Share

5. ANDINI: Penyamaran

Baru saja aku akan buka mulut untuk menjawab omongan Riza, pintu kembali terbuka dan orang-orang yang tidak kukenal berbondong-bondong masuk. Salah satunya cewek berambut mengombak tadi, disusul wanita berhijab yang tampak dewasa, dan ada satu laki-laki yang berjalan dengan gemulai.

“Nggak ada banyak waktu lagi, Za. Harus mulai make up sekarang. Lo juga keliatan kacau gini, touch up lagi ya, di ruang sebelah.” Cewek itu mulai bicara. Riza langsung berdiri, mengangguk setuju. Ia sempat menoleh padaku, memberiku tatapan hangat, lantas berlalu menuju pintu.

“Mbak, aku ….” Lagi-lagi ucapanku terpotong dengan suara derap langkah seseorang yang masuk ruangan. Aku menoleh untuk mendapati Papa menatapku serius.

“Saya mau bicara berdua dulu dengan anak saya,” kata Papa. Matanya sempat berganti menatap orang-orang di situ yang kuduga adalah stylist dan make up artist yang sudah disewa oleh Dini dan Riza.

Cewek berambut ombak itu tersenyum maklum. “Silakan, Om. Tapi jangan lama-lama, ya. Waktu kita terbatas.” Ia menengok arlojinya sejenak, lantas kembali tersenyum tipis saat mendapati anggukan Papa.

Usai semua orang itu keluar, Papa menarik kursi dan duduk di hadapanku. Tanpa kusadari, tanganku mendingin karena gugup. Sejak perceraian Mama dan Papa, aku jarang sekali bicara dengannya. Auranya yang kaku itu menjadi salah satu alasan aku sulit mengakrabkan diri, apalagi dengan jarak terentang antara kami.

“Dini, Papa mau minta tolong sama kamu,” katanya setelah beberapa saat tampak berpikir.

Aku yang semula menunduk saja sambil memainkan jemari, mendongak meneliti parasnya. Kalau aku tidak salah, ia tampak sedikit cemas. “Kamu bisa … pura-pura jadi Dina sehari ini saja?”

Napasku seperti diambil paksa, tersekat di tenggorokan.

“Papa tahu ini agak kurang etis. Tapi orang-orang itu juga nggak tahu kalau kamu kembaran Dina. Kalian sangat mirip, nyaris nggak ada beda. Dini juga rencananya bakal pakai jilbab hari ini, jadi nggak ada masalah, kan?” Papa mengulurkan tangan, membuatku spontan menarik jemari dari pangkuan. Netranya sekilas terlihat kecewa, tapi aku tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri yang secara impulsif menjauh darinya.

“Me-memangnya Kak Dina ke mana?” tanyaku, baru menemukan suara.

Papa membuang muka saat menjawab, “Dia kabur dini hari tadi sepertinya. Kopernya nggak ada. Cuma ninggal chat ke Papa kalau mau pergi liburan dan nggak bisa nikah. Bayangkan betapa paniknya Papa. Sekarang orang suruhan Papa lagi nyari dia, tapi belum ada kabar. Sedangkan acara udah mau mulai, Dini.”

“Ta-tapi ini bukan tanggung jawabku, Pa. Kalo Kak Dina kabur, berarti dia nggak mau nikah, kan?” sahutku. Dalam hati aku takut setengah mati, tapi aku harus mengemukakan kebenaran. Mana mungkin aku menggantikan pengantin wanita seolah hari ini adalah drama teatrikal yang akan berakhir dalam durasi dua jam?

Tangan Papa menyentuh bahuku, meremasnya. “Kamu lihat berapa banyak wartawan di luar sana. Ini bukan acara biasa, Dini. Televisi nasional meliput. Satu Indonesia akan melihat. Bukan pernikahan di kampung yang bisa asal dibatalkan!” Nadanya semakin meninggi setiap kalimat.

