“Key, bersihkan ini! Kami harus syuting sekarang,” titah Neal kemudian menjauh sambil menarik lengan Melodi tanpa menunggu jawabanku.
Aku menatap punggung mereka yang menjauh. Melodi melingkarkan tangannya ke lengan Neal. Entah apa dibicarakan, terlihat Melodi tertawa sangat lebar, bahkan ia menepuk-nepuk bahu Neal.
Mungkinkah itu hanya gimmick? Gimik atau tidak, aku lihat Melodi sengaja menjatuhkan lunch box itu. Aku sudah hafal sifat Melodi. Dia juga salah satu teman kelas yang juga menyukai Neal. Dibanding aku, Neal lebih membelanya. Kadang aku bertanya-tanya, yang jadi kekasih Neal itu aku atau Melodi?
Aku menurunkan pandangan ke bawah. Hasil perjuanganku beberapa jam di dapur, dilakukan dengan sepenuh hati kini berserakan tanpa arti di lantai.
Aku meletakkan kedua lututku ke lantai. Terbayang Neal yang menahan Melodi supaya tidak berjongkok, kemudian menyuruhku melakukannya. Denyut nyeri di hati kini lebih sakit dibanding melihat makanan buatanku menjadi sia-sia.
Neal tak menghargai usahaku, bahkan lebih dari itu ia menyuruhku membersihkan kekacauan yang dibuat oleh kekasih gimiknya.
“Benarkah ini hanya gimik?” gumamku sambil memungut makanan kemudian memasukkan kembali ke dalam lunch box untuk dibuang.
Hari ini Melodi menjatuhkan makanan buatanku, besok entah apalagi. Dengan status lemahku sulit diharapkan adanya perlindungan dari Neal. Lebih mudah bermimpi kaya dalam semalam dibanding mengharap pembelaan dari Neal.
Aku mengambil ponsel dan mengetik pesan.
[Besok datanglah ke KUA. Jika tidak, hubungan kita berakhir.]
Aku langsung memasukkan ke dalam tas karena rasanya tak mungkin Neal membuka pesanku. Saat ini dia pasti sedang sibuk.
Namun, ternyata dugaanku salah. Ponsel berbunyi pertanda masuk sebuah pesan.
[Jangan membuat lelucon]
Aku langsung balas.
[Aku serius.]
Aku menatap layar ponsel, tetapi tak ada lagi balasan meski dia centang biru sudah muncul.
***
Tiba waktunya. Aku duduk di depan kantor KUA. Hanya duduk di atas motor. Nyatanya aku memang belum mendaftar di kantor ini. Aku hanya ingin tahu apa keputusan Neal.
Beberapa orang lewat menatapku heran. Mungkin karena mereka melihatku yang tak beranjak dari motor meski di bawah terik matahari.
Aku kembali membuka ponsel. Di layarnya memperlihatkan angka 12 : 30. Suara azan terdengar di mana-mana.
Aku membuka pesanku kemarin. Masih tak ada balasan. Aku beralih membuka medsos ikon kotak berwarna ungu muda kombinasi pink. Langsung muncul di berandaku, hasil fancam yang memperlihatkan Neal sedang makan siang dengan Melodi.
Inilah yang aku takutkan. Neal tidak memilihku. Aku takut sendiri. Aku tidak mempunyai keluarga lengkap dan teman. Karena itulah, delapan tahun aku mengabdikan diri pada Neal karena takut sendiri. Aku bertahan, meski sifatnya lebih sering menyebalkan dibanding menyenangkan.
Iqamat kini tersebar di salah satu arah. Aku memutuskan menghidupkan motorku dan meninggalkan halaman itu meski hatiku masih saja tertinggal.
Aku mampir di salah satu masjid guna menunaikan salat Zuhur. Setelah Zuhur kembali membuka ponsel dengan masih berharap ada pesan dari Neal. Nyatanya nihil.
***
Sampai di rumah aku masih saja membuka ponsel dengan harapan yang selalu sama. Namun, hasilnya juga masih sama.
