Share

9. RADIAN: Mempertahankan Jodoh

WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca.

***

“Din, aku udah masakin omelet nih. Ayo bangun,” aku melangkah masuk ke kamar Andina setelah mengetuk dua kali. Kebetulan pintunya tidak ditutup rapat, sehingga aku yakin ia sedang tidak berganti baju atau melakukan sesuatu yang privat.

Saat aku masuk, jantungku mencelus melihatnya tengah merapikan barang-barang yang semula tertata di meja. Ia bahkan mengeluarkan kembali pakaian yang sudah dikapstok di lemari.

“Din … kamu mau ke mana?”

Otomatis ia menoleh. Sekilas kulihat bahunya berjengit mendengar suaraku, seolah ia tengah mengendap-endap akan kabur dari sini. Matanya menatapku sejenak, kemudian kembali mengemasi kosmetik yang berjajar di meja rias.

“Aku harus balik ke Jakarta, Rad. Ini nggak bener. Aku nggak harusnya pergi.”

Aku mendelik. Secepat ini ia berubah pikiran? Aku sudah tahu, kemarin hanyalah tindakan impulsif Andina yang jarang ia lakukan. Pernah sekali ia seperti itu ketika menemaniku ke Mahameru, dan ia menyesal karena lelah luar biasa meski cuma pergi ke Ranu Kumbolo, tidak sampai puncaknya. Selain itu, keputusannya selalu didasarkan pada rencana yang sudah disusun, atau paling tidak ia telah memiliki tekad kuat untuk melaksanakannya meski tidak terstruktur aplikasinya.

Langkah kakiku mendekat, sementara tanganku bergerak menyentuh bahunya, meminta ia berbalik. Gerakan tangan Dina berhenti, sementara pandangannya tampak penuh tanda tanya.

“Ada apa? Kenapa tiba-tiba?” tanyaku, berpindah menggenggam tangannya.

Perlahan ia menegakkan tubuh, berhadapan denganku. Ia melepas tanganku, kemudian mengambil ponsel yang tergeletak di dekat bantal. Semalam aku sengaja menyalakan ponsel itu dan memasangkan alarm untuknya agar tidak terlambat bangun. Kami harus berangkat pagi jika ingin mendapatkan view yang cukup bagus di salah satu pulau di Lombok Timur.

Namun, tak kusangka tindakanku itu justru menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Dina menggeser-geser layar, lalu menyerahkan ponsel itu padaku. Di sana, aku melihat fotonya bersama Riza dengan headline yang mengejutkan.

“Lho, bukannya kamu di sini?” gumamku spontan.

Dina duduk di pinggiran ranjangnya, menghela napas keras. “Justru itu. Aku harus beresin ini. Semuanya salahku karena kabur, jadi kembaranku gantiin aku di acara lamaran kemarin.”

Nyaris aku menjatuhkan ponsel. Mataku memastikan bahwa Andina tidak sedang bercanda. “Maksudnya … kamu punya kembaran?”

“Iya,” sahut Dina lirih. Ia menoleh, melihatku dengan pandangan sendu. “Kita nggak bisa nerusin ini, Rad. Aku harus balik. Aku bakal pesen tiket paling awal hari ini.” Ia nyaris menarik ponselnya dari tanganku, tapi aku lebih dulu mengeratkan genggaman dan menjauhkan benda itu dari jangkauannya.

“Nggak, nggak bisa. Kamu nggak bisa pergi gitu aja.” Aku agak terkejut dengan nada suaraku yang memaksa, tapi ekspresi Dina lebih menarik perhatianku. Ia mengerutkan kening, berjinjit-jinjit untuk meraih ponsel yang tengah kuangkat tinggi-tinggi.

“Rad, kamu ngapain, sih? Ke siniin hapeku! Aku mau pesen tiket!”

