Beranda / Romansa / Dia yang Menghilang di Hari Lamaran / 2. ANDINA: Keputusan Impulsif

Share

2. ANDINA: Keputusan Impulsif

Penulis: Niswahikmah
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-24 09:48:42

Ini semua tidak akan terjadi seandainya aku pulang bersama Riza tadi malam. Biasanya dia akan mengantarku sampai rumah, mencium keningku, lalu menyetir pulang ke apartemennya. Bahkan meski itu jauh, dari Jakarta ke Bogor. Jelas saja, karena aku masih tinggal dengan keluargaku di Bogor walau seluruh aktivitas keartisanku dilakukan di ibu kota. Sedangkan ia meski memiliki rumah keluarga di Jakarta Selatan, memilih lebih dekat dengan kantor manajemennya di Jakarta Pusat. Namun, semalam, ia menyuruhku pulang lebih dulu karena persiapan acara tidak juga selesai.

Aku sudah berkata, “Nggak papa, aku seneng bisa lihat persiapannya sampai selesai.”

Namun, seperti kebiasaan Riza, ia akan menggeleng dengan tatapan lembut. “Nanti kamu kecapean. Keburu ndak ada kereta juga nanti. Aku ndak yakin kuat nyetirin kalo terlalu malam. Mungkin nanti aku panggil sopir.”

Aku menghargai kekhawatiran di sorot matanya, sehingga menurut. Lagi pula, hampir delapan puluh persen persiapan beres sesuai konsep yang kuinginkan. Masih kuingat, aku sempat meneliti lagi dekorasi yang ditata oleh tim artistik di panggung tempatku akan mengadakan prosesi lamaran. Aku tersenyum pada bunga-bunga tulip buatan, mengucapkan ‘sampai jumpa besok’, meski tahu bunga-bunga itu benda mati.

Ini semua tidak akan terjadi kalau aku tidak menerima tumpangan dari Radi yang tiba-tiba muncul di pelataran stasiun tempat aku akan menaiki kereta terakhir menuju Bogor. Dia datang entah dari mana, tiba-tiba mengklakson dan membuatku spontan menoleh. Mendapati ia dengan sedan yang dulu senantiasa menemaniku melewati masa-masa kuliah, hingga mengikuti kontes menyanyi, dan terkenal sebagai pemenang nomor satu dalam kontes tersebut. Jadilah aku penyanyi yang cukup berhasil menduduki peringkat papan atas negeri ini.

“Sendiri aja? Nggak sama Riza?” tanyanya malam itu saat menurunkan kaca mobil.

Aku menggeleng. Hendak melangkah pergi, ketika ia memotong, “Bareng aku aja, yuk. Sekalian aku mau ke apartemen di Bogor.”

Kenapa ke sana? Bukankah dia tinggal dengan istrinya di Jakarta Selatan?, aku ingin mempertanyakan itu. Namun, angin dingin menerpa sisi lenganku yang hanya dibalut dress lengan pendek yang kulapisi kardigan. Meski ini dress panjang yang kukombinasi dengan celana panjang, tetap saja malam terlalu larut sehingga anginnya menembus bajuku.

“Ayo, Din. Nggak usah khawatir, kamu bisa chat Riza sekalian ngabarin. Searah juga ini, daripada naik kereta sendirian.” Tawaran itu akhirnya kuterima. Ia masih seramah yang kukenal, bahkan masih ber-aku-kamu. Itu membuatku merasa cukup aman untuk menerima tumpangannya.

Kalau saja aku tidak masuk sedan itu dan mengingat semua kenangan di dalamnya, serta mendengar ceritanya setelah kami berpisah, maka aku tidak akan memutuskan hal nekat di hampir dini hari.

“Aku nggak pernah bahagia sama dia. Ternyata dia bohong, yang dia kandung bukan anakku. Aku berencana menceraikan dia setelah ini. Hasil tes DNA juga sudah keluar. Kami sudah pisah rumah.”

Ucapannya di menit perdana kami melaju, menghentikan gerak tanganku yang hendak mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Aku tidak sanggup berkata apa-apa kala itu. Bingung. Bagaimana harus merespons cerita yang keluar dari mantan pacarmu yang menikahi perempuan lain karena dinyatakan sudah menghamili perempuan itu lebih dahulu? Aku bahkan masih ingat betapa hancur perasaanku saat ia memutuskan memilih perempuan itu atas dasar tanggung jawab, meninggalkanku yang telah diberinya harapan pelaminan.

“Sialan. Harusnya dulu aku nggak nikahin dia sebelum anak itu lahir. Bodohnya aku percaya akal bulusnya. Harusnya aku nggak ninggalin kamu,” Radian, lelaki itu, terdengar patah saat mengatakannya.

Katakanlah, aku naif dan bodoh. Karena setelah mendengar kata-katanya, lalu radio menyetel lagu yang sering kami nyanyikan bersama, You’re Still The One yang dikover band indie, aku merasa kembali ke masa itu. Bukan hanya Radi yang salah. Aku juga tidak menahannya untuk pergi. Aku tidak memberinya saran apa pun selain marah dan membencinya. Sikapku juga andil mendorongnya pergi, apalagi gosip itu sudah menyebar di berbagai platform media sosial. Radi terpojok dan tidak memiliki alibi apa-apa untuk membantah bukti foto hubungan mereka—yang entah direkayasa dengan cara apa oleh gadis itu.

Lalu sekarang, ternyata itu semua benar-benar palsu. Anak itu bukan anak Radi—berarti lelaki di sebelahku ini tak pernah benar-benar mengkhianatiku. Perasaanku tiba-tiba campur aduk.

