Share

4. RADIAN: Kabur ke Lombok

Sembilan bulan yang lalu, aku meninggalkan Andina untuk menikah dengan seorang gadis yang belum lama kukenal. Dia adalah Rere, anak teman mamaku yang beberapa kali minta tolong padaku untuk mengantarnya ke sana-sini. Cewek itu bukan tipe idealku sama sekali. Badannya memang bagus, seperti gitar spanyol kata para lelaki, tapi sikapnya terlalu manja. Sangat anak mama. Tidak punya keahlian apa-apa selain merengek, dan tidak punya mimpi lain selain menikah dengan lelaki kaya. Jadi, sejak awal Mama memperkenalkannya padaku, aku tidak tertarik, apalagi sejak aku memiliki Andina.

Dina, panggilan akrabnya, sangat mandiri dan pekerja keras. Ia memiliki banyak impian dan selalu semangat mewujudkannya. Kalau ia tengah bercerita tentang mimpi-mimpinya, aku selalu terpukau dengan binar di mata serta tekad di dalam suaranya. Seperti ketika akhirnya Dina bisa meraih juara satu di kompetisi menyanyi nasional yang diadakan televisi, ia memang dengan gigih berusaha meraih mimpinya. Pelan tapi pasti.

Ia memiliki tujuan yang tidak kecil dan tidak sedikit, dan aku senang bisa menjadi tempatnya membagikan mimpi-mimpi. Hingga pada suatu hari, aku juga berhasil mendapat tempat untuk mimpinya. Menikah di usia 22. Kalau saja semua itu tidak tercuri dariku karena ulah konyol Rere.

Pada pagi hari saat usiaku baru saja bertambah menjadi 22, ia muncul di depan pintu rumah dengan para wartawan, mengatakan bahwa ia hamil anakku. Bukan saja heboh karena aku juga baru naik daun sebagai penyanyi dan hitku bersama Dina baru naik ke pasaran, juga karena Rere mengunggah semua itu ke platform media sosial dan memanggil para wartawan nasional—entah dengan cara apa.

Tidak bisa tes DNA sebelum anak itu lahir, pula bukti-bukti terpampang jelas di media. Foto yang tidak sesuai konteksnya. Memang, aku pernah mengatarkannya ke kelab dan terpaksa juga mengeluarkannya dari sana karena mabuk berat, tapi kami tidak melakukan apa-apa. Entah juga siapa yang mengambil foto-foto kontroversial, seolah aku tengah mengambil keuntungan darinya. Mungkin ia meletakkan kamera pengintai di kelab itu, atau ada temannya yang dengan iseng mengambil foto. Yang jelas, gosip yang terus-terusan tersebar, bahkan ia sengaja mengekspos diri di channel Youtube khusus gosip, membuat mamaku ambruk.

Begitu melihatnya kolaps di rumah sakit, aku tak tahan lagi. Dengan menikahi Rere, aku yakin semua berita akan segera reda. Aku tidak ingin menuntutnya karena Mama pasti akan sungkan pada ibu Rere yang merupakan temannya. Lagi pula, ibunya Rere terlalu baik. Beliau datang dengan air mata bercucuran, memintaku bertanggung jawab mengenai anak di dalam rahim Rere—yang entah anak siapa. Aku yakin seribu persen dia bukan anakku, tapi bagaimana kalau ingatanku salah?

Situasinya kacau dan tidak memungkinkan untukku berpikir jernih mengenai apa yang benar-benar terjadi malam itu. Jadi, di antara semua kegamangan, aku memutuskan Dina dan menahan perih melihatnya menangis di hadapanku.

“Maaf, Din, kamu pasti akan dapat yang lebih baik,” kataku saat mengakhiri semuanya. Yang sakit malam itu bukan hanya Dina, aku juga merasa hancur.

Persiapan pernikahan tidak memakan waktu lama. Hanya dalam sebulan, aku sudah menjadi suami dari gadis yang sama sekali tidak kucintai. Gadis yang menyebut namanya saja aku benci. Meski begitu, aku belajar merelakan masa lalu dan mencoba menghadapi masa depan bersama Rere. Sampai aku mendengar pembicaraannya dengan sang ibu di telepon.

“Lho, emangnya aku pernah bilang kalo anak itu anaknya Radi? Aku cuma bilang, aku bakal nikah sama Radi, gitu aja kan, Ma?”

“….”

“Ya, anaknya cowokku yang dulu itu. Dia kabur gitu aja. Kebetulan waktu itu Radi sempet nolongin aku pas pingsan di kafe, dan sejak saat itu aku suka sama dia.”

“….”

“Udah lah, Ma. Selama Mama diem aja, nggak bakal ketahuan. Mama juga udah dapet uang banyak dari Radi, mau dikembaliin? Pake apa?”

“Jadi selama ini kamu bohong?!” gertakku langsung, memotong percakapannya dengan sang ibu di telepon.

Hari itu juga, meski ia memohon-mohon dengan air mata buaya, aku bertekad melakukan tes DNA dan menceraikannya selepas kelahiran sang anak. Rere mungkin cantik, tapi ia adalah wanita penuh tipu daya.

