menyapa satu sama lain. Dia hanya mengangguk ramah ketika pandangan kami tidak sengaja bertemu. Dia tersenyum ringan lalu menyugar rambut tebalnya dengan gaya paling keren. Seolah dia tahu bahwa dia sedang diperhatikan.

Seharusnya itu tidak menggangguku. Seharusnya aku melupakan cowok yang pasti akan menjadi cowok populer dan berpotensi menjadi playboy. Namun, ternyata tidak bisa. Mata tajamnya terlalu mengusik hari-hariku yang sederhana. Membuatku gelisah jika satu hari saja tidak bisa melihat wajahnya yang sempurna. Kemudian aku menyadari, aku menyukai cowok tampan itu.

Itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Aku dan Jace hanya menjadi dua orang yang tidak pernah saling menyapa. Sampai saat Sheryl bercerita kalau ada cowok yang sedang dia dekati dan ingin menjadi pacarnya. Aku yakin dia tidak akan pernah gagal. Dia pasti akan mendapatkan apa yang dia mau. Namun, aku tidak tahu kalau cowok itu adalah Jace. Cowok yang juga aku sukai.

“Kat? Katy?”

Suara Sheryl menarikku kembali pada masa kini. Aku mengerjap beberapa kali lalu sadar bahwa aku harus menyunggingkan senyuman untuk sahabatku ini.

“Selamat ya, Sheryl.” Aku mendengar kepalsuan pada suaraku.

Sheryl memandangku dengan wajah bingung. “Lo kenapa? Sakit?”

Aku kembali mengerjap. Entah karena aku gugup atau mengedip-kedipkan mata sudah menjadi hobiku sekarang.

“Gue? Enggak apa-apa.” Aku menarik tas punggungku dan bangkit dari kursi dengan tergesa-gesa. “Gue balik duluan ya.”

“Lo enggak tunggu Shafira dan Briya? Gue belum ngasi tahu mereka tentang ini,” bujuknya.

Aku menggigit bibir bawahku. Mencari alasan yang tepat supaya aku bisa segera pulang dan menyendiri. Aku sedang ingin sendirian dan meratapi apa pun yang sedang aku rasakan sekarang. Aku sedang kesakitan sekarang.

“Gue enggak bisa. Gue harus anter nyokap ke Saung Geulis,” kilahku. Itu cukup untuk membuat Sheryl diam. Dia tahu mengantar ibuku ke restoran sunda miliknya adalah adalah rutinitasku setiap hari jumat.

Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang Sheryl katakan ketika dua temanku yang lain, Shafira dan Briya datang bergabung. Aku terlalu sibuk menekan air mata agar tidak keluar dari tempatnya. Yang aku pikirkan hanya kenyataan bahwa aku harus segera pulang, mengunci diri di kamar dan meluapkan apapun yang sedang menggelayuti dadaku saat ini.

Seharusnya aku tidak begini. Seharusnya aku ikut berbahagia untuk sahabat masa kecilku ini. Namun, ini terlalu sulit aku terima. Aku butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa Jace tidak akan menyukaiku. Dia memang hanya cocok untuk cewek seperti Sheryl. Cantik, lincah dan selalu ceria. Tidak sepertiku yang hanya memikirkan tugas sekolah setiap harinya.

Hari-hariku selanjutnya menjadi lebih berat. Jace menjadi sering berada di sekitarku. Susah payah aku bersikap wajar, tetapi aku tetap merasa matanya selalu mengikutiku. Bahkan ketika aku membelakanginya, aku merasa matanya seperti sedang melubangi punggungku. Sebut aku aneh. Namun, kalian tidak akan mengerti. Itu yang aku rasakan.

Suatu ketika Sheryl bertanya kenapa aku menjauhinya. Sebelumnya aku tidak sadar kalau aku sedang menjauh. Aku hanya meminimalkan interaksiku dengan Jace. Aku tidak mau sikapku yang canggung menyebabkan kecurigaan di mata teman-temanku.

“Gue enggak menjauh kok, Sher. Restoran nyokap gue lagi rame. Jadi enggak bisa selalu ikut kalian nongkrong,” jawabku saat itu.

“Lo enggak lagi ada masalah, ‘kan?” tanya Sheryl penuh dengan kekhawatiran. “Kalo lo perlu apa-apa bilang sama gue. Uang gue banyak. Gue anak yatim yang kaya raya. Ingat itu.”

Aku tersenyum geli mendengarnya. Jika bukan teman dekatnya, pasti menganggap itu hanya lelucon. Namun, Sheryl memang benar-benar anak yatim yang dilimpahi warisan yang banyak.

“Iya gue tahu lo kaya. Makanya gue betah temenan sama lo,” godaku sambil merangkul bahunya.

“Gue serius, Katy. Kalo ada apa-apa cerita sama gue. Gue pasti bantu. Gue sedih lihat lo jadi murung gini.”

