Share

3. ANDINI: Kembaranmu

“Diniii! Ayo berangkat! Kamu jangan lama-lama dandannya, nanti di sana juga didandanin lagi, kok!”

Teriakan Mama membuatku buru-buru mengenakan wedges dan keluar kamar. “Aku nggak dandan, Ma. Cuma ribet pake bajunya, nggak biasa,” sahutku sambil berjalan mendekati Mama.

Kulihat, ia sudah tampil dengan paripurna, mengenakan kebaya berwarna hijau yang merupakan seragam khusus untuk keluarga yang akan datang ke pernikahan Kak Andina. Aku merapikan lagi kebayaku yang sama dengan Mama, hanya berukuran lebih kecil dan tidak terlalu banyak payetnya. Aku tidak suka sesuatu yang berkilauan memenuhi diriku, terutama karena aku harus menjaga diri dengan jilbab yang kukenakan.

“Oh ya, Ma, Kak Andina beneran jadi berjilbab ya?” tanyaku ketika kami sudah di dalam mobil.

Meski ibuku itu sudah berusia lima puluh lebih, tapi ia masih lebih suka menyetir ketimbang diam di sebelah sopir. Jadi, setiap kami bersama, aku mengalah membiarkannya menggunakan mobil. Lagi pula, ini mobil miliknya yang jarang-jarang dipakai karena Mama lebih suka di rumah, mengurus kebun hidroponiknya. Kalau aku yang menyetir, pasti Mama jadi banyak mengomel untuk mengoreksi caraku yang katanya salah. Mulai dari rem yang jarang digunakan atau terlalu sering mengklakson, atau lupa menyalakan sein. Pokoknya ada saja kritiknya. Ya, aku memang agak suka ngebut, sih, terutama jika sudah nyaris telat seperti saat ini.

“Iya. Mama seneng banget. Akhirnya dia nurut. Bertahun-tahun Mama minta nggak nurut, eh giliran calon suaminya yang minta… langsung diturutin,” gerutu Mama panjang-pendek. “Kalian nanti pasti kayak pinang dibelah dua. Dan netizen bakal kaget karena ternyata Dina punya kembaran.”

Aku menoleh, mendapati sorot mata Mama lebih bersinar dibanding biasanya. Ini hari bahagia untuknya. Andina adalah anak tersayangnya. Ya, meski kami kembar, tapi dari dulu Mama selalu lebih sayang pada Andina. Dia yang multitalenta, senang bergaya di atas panggung sekaligus ceriwis di bawah panggung. Selalu bisa diandalkan untuk urusan sosial masyarakat, berbeda denganku yang pendiam. Dia juga yang selalu mudah menyesuaikan diri dengan hobi-hobi Mama, seperti berkebun dan merias wajah. Sementara aku? Lebih suka membaca dan memasak, sesuatu yang selalu dianggap Mama bisa dikerjakan nanti-nanti. Baginya, membaca membuat kantuk cepat datang, dan ia juga menyerahkan urusan memasak pada pembantu karena tidak terbiasa dengan alat-alat dapur.

Namun, setidaknya ia seprinsip denganku mengenai jilbab. Sejak bercerai dengan Papa ketika aku dan Andina masih SMA, Mama memilih berjilbab setelah melihatku juga mulai menutup aurat lebih konsisten—sebelumnya aku masih lepas-pasang. Aku baru lebih dekat dengannya saat Andina lebih memilih ikut Papa di Bogor, sedangkan aku menepikan diri bersama Mama di Bandung. Mungkin karena waktu itu ia lebih dekat dengan Papa yang merupakan direktur perusahaan periklanan dan punya banyak kenalan di dunia keartisan, sehingga Andina akan mendapat channel untuk debut. Berbeda denganku yang mengedepankan perasaan, dan melihat Mama begitu rapuh di awal perpisahan memaksa kakiku menetap di kota yang sama dengannya. Satu lagi kelebihan Andina: ia cepat menentukan passion, karena sejak masa SMP ia sudah memastikan ingin menjadi penyanyi terkenal, dan itu tidak goyah sama sekali. Ia berhasil meraih nama besar bertepatan dengan kelulusan SMA.

Aku dan Andina memang seperti dua sisi telapak tangan. Ia adalah punggung tangan yang selalu terekspos ke mana-mana. Senang menampakkan diri pada banyak orang dan cemerlang. Ia punya ambisi yang berkobar-kobar dan tidak ragu sama sekali untuk segera mewujudkannya. Sementara aku … cukup puas menjadi telapak tangan yang menyembunyikan diri dengan malu-malu. Lebih suka di dalam rumah seperti Mama, tapi tidak sehobi dengannya. Aku lebih memilih menjadi seseorang yang biasa-biasa saja, dengan mimpi yang tak begitu besar, tapi aku menikmatinya. Jadilah aku seorang food blogger dan penulis konten di perusahaan swasta kecil di pinggiran Bandung.

“Din, kamu kapan mau nyusul? Nggak dapet inspirasi gitu?” Tiba-tiba Mama bertanya, membuatku spontan menoleh padanya.

“Apaan sih, Ma? Emangnya mau nulis novel, butuh inspirasi?” Aku geleng-geleng kepala.

Mama tergelak. “Ya, sama aja. Kehidupan kita kan juga kayak novel. Bedanya nyata kejadian, bukan fiksi.”

“Iya, Mama sayang. Tunggu aja ya, nanti juga kalo udah waktunya, aku pasti bawa calon,” sahutku tenang. Usiaku toh masih 22 tahun. Masih ada banyak waktu untuk mengeksplorasi diri. “Mama mau calon yang kayak gimana? Jangan yang kayak Riza, susah nyarinya.” Aku iseng bertanya, menjawil lengannya.

