Share

5. ANDINI: Penyamaran

Author: Niswahikmah
last update Last Updated: 2021-07-27 11:45:40

Baru saja aku akan buka mulut untuk menjawab omongan Riza, pintu kembali terbuka dan orang-orang yang tidak kukenal berbondong-bondong masuk. Salah satunya cewek berambut mengombak tadi, disusul wanita berhijab yang tampak dewasa, dan ada satu laki-laki yang berjalan dengan gemulai.

“Nggak ada banyak waktu lagi, Za. Harus mulai make up sekarang. Lo juga keliatan kacau gini, touch up lagi ya, di ruang sebelah.” Cewek itu mulai bicara. Riza langsung berdiri, mengangguk setuju. Ia sempat menoleh padaku, memberiku tatapan hangat, lantas berlalu menuju pintu.

“Mbak, aku ….” Lagi-lagi ucapanku terpotong dengan suara derap langkah seseorang yang masuk ruangan. Aku menoleh untuk mendapati Papa menatapku serius.

“Saya mau bicara berdua dulu dengan anak saya,” kata Papa. Matanya sempat berganti menatap orang-orang di situ yang kuduga adalah stylist dan make up artist yang sudah disewa oleh Dini dan Riza.

Cewek berambut ombak itu tersenyum maklum. “Silakan, Om. Tapi jangan lama-lama, ya. Waktu kita terbatas.” Ia menengok arlojinya sejenak, lantas kembali tersenyum tipis saat mendapati anggukan Papa.

Usai semua orang itu keluar, Papa menarik kursi dan duduk di hadapanku. Tanpa kusadari, tanganku mendingin karena gugup. Sejak perceraian Mama dan Papa, aku jarang sekali bicara dengannya. Auranya yang kaku itu menjadi salah satu alasan aku sulit mengakrabkan diri, apalagi dengan jarak terentang antara kami.

“Dini, Papa mau minta tolong sama kamu,” katanya setelah beberapa saat tampak berpikir.

Aku yang semula menunduk saja sambil memainkan jemari, mendongak meneliti parasnya. Kalau aku tidak salah, ia tampak sedikit cemas. “Kamu bisa … pura-pura jadi Dina sehari ini saja?”

Napasku seperti diambil paksa, tersekat di tenggorokan.

“Papa tahu ini agak kurang etis. Tapi orang-orang itu juga nggak tahu kalau kamu kembaran Dina. Kalian sangat mirip, nyaris nggak ada beda. Dini juga rencananya bakal pakai jilbab hari ini, jadi nggak ada masalah, kan?” Papa mengulurkan tangan, membuatku spontan menarik jemari dari pangkuan. Netranya sekilas terlihat kecewa, tapi aku tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri yang secara impulsif menjauh darinya.

“Me-memangnya Kak Dina ke mana?” tanyaku, baru menemukan suara.

Papa membuang muka saat menjawab, “Dia kabur dini hari tadi sepertinya. Kopernya nggak ada. Cuma ninggal chat ke Papa kalau mau pergi liburan dan nggak bisa nikah. Bayangkan betapa paniknya Papa. Sekarang orang suruhan Papa lagi nyari dia, tapi belum ada kabar. Sedangkan acara udah mau mulai, Dini.”

“Ta-tapi ini bukan tanggung jawabku, Pa. Kalo Kak Dina kabur, berarti dia nggak mau nikah, kan?” sahutku. Dalam hati aku takut setengah mati, tapi aku harus mengemukakan kebenaran. Mana mungkin aku menggantikan pengantin wanita seolah hari ini adalah drama teatrikal yang akan berakhir dalam durasi dua jam?

Tangan Papa menyentuh bahuku, meremasnya. “Kamu lihat berapa banyak wartawan di luar sana. Ini bukan acara biasa, Dini. Televisi nasional meliput. Satu Indonesia akan melihat. Bukan pernikahan di kampung yang bisa asal dibatalkan!” Nadanya semakin meninggi setiap kalimat.