Aku menekuri tas kecil di pangkuan, berharap dengan irasional bahwa Andina akan menelepon dan berkata ia hanya sedang terjebak macet. Ia tidak kabur dari prosesi yang sudah direncanakan berbulan-bulan sebelumnya.

Saat aku hanya sanggup bergeming, pintu kembali terbuka. Aku begitu lega menemukan sosok Mama saat menoleh. Dengan tatapan mata, aku memohon pertolongannya.

“Gimana, Din? Kamu … bisa, kan, bantuin Dina sekali ini? Mama yakin dia hanya main-main. Seperti dulu waktu dia kabur dari sekolah, pasti nanti dia akan kembali sebelum akadnya dilakukan. Kamu hanya perlu menggantikan peran sementara hari ini.” Omongan penuh persuasi Mama yang lebih lembut ketimbang milik Papa langsung menjatuhkan harapanku ke dasar bumi.

Aku menatap keduanya bergantian. Jadi, mereka yang sudah berseteru selama ini, bisa tiba-tiba kompak dan bekerja sama demi seorang Andina? Tiba-tiba aku merasa ulu hatiku nyeri.

“Setidaknya kamu kasihani Riza. Dia tadi sangat lega melihat kamu. Kamu tega matahin hati laki-laki setulus dia? Dina mungkin nggak akan dapat yang lebih baik dari dia,” sambung Mama.

Aku menoleh ke kanan, mendapati cermin meja rias tengah memantulkan sosok diriku. Biasanya, aku sama sekali tidak keberatan dengan wajah itu. Aku terbiasa dikatakan ‘mirip’ dengan sosok Andina, si penyanyi ibu kota. Terbiasa menyendiri dan menyepi, bahkan memilih pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah karena enggan disama-samakan dengan Andina. Baru hari ini, aku merasa benci dan ingin mengelupas kulit wajah, menggantinya dengan yang benar-benar berbeda dari kakak kembarku itu.

Namun, aku hanya bisa mengangguk pasrah. “Papa harus janji, temuin Kak Dina,” pintaku lirih, yang disambut anggukan Papa.

Mama tampak begitu lega, lantas mengecup keningku pelan. “Mama selalu bisa mengandalkanmu, Dini.”

Kata-kata yang biasanya membuatku bangga, kini menyakitiku dalam-dalam. Mengandalkanku saat Andina sibuk meraih impiannya? Mengandalkanku ketika Andina meninggalkan kami demi cita-citanya? Dan, sekarang, mengandalkanku saat dia kembali membuat ulah atas nama keegoisan di hari lamarannya?

Aku hanya bisa menekan kuat-kuat emosiku dan pura-pura tersenyum ketika stylist datang dan mulai merias wajahku.

Seandainya saja, aku lebih gemuk daripada Andina, atau wajahku lebih bulat darinya. Sayang sekali, kami begitu identik sejak kecil, sampai orang-orang selalu kesulitan membedakan. Kalau main bersama, sering kali teman-teman Andina mengira aku adalah dia, dan sebaliknya. Wajah kami yang oval dengan rahang cekung, mata bulat dengan bulu yang lentik, juga tulang pipi yang tinggi, benar-benar persis. Bibirku dan Andina juga sama, sama-sama tipis berbentuk hati. Namun, Tuhan tidak mungkin menciptakan makhluk-Nya benar-benar sama persis.

Jadi, aku tahu apa bedanya aku dengan Andina. Ada pada rambut. Ia dengan rambut lurus, dan aku agak ikal. Namun, ketika kini rambutku tertutup ciput berbentuk kerudung, sembari wajahku dilumuri alas bedak, aku tidak melihat beda sama sekali.

“Lo telat ke sini karena ke rumah nyokap dulu, Din?” tanya cewek berambut ombak yang masih bingung harus kusapa apa. Beruntung make up artist yang tengah menekan-nekan pipiku dengan bedak menjawab duluan.