Saat itu perasaan bersalah menyerangku. Sheryl tidak pernah meninggalkanku walau dia sudah bersama Jace. Dia selalu bertanya keberadaanku dan mencariku ketika aku menghilang di waktu istirahat sekolah atau ketika aku pulang tanpa pamit padanya, dan dia mengabari bahwa dia menungguku untuk pulang bersama. Sheryl membuatku bertahan dan membantuku berlapang dada untuk menerima bahwa, Jace tidak tercipta untukku.

Pagi itu di dalam kelas. Baru beberapa orang yang sudah duduk di kelas dengan rapih. Rata-rata mereka adalah orang yang selalu menyerahkan tugas, dan mendapat nilai tinggi di setiap kuis. Aku salah satu dari orang-orang tidak keren itu. Tidak seperti ketiga temanku yang selalu telat dan menyontek saat waktunya mengumpulkan tugas.

Aku mengatur tata letak alat tulisku di meja. Sedikit berkaca untuk memastikan penampilanku tidak ada yang salah. Memakai lipbalm untuk bibirku yang kering dan merapikan rambut ikal sebahuku.

“Ehem.”

Suara orang berdeham mengagetkanku. Aku menoleh ke sampingku dengan pelan. Sosok jangkung itu berdiri di sana. Seragamnya dibiarkan keluar dari sabuk. Seulas tato yang baru aku sadari menyembul dari lengan bagian atas. Tidak begitu jelas itu tato apa.

“Jace?” Aku mengerutkan dahi melihat pagi-pagi dia sudah ada di kelasku. “Sheryl belum dateng.”

“Gue enggak nyari Sheryl. Gue nyari lo,” ujarnya sambil menarik kursi di sampingku dan duduk dengan santai.

Dadaku tiba-tiba berdebar tanpa kendali. Makin lama semakin kencang seiring dengan segala pertanyaan yang keluar dari dalam otakku. Mau apa cowok ini mencariku di saat pacarnya sedang tidak ada?

Aku berdeham demi menutupi gugup yang tiba-tiba menyerangku. “Terus?”

Dia menghadapkan badannya ke padaku. Memandangku dengan matanya yang tajam dan penuh dengan intimidasi. Seolah matanya berkata, gue butuh perhatian penuh sekarang. Jangan abaikan gue!

Jace menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkan kalimatnya. “Ada yang mau gue sampaikan.”

Deg!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Deska Syah Putri
gw iri melihat cewek itu bisa dekat dgn cwoknya dia nggagumi ituuuu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dia-lo-gue   Pengumuman penting!

    Hai apa kabar pembaca setiaku.Mau menyampaikan aja bahwa cerita ini akan di lanjut di buku yang berbeda. karena sebenarnya kisah Katy dan Jace seharunya sudah tamat ketika mereka bertunangan.Hanya saja saya masih sayang sama mereka berdua dan ingin mereka punya cerita yang lebih lanjut.Maka dari itu aku bikin Dia-Lo-Gue Season 2 dengan cerita yang pelik, konflik yang lebih berat, dan karakter yang lebih dewasa. Jadi, ratenya harus di ganti karena cerita Dia-Lo-Gue seasion pertama itu rate remaja.Segitu aja dulu ya,, ditunggu lanjutan Dia-Lo-Gue season 2.XOXO,Anna kuhas

  • Dia-lo-gue   PART 91 (EUPHORIA KEKUASAAN)

    Aku menjejakkan kaki ke lantai marmer mewah di lobi utama kediaman keluarga Ashad, merasakan atmosfer megah yang selalu membuatku sedikit terintimidasi. Budi, membawaku bertemu Jace di ruang kerjanya. Sebuah ruangan yang terasa seperti perwujudan kepribadian keluarga Ashad. Dingin, elegan, namun diselimuti aura kekuasaan yang tak terbantahkan.Buku-buku tebal berjejer sempurna di rak kayu gelap, aroma kopi pahit dan kulit mahal menyelimuti udara. Jace berdiri di dekat jendela besar, membelakangi Katy, siluetnya yang tegap terpantul samar di kaca.“Aku enggak tahu kapan kamu pamit pulang dari rumah Mama. Aku kira kita bakal nginep di sana.” Suaraku membuatnya berbalik.Jace berjalan perlahan, raut wajah ceria dan ramah yang dia tampilkan di meja makan ibuku telah hilang, berganti dengan ekspresi datar tanpa emosi, lebih dingin dari embusan AC sentral yang terasa menusuk kulit.“Kamu terlalu sibuk sama handphone-mu. Sampai aku harus kirim orang buat jemput kamu di sana.”Kalimat Jace men

  • Dia-lo-gue   PART 90 (MERENGGANG)