Aku menekuri tas kecil di pangkuan, berharap dengan irasional bahwa Andina akan menelepon dan berkata ia hanya sedang terjebak macet. Ia tidak kabur dari prosesi yang sudah direncanakan berbulan-bulan sebelumnya.

Saat aku hanya sanggup bergeming, pintu kembali terbuka. Aku begitu lega menemukan sosok Mama saat menoleh. Dengan tatapan mata, aku memohon pertolongannya.

“Gimana, Din? Kamu … bisa, kan, bantuin Dina sekali ini? Mama yakin dia hanya main-main. Seperti dulu waktu dia kabur dari sekolah, pasti nanti dia akan kembali sebelum akadnya dilakukan. Kamu hanya perlu menggantikan peran sementara hari ini.” Omongan penuh persuasi Mama yang lebih lembut ketimbang milik Papa langsung menjatuhkan harapanku ke dasar bumi.

Aku menatap keduanya bergantian. Jadi, mereka yang sudah berseteru selama ini, bisa tiba-tiba kompak dan bekerja sama demi seorang Andina? Tiba-tiba aku merasa ulu hatiku nyeri.

“Setidaknya kamu kasihani Riza. Dia tadi sangat lega melihat kamu. Kamu tega matahin hati laki-laki setulus dia? Dina mungkin nggak akan dapat yang lebih baik dari dia,” sambung Mama.

Aku menoleh ke kanan, mendapati cermin meja rias tengah memantulkan sosok diriku. Biasanya, aku sama sekali tidak keberatan dengan wajah itu. Aku terbiasa dikatakan ‘mirip’ dengan sosok Andina, si penyanyi ibu kota. Terbiasa menyendiri dan menyepi, bahkan memilih pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah karena enggan disama-samakan dengan Andina. Baru hari ini, aku merasa benci dan ingin mengelupas kulit wajah, menggantinya dengan yang benar-benar berbeda dari kakak kembarku itu.

Namun, aku hanya bisa mengangguk pasrah. “Papa harus janji, temuin Kak Dina,” pintaku lirih, yang disambut anggukan Papa.

Mama tampak begitu lega, lantas mengecup keningku pelan. “Mama selalu bisa mengandalkanmu, Dini.”

Kata-kata yang biasanya membuatku bangga, kini menyakitiku dalam-dalam. Mengandalkanku saat Andina sibuk meraih impiannya? Mengandalkanku ketika Andina meninggalkan kami demi cita-citanya? Dan, sekarang, mengandalkanku saat dia kembali membuat ulah atas nama keegoisan di hari lamarannya?

Aku hanya bisa menekan kuat-kuat emosiku dan pura-pura tersenyum ketika stylist datang dan mulai merias wajahku.

Seandainya saja, aku lebih gemuk daripada Andina, atau wajahku lebih bulat darinya. Sayang sekali, kami begitu identik sejak kecil, sampai orang-orang selalu kesulitan membedakan. Kalau main bersama, sering kali teman-teman Andina mengira aku adalah dia, dan sebaliknya. Wajah kami yang oval dengan rahang cekung, mata bulat dengan bulu yang lentik, juga tulang pipi yang tinggi, benar-benar persis. Bibirku dan Andina juga sama, sama-sama tipis berbentuk hati. Namun, Tuhan tidak mungkin menciptakan makhluk-Nya benar-benar sama persis.

Jadi, aku tahu apa bedanya aku dengan Andina. Ada pada rambut. Ia dengan rambut lurus, dan aku agak ikal. Namun, ketika kini rambutku tertutup ciput berbentuk kerudung, sembari wajahku dilumuri alas bedak, aku tidak melihat beda sama sekali.

“Lo telat ke sini karena ke rumah nyokap dulu, Din?” tanya cewek berambut ombak yang masih bingung harus kusapa apa. Beruntung make up artist yang tengah menekan-nekan pipiku dengan bedak menjawab duluan.

“Mbak Diandra kayak nggak tahu psikis calon pengantin aja, deh. Emang biasanya suka kangen orang tuanya, apalagi cewek,” kata wanita yang suaranya keibuan itu. Usianya juga sepertinya jauh di atasku.

