Ini keputusan paling nekatku seumur hidup. Mungkin kalian akan bilang aku bodoh, menyia-nyiakan sebuah pernikahan yang sudah ada di ambang mata hanya demi mengejar ekstase semu, tapi … ingat, kalian bukan aku, dan tak pernah tahu rasanya jadi aku.
Sebulan sebelum hari lamaran, persiapan pernikahan mencapai lima puluh persen. Aku tidak berhenti mendapatkan teror melalui media sosial, mulai dari orang yang kenal sampai yang tak pernah bertemu sama sekali.
Riza itu playboy, ngapain mau sama dia?
Yakin mau nikah sama Riza? Dulunya tukang bully di sekolah
Ah, panjat sosial aja sih? Nikah demi uang?
Nggak bakal langgeng! Gue sumpahin cerai!
Isi direct message di I*******m dan Twitter-ku seperti itu. Setiap aku ingin mengunggah sesuatu, jika terpencet ke kotak masuk, amarahku langsung mendidih. Terakhir, aku membanting ponsel sampai pecah karena membaca komentar kasar saat sedang datang bulan.
Sekarang, di pinggir pantai dekat cottage milik Radian, nyaris tidak ada orang sama sekali. Sudah sekitar delapan jam sejak aku terakhir kali memeriksa ponsel. Usai mengirimkan Riza pesan singkat, aku mematikan ponsel, sebelum menikmati penerbangan singkat kelas eksekutif dengan Radian di kursi sebelah.
Aku menerawang ke langit yang membiru, menatap kelepak burung menghiasi angkasa. Kapan terakhir kali aku menghirup udara sebebas ini? Ombak berkejaran di jemari kakiku, sementara tanganku hangat dalam genggaman Radi.
“Mau naik ayunan itu, Din?” Pertanyaan Radi membuyarkan lamunanku. Pandanganku yang sebelumnya mengira-ngira di mana ujung air laut yang warnanya menyatu dengan langit, langsung teralihkan pada senyum lembut berlesung pipi itu.
Aku mengangguk, mengayun-ayunkan tangannya pelan seperti anak kecil. Saat tiba di sana, aku duduk di ayunan bertali karet itu, ia berdiri di belakangku dan mendorongku hingga melayang pelan. Meski aku dan dia seumuran, aku selalu merasa berhak bermanja dengannya dari dulu. Ia sosok yang hangat, tidak keberatan dengan sikapku yang kekanak-kanakan, tidak juga berusaha mengatur bagaimana aku harus bertingkah.
“Belakangan ini … job sepi, Rad?” tanyaku sembari menikmati semilir angin membelai wajah.
“Justru lagi banjir sejak itu anak lahir,” sahut Radi, “tapi pada aku tolak.”
Aku manggut-manggut, menengok sekilas ke atas untuk menemukan wajahnya. “Kenapa? Bukannya bagus banyak iklan masuk?”
Ia menghentikan gerak ayunan itu, lalu melangkah ke hadapanku dan berjongkok. Tangannya menyentuh lututku. “Bener kata ibuku dulu, uang nggak bisa membeli kebahagiaan. Aku nggak pernah bahagia selama pernikahan. Yang ada nyesel tiap hari. Dan … waktu lihat berita kamu mulai deket sama Riza … aku lebih nyesel lagi.”
Mata kami beradu, dan aku menemukan riak-riak di dalamnya. Sesuatu seakan telah lama terpendam, dan kini meluap-luap di sana. Tiba-tiba aku teringat binar di mata Riza saat memintaku secara privat di hadapan Papa. Saat itu Papa terlihat semringah. Bagaimana ekspresinya kini, jika mengetahui aku memilih kondisi yang tidak masuk akal, hanya demi bersama lelaki yang dulu meninggalkanku?
“Kamu inget nggak, Rad, aku punya mimpi … nikah di usia 22?” Tanganku memainkan rambutnya yang berantakan dipermainkan angin pantai.
Radian mengangguk antusias. “Kamu ngulang itu lebih dari lima puluh kali kayaknya. Aku udah hafal, dan aku diem-diem udah nyiapin semuanya.”
Gerakan tanganku terhenti. Mataku berusaha mencari kesungguhan dari rautnya. Bibirnya tersenyum, memberiku keyakinan. “Beneran. Aku udah beli cincin buat ngelamar kamu. Waktu itu aku juga beli apartemen di Bogor demi bisa nyamperin ibu kamu tanpa bolak-balik.”
“Jadi … apartemen itu?” gumamku.
Ia mengelus pipiku. “Kamu kira cuma karena kebetulan aku perlu view yang bagus buat syuting video musik? Aku punya rencana, Din.”
Dadaku menghangat mendengarnya. Aku baru tersadar bahwa cintaku pada Radi tidak pernah hilang. Hanya surut sejenak karena kekecewaanku padanya dan akibat kehadiran Riza yang memahami lukaku. Cinta itu membuncah lagi sekarang. Ingatan bahwa hari ini adalah hari lamaranku menepi jauh ketika ia menceritakan itu semua.
“Seandainya Rere nggak pernah ada, aku pasti udah ada di posisi Riza hari ini,” ujarnya.
Aku menggeleng. “Posisimu nggak pernah kegeser. Riza hanya menggantikan sebentar, tapi kamu nggak pernah pergi dari sini.” Kutepuk dadaku.
“But … will you leave him?”
