Home / Romansa / Dia yang Menghilang di Hari Lamaran / 4. RADIAN: Kabur ke Lombok

Share

4. RADIAN: Kabur ke Lombok

Author: Niswahikmah
last update Last Updated: 2021-07-26 12:19:47

Sembilan bulan yang lalu, aku meninggalkan Andina untuk menikah dengan seorang gadis yang belum lama kukenal. Dia adalah Rere, anak teman mamaku yang beberapa kali minta tolong padaku untuk mengantarnya ke sana-sini. Cewek itu bukan tipe idealku sama sekali. Badannya memang bagus, seperti gitar spanyol kata para lelaki, tapi sikapnya terlalu manja. Sangat anak mama. Tidak punya keahlian apa-apa selain merengek, dan tidak punya mimpi lain selain menikah dengan lelaki kaya. Jadi, sejak awal Mama memperkenalkannya padaku, aku tidak tertarik, apalagi sejak aku memiliki Andina.

Dina, panggilan akrabnya, sangat mandiri dan pekerja keras. Ia memiliki banyak impian dan selalu semangat mewujudkannya. Kalau ia tengah bercerita tentang mimpi-mimpinya, aku selalu terpukau dengan binar di mata serta tekad di dalam suaranya. Seperti ketika akhirnya Dina bisa meraih juara satu di kompetisi menyanyi nasional yang diadakan televisi, ia memang dengan gigih berusaha meraih mimpinya. Pelan tapi pasti.

Ia memiliki tujuan yang tidak kecil dan tidak sedikit, dan aku senang bisa menjadi tempatnya membagikan mimpi-mimpi. Hingga pada suatu hari, aku juga berhasil mendapat tempat untuk mimpinya. Menikah di usia 22. Kalau saja semua itu tidak tercuri dariku karena ulah konyol Rere.

Pada pagi hari saat usiaku baru saja bertambah menjadi 22, ia muncul di depan pintu rumah dengan para wartawan, mengatakan bahwa ia hamil anakku. Bukan saja heboh karena aku juga baru naik daun sebagai penyanyi dan hitku bersama Dina baru naik ke pasaran, juga karena Rere mengunggah semua itu ke platform media sosial dan memanggil para wartawan nasional—entah dengan cara apa.

Tidak bisa tes DNA sebelum anak itu lahir, pula bukti-bukti terpampang jelas di media. Foto yang tidak sesuai konteksnya. Memang, aku pernah mengatarkannya ke kelab dan terpaksa juga mengeluarkannya dari sana karena mabuk berat, tapi kami tidak melakukan apa-apa. Entah juga siapa yang mengambil foto-foto kontroversial, seolah aku tengah mengambil keuntungan darinya. Mungkin ia meletakkan kamera pengintai di kelab itu, atau ada temannya yang dengan iseng mengambil foto. Yang jelas, gosip yang terus-terusan tersebar, bahkan ia sengaja mengekspos diri di channel Youtube khusus gosip, membuat mamaku ambruk.

Begitu melihatnya kolaps di rumah sakit, aku tak tahan lagi. Dengan menikahi Rere, aku yakin semua berita akan segera reda. Aku tidak ingin menuntutnya karena Mama pasti akan sungkan pada ibu Rere yang merupakan temannya. Lagi pula, ibunya Rere terlalu baik. Beliau datang dengan air mata bercucuran, memintaku bertanggung jawab mengenai anak di dalam rahim Rere—yang entah anak siapa. Aku yakin seribu persen dia bukan anakku, tapi bagaimana kalau ingatanku salah?

Situasinya kacau dan tidak memungkinkan untukku berpikir jernih mengenai apa yang benar-benar terjadi malam itu. Jadi, di antara semua kegamangan, aku memutuskan Dina dan menahan perih melihatnya menangis di hadapanku.

“Maaf, Din, kamu pasti akan dapat yang lebih baik,” kataku saat mengakhiri semuanya. Yang sakit malam itu bukan hanya Dina, aku juga merasa hancur.

Persiapan pernikahan tidak memakan waktu lama. Hanya dalam sebulan, aku sudah menjadi suami dari gadis yang sama sekali tidak kucintai. Gadis yang menyebut namanya saja aku benci. Meski begitu, aku belajar merelakan masa lalu dan mencoba menghadapi masa depan bersama Rere. Sampai aku mendengar pembicaraannya dengan sang ibu di telepon.

“Lho, emangnya aku pernah bilang kalo anak itu anaknya Radi? Aku cuma bilang, aku bakal nikah sama Radi, gitu aja kan, Ma?”

“….”

“Ya, anaknya cowokku yang dulu itu. Dia kabur gitu aja. Kebetulan waktu itu Radi sempet nolongin aku pas pingsan di kafe, dan sejak saat itu aku suka sama dia.”

“….”

“Udah lah, Ma. Selama Mama diem aja, nggak bakal ketahuan. Mama juga udah dapet uang banyak dari Radi, mau dikembaliin? Pake apa?”

“Jadi selama ini kamu bohong?!” gertakku langsung, memotong percakapannya dengan sang ibu di telepon.

Hari itu juga, meski ia memohon-mohon dengan air mata buaya, aku bertekad melakukan tes DNA dan menceraikannya selepas kelahiran sang anak. Rere mungkin cantik, tapi ia adalah wanita penuh tipu daya.