Diandra terkekeh. “Iya sih. Apalagi lo kan tinggalnya jauhan sama nyokap.”

Aku diam saja.

“Tadi Riza udah keliatan bingung banget. Mbak Lelita juga bolak-balik nelepon gue, sampe gue ngebut. Pas udah di sini, untunglah nggak lama lo dateng. Bisa pingsan mungkin si Riza kalo lo batal dateng. Dia kan udah pernah batal nikah,” cerocos Diandra. Dari caranya bicara, kuduga ia cukup cerewet.

Aku meliriknya dari cermin. “Jalanan macet, hapeku juga kehabisan baterai,” alibiku akhirnya, saat bertemu mata dengannya, dan ia terlihat menuntut jawaban. Aku juga agak syok mendengar penuturannya bahwa Riza sudah pernah batal menikah.

“Tapi seru juga sih, buat diceritain ke anak cucu lo, kalo lamaran lo hampir batal gara-gara urusan kangen nyokap.”

Diandra dan wanita yang meriasku tertawa renyah, tapi aku hanya bisa memaksakan senyum tipis. Bagaimana kalau mereka tahu kenyataannya jauh lebih mengerikan daripada itu? Bahwa calon pengantin wanita telah dipalsukan karena calon yang asli kabur sebelum hari lamaran tiba?

Proses rias itu akhirnya selesai setelah aku tidak lagi mengenali wajahku. Wanita itu memasangkan lensa kontak, membubuhkan eyeliner, dan menempelkan bulu mata palsu meski milikku sudah tebal. Ya ampun, mataku memang jadi cantik, tapi rasanya jadi berat sekali. Belum lagi bedak dua lapis ditambah blush on dan glitter di sekitar hidung dan mata. Aku persis Barbie berjalan.

“Cantik bangeeet! Ayo, buruan pakai gaunnya!” Diandra menyahut gaun yang dibawakan oleh lelaki gemulai di dekat rak.

Aku memakainya di ruang pas dibantu Diandra. Begitu keluar, aku mematung menatap pantulan diriku di cermin berdiri yang memperlihatkan fitur tubuhku dari atas sampai bawah. Mataku mengerjap-ngerjap, masih berharap semua ini hanya mimpi.

Namun, saat akhirnya jilbab selesai dipasang—dengan peniti dan jarum pentul di sana-sini—aku mulai bisa menerima bahwa ini kenyataan. Aku tidak akan menikah, tapi harus menjalani prosesi seperti akan menikah.

Diandra tersenyum, meneliti penampilanku dari atas sampai bawah. Ia mengerjap, ekspresinya berubah saat melihat kakiku. “Hmm, perasaan kemarin gaunnya sampai bawah banget ya, agak kepanjangan gitu. Kok jadi pas semata kaki, ya?” gumamnya.

Jantungku berdebar lebih cepat. Mendadak aku ingat bahwa aku lebih tinggi dua senti ketimbang Andina. Aku memutar otak, mencari alasan. Namun, sebelum menemukan jawaban, Diandra sudah kembali bicara.

“Tapi bagus begini, daripada lo jatuh soalnya kepanjangan. Lo nggak minum obat peninggi badan kan, Din?” Diandra terkekeh. Ia mengambilkan wedges yang warnanya lebih cocok dengan gaun warna hijau yang kupakai.

Usai memakainya, ia menggamit lenganku. “Ayo, pergi ke pangantin laki-laki. Dia pasti pangling banget sama lo.”

Aku berjalan perlahan, merasa seperti akan pergi ke negeri dongeng. Dalam hati hanya terus berdoa agar Andina segera ditemukan dan bisa pulang secepatnya. Aku ingin segera mengakhiri kebohongan ini.

***

Untuk melihat daftar karya author dan jadwal update-nya, cek IG: @sayapsenja

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   22. ANDINA: Terungkap

    WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   21. RERE: Dia Anakmu

    “Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   20. ANDINA: Rumor Nyata

    Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   19. RIZA: Lagi-Lagi Skenario

    Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   18. RADIAN: Sisi Lain Andina

    Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   17. ANDINA: Malam Tak Terduga

    WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status