Share

8. ANDINI: Memilih Jujur

“Ada bocoran mengenai tanggal pernikahan?”

Riza di sebelahku menggeleng. “Itu masih kami rahasiakan. Yang pasti, tidak lama lagi.”

Para wartawan semakin semangat mengajukan pertanyaan. Sementara aku juga semakin tidak nyaman. Khawatir penyamaran ini ketahuan karena aku kesulitan mengatur mimik muka. Akhirnya, dengan terpaksa, tanganku memberikan kode ke Riza, meremas lengan bawahnya yang harus kugandeng sedari tadi.

Ia menoleh padaku dengan alis menukik, dan aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, berharap ia paham maksudku—sekalipun aku bukanlah calon istrinya. Tak lama, ia kembali fokus ke kamera dan … syukurlah, ia memahami maksudku.

“Maaf ya Mas, Mbak, kita ngobrol-ngobrol lagi nanti. Saya dan Dina capek banget, perlu istirahat,” ujarnya luwes. Nada suaranya lembut, tapi mendominasi dan mengontrol. Ada kekuatan khas di dalamnya, yang membuat sebagian besar wartawan itu memutuskan mundur. Hanya beberapa yang masih mencecar pertanyaan dan semakin ganas menjepret foto saat Riza meminta celah untuk beranjak masuk mobil. “Terima kasih, semuanya. Sampai jumpa lagi, ya.”

Tangannya menjangkau bahuku, mendekap erat agar aku tidak terseret di tengah kerumunan itu karena beberapa wartawan tetap mendesak maju, bahkan menarik-narik bajuku. Untuk sekali ini saja, aku membiarkan Riza mengambil alih sampai kami tiba dengan selamat di dalam mobilnya.

Prosesi selesai dengan lancar. Penyamaranku cukup sempurna. Tidak ada yang tampak curiga, bahkan Diandra yang adalah sahabat baik Dina. Setelah aku mencoba mencari tahu di internet, cewek itu ternyata runner up kompetisi menyanyi yang dulu diikuti Dina dan membuat namanya melejit.

Di luar rencana, aku harus pulang dengan mobilnya Riza karena usai acara masih harus meladeni pertanyaan-pertanyaan wartawan kepo itu. Aku sudah memohon pada Papa agar memberi alasan ke Riza agar aku bisa tetap pulang bersama Mama, tapi Papa menggeleng tegas. “Kamu pulang ke rumah Papa, dianter Riza. Nanti kita obrolin lagi di rumah.”

Kini, saat mobil sudah mulai berjalan, aku merasa begitu lelah. Tiba-tiba aku disergap penyesalan karena hadir di acara lamaran ini. Harusnya aku mangkir saja. Toh, aku tidak harus datang. Aku ingat betapa ogah-ogahan Dina saat menyampaikan undangan padaku. Tentu saja, selama ini ia menyembunyikan keberadaanku, sama sekali tidak mengungkitnya di depan media. Seolah-olah ia malu memiliki saudara kembar. Bahkan aku juga tidak dikenalkan ke Riza. Lihatlah, betapa Riza tidak curiga mengenai diriku yang bukan calon istrinya.

“Jangan ngeliatin aku terus, Say, nanti kepalaku bolong,” tiba-tiba lelaki itu berkata, menoleh dengan segaris senyum di bibir. Sahutannya membuatku buru-buru mengalihkan pandangan ke depan. Telingaku memanas karena malu.

“Kenapa, sih? Kamu diem banget hari ini, lho. Padahal biasanya nggak bisa diem.” Aku merasakan ia masih menatapku lekat.

“Nggak papa, Za. Aku capek aja, ternyata acaranya serame itu.”

“Kan, kamu yang mau ambil semua sponsor itu. Aku udah nawarin kalo kamu mau nikah secara sederhana aja, tapi kamu bilang ini pesta sekali seumur hidup.”

Khas Andina sekali. Ia memiliki sejuta mimpi yang dengan sungguh-sungguh ingin ia wujudkan. Seolah kalau satu saja mimpinya tak terwujud, ia akan mati dengan arwah penasaran. Aku masih ingat, Andina kecil senang sekali merengek minta ini dan itu. Apa yang temannya miliki, ia ingin punya. Sepertinya tidak terlintas di pikirannya mau Papa atau Mama bisa memberikannya atau tidak, pokoknya apa yang ia mau harus segera dituruti.

