Share

Part 3

Suasana sore yang sangat mendukung untuk digunakan jalan-jalan, dengan semburat senja yang nampaknya malu-malu untuk menunjukkan sinarnya.

Seperti yang dilakukan oleh gadis dengan rambut hitam panjang yang dikucir kuda yang masih mengenakan seragam sekolah anak SMA itu, Eriska. Ya, Eriska saat ini tengah melangkahkan kaki di sepanjang trotoar jalan kompleks perumahan elit, lebih tepatnya, dia baru saja selesai mengajar les anak-anak SD sepulangnya dari sekolah.

Jika kalian berpikir bahwa dia sudah tidak mempunyai orang tua? Maka jawabannya, salah, dan jika kalian juga berpikir bahwa setiap bulan dia tidak mendapat kiriman uang? Jawabannya tidak, setiap bulan dia mendapatkan kiriman uang. Namun,  tidak pernah sekalipun dirinya menggunakan uang kiriman itu. Dia lebih memilih bekerja di sebuah toko buku yang tidak jauh dari tempat kost-nya setiap akhir pekan dan menjadi pengajar les anak-anak SD setiap hari jum'at setelah pulang sekolah untuk memenuhi kebutuhannya, sedang untuk biaya sekolah, untungnya dia mendapat beasiswa penuh, melihat berapa banyak piala yang sudah dia sumbangkan untuk sekolahnya itu.

Eriska berjalan gontai di sepanjang trotoar, hari yang sangat melelahkan menurutnya. Baik fisik maupun mentalnya. Tak dapat dipungkiri, bahwa saat ini dia merasa begitu lemas, bahkan jika diperhatikan lebih dalam lagi, maka dapat dilihat bahwa kini wajahnya sedikit pucat.

Dia terus berjalan kaki, tanpa memedulikan wajah yang sedikit pucat itu. Biar bagaimanapun, dia harus sampai di tempat kostnya. Sekalipun itu jalan kaki, karena disekitar kompleks yang saat ini disinggahinya itu memang tak sembarang kendaraan lewat. Jika ingin menemukan angkutan umum, maka dia harus berjalan sampai perempatan yang memiliki jarak sekitar tiga kilometer dari gerbang utama kompleks perumahan elit tersebut. Namun, mengingat sekarang sudah pukul tujuh belas lewat lima belas menit, mungkin dia memang harus berjalan kaki untuk sampai di tempat kostnya.

Sepanjang perjalanan, matanya menangkap keindahan langit sore dengan semburat senja yang cantik itu. Apalagi dia adalah seorang gadis yang sangat menyukai senja. Ingin rasanya dia berhenti sejenak untuk menikmati keindahan itu di taman yang saat ini tengah dia lewati. Namun apa daya, dia harus segera kembali karena hari sudah semakin gelap. Tak ingin semakin terpesona dengan keindahan yang saat ini di depan matanya, dia segera melangkah dengan cepat, tetapi itu tak berlangsung lama saat matanya justru terpaku pada seorang gadis yang sepertinya berumur tujuh tahun berdiri tak jauh di seberang jalan dengan air mata yang menetes.

Eriska perlahan berjalan menghampiri gadis cilik yang berdiri tak jauh darinya kini.

"Kenapa, Dek?" tanya Eriska pada gadis cilik yang dihampirinya itu.

"Ku--hiks, kucing, Nana," jawab gadis cilik itu yang diketahui bernama Nana yang mengarahkan telunjuknya ke jalan. Eriska mengikuti arah tunjuk tangan mungil dari gadis cilik yang ada di sampingnya itu. Di sana, tepatnya di tengah jalan terdapat seekor hewan berkaki empat dengan bulu putih yang nampak menggemaskan tengah tiduran di tengah jalan.

"Kakak, ambilin, ya?" tanya Eriska pada gadis cilik bernama Nana itu, yang dibales dengan anggukan kepala.

Eriska melangkah untuk menghampiri seekor kucing yang ada di tengah jalan itu. Namun, baru beberapa langkah, telinganya mendengar suara motor yang sepertinya sedang saling mengejar satu sama lain.

Brum!

Brum!

Brum!

Sontak saja, dia menolehkan kepalanya untuk mencari sumber suara, dan benar saja, dari arah kanannya, terdapat dua motor sport yang sepertinya sedang adu balap. Beberapa saat, Eriska terpaku di tempatnya, hingga suara tangis dari Nana yang ada di belakangnya menyadarkannya.

Eriska menajamkan penglihatannya pada dua motor sport yang sedang adu balap itu dan pada seekor kucing yang masih santai tiduran di tengah jalan tanpa tahu bahaya sedang mengintainya.

Melangkah pasti, dengan keberanian yang cukup besar, Eriska mulai berjalan menghampiri kucing yang berbulu putih itu. Secepat mungkin berlari ke tengah jalan untuk menyelamatkan hewan berkaki empat tersebut sebelum apa yang tak diinginkan terjadi.

Tiin!

Tiiiin!

Bruk!

Namun terlambat, semuanya telah terjadi.

***

Eriska berjalan menghampiri Nana yang masih berdiri dengan tangis yang sudah sedikit mereda di pinggir jalan. Menyerahkan hewan berkaki empat yang sangat menggemaskan itu pada sang pemiliknya dan disambut dengan pekikan ceria yang juga tak kalah menggemaskan.

"Makasih," ucap Nana dengan senyum yang manis.

Eriska menganggukkan kepalanya dan mengusap rambut Nana lembut sebelum meninggalkan gadis cilik itu untuk menghampiri seseorang yang tergeletak tak jauh dari tempatnya dan Nana.

"Sorry," ucap Eriska pada seseorang yang tak sengaja terjatuh dari motornya dan karenanya juga.

