Share

2. ANDINA: Keputusan Impulsif

Ini semua tidak akan terjadi seandainya aku pulang bersama Riza tadi malam. Biasanya dia akan mengantarku sampai rumah, mencium keningku, lalu menyetir pulang ke apartemennya. Bahkan meski itu jauh, dari Jakarta ke Bogor. Jelas saja, karena aku masih tinggal dengan keluargaku di Bogor walau seluruh aktivitas keartisanku dilakukan di ibu kota. Sedangkan ia meski memiliki rumah keluarga di Jakarta Selatan, memilih lebih dekat dengan kantor manajemennya di Jakarta Pusat. Namun, semalam, ia menyuruhku pulang lebih dulu karena persiapan acara tidak juga selesai.

Aku sudah berkata, “Nggak papa, aku seneng bisa lihat persiapannya sampai selesai.”

Namun, seperti kebiasaan Riza, ia akan menggeleng dengan tatapan lembut. “Nanti kamu kecapean. Keburu ndak ada kereta juga nanti. Aku ndak yakin kuat nyetirin kalo terlalu malam. Mungkin nanti aku panggil sopir.”

Aku menghargai kekhawatiran di sorot matanya, sehingga menurut. Lagi pula, hampir delapan puluh persen persiapan beres sesuai konsep yang kuinginkan. Masih kuingat, aku sempat meneliti lagi dekorasi yang ditata oleh tim artistik di panggung tempatku akan mengadakan prosesi lamaran. Aku tersenyum pada bunga-bunga tulip buatan, mengucapkan ‘sampai jumpa besok’, meski tahu bunga-bunga itu benda mati.

Ini semua tidak akan terjadi kalau aku tidak menerima tumpangan dari Radi yang tiba-tiba muncul di pelataran stasiun tempat aku akan menaiki kereta terakhir menuju Bogor. Dia datang entah dari mana, tiba-tiba mengklakson dan membuatku spontan menoleh. Mendapati ia dengan sedan yang dulu senantiasa menemaniku melewati masa-masa kuliah, hingga mengikuti kontes menyanyi, dan terkenal sebagai pemenang nomor satu dalam kontes tersebut. Jadilah aku penyanyi yang cukup berhasil menduduki peringkat papan atas negeri ini.

“Sendiri aja? Nggak sama Riza?” tanyanya malam itu saat menurunkan kaca mobil.

Aku menggeleng. Hendak melangkah pergi, ketika ia memotong, “Bareng aku aja, yuk. Sekalian aku mau ke apartemen di Bogor.”

Kenapa ke sana? Bukankah dia tinggal dengan istrinya di Jakarta Selatan?, aku ingin mempertanyakan itu. Namun, angin dingin menerpa sisi lenganku yang hanya dibalut dress lengan pendek yang kulapisi kardigan. Meski ini dress panjang yang kukombinasi dengan celana panjang, tetap saja malam terlalu larut sehingga anginnya menembus bajuku.

“Ayo, Din. Nggak usah khawatir, kamu bisa chat Riza sekalian ngabarin. Searah juga ini, daripada naik kereta sendirian.” Tawaran itu akhirnya kuterima. Ia masih seramah yang kukenal, bahkan masih ber-aku-kamu. Itu membuatku merasa cukup aman untuk menerima tumpangannya.

Kalau saja aku tidak masuk sedan itu dan mengingat semua kenangan di dalamnya, serta mendengar ceritanya setelah kami berpisah, maka aku tidak akan memutuskan hal nekat di hampir dini hari.

“Aku nggak pernah bahagia sama dia. Ternyata dia bohong, yang dia kandung bukan anakku. Aku berencana menceraikan dia setelah ini. Hasil tes DNA juga sudah keluar. Kami sudah pisah rumah.”

Ucapannya di menit perdana kami melaju, menghentikan gerak tanganku yang hendak mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Aku tidak sanggup berkata apa-apa kala itu. Bingung. Bagaimana harus merespons cerita yang keluar dari mantan pacarmu yang menikahi perempuan lain karena dinyatakan sudah menghamili perempuan itu lebih dahulu? Aku bahkan masih ingat betapa hancur perasaanku saat ia memutuskan memilih perempuan itu atas dasar tanggung jawab, meninggalkanku yang telah diberinya harapan pelaminan.

“Sialan. Harusnya dulu aku nggak nikahin dia sebelum anak itu lahir. Bodohnya aku percaya akal bulusnya. Harusnya aku nggak ninggalin kamu,” Radian, lelaki itu, terdengar patah saat mengatakannya.

Katakanlah, aku naif dan bodoh. Karena setelah mendengar kata-katanya, lalu radio menyetel lagu yang sering kami nyanyikan bersama, You’re Still The One yang dikover band indie, aku merasa kembali ke masa itu. Bukan hanya Radi yang salah. Aku juga tidak menahannya untuk pergi. Aku tidak memberinya saran apa pun selain marah dan membencinya. Sikapku juga andil mendorongnya pergi, apalagi gosip itu sudah menyebar di berbagai platform media sosial. Radi terpojok dan tidak memiliki alibi apa-apa untuk membantah bukti foto hubungan mereka—yang entah direkayasa dengan cara apa oleh gadis itu.

Lalu sekarang, ternyata itu semua benar-benar palsu. Anak itu bukan anak Radi—berarti lelaki di sebelahku ini tak pernah benar-benar mengkhianatiku. Perasaanku tiba-tiba campur aduk.