“Kalo kamu nggak nyaman… nanti kita nikahnya nggak usah disiarin langsung juga nggak papa. Mumpung belum taken kontrak,” lanjut Riza, membuatku menoleh seketika.

“Eng-enggak, bukan gitu, Za,” sahutku lekas. Ini bukan pernikahanku, mana bisa aku mengubah rancangannya? “Aku suka kok, cuma capek dikit. Yang penting sama kamu, capeknya juga bakal ilang.”

Duh … aku ngomong apa, sih? Kenapa jadi terdengar seperti novel yang ditulis rekanku? Namun, kalau dipikir-pikir, kejadian hari ini yang kualami sudah mirip dengan novel.

Riza terkekeh. Sesaat, aku terpaku menatapnya. Ia dua kali lipat lebih tampan saat bibirnya melengkung. Matanya sedikit menyipit, dan garis rahangnya jadi terlihat jelas. Kenapa bisa Andina meninggalkan lelaki ini?

“Kamu mau makan dulu, mungkin? Kalo capek, pasti laper, kan?”

Sebenarnya aku lapar. Terpikir makanan kesukaanku, nasi padang di pinggir jalan. Kulirik Riza, tak mungkin kan lelaki necis ini mau diajak makan di warteg pinggir jalan? Pasti selera Andina selama ini kafe dan restoran berkelas. Jadi aku memutuskan menggeleng.

“Kayaknya aku udah ditunggu Papa di rumah. Ada yang mau diobrolin.”

Riza manggut-manggut, tapi rautnya tampak agak kecewa. “Padahal aku mau ngajak kamu makan di warung padang kesukaan aku, lho. Biasanya kan kita makannya di restoran Jepang, Italia, Cina … kalo diajak ke yang lokal selalu nanti, nanti. Kali aja sekarang pengen.”

Aku menahan senyum. Bisa-bisanya pikiran kami sinkron. Hendak menepis lagi, tiba-tiba perutku meraung dengan tak tahu dirinya. Aku memejamkan mata, sungguh-sungguh malu. Bisa kudengar tawa Riza dari sebelah.

“Tuh kan, perutmu aja nggak bisa bohong. Mau ya, Say?” Ia mengerling.

“Oke ….” Aku berusaha menyamarkan suaraku agar tak terdengar terlalu antusias, meski sebenarnya dalam hati aku bersorak. Akhirnya makan juga!

***

Ini agak unik, sih. Kami baru selesai menyelenggarakan lamaran yang tak main-main megahnya. Make up-ku bahkan belum sepenuhnya luntur meski sudah dibasuh concealer saking tebalnya. Tapi kami dengan santai menepikan mobil di restoran nasi padang sederhana, duduk bersisian dan memilih menu.

Dengan cepat aku memesan empal daging dan perkedel, tak lupa minta kuah merahnya disiram dua kali lebih banyak.

“Kamu pinter juga milih menu. Perkedel di sini terkenal enak, makanya aku pesen dua,” kata Riza sambil mengaduk-aduk es jeruk yang sudah terlebih dulu datang.

Aku nyengir. “Yah… kebetulan aja mungkin.” Sebenarnya aku sudah tahu perkedel di restoran padang selalu enak.

Kami segera makan setelah dua piring datang ke meja. Di sela makan, Riza tiba-tiba bertanya, “Say, tadi pas di akhir sesi, kamu sebenernya mau bilang apa, sih? Katanya mau ngomong sesuatu, tapi kepotong kameramen mau ngerekam kita.”

Otomatis aku tersedak. Panas membakar tenggorokanku dari bumbu rendang. Terkejut, Riza langsung menyodorkan minumanku.

“Pelan-pelan makannya.”

Usai batuk-batuk beberapa kali dan menetralkan rasa panas dengan minum, aku bisa kembali makan dengan tenang. “Aku abisin dulu, ya?”

Riza mengangguk.