***

Aku bertemu Dina tiga tahun lalu, di gedung tempat karantina para calon penyanyi sebuah kompetisi. Kami mengikuti kompetisi menyanyi di channel televisi yang berbeda, tapi karena gedungnya dekat, maka tempat karantinanya disatukan. Dina di lantai sepuluh, aku di lantai dua belas gedung tersebut. Meski beda dua tingkat, banyak di antara kontestan kedua kompetisi berteman satu sama lain, termasuk aku dan Dina.

Setelah tiga tahun berlalu, kecantikan Dina justru semakin terpancar. Seperti pagi ini, ketika aku mengamatinya tengah tertidur di salah satu kamar di cottage-ku. Malam tadi benar-benar penuh adrenalin. Bayangkan, calon pengantin wanita minta dibawa kabur oleh mantan kekasihnya. Itu sungguh kenekatan paling nekat yang pernah kulakukan seumur hidup. Namun, melihat wajah Dina semalam, rasanya seperti melihatnya setahun yang lalu, memohonku untuk tidak menikahi gadis licik itu. Aku sudah pernah menolak permohonannya sekali, jadi tak sanggup menolaknya sekali lagi.

Saat aku mengantarnya kembali ke rumah, dan ia mengendap-endap di pukul dua belas malam untuk mengepak baju di koper, sebenarnya aku ingin membatalkan rencana.

“Kamu yakin, Din? Tapi hari ini harusnya kamu ….”

Dina memasukkan kopernya ke bagasi, kemudian menutupnya. Ia menatapku, berkata, “Pernikahannya masih sebulan lagi. Aku butuh relaks dan mikirin semuanya. Kamu … sepertinya juga butuh hal yang sama, kan, sebelum perceraianmu?”

Mengerjap dua kali, aku akhirnya mengangguk. Ia lebih dulu masuk mobil, dan saat aku akhirnya masuk juga, ia tersenyum. Tangannya mulai mengutak-atik radio untuk menemukan saluran yang cocok. Dan, senyum itu memberiku sebuah energi untuk menentukan destinasi.

“Kamu pasti punya ide, kan, kita mau ke mana?” tanya Dina, setengah menguap, setelah menemukan saluran radio yang memperdengarkan lagu-lagu jazz Barat. Kebiasaan kecil yang mengingatkanku pada hari-hari penuh warna bersamanya dulu.

Aku menekan gas, berputar balik untuk menuju bandara. “Masih mungkin buat naik penerbangan terakhir ke Lombok.”

“Lombok?!” jeritnya kaget, melotot padaku.

Menyeringai, aku menyahut, “Kamu sendiri yang minta aku ajak pergi, kan? Chill, Dina.” Mobil meluncur mulus, dan Dina tidak bicara apa-apa lagi sampai kami mendapat tiket dan masuk ke ruang pesawat itu setelah menyimpan kopernya di bagasi pesawat.

Morning, Radi.” Suara serak itu membuyarkan kilas balik semalam di kepalaku. Mataku mendapati ia baru terbangun, mengerjap dan mengucek matanya, lalu tersenyum.

Aku yang tengah duduk di lantai sebelah kasurnya, mengusap kepalanya sekilas, balas tersenyum. “Morning, Dina.” Pikiranku berkelana, membayangkan seandainya ini hari pertama usai pesta pernikahan kami. Namun, anganku terbentur oleh realita bahwa aku justru tengah menculik seseorang yang harusnya akan dilamar hari ini.

Menghilangkan bayangan buruk, aku beranjak berdiri dan mengulurkan tangan. “Mau jalan-jalan bentar? Pemandangan pagi di sini bagus banget, lho.”

Ia memercayakan tangannya padaku, minta kutarik hingga bisa berdiri tegak. Dengan suara serak, ia bertanya, “Jam berapa?”

Aku menunjuk jam dinding, dan ia mengikuti arah telunjukku. “Jam enam pagi. Kamu nggak ngecek hape?”

“Aku matiin. Kamu tahu, kan, notifnya bisa jebol kalau aku buka sekarang.”

Nyaris saja rahangku jatuh melihat betapa santainya ia mengatakan itu. Tidakkah ia menyesali keputusannya? Saat kami baru keluar dari kamar dan menyambut sinar mentari pagi di luar cottage dengan tangan saling bertaut, aku mulai bertanya padanya.

“Kamu … nggak nyesel? Pengen balik, mungkin?”

Dina menerawang di ujung tangga cottage, menyandarkan sebelah tangan pada kayu pegangan di teras. Lalu, menggeleng sederhana. “Kamu tahu, ini yang aku bayangin akan aku lakuin di hari pernikahanmu. Tapi nggak pernah kesampean.” Perlahan, ia maju dan dadaku serasa akan meledak ketika ia memelukku. Aroma khas parfumnya masih tertinggal di kardigan yang ia kenakan, bercampur dengan aroma embun pagi.

“Dina, I love you,” bisikku saat membalas pelukannya.

Ini salah. Tapi aku akan memanfaatkan kesalahan ini sebaik mungkin, sebelum Dina kembali waras.

***

Untuk melihat daftar karya author dan jadwal update, cek di IG: @sayapsenja

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status