Share

8. ANDINI: Memilih Jujur

Author: Niswahikmah
last update Last Updated: 2021-08-01 19:50:34

“Ada bocoran mengenai tanggal pernikahan?”

Riza di sebelahku menggeleng. “Itu masih kami rahasiakan. Yang pasti, tidak lama lagi.”

Para wartawan semakin semangat mengajukan pertanyaan. Sementara aku juga semakin tidak nyaman. Khawatir penyamaran ini ketahuan karena aku kesulitan mengatur mimik muka. Akhirnya, dengan terpaksa, tanganku memberikan kode ke Riza, meremas lengan bawahnya yang harus kugandeng sedari tadi.

Ia menoleh padaku dengan alis menukik, dan aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, berharap ia paham maksudku—sekalipun aku bukanlah calon istrinya. Tak lama, ia kembali fokus ke kamera dan … syukurlah, ia memahami maksudku.

“Maaf ya Mas, Mbak, kita ngobrol-ngobrol lagi nanti. Saya dan Dina capek banget, perlu istirahat,” ujarnya luwes. Nada suaranya lembut, tapi mendominasi dan mengontrol. Ada kekuatan khas di dalamnya, yang membuat sebagian besar wartawan itu memutuskan mundur. Hanya beberapa yang masih mencecar pertanyaan dan semakin ganas menjepret foto saat Riza meminta celah untuk beranjak masuk mobil. “Terima kasih, semuanya. Sampai jumpa lagi, ya.”

Tangannya menjangkau bahuku, mendekap erat agar aku tidak terseret di tengah kerumunan itu karena beberapa wartawan tetap mendesak maju, bahkan menarik-narik bajuku. Untuk sekali ini saja, aku membiarkan Riza mengambil alih sampai kami tiba dengan selamat di dalam mobilnya.

Prosesi selesai dengan lancar. Penyamaranku cukup sempurna. Tidak ada yang tampak curiga, bahkan Diandra yang adalah sahabat baik Dina. Setelah aku mencoba mencari tahu di internet, cewek itu ternyata runner up kompetisi menyanyi yang dulu diikuti Dina dan membuat namanya melejit.

Di luar rencana, aku harus pulang dengan mobilnya Riza karena usai acara masih harus meladeni pertanyaan-pertanyaan wartawan kepo itu. Aku sudah memohon pada Papa agar memberi alasan ke Riza agar aku bisa tetap pulang bersama Mama, tapi Papa menggeleng tegas. “Kamu pulang ke rumah Papa, dianter Riza. Nanti kita obrolin lagi di rumah.”

Kini, saat mobil sudah mulai berjalan, aku merasa begitu lelah. Tiba-tiba aku disergap penyesalan karena hadir di acara lamaran ini. Harusnya aku mangkir saja. Toh, aku tidak harus datang. Aku ingat betapa ogah-ogahan Dina saat menyampaikan undangan padaku. Tentu saja, selama ini ia menyembunyikan keberadaanku, sama sekali tidak mengungkitnya di depan media. Seolah-olah ia malu memiliki saudara kembar. Bahkan aku juga tidak dikenalkan ke Riza. Lihatlah, betapa Riza tidak curiga mengenai diriku yang bukan calon istrinya.

“Jangan ngeliatin aku terus, Say, nanti kepalaku bolong,” tiba-tiba lelaki itu berkata, menoleh dengan segaris senyum di bibir. Sahutannya membuatku buru-buru mengalihkan pandangan ke depan. Telingaku memanas karena malu.

“Kenapa, sih? Kamu diem banget hari ini, lho. Padahal biasanya nggak bisa diem.” Aku merasakan ia masih menatapku lekat.

“Nggak papa, Za. Aku capek aja, ternyata acaranya serame itu.”

“Kan, kamu yang mau ambil semua sponsor itu. Aku udah nawarin kalo kamu mau nikah secara sederhana aja, tapi kamu bilang ini pesta sekali seumur hidup.”

Khas Andina sekali. Ia memiliki sejuta mimpi yang dengan sungguh-sungguh ingin ia wujudkan. Seolah kalau satu saja mimpinya tak terwujud, ia akan mati dengan arwah penasaran. Aku masih ingat, Andina kecil senang sekali merengek minta ini dan itu. Apa yang temannya miliki, ia ingin punya. Sepertinya tidak terlintas di pikirannya mau Papa atau Mama bisa memberikannya atau tidak, pokoknya apa yang ia mau harus segera dituruti.