Pertanyaan itu membuatku tersekat. Itu terlalu cepat untuk diputuskan. Jadi, aku memilih mengalihkan pandang. Kuharap Radi paham, bagi wanita, cinta saja tidak pernah cukup.
***
Malam itu, usai makan malam di resto dekat cottage, yang sebenarnya sempat kutolak karena khawatir kami tertangkap mata orang yang mengenali kami—dan untungnya kecemasanku tidak terbukti—aku duduk di sebelah Radian di sofa depan televisi, sementara tangannya memegang papan dada dan bolpoin.
“Rencana nginep di sini berapa hari?” Radi menunjuk check list pertama di kertas yang terjepit di atas papan dada tersebut.
Aku mengeratkan jaket di tubuh, sembari menghitung-hitung dalam hati jumlah baju yang kubawa. “Seminggu, mungkin.”
Ia tersenyum. “Setuju.” Tangannya cekatan menuliskan angka tujuh di sebelah tulisan ‘rencana waktu menginap’. “Kalo gitu, kita mulai bikin to do list. Kamu mau pergi ke mana aja?”
Menghela napas, aku memilih mengistirahatkan kepala di bahunya. Malam merambat hening, diselingi suara jangkrik bernyanyi. Belum pernah duniaku sedamai ini sebelumnya.
“Emang harus pergi, ya? Kayaknya agak berisiko, Rad,” sahutku.
Radi merangkul bahuku. “Bener juga, sih. Tapi bosen kalo cuma di sini aja, kan? Kita nyamar aja, pasti nggak bakal ketahuan. Kamu inget, nggak, webseries yang pernah kita mainin?”
Aku spontan tertawa, mengerti arah pemikirannya. Film seri pendek itu menceritakan tentang seorang artis yang ingin hidup jadi orang biasa, kemudian memutuskan menyamar menjadi orang jelek. Saking jeleknya, tidak ada yang mengenalinya. Suatu hari di tempat pelarian, ia bertemu cewek sederhana yang tulus, dan ternyata cewek itu juga sedang menyamar—sesungguhnya ia penerus takhta keluarga konglomerat, tapi tengah menyeleksi jodoh terbaik yang tidak memandang dari hartanya.
Klise, tapi drama itu merekatkan hubungan kami, hingga aku dan Radi tahu latar belakang masing-masing lebih dalam dan memutuskan jadian.
“Kamu mau pake tompel, gitu? Kumis palsu?” Aku masih terkekeh membayangkan penampilan Radi di webseries itu.
Tanpa kuduga, ia mengangguk. “Kalo kamu … pake masker dan wig kayaknya nggak bakal keliatan, kok.”
“Seriusan ini?”
“Iya, masa bohong?” Radi menuliskan beberapa tempat yang menjadi ikon Lombok. Pulau kecil ini adalah surganya Indonesia. Pantai dan lautnya belum banyak terjamah oleh turis, sehingga masih banyak yang asri. Tak seperti Bali yang sudah terkena pencemaran sana-sini.
“Kamu mau coba snorkeling, paralayang, atau apa?” Radi memberikan opsi di kertas putih itu, menuliskan beberapa destinasi yang ia ketahui seperti tebing, pantai, sampai… vila hantu? Aku mengernyit membaca nama-nama asing itu.
“Kamu ini orang Jawa Barat, tapi kok ngerti Lombok banget kayaknya?”
Ia menoleh, mengacak rambutku dengan sebelah tangan. “Lupa ya? Aku kan dulu punya kakek di sini, tapi udah meninggal. Makanya ada cottage ini, warisannya beliau. Aku rajin ke sini dari kecil, mana mungkin nggak tau medannya?”
“Ya nggak tau, lah, kan ini Lombok, bukan Medan,” sahutku asal, memicu tawa Radi.
Akhirnya, setelah berdiskusi beberapa hal, kantuk mulai menyerangku. Radi membiarkanku lebih dulu ke kamar. Ia tidur di kamar depan, dan aku di belakang. Ada pembantu yang datang setiap pagi untuk membereskan cottage dan pulang saat sore tiba. Ada juga satpam yang berjaga di pos depan. Kurasa cukup aman, lagi pula di sini dilengkapi CCTV.
Tanpa memeriksa ponsel, aku tertidur lelap malam itu. Paginya, aku terbangun karena bunyi alarm yang cukup keras. Kusadari itu berasal dari ponselku. Tapi bukankah aku belum menyalakannya? Tanganku meraba-raba meja di sebelah kasur tempatku tidur, dan menemukan asal suara.
Benar, ponselku. Layar depan masih terisi wallpaper fotoku dan Riza. Aku mematikan alarm, kemudian mendapati beberapa notifikasi muncul di layar. Salah satunya terbaca olehku dan membuat saraf-saraf mata yang tadinya tertelan kantuk langsung membelalak lebar.
Berita dari G****e yang muncul di slot notifikasi itu benar-benar aneh.
Lamaran Berjalan Lancar, Riza & Andina Berencana Bulan Madu di Lombok
Bagaimana bisa lamaran itu berjalan? Bukankah aku meninggalkan semuanya dan kabur ke sini? Saat jempolku menekan layar untuk membaca berita itu, jantungku berdebar dua kali lebih cepat. Aku sangat mengenali wajah yang terpampang di layar, berdiri dengan senyum anggun di sebelah Riza, memamerkan cincin. Pastinya, dia bukan aku.
***
Untuk melihat daftar karya author dan jadwal update, silakan menuju IG: @sayapsenja
WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”
“Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d
Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag
Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek
Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k