***

Aku bertemu Dina tiga tahun lalu, di gedung tempat karantina para calon penyanyi sebuah kompetisi. Kami mengikuti kompetisi menyanyi di channel televisi yang berbeda, tapi karena gedungnya dekat, maka tempat karantinanya disatukan. Dina di lantai sepuluh, aku di lantai dua belas gedung tersebut. Meski beda dua tingkat, banyak di antara kontestan kedua kompetisi berteman satu sama lain, termasuk aku dan Dina.

Setelah tiga tahun berlalu, kecantikan Dina justru semakin terpancar. Seperti pagi ini, ketika aku mengamatinya tengah tertidur di salah satu kamar di cottage-ku. Malam tadi benar-benar penuh adrenalin. Bayangkan, calon pengantin wanita minta dibawa kabur oleh mantan kekasihnya. Itu sungguh kenekatan paling nekat yang pernah kulakukan seumur hidup. Namun, melihat wajah Dina semalam, rasanya seperti melihatnya setahun yang lalu, memohonku untuk tidak menikahi gadis licik itu. Aku sudah pernah menolak permohonannya sekali, jadi tak sanggup menolaknya sekali lagi.

Saat aku mengantarnya kembali ke rumah, dan ia mengendap-endap di pukul dua belas malam untuk mengepak baju di koper, sebenarnya aku ingin membatalkan rencana.

“Kamu yakin, Din? Tapi hari ini harusnya kamu ….”

Dina memasukkan kopernya ke bagasi, kemudian menutupnya. Ia menatapku, berkata, “Pernikahannya masih sebulan lagi. Aku butuh relaks dan mikirin semuanya. Kamu … sepertinya juga butuh hal yang sama, kan, sebelum perceraianmu?”

Mengerjap dua kali, aku akhirnya mengangguk. Ia lebih dulu masuk mobil, dan saat aku akhirnya masuk juga, ia tersenyum. Tangannya mulai mengutak-atik radio untuk menemukan saluran yang cocok. Dan, senyum itu memberiku sebuah energi untuk menentukan destinasi.

“Kamu pasti punya ide, kan, kita mau ke mana?” tanya Dina, setengah menguap, setelah menemukan saluran radio yang memperdengarkan lagu-lagu jazz Barat. Kebiasaan kecil yang mengingatkanku pada hari-hari penuh warna bersamanya dulu.

Aku menekan gas, berputar balik untuk menuju bandara. “Masih mungkin buat naik penerbangan terakhir ke Lombok.”

“Lombok?!” jeritnya kaget, melotot padaku.

Menyeringai, aku menyahut, “Kamu sendiri yang minta aku ajak pergi, kan? Chill, Dina.” Mobil meluncur mulus, dan Dina tidak bicara apa-apa lagi sampai kami mendapat tiket dan masuk ke ruang pesawat itu setelah menyimpan kopernya di bagasi pesawat.

Morning, Radi.” Suara serak itu membuyarkan kilas balik semalam di kepalaku. Mataku mendapati ia baru terbangun, mengerjap dan mengucek matanya, lalu tersenyum.

Aku yang tengah duduk di lantai sebelah kasurnya, mengusap kepalanya sekilas, balas tersenyum. “Morning, Dina.” Pikiranku berkelana, membayangkan seandainya ini hari pertama usai pesta pernikahan kami. Namun, anganku terbentur oleh realita bahwa aku justru tengah menculik seseorang yang harusnya akan dilamar hari ini.

Menghilangkan bayangan buruk, aku beranjak berdiri dan mengulurkan tangan. “Mau jalan-jalan bentar? Pemandangan pagi di sini bagus banget, lho.”

Ia memercayakan tangannya padaku, minta kutarik hingga bisa berdiri tegak. Dengan suara serak, ia bertanya, “Jam berapa?”

Aku menunjuk jam dinding, dan ia mengikuti arah telunjukku. “Jam enam pagi. Kamu nggak ngecek hape?”

“Aku matiin. Kamu tahu, kan, notifnya bisa jebol kalau aku buka sekarang.”

Nyaris saja rahangku jatuh melihat betapa santainya ia mengatakan itu. Tidakkah ia menyesali keputusannya? Saat kami baru keluar dari kamar dan menyambut sinar mentari pagi di luar cottage dengan tangan saling bertaut, aku mulai bertanya padanya.

“Kamu … nggak nyesel? Pengen balik, mungkin?”

Dina menerawang di ujung tangga cottage, menyandarkan sebelah tangan pada kayu pegangan di teras. Lalu, menggeleng sederhana. “Kamu tahu, ini yang aku bayangin akan aku lakuin di hari pernikahanmu. Tapi nggak pernah kesampean.” Perlahan, ia maju dan dadaku serasa akan meledak ketika ia memelukku. Aroma khas parfumnya masih tertinggal di kardigan yang ia kenakan, bercampur dengan aroma embun pagi.

“Dina, I love you,” bisikku saat membalas pelukannya.

Ini salah. Tapi aku akan memanfaatkan kesalahan ini sebaik mungkin, sebelum Dina kembali waras.

***

Untuk melihat daftar karya author dan jadwal update, cek di IG: @sayapsenja

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   22. ANDINA: Terungkap

    WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   21. RERE: Dia Anakmu

    “Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   20. ANDINA: Rumor Nyata

    Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   19. RIZA: Lagi-Lagi Skenario

    Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   18. RADIAN: Sisi Lain Andina

    Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   17. ANDINA: Malam Tak Terduga

    WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status