“Kalo kamu nggak nyaman… nanti kita nikahnya nggak usah disiarin langsung juga nggak papa. Mumpung belum taken kontrak,” lanjut Riza, membuatku menoleh seketika.

“Eng-enggak, bukan gitu, Za,” sahutku lekas. Ini bukan pernikahanku, mana bisa aku mengubah rancangannya? “Aku suka kok, cuma capek dikit. Yang penting sama kamu, capeknya juga bakal ilang.”

Duh … aku ngomong apa, sih? Kenapa jadi terdengar seperti novel yang ditulis rekanku? Namun, kalau dipikir-pikir, kejadian hari ini yang kualami sudah mirip dengan novel.

Riza terkekeh. Sesaat, aku terpaku menatapnya. Ia dua kali lipat lebih tampan saat bibirnya melengkung. Matanya sedikit menyipit, dan garis rahangnya jadi terlihat jelas. Kenapa bisa Andina meninggalkan lelaki ini?

“Kamu mau makan dulu, mungkin? Kalo capek, pasti laper, kan?”

Sebenarnya aku lapar. Terpikir makanan kesukaanku, nasi padang di pinggir jalan. Kulirik Riza, tak mungkin kan lelaki necis ini mau diajak makan di warteg pinggir jalan? Pasti selera Andina selama ini kafe dan restoran berkelas. Jadi aku memutuskan menggeleng.

“Kayaknya aku udah ditunggu Papa di rumah. Ada yang mau diobrolin.”

Riza manggut-manggut, tapi rautnya tampak agak kecewa. “Padahal aku mau ngajak kamu makan di warung padang kesukaan aku, lho. Biasanya kan kita makannya di restoran Jepang, Italia, Cina … kalo diajak ke yang lokal selalu nanti, nanti. Kali aja sekarang pengen.”

Aku menahan senyum. Bisa-bisanya pikiran kami sinkron. Hendak menepis lagi, tiba-tiba perutku meraung dengan tak tahu dirinya. Aku memejamkan mata, sungguh-sungguh malu. Bisa kudengar tawa Riza dari sebelah.

“Tuh kan, perutmu aja nggak bisa bohong. Mau ya, Say?” Ia mengerling.

“Oke ….” Aku berusaha menyamarkan suaraku agar tak terdengar terlalu antusias, meski sebenarnya dalam hati aku bersorak. Akhirnya makan juga!

***

Ini agak unik, sih. Kami baru selesai menyelenggarakan lamaran yang tak main-main megahnya. Make up-ku bahkan belum sepenuhnya luntur meski sudah dibasuh concealer saking tebalnya. Tapi kami dengan santai menepikan mobil di restoran nasi padang sederhana, duduk bersisian dan memilih menu.

Dengan cepat aku memesan empal daging dan perkedel, tak lupa minta kuah merahnya disiram dua kali lebih banyak.

“Kamu pinter juga milih menu. Perkedel di sini terkenal enak, makanya aku pesen dua,” kata Riza sambil mengaduk-aduk es jeruk yang sudah terlebih dulu datang.

Aku nyengir. “Yah… kebetulan aja mungkin.” Sebenarnya aku sudah tahu perkedel di restoran padang selalu enak.

Kami segera makan setelah dua piring datang ke meja. Di sela makan, Riza tiba-tiba bertanya, “Say, tadi pas di akhir sesi, kamu sebenernya mau bilang apa, sih? Katanya mau ngomong sesuatu, tapi kepotong kameramen mau ngerekam kita.”

Otomatis aku tersedak. Panas membakar tenggorokanku dari bumbu rendang. Terkejut, Riza langsung menyodorkan minumanku.

“Pelan-pelan makannya.”

Usai batuk-batuk beberapa kali dan menetralkan rasa panas dengan minum, aku bisa kembali makan dengan tenang. “Aku abisin dulu, ya?”

Riza mengangguk.

“Eh … Za, nambah satu lagi perkedelnya boleh nggak?” Pertanyaanku otomatis membuat Riza kembali mendongak, tersenyum.