    Embun sisa hujan semalam masih mendekap erat jendela kamar hotel yang megah, meredupkan cahaya pagi menjadi kelabu yang sendu. Di atas ranjang satin yang kusut, jejak pergulatan yang panas dan penuh gairah masih membekas.Aku masih terbaring di ranjang besar ini. Di samping lelaki yang setiap napasnya terhembus, menimbulkan renjatan penyesalan yang dalam. Pikiranku kembali pada kegiatan kami beberapa jam yang lalu. Sebuah ritual sakral yang biasanya terselip senyuman manja, bisikan cinta, dan dekapan kerinduan. Namun yang terjadi hanyalah pelampiasan amarah yang tak terucapkan.Beberapa titik air keluar dari sudut mata. Bercampur dengan bulir keringat, jejak aktifitas kami yang intens di kamar hotel sedingin ini. Mataku menerawang ke langit-langit ruangan. Mencari tahu, kenapa aku bisa menangis saat orang yang aku rindukan ada disampingku.Aku buru-buru bangkit dari ranjang. Berjalan menyebrangi kamar menuju kamar mandi besar dengan bath tup mewah lengkap dengan berbagai minyak aromat

  • Dia-lo-gue   PART 89 (HUKUMAN)

    Dunia seolah berhenti bernapas. Hawa malam mendadak terasa seperti belati es yang menusuk ke dalam dada. Siluet lelaki yang sedang menatapku dari balik kaca mobil seolah melemparkan palu godam ke arahku yang siap meremukan setiap jengkal organ tubuhku.“Kayaknya mobil itu ada orangnya.” Suara Hiro semakin meyakinkanku bahwa malam ini tidak akan mudah untuk aku lalui.“Gue masuk sekarang. Makasih tumpangannya ya. Hati-hati dijalan,” ucapku sambil menyerahkan helm padanya dengan tergesa-gesa.“Gue anterin sampai ke dalam.”“Enggak perlu!” tanpa sadar, intonasiku meningkat karena rasa panik yang menyerang.Sudut mataku kembali melirik ke arah kaca mobil yang gelap. Aku menyadari, dibalik kaca itu, ada mata yang masih mengawasi gerak gerak kami berdua.Dahi Hiro bertaut. “Jam tiga pagi ada orang di dalam mobil lagi ngintai rumah lo. Elo yakin ini aman?”Aku menghembuskan napas dengan kasar. “Gue kenal mobil itu . Enggak ada masalah. Semua aman.”Aku coba menyakinkannya dengan nada bicara

  • Dia-lo-gue   PART 88 (MOTOR BESAR)

    Akhirnya aku tenggelam kembali ke dalam lautan kode. Baris demi baris kode aku baca kembali dengan seksama demi mencari kesalahan pada sintaks yang sudah diberi catatan oleh Hiro sebelumnya. Cukup banyak catatan yang ditambahkan ke dalam program ini. Contohnya seperti:“Logika modul harus spesifik, belajar lagi cara kerja fungsi.”“Penamaan harus ringkas dan unik. Jangan bikin bingung diri sendiri.”“Banyak banget catatan kaki, ini bikin program atau nulis diari?”Kata-kata dengan kesan menghina tidak hanya keluar dari mulut Hiro. Bahkan dalam back-end program saja, dia masih sempat membuatku kesal. Namun, lebih dari pada itu, aku merasa terhibur dengan kalimat-kalimatnya. Seperti sedang dimarahi betulan rasanya.Sesekali Hiro datang menghampiriku. Baik itu untuk menanyakan apakah ada kesulitan atau tidak, atau hanya sekedar duduk diam menemani. Bahkan dia masih sempat membawakan mie goreng untukku. Katanya, jangan sepelekan rasa lapar kalau sedang menulis kode. Karena otak sedang be

  • Dia-lo-gue   PART 87 (ROTI MANIS)

    Suara klakson yang melengking, deru mesin yang tak putus, dan riuh rendah tawa bercampur aduk menciptakan melodi khas akhir pekan kota. Aku membiarkan diriku terseret arus, tanpa tujuan pasti, menikmati kebebasan anonimitas yang hanya bisa kutemukan di tengah keramaian. Sesekali aku berpapasan dengan pasangan muda mudi yang bercengkerama dengan mesra. Menumbuhkan perasaan iri yang biasanya tidak pernah aku rasakan selama ini.Bagaimana aku bisa iri pada kisah cinta orang lain, sedangkan aku punya tunangan yang sempurna di sana.Lelah dengan hiruk pikuk jalanan kota, aku memutuskan untuk mencari tempat untuk sekedar duduk santai sambil menyeruput kopi. Kebetulan tidak jauh dari tempatku berdiri, aku menemukan sebuah kedai kopi yang sedikit tersembunyi dan dihimpit gedung tinggi dengan banyak pohon di sekitarnya.Suara lonceng terdengar seiring pintu kaca aku dorong untuk membuka jalan. Begitu kakiku sudah masuk ke dalam, aku terkejut karena kafe tersembunyi ini ternyata penuh dengan pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status