“Mbak Diandra kayak nggak tahu psikis calon pengantin aja, deh. Emang biasanya suka kangen orang tuanya, apalagi cewek,” kata wanita yang suaranya keibuan itu. Usianya juga sepertinya jauh di atasku.

Diandra terkekeh. “Iya sih. Apalagi lo kan tinggalnya jauhan sama nyokap.”

Aku diam saja.

“Tadi Riza udah keliatan bingung banget. Mbak Lelita juga bolak-balik nelepon gue, sampe gue ngebut. Pas udah di sini, untunglah nggak lama lo dateng. Bisa pingsan mungkin si Riza kalo lo batal dateng. Dia kan udah pernah batal nikah,” cerocos Diandra. Dari caranya bicara, kuduga ia cukup cerewet.

Aku meliriknya dari cermin. “Jalanan macet, hapeku juga kehabisan baterai,” alibiku akhirnya, saat bertemu mata dengannya, dan ia terlihat menuntut jawaban. Aku juga agak syok mendengar penuturannya bahwa Riza sudah pernah batal menikah.

“Tapi seru juga sih, buat diceritain ke anak cucu lo, kalo lamaran lo hampir batal gara-gara urusan kangen nyokap.”

Diandra dan wanita yang meriasku tertawa renyah, tapi aku hanya bisa memaksakan senyum tipis. Bagaimana kalau mereka tahu kenyataannya jauh lebih mengerikan daripada itu? Bahwa calon pengantin wanita telah dipalsukan karena calon yang asli kabur sebelum hari lamaran tiba?

Proses rias itu akhirnya selesai setelah aku tidak lagi mengenali wajahku. Wanita itu memasangkan lensa kontak, membubuhkan eyeliner, dan menempelkan bulu mata palsu meski milikku sudah tebal. Ya ampun, mataku memang jadi cantik, tapi rasanya jadi berat sekali. Belum lagi bedak dua lapis ditambah blush on dan glitter di sekitar hidung dan mata. Aku persis Barbie berjalan.

“Cantik bangeeet! Ayo, buruan pakai gaunnya!” Diandra menyahut gaun yang dibawakan oleh lelaki gemulai di dekat rak.

Aku memakainya di ruang pas dibantu Diandra. Begitu keluar, aku mematung menatap pantulan diriku di cermin berdiri yang memperlihatkan fitur tubuhku dari atas sampai bawah. Mataku mengerjap-ngerjap, masih berharap semua ini hanya mimpi.

Namun, saat akhirnya jilbab selesai dipasang—dengan peniti dan jarum pentul di sana-sini—aku mulai bisa menerima bahwa ini kenyataan. Aku tidak akan menikah, tapi harus menjalani prosesi seperti akan menikah.

Diandra tersenyum, meneliti penampilanku dari atas sampai bawah. Ia mengerjap, ekspresinya berubah saat melihat kakiku. “Hmm, perasaan kemarin gaunnya sampai bawah banget ya, agak kepanjangan gitu. Kok jadi pas semata kaki, ya?” gumamnya.

Jantungku berdebar lebih cepat. Mendadak aku ingat bahwa aku lebih tinggi dua senti ketimbang Andina. Aku memutar otak, mencari alasan. Namun, sebelum menemukan jawaban, Diandra sudah kembali bicara.

“Tapi bagus begini, daripada lo jatuh soalnya kepanjangan. Lo nggak minum obat peninggi badan kan, Din?” Diandra terkekeh. Ia mengambilkan wedges yang warnanya lebih cocok dengan gaun warna hijau yang kupakai.

Usai memakainya, ia menggamit lenganku. “Ayo, pergi ke pangantin laki-laki. Dia pasti pangling banget sama lo.”

Aku berjalan perlahan, merasa seperti akan pergi ke negeri dongeng. Dalam hati hanya terus berdoa agar Andina segera ditemukan dan bisa pulang secepatnya. Aku ingin segera mengakhiri kebohongan ini.

***

Untuk melihat daftar karya author dan jadwal update-nya, cek IG: @sayapsenja

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status