“Gimana? Enak, kan?” Ia memanggil pelayan, meminta porsi sayur dan perkedel tambahan. Sepeninggal pelayan itu, ia kembali menatapku dengan binar bahagia. “Ternyata selera kita samaan. Jodoh gitu kali, ya.”

Aku susah payah menelan nasi. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera bilang yang sesungguhnya. Laki-laki ini terlalu baik untuk terus dibohongi. Lagi pula, misiku untuk menyelamatkan acara hari ini sudah selesai. Tidak ada kamera yang membuntuti kami lagi, kan?

Jadi, selepas makan, aku menguatkan hati untuk jujur. Apalagi setelah memeriksa ponsel dan tidak juga mendapati pesan balasan dari Andina. Gadis itu benar-benar gila. Bisa-bisanya kabur dan mematikan ponsel. Namun, diam-diam aku cemas dalam hati. Ia kan artis, bagaimana kalau bukannya kabur, ia justru tengah diculik? Atau jangan-jangan ada yang tidak menyukai pernikahannya dengan Riza dan membawa kabur Andina?

“Kak Riza ….” Aku memulai pembicaraan saat kami sudah masuk mobil dan ia baru menjalankannya sejenak.

Riza menoleh dengan kening mengernyit. Namun, beberapa saat kemudian, ia kembali tersenyum. “Oh, maksud kamu bicarain ini? Mau cari panggilan yang cocok buat aku?”

Aku menggeleng. “Bukan itu, Kak.” Sedari awal aku tidak nyaman menyapanya dengan nama. Aku heran kenapa Andina menyapa tanpa embel-embel pada lelaki yang lebih tua tiga tahun darinya. Harusnya ia tambahkan panggilan apa lah, supaya lebih sopan.

“Panggil begitu juga ndak papa, Say. Manis kedengerannya,” sahut Riza sambil tetap fokus mengemudi.

Aku menghela napas frustrasi. “Kak, aku … aku ini bukan Andina.”

Nyaris saja aku terlempar ke depan karena Riza otomatis menekan rem. Ia kembali menjalankan mobil, meski dengan kening mengernyit. “Maksudmu gimana?”

“Kak, coba lihat aku, deh. Aku ini bukan Andina. Kamu ngerasa kan, aku beda?”

Riza menoleh padaku sekilas, lalu ia perlahan menepikan mobil ketika menemukan tepian jalan yang tidak ada rambu dilarang parkir. Matanya menatapku lekat-lekat setelahnya. “Selain kamu yang jadi irit bicara dan nggak mau aku pegang, kayaknya nggak ada yang beda. Aku paham kok kalo kamu kecapean.”

“Tapi aku emang bukan Andina, Kak,” sahutku. “Aku kembarannya. Andini.” Tanganku merogoh tas, mengeluarkan dompet dan menunjukkan KTP-ku. Saat benda itu beralih ke tangan Riza, ketenangan di matanya langsung pecah. Aku menangkap tangannya yang agak bergetar, disusul wajah yang memucat.

“Maaf, Kak, aku harusnya nggak bohong, tapi aku terpaksa ….”

Riza mengembalikan KTP-ku, lalu memutuskan men-starter mobil dan jalan lagi.

“Aku baru aja datang pas dapat kabar Andina kemungkinan nggak bakal muncul. Papa nyuruh aku gantiin dia supaya acaranya nggak rusak. Kak Riza tau kan, lamaran ini ditayangin di teve dan live streaming juga.” Aku mempertautkan kedua belah tangan, saling meremas. Pandanganku tak berani menatapnya lagi.

“Jadi dari tadi aku kelihatan kayak orang bodoh ya di depanmu?”

Sahutan darinya membuatku tak mampu berkata-kata lagi. Dari awal aku sudah tahu, kebohongan hanya memperburuk keadaan. Dalam hati aku terus membodoh-bodohkan diri sendiri.

***

Untuk melihat update dan daftar cerita author, follow IG: @sayapsenja

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   22. ANDINA: Terungkap

    WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   21. RERE: Dia Anakmu

    “Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   20. ANDINA: Rumor Nyata

    Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   19. RIZA: Lagi-Lagi Skenario

    Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   18. RADIAN: Sisi Lain Andina

    Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   17. ANDINA: Malam Tak Terduga

    WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status