Aku menghempaskan diri dan menatap langit-langit kamar kosku. Kamar sempit kini terasa menghimpit. Sebagai kreator dari akun yang memiliki jutaan follower, mempunyai pemasukan endorse dan afiliasi cukup tinggi, sungguh aku tergolong sangat miskin. Semua ini karena mendukung karir Neal, tapi akhirnya apa yang kudapatkan?
Hatiku terasa berdenyut nyeri. Andai ada tawaran pilihan kematian, aku akan memilih opsi ini.
Kecewa pengorbananku tiada berarti. Di sisi lain aku takut sendiri.
“Sampai kapan kamu seperti ini, Key?” gumamku. “Hidup sendiri belum tentu buruk. Bekerjalah, dan nikmati hasil jerih payahmu.”
Aku mengalihkan perhatian dengan membuka aplikasi bergambar melody background hitam. Wajah Jake Enhypen langsung muncul dengan senyum cerianya. Tahu saja ini aplikasi kalau hatiku sedang bersedih.
Aku terpaku menatap Jake. Beberapa tahun terakhir aku mulai jenuh dengan sikap Neal dan selalu melarikan diri kepada Jake.
Aku suka Jake karena dia bebas mengekspresikan perasaannya. Dia yang tersenyum atau merengut, suka atau tidak, ngambek atau marah. Sangat bertolak belakang denganku. Dia cerdas, aku lelet.
Melihat Jake tersenyum, seakan-akan mewakili keinginanku. Aku juga ingin tersenyum tulus dan bersedih di depan orang lain.
Tanpa sadar air mataku mengalir. Aku tau Jake tidak melihatku, bahkan tidak tahu ada aku di dunia ini. Tapi inilah realita. Antara bias dan fans tak lebih dari dunia halu.
Tanpa sadar jari menyentuh ikon komentar. Di komentar pertama tertulis.
“My bias is rich man.”
Aku tertegun menatap kalimat itu. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat.
“Rich man?” ejaku. “Ya Allah, aku ingin pria kaya.”
“Sekarang ceritakan bagaimana kronologinya?” tanya Javi setelah Key menghilang dari pandangan mereka. Andika dan Indra saling bersitatap. Mereka tau saatnya menyiapkan mental. Bahkan suara Javi berubah 180 derajat setelah Key pergi. ***“Key?” Key menoleh ke arah suara. Terlihat Dilan sedang berlari ke arahnya. “Benar, ternyata kamu. Bagaimana kabarmu, lama tak melihatmu.”Key tersenyum. “Baik. Iya, tidak ada lagi alasan aku ke sini.”“Lalu sekaraa …ng?” “Ah iya. Tadi aku mau mengantar makanan buat seseorang, tapi … mungkin kau sudah dengar ceritanya.”“Seseorang? Katanya suami? Kenapa kau katakan seseorang? Aku jadi penasaran,” goda Dilan. Key tertawa kecil. “Lama-lama kau akan tahu.”“Baiklah, jika memang saat ini belum waktunya. Dia ….” Dilan beralih pada Pak Isa. “Oh, namanya Bapak Isa. Semacam pengasuh kami.”“Pengasuh? Bodyguard?”“Bodyguard? Bisa dibilang begitu, jawab,” jawab Key dengan wajah cengengesan. Key tak sepenuhnya bohong. Ia tahu Javi mengutus Pak Isa untuk menj