Ya, dua orang yang tadi sedang melakukan adu balap liar di jalanan itu salah satunya kecelakaan. Walaupun tidak parah, tetapi tetap saja, yang namanya kecelakaan, pasti akan ada konsekuensinya.

Lebih tepatnya, seseorang dengan motor sport warna hitam yang mengalami kecelakaan yang menyebabkan si pengguna terjatuh dari atas motor dan tertimpa motor yang ditumpanginya, karena menghindari Eriska yang pada saat itu telah tiba di tengah jalan dan bersiap untuk kembali membawa kucing yang ingin diselamatkannya ke pemiliknya yang menunggu di trotoar. Namun, karena si pengendara motor yang menaikkan kecepatannya, dan Eriska yang memang tak memikirkan itu sebelumnya, jadi insiden kecelakaan tersebut tak bisa terelakkan.

"Sorry," ucap Eriska lagi, karena tak kunjung mendapat respons dari seseorang yang ingin ditolongnya itu, kecuali tatapan lekat dari balik helm yang orang itu pakai, dan hal itu justru membuat Eriska merasa risih.

"Ck, lo, niat minta maaf nggak sih, Er?" gerutu seseorang dari balik helm itu.

Eriska menaikkan sebelah alisnya. Dia tidak mengenali siapa sosok di balik helm itu, tetapi jika di dengar dari suaranya, sosok itu merupakan seorang cowok yang bisa dia perkiraan seumuran dengannya atau malah lebih? Entahlah, Eriska tak mau memikirkannya, tetapi yang jelas, dia merasa familiar dengan suaranya.

"Ada gitu, minta maaf tapi muka datar," gerutu sosok tersebut sambil membuka helmnya.

Eriska tersentak kaget untuk beberapa detik saat mengetahui siapa sosok di balik helm itu. Pantas saja dirinya merasa familiar dengan suara yang beberapa saat lalu dia dengar. Ternyata seseorang yang ada di hadapannya itu adalah teman sekelasnya. Walaupun mereka tak begitu akrab, seenggaknya sebagai teman sekelas, mereka pernah bertegur sapa beberapa kali dan hal itupun berhubungan dengan pelajaran.

"Lo, tadi ngapain di tengah jalan, sih?" dumel cowok di hadapan Eriska.

Eriska masih diam di tempatnya. Mengabaikan segala gerutuan dari sosok cowok yang saat ini mendudukkan tubuhnya di rerumputan taman.

"Er, oy?! Lo, nggak kesambet, 'kan?" tanya cowok itu mulai panik karena Eriska hanya diam saja, bahkan bergerak pun tidak.

Eriska terhenyak mendengar teriakkan cowok yang duduk di rerumputan itu, dia alihkan pandangannya untuk melihat cowok itu, dan dengan kebetulan cowok itu memang sedang menatapnya.

Baik Eriska maupun cowok tersebut terdiam beberapa detik saat mata mereka tak sengaja bertemu, dan sosok yang saat ini terduduk di rerumputan taman itu, dapat melihat ada tatapan sayu dan mengkilap dari bola mata Eriska yang menatapnya. Ada sedikit rasa penasaran yang menghampiri pikirannya, karena yang dia tahu, Eriska adalah sosok cewek yang tak pernah menunjukkan ekspresi apapun selain cuek dan dingin.

"Gue, nggak papa. Lo, nggak perlu ngerasa bersalah," ucap pemuda tersebut tak tega dengan tatapan mata Eriska yang tak pernah diperlihatkan pada siapapun.

"Lo, tunggu sini," ucap Eriska setelah tersadar dari apa yang baru saja dia lakukan. Dia segera berlalu pergi menuju apotik dan juga ingin menutupi jika dirinya tadi tak sengaja meneteskan air mata.

Cowok yang memilih untuk duduk di rerumputan itu hanya menatap penuh tanda tanya pada punggung Eriska yang perlahan mulai menghilang dari pandangannya. Terutama tentang air mata yang berusaha gadis itu sembunyikan. Ya, dia sempat melihatnya sebelum Eriska segera berlalu pergi.

***

Selang beberapa menit, Eriska kembali menghampiri cowok yang tak lain adalah teman sekelasnya itu dengan membawa sebuah kantong plastik di tangannya. Dia perlahan ikut mendudukkan dirinya di samping cowok yang saat tengah tiduran di rerumputan itu.

Eriska ragu untuk berbicara. Entah ada apa dengan dirinya. Dia sudah tak lagi mengalami ini sejak enam tahun yang lalu. Namun entah bagaimana, kini dirinya kembali merasakan perasaan itu lagi.

Keraguan Eriska untuk berbicara itu ternyata tertangkap oleh mata elang sosok yang tiduran di sampingnya.

"Woy!" teriak cowok di samping Eriska yang kini telah mengubah posisinya menjadi duduk menghadap gadis itu.

Eriska menghela napas panjang, berusaha menghilangkan semua kecamuk dalam kepalanya, dan apa yang dilakukannya itu tak lepas dari penglihatan sosok di sampingnya.

"Gue, obatin," ucap Eriska berusaha menghilangkan segala keraguan yang menghampirinya.

"Gue bisa sendiri," ucap cowok yang kini menghadapnya itu.

Lama, mereka berdua terdiam dengan kegiatan masing-masing. Si cowok yang sedang fokus mengobati luka di tangannya karena memang dia tak memakai jaket tadi saat adu balap, dan Eriska yang sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Lo, kena---"

"Gue duluan," ucap Eriska memotong ucapan cowok di sampingnya itu.

Dia segera berdiri dan berlalu pergi. Tak ingin berlama-lama lagi. Menyisakan tatapan yang sulit diartikan dari sosok cowok yang ditinggalkannya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status