“Eh … Za, nambah satu lagi perkedelnya boleh nggak?” Pertanyaanku otomatis membuat Riza kembali mendongak, tersenyum.

“Gimana? Enak, kan?” Ia memanggil pelayan, meminta porsi sayur dan perkedel tambahan. Sepeninggal pelayan itu, ia kembali menatapku dengan binar bahagia. “Ternyata selera kita samaan. Jodoh gitu kali, ya.”

Aku susah payah menelan nasi. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera bilang yang sesungguhnya. Laki-laki ini terlalu baik untuk terus dibohongi. Lagi pula, misiku untuk menyelamatkan acara hari ini sudah selesai. Tidak ada kamera yang membuntuti kami lagi, kan?

Jadi, selepas makan, aku menguatkan hati untuk jujur. Apalagi setelah memeriksa ponsel dan tidak juga mendapati pesan balasan dari Andina. Gadis itu benar-benar gila. Bisa-bisanya kabur dan mematikan ponsel. Namun, diam-diam aku cemas dalam hati. Ia kan artis, bagaimana kalau bukannya kabur, ia justru tengah diculik? Atau jangan-jangan ada yang tidak menyukai pernikahannya dengan Riza dan membawa kabur Andina?

“Kak Riza ….” Aku memulai pembicaraan saat kami sudah masuk mobil dan ia baru menjalankannya sejenak.

Riza menoleh dengan kening mengernyit. Namun, beberapa saat kemudian, ia kembali tersenyum. “Oh, maksud kamu bicarain ini? Mau cari panggilan yang cocok buat aku?”

Aku menggeleng. “Bukan itu, Kak.” Sedari awal aku tidak nyaman menyapanya dengan nama. Aku heran kenapa Andina menyapa tanpa embel-embel pada lelaki yang lebih tua tiga tahun darinya. Harusnya ia tambahkan panggilan apa lah, supaya lebih sopan.

“Panggil begitu juga ndak papa, Say. Manis kedengerannya,” sahut Riza sambil tetap fokus mengemudi.

Aku menghela napas frustrasi. “Kak, aku … aku ini bukan Andina.”

Nyaris saja aku terlempar ke depan karena Riza otomatis menekan rem. Ia kembali menjalankan mobil, meski dengan kening mengernyit. “Maksudmu gimana?”

“Kak, coba lihat aku, deh. Aku ini bukan Andina. Kamu ngerasa kan, aku beda?”

Riza menoleh padaku sekilas, lalu ia perlahan menepikan mobil ketika menemukan tepian jalan yang tidak ada rambu dilarang parkir. Matanya menatapku lekat-lekat setelahnya. “Selain kamu yang jadi irit bicara dan nggak mau aku pegang, kayaknya nggak ada yang beda. Aku paham kok kalo kamu kecapean.”

“Tapi aku emang bukan Andina, Kak,” sahutku. “Aku kembarannya. Andini.” Tanganku merogoh tas, mengeluarkan dompet dan menunjukkan KTP-ku. Saat benda itu beralih ke tangan Riza, ketenangan di matanya langsung pecah. Aku menangkap tangannya yang agak bergetar, disusul wajah yang memucat.

“Maaf, Kak, aku harusnya nggak bohong, tapi aku terpaksa ….”

Riza mengembalikan KTP-ku, lalu memutuskan men-starter mobil dan jalan lagi.

“Aku baru aja datang pas dapat kabar Andina kemungkinan nggak bakal muncul. Papa nyuruh aku gantiin dia supaya acaranya nggak rusak. Kak Riza tau kan, lamaran ini ditayangin di teve dan live streaming juga.” Aku mempertautkan kedua belah tangan, saling meremas. Pandanganku tak berani menatapnya lagi.

“Jadi dari tadi aku kelihatan kayak orang bodoh ya di depanmu?”

Sahutan darinya membuatku tak mampu berkata-kata lagi. Dari awal aku sudah tahu, kebohongan hanya memperburuk keadaan. Dalam hati aku terus membodoh-bodohkan diri sendiri.

***

Untuk melihat update dan daftar cerita author, follow IG: @sayapsenja

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status