Tertawa, Mama lalu menjawab, “Pokoknya yang seiman, saleh, ngertiin kamu, dan berbakti sama Mama. Itu kriteria yang paling penting.”

Aku mengangguk setuju. “Tambahin satu lagi, penyayang anak-anak.”

Mama mengacungkan jempol. Senyumnya yang kini sering terkembang adalah hasil dari bertahun-tahun belajar mengikhlaskan. Aku masih ingat bagaimana ia dulu sering memendam tangis jika teringat Papa. Biar hanya melihat sosoknya di foto, mengingat hobi yang ditekuninya, atau sekadar mendengarku yang kelepasan mengobrolkan Papa, pasti Mama langsung tak bisa mengontrol air mata. Aku lega melihatnya lebih energik dan tidak terbebani apa-apa kini.

Kami lantas melanjutkan perjalanan sampai tiba di gedung yang ditentukan untuk lamaran. Syukurlah tidak begitu macet untuk ukuran hari Jumat, menjelang weekend. Sampai di parkiran basement, aku lebih dahulu menghubungi Papa untuk bertanya pintu mana yang harus dimasuki keluarga.

Papa

Masuk aja langsung lewat Gate C, nanti tunjukin undangannya.

Sudah sampai? Acaranya mau mulai

You

Iya, aku udah sampai. Otw masuk

Usai melepaskan sabuk pengaman, aku dan Mama berjalan masuk bersama. Derap sepatu kami terdengar menggema di sekeliling bangunan basement. Begitu masuk Gate C, begitu menunjukkan undangan, kami langsung diarahkan menuju ruangan yang sebenarnya adalah backstage tempat artis biasa mempersiapkan diri sebelum tampil ke panggung. Samar-samar terdengar dentum musik dari panggung utama tempat akan dilaksanakannya acara. Ya, ini gedung studio yang biasa dipakai untuk siaran televisi. Lebih mudah dipakai karena acaranya akan disiarkan televisi dan live di media sosial juga.

Dari backstage, aku bisa mendengar dentum suara kru yang sedang check sound di panggung, ditingkahi suara langkah kaki dan samar-samar obrolan mereka. Selain itu, segelintir wartawan tampak tengah meminta wawancara dari para keluarga yang sudah datang. Tampak Papa dan seorang lelaki paruh baya lainnya tengah meladeni salah satu wartawan dari televisi nasional. Aku dan Mama melewati mereka, diarahkan menuju sebuah ruangan yang pintunya tertutup dan diberi papan bertulisan “Pengantin Wanita”.

Namun, sebelum Mama masuk, ia terlebih dahulu dipanggil oleh Papa. Lelaki yang tampak lebih berwibawa dengan jas warna hijau lumut itu tersenyum, melambai. Mama mengangguk sekilas, tidak balas tersenyum, tapi berbisik padaku untuk memenuhi panggilan tersebut. “Kamu masuk duluan aja.”

Aku memastikan sesaat, bahwa Mama sudah benar-benar kuat untuk berhadapan dengan kamera, baru kemudian mengangguk. Memang bukan kali pertama ia harus menerima permintaan wawancara karena ketenaran Andina yang mau tak mau menyeret orang tuanya, tapi aku tetap saja khawatir wartawan itu melontarkan pertanyaan menyerang perkara rumah tangga mereka yang telah lama dikubur rapat. Sedikit-banyak, aku tahu prinsip kerja orang media, terutama kalau mereka meng-handle liputan gosip.

Usai menatap Mama dan Papa yang mulai bicara beberapa saat, aku memutuskan masuk ke ruangan tempat Andina pasti tengah berganti baju itu, sendirian. Begitu menutup pintunya, aku bukan mendapati Andina di sana. Justru tampak seorang wanita dengan rambut berombak mondar-mandir di depan meja rias yang dilengkapi cermin tinggi di hadapannya.

“Permisi?” Suaraku membuyarkan apa pun yang memenuhi pikirannya sampai membuat dahinya mengerut.

Begitu melihatku, matanya langsung melotot, tapi dengan ekspresi bahagia. “Andina! Akhirnya, lo dateng juga!”

Aku tidak sempat menjawab ketika ia menubruk tubuhku dan memeluk erat-erat. “Sialan, ke mana aja lo? Gue udah mau mati rasanya ngehubungin lo! Lo nggak tau ya, Riza bingung banget dari tadi tapi nggak berani ngasih tau siapa-siapa selain gue?”

“Ma-maksudnya?” cicitku.

“Ah, pokoknya sekarang lo udah di sini. Lo diem dulu, duduk sini ya. Gue panggilin stylist sama make up artist dulu.” Wanita itu langsung melesat keluar, meski aku ingin mengatakan bahwa dia salah paham. Langkahnya terlalu cepat, dan suaraku tersekat di tenggorokan. Syok.

Belum selesai kebingunganku, tiba-tiba pintu itu kembali terbuka, menampakkan sosok Riza yang tampak begitu lega. Ia menutup pintu, kemudian melangkah mendekat.

“A-aku ….” Lagi-lagi, suaraku tersekat ketika Riza sudah lebih dulu berjongkok di hadapanku dengan mata berkaca-kaca.

“Aku kira kamu nggak dateng. Aku kira pengalamanku bakal keulang lagi,” ujarnya dengan suara parau. Aku melihat air matanya jatuh saat melanjutkan, “Makasih udah dateng, Din.”

Napasku seperti diambil paksa. Bagaimana harus menjelaskan bahwa aku bukan Andina? Dan, ke mana kakakku itu, sampai calon suaminya menangis mengharapkan kehadirannya di hari sakral ini?

***

Untuk melihat update cerita lain milik author dan jadwalnya, silakan berkunjung ke IG: @sayapsenja

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status