You’re still the one I run to

The one that I belong to

You’re still the one I want for life

Sayup-sayup nada lagu itu mengingatkanku pada hari-hari pertama kami mulai menjalin hubungan. Aku menoleh dan tepat bertemu mata dengannya. Perlahan, kurasakan mobil berhenti di lampu merah, dan ia mulai bicara lagi.

“Kupikir masih ada waktu buat ngejar kamu lagi, tapi ….”

Kalimatnya terputus, seiring wajahnya mengeruh. Pasti berita-berita meriah itu penyebabnya. Seluruh jagad maya tahu bahwa besok aku akan dilamar. Untuk kali kesekian, netizen berhasil menyatukan dua hati untuk melangkah ke pelaminan. Mereka bilang si A dan si B cocok, lalu memanas-manasi, hingga akhirnya keduanya menikah. Itu pula yang akan terjadi padaku. Namun, demi apa pun, saat itu, hatiku terasa diremas melihat Radi terluka. Bersamanya cukup lama, membuatku hafal dengan gestur wajahnya, meski ia menutupi itu dengan senyum tipis.

“… kamu sudah dapat laki-laki yang lebih baik,” lanjutnya, mengalihkan tatap pada mobil-mobil yang menyeberang di perempatan yang cukup padat di depan kami.

Jantungku berdesir halus. Ia sedang ada di titik terendahnya, dan aku akan bersenang-senang besok? Aku teringat rasa sakit di hari pernikahannya yang terpaksa kuhadiri, dan pengantin wanitanya tersenyum sinis padaku saat kami berjabat tangan. Aku yakin dia wanita serigala, dan aku hanya bisa menangis sesal karena menyerahkan priaku padanya.

“Aku turut berbahagia dengan hari lamaranmu. Maaf, dulu aku ninggalin kamu. Semoga Riza bisa jadi laki-laki yang lebih setia daripada aku.” Radi lantas kembali menjalankan mobil ketika lampu hijau menyala.

Bogor masih lumayan jauh. Jarak yang cukup untukku sekadar memejamkan mata yang lelah setelah terbuka seharian untuk mengurus berbagai keperluan, tapi cerita Radi membuat kantukku lenyap. Mataku berulang kali menoleh ke arahnya, mencoba meraba perasaan lelaki itu saat ini.

You’re still the one that I love

The only one I dream of

You’re still the one I kiss goodnight

“Radi, kamu nggak mau bawa aku pergi dari sini?”

Aku mengatupkan bibir tatkala akhirnya kalimat itu meluncur dari mulut tanpa bisa kuelakkan. Otomatis Radi menginjak rem, berujung klakson keras dilayangkan padanya oleh pengemudi di belakang kami. Ia cepat-cepat menarik gas lagi, meski masih dengan wajah bingung.

“Maksudmu? Kamu kan harus pulang. Besok … lamaranmu ….” Suara Radi terdengar panik sekaligus riang, tak jelas.

“Aku ….” Bimbang, aku menautkan kedua tangan, memaksa otak untuk bicara. Namun, percuma, aku tidak sedang ingin mendengarkan logikaku sendiri. “Aku nggak bener-bener cinta sama Riza. Itu semua setting-an netizen. Aku nggak bisa bayangin nikah sama dia dan semua kisah rumah tanggaku diekspos sama mereka.” Segala kilasan tentang ramalan netizen dan komentar-komentar mereka silang sengkarut di otakku. Tiba-tiba seperti ada bisikan entah dari mana yang mengatakan, mungkin ini sudah rencana Tuhan. Untuk mengingatkanku bahwa bersama Riza bukan pilihan terbaik.

Saat tidak mendengar jawaban dari Radi sampai sekian waktu berlalu, aku memberanikan diri menyentuh punggung tangannya yang menempel di tuas persneling. Spontan ia terkejut dan menoleh. Sesaat saja, lantas ia menarik tangannya.

“Kalo kamu nggak mau, ya nggak papa. Mungkin … kita emang—”

“Kadang-kadang kita punya satu frekuensi yang sangat nekat, tapi berhasil kita wujudkan. Masih inget gimana kita dulu bisa sama-sama menang di kompetisi yang kita ikutin?” Tangan Radi kurasakan mendarat di atas rambutku, mengusapnya.

Aku mengerjap, menunggu lanjutan kata-katanya dengan dada berdegup keras.

Maybe we should give it a try, aren’t we?”

Dan, dengan anggukan impulsifku, aku meninggalkan rencana lamaran itu hanya dengan pesan pendek yang aku yakin akan menyakiti seluruh keluarga serta Riza hanya dalam sekali membacanya. Namun, pada akhirnya, ini hidupku. Aku berhak menentukan jalan yang kupilih. Sudah cukup selama ini aku mengikuti mau orang-orang di sekitarku, bahkan sampai orang yang tidak kukenal sama sekali. Kali ini, aku mengikuti hatiku. Entah akan berhasil atau tidak, setidaknya aku ingin mencoba.

***

Hai, hai, bantu like dan berlangganan cerita ini ya. Cerita akan di-update setiap hari. Untuk mengetahui cerita-cerita author lainnya dan jadwal update, boleh follow IG: @sayapsenja. Terima kasih!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
gila ini perempuan ,bukan belajar dri yg sudah2 .....ehhh mau nyebur ke Laut dri Jurang yg tinggi rupa nya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status