Secara refleks, aku melempar ponsel itu ke arah jendela. Saking kencangnya, sampai terdengar suara berdebum yang cukup keras. Aku berharap layar ponsel itu sudah hancur berkeping-keping dan tidak bisa dinyalakan lagi saat akhirnya jatuh ke lantai marmer.

“Radi! Kamu yang ngapain?!” jerit Dina histeris. Ia bergegas memungut ponsel, dan aku bisa melihat layarnya yang retak. Ia menekan tombol di sisi ponsel beberapa kali, tapi benda itu tetap gelap. Aku menyeringai puas.

Aku maju mendekat, dan saat berada di hadapannya langsung, Dina memundurkan tubuhnya. Aku tetap nekat mendekat, hingga ia jatuh di atas kasur. Aku tersenyum tipis.

“Ka-kamu mau apa? Jangan mendekat!” serunya, beringsut mundur hingga ke ujung kepala ranjang.

Semakin dia menjauh, semakin aku ingin mendekat. Seperti ada suatu hasrat yang meledak di dalam dadaku, ingin memilikinya lagi. Ingin menyentuhnya dan mengambil semua yang ada di dirinya hanya untukku. Perasaan itu bercampur dengan rasa kesal karena ia berencana meninggalkanku. Ia tidak boleh pergi lagi. Ia milikku, tidak untuk diambil alih orang lain, apalagi ketika aku belum berusaha apa-apa untuk mengubah pikirannya.

Namun, melihatnya tampak ketakutan dan mencengkeram sprei dengan tangannya yang ringkih, aku berpindah ke sisi ranjang dan mengelus rambutnya lembut. “Kamu jangan ke mana-mana, dan aku akan tetep baik. Kalo kamu coba-coba kabur, aku bisa seret kamu balik.” Wajahku mendekat, dan dengan lembut aku mengecup keningnya. “Ini kan pilihanmu. Kamu nggak bisa mundur lagi kalo udah milih, Sayang,” bisikku di telinganya, menyisipkan helai rambut ke sisi wajahnya.

“Rad, jangan gini, please. You’re so scary,” sahutnya, lirih sekali, tapi karena kami sangat dekat, aku tetap dengar.

“Nggak akan begini kalo kamu nggak mulai duluan, Din,” kataku. Aku mundur selangkah. “Ayo makan, terus kita jalan-jalan. Aku udah nyiapin penyamaran buat kamu.”

Setelahnya, aku beranjak ke pintu, mengambil kunci yang menggantung di dalam, dan menguncinya dari luar. Dalam beberapa detik, aku mendengar gedoran disertai teriakan memanggil namaku.

Aku menatap pintu itu dengan gamang. Aku terlalu mencintainya. Susah untuk melepaskan apa yang baru saja kugenggam. Kalau aku menahannya sedikit lebih lama, mungkin saja ia akan kembali ke pelukanku, dan takdir akan berubah, bukan?

***

Mengenai kembaran, sebelumnya aku sama sekali tidak tahu soal itu. Sepuluh menit menunggu Dina siap-siap, aku sudah mencari-cari berita mengenai itu, tapi tidak menemukan apa-apa. Bukankah seharusnya mencolok karena wajah mereka sama? Atau memang Dina sengaja menyembunyikan kembarannya di pelosok agar tidak ketahuan orang? Tapi apa motifnya?

Aku terus berspekulasi, mengira-ngira alasan Dina sampai tidak memberitahuku hal ini. Aku sudah pernah mengunjungi rumah ibunya dulu, dan kurasa ia tinggal sendiri. Aku kembali membaca berita yang baru diunggah kemarin sore oleh awak berita, serta menonton live streaming lamaran Dina yang dikira berjalan lancar, padahal aku sudah membawanya sejauh ini kabur dari Jakarta.