You’re still the one I run to

The one that I belong to

You’re still the one I want for life

Sayup-sayup nada lagu itu mengingatkanku pada hari-hari pertama kami mulai menjalin hubungan. Aku menoleh dan tepat bertemu mata dengannya. Perlahan, kurasakan mobil berhenti di lampu merah, dan ia mulai bicara lagi.

“Kupikir masih ada waktu buat ngejar kamu lagi, tapi ….”

Kalimatnya terputus, seiring wajahnya mengeruh. Pasti berita-berita meriah itu penyebabnya. Seluruh jagad maya tahu bahwa besok aku akan dilamar. Untuk kali kesekian, netizen berhasil menyatukan dua hati untuk melangkah ke pelaminan. Mereka bilang si A dan si B cocok, lalu memanas-manasi, hingga akhirnya keduanya menikah. Itu pula yang akan terjadi padaku. Namun, demi apa pun, saat itu, hatiku terasa diremas melihat Radi terluka. Bersamanya cukup lama, membuatku hafal dengan gestur wajahnya, meski ia menutupi itu dengan senyum tipis.

“… kamu sudah dapat laki-laki yang lebih baik,” lanjutnya, mengalihkan tatap pada mobil-mobil yang menyeberang di perempatan yang cukup padat di depan kami.

Jantungku berdesir halus. Ia sedang ada di titik terendahnya, dan aku akan bersenang-senang besok? Aku teringat rasa sakit di hari pernikahannya yang terpaksa kuhadiri, dan pengantin wanitanya tersenyum sinis padaku saat kami berjabat tangan. Aku yakin dia wanita serigala, dan aku hanya bisa menangis sesal karena menyerahkan priaku padanya.

“Aku turut berbahagia dengan hari lamaranmu. Maaf, dulu aku ninggalin kamu. Semoga Riza bisa jadi laki-laki yang lebih setia daripada aku.” Radi lantas kembali menjalankan mobil ketika lampu hijau menyala.

Bogor masih lumayan jauh. Jarak yang cukup untukku sekadar memejamkan mata yang lelah setelah terbuka seharian untuk mengurus berbagai keperluan, tapi cerita Radi membuat kantukku lenyap. Mataku berulang kali menoleh ke arahnya, mencoba meraba perasaan lelaki itu saat ini.

You’re still the one that I love

The only one I dream of

You’re still the one I kiss goodnight

“Radi, kamu nggak mau bawa aku pergi dari sini?”

Aku mengatupkan bibir tatkala akhirnya kalimat itu meluncur dari mulut tanpa bisa kuelakkan. Otomatis Radi menginjak rem, berujung klakson keras dilayangkan padanya oleh pengemudi di belakang kami. Ia cepat-cepat menarik gas lagi, meski masih dengan wajah bingung.

“Maksudmu? Kamu kan harus pulang. Besok … lamaranmu ….” Suara Radi terdengar panik sekaligus riang, tak jelas.

“Aku ….” Bimbang, aku menautkan kedua tangan, memaksa otak untuk bicara. Namun, percuma, aku tidak sedang ingin mendengarkan logikaku sendiri. “Aku nggak bener-bener cinta sama Riza. Itu semua setting-an netizen. Aku nggak bisa bayangin nikah sama dia dan semua kisah rumah tanggaku diekspos sama mereka.” Segala kilasan tentang ramalan netizen dan komentar-komentar mereka silang sengkarut di otakku. Tiba-tiba seperti ada bisikan entah dari mana yang mengatakan, mungkin ini sudah rencana Tuhan. Untuk mengingatkanku bahwa bersama Riza bukan pilihan terbaik.

Saat tidak mendengar jawaban dari Radi sampai sekian waktu berlalu, aku memberanikan diri menyentuh punggung tangannya yang menempel di tuas persneling. Spontan ia terkejut dan menoleh. Sesaat saja, lantas ia menarik tangannya.

“Kalo kamu nggak mau, ya nggak papa. Mungkin … kita emang—”

“Kadang-kadang kita punya satu frekuensi yang sangat nekat, tapi berhasil kita wujudkan. Masih inget gimana kita dulu bisa sama-sama menang di kompetisi yang kita ikutin?” Tangan Radi kurasakan mendarat di atas rambutku, mengusapnya.

Aku mengerjap, menunggu lanjutan kata-katanya dengan dada berdegup keras.

Maybe we should give it a try, aren’t we?”

Dan, dengan anggukan impulsifku, aku meninggalkan rencana lamaran itu hanya dengan pesan pendek yang aku yakin akan menyakiti seluruh keluarga serta Riza hanya dalam sekali membacanya. Namun, pada akhirnya, ini hidupku. Aku berhak menentukan jalan yang kupilih. Sudah cukup selama ini aku mengikuti mau orang-orang di sekitarku, bahkan sampai orang yang tidak kukenal sama sekali. Kali ini, aku mengikuti hatiku. Entah akan berhasil atau tidak, setidaknya aku ingin mencoba.

***

Hai, hai, bantu like dan berlangganan cerita ini ya. Cerita akan di-update setiap hari. Untuk mengetahui cerita-cerita author lainnya dan jadwal update, boleh follow IG: @sayapsenja. Terima kasih!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
gila ini perempuan ,bukan belajar dri yg sudah2 .....ehhh mau nyebur ke Laut dri Jurang yg tinggi rupa nya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   22. ANDINA: Terungkap

    WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   21. RERE: Dia Anakmu

    “Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   20. ANDINA: Rumor Nyata

    Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   19. RIZA: Lagi-Lagi Skenario

    Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   18. RADIAN: Sisi Lain Andina

    Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   17. ANDINA: Malam Tak Terduga

    WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status