Gadis di layar itu benar-benar persis dengan Dina. Kalau saja Dina berjilbab, pasti rupanya akan sama persis dengan foto-foto itu. Aku pernah punya teman yang kembar dan bentuk wajahnya berbeda, satunya lebih oval, sedangkan satunya bulat. Namun, jika ini memang kembaran Dina, bentuk wajah, mata, hidung, dan bibir mereka terlalu mirip. Susah sekali membedakan keduanya. Jelas saja semua awak media tertipu dan tidak tahu kenyataan bahwa orang yang mereka potret bukan Dina.

Brak!

“Radi! Bukain pintunya!”

Suara gedoran pintu kamar membuatku terlonjak. Sejak tadi sudah hening, mungkin Dina menurut dan sudah bersiap-siap seperti yang kuminta. Kuletakkan ponsel di meja makan dan berjalan ke sana untuk membukakan pintu. Kudapati Dina sudah memakai celana jin dan kemeja kasual. Rambutnya diikat rapi setelah dikepang jadi satu. Aku tersenyum melihatnya.

“Cantik.” Aku tidak bisa menahan diri untuk maju dan mengecup keningnya, meski ia langsung mundur setelahnya.

“Rad, kamu sayang kan, sama aku?” tanyanya mendadak, setelah menunduk sambil memainkan ujung kemejanya.

Aku menatapnya lekat. “Kamu tahu itu, Din. Nggak sehari pun aku pindah ke lain hati.”

“Kalo kamu sayang, kasih aku waktu tiga hari. Dan kalau pendirianku nggak berubah, izinin aku balik,” sahutnya kemudian. Matanya tampak berkaca-kaca, dan seketika hasrat liar yang membakar otakku tadi meleleh hilang. Aku tidak pernah membuatnya menangis selama kami bersama, jadi kenapa aku melakukan itu semua tadi?

Aku menghela napas, lalu mengangguk. “Selama itu, aku nggak mau kita bahas apa pun tentang Riza atau kembaranmu itu. Just the two of us, please?” pintaku.

Ia terlihat lebih lega kini, ikut mengangguk. “Just the two of us.”

Perlahan aku maju lagi, dan saat ia tidak melangkah menjauh, tanganku melingkar di sekeliling tubuhnya, memberinya pelukan erat. “Maaf. Aku lepas kendali tadi. I’m so sorry.”

Aku pasti bisa memenangkan hatinya. Dan, aku semakin yakin saat ia membalas pelukanku, membenamkan wajahnya di dadaku. Aroma sabun mandinya tercium di hidungku. Segar dan harum.

“Jangan gitu lagi. Aku takut,” bisiknya, merasuk ke hatiku. Kubalas kata-katanya dengan usapan hangat di punggungnya.

“Hapeku rusak, servisin.” Ia merajuk setelah pelukan kami terlepas. Aku tersenyum tipis.

“Siap, Tuan Putri.”

Saat senyumannya terulas di bibir, aku merasa cukup lega. Tiga hari saja waktunya. Tapi selama tidak ada orang lain yang berjalan di tengah-tengah kami, aku yakin semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai harapanku. Sementara Dina berjalan ke meja makan dan mulai mengomentari omeletku, aku membuka ponsel lagi. Ada notifikasi terbaru dari nomor yang sudah kuhafal, tapi tidak pernah kusimpan di buku kontakku.

0856-7654-XXXX

Honey, kamu ke mana? Kamu seriusan nggak pulang?

Aku minta maaf buat semuanya. Kita benahin dari awal ya?

Kamu nggak percaya ini anak kamu?

Tes DNA udah keluar.

Ini anakmu, aku yang salah duga.

Setelah hanya membacanya, aku menghapus pesan itu. Tidak ada guna juga. Ia tidak akan tahu aku sudah membaca karena mode centang biru sudah kumatikan. Wanita itu benar-benar tidak ada habisnya. Mataku melirik Dina yang tengah makan pelan-pelan. Aku yakin, sejak dulu, dialah jodohku sesungguhnya.

***

Untuk daftar cerita yang ditulis author dan jadwal update, cek IG: @sayapsenja

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status