“Neal, aku makin muak dengan sikapmu,” sahut Dilan, kemudian berdiri dan membawa tasnya. “Aku pergi.” “Eh!” ***Key menoleh ke arah pintu yang terdengar terbuka. Andika masuk, kemudian disusul Indra. Javi yang sejak tadi menyandarkan kepalanya ke bahu Key meluruskan badan seketika. “Kalau mau pulang, aku akan minta Pak Isa mengantarmu.”“Tunggu, aku punya paket baru. Kurasa Key menyukainya,” seru Andika.Key menolak dengan isyarat tetapi Andika membalas dengan wajah memohon. “Tapi bagaimana dengan cincin Key?” Pertanyaan dari mulut Javi tiba-tiba membuat ruangan menjadi dingin menusuk, bahkan Key sedikit menggigil. Menyadari itu, Javi diam-diam menghela napas dan berjuang meredam emosinya. Ia meraih bahu Key. “Aku membuatmu takut? Maaf.” Key mengangguk. “Mungkin karena aku baru mengenalmu.”Kembali hati Javi tergigit. Hari ini ia mendengar dua kali dari Key, menyadarkannya bahwa dirinya hanya seperti menggenggam selembar tisu. Benda yang mudah terbang hanya ditiup angin atau han
“Bisakah Indra saja menjelaskan? Setelah itu kau bisa marah padaku.”“Kau takut padaku?”“Indra saja takut, bagaimana aku tidak?” batin Key. Key memilih menggeleng, tetapi beberapa detik kemudian mengangguk karena tatap selidik Javi. “Apa aku terlihat jahat?”Key menggeleng cepat. Ia membuka plastik sumpit dan menyerahkan pada Javi. “Tidak. Mungkin karena aku tidak terlalu mengenalmu, jadi tidak bisa menebak bagaimana reaksimu nanti.”Javi kembali terdiam. Seiris sembilu menyayat hati Javi. Sekian tahun ia menyimpan perasaan dan diam-diam mengawasi, tetapi Key menganggapnya sebagai orang asing. “Apa aku menyinggung perasaanmu?” tanya Key dengan wajah cemas. Javi menggeleng. Ia mengambil sumpit di tangan Key dan mulai mengamati makanan di setiap wadah. “Tapi kenapa wajahmu berubah?”Nada yang diucapkan Key membuat Javi cepat mengangkat. Terlihat cemas menyelimuti di wajah itu. Ia meletakkan sumpit, memegang pipi Key dan memajukan wajahnya. Key mengernyit, matanya terpejam dengan w
“Kau lupa dia tidak mengenakan benda yang sudah diinjak orang? Apalagi ini punya Key. Siapapun itu, harus mengganti full. Ah tiga kali lipat. Di sini sudah sold out. Aku harus mencari di outlet lain, mungkin saja harus outlet luar negeri. Karena itu edisi terbatas.”Indra beralih pada Melodi. “Anda dengar ‘kan?”Indra kembali mengangkat teleponnya. “Lalu bagaimana kau menghadapinya? Setelah ini mungkin aku juga akan dipecat.”Bisik-bisik kembali terdengar. Neal ikut bertanya-tanya siapa sebenarnya Key. Ia baru ingat kalau ayah Key orang kaya. “Apa Key sudah baikan dengan ayahnya?” gumam Neal. Melodi yang mendengar gumaman Neal segera berbisik. “Siapa ayahnya?”Neal tak menjawab. Perhatian mereka teralih pada percakapan Indra. “Jangan kuatir, Ndra. Toko baru saja mendapatkan edisi terbaru. Asalkan Key menyukainya, kau akan selamat.”“Baiklah, bawa paket itu ke sini. Kita harus menenangkannya.” Indra menyudahi panggilannya. Ia beralih pada Melodi. “Anda sudah mendengarnya.” Ia mempe
[Hati-hati di jalan.]Key yang tadinya bersandar pada kursi kini terduduk ketika melihat alamat yang diberikan Javi. Lokasi itu bahkan nama gedungnya sama yang sering ia masuki untuk mengantar makanan Neal.“Memangnya si Ayam Panggang bekerja sebagai apa?”“Apa, Non.”Key terkesiap karena melupakan Bibi Nurul yang tak jauh darinya. “Tidak apa, Bi. Aku turun dulu, Bi. Assalamu ‘alaikum.”“Wa ‘alaikum salam,” sahut Bibi Nurul sambil tersenyum. Ucapan salam hanya kegiatan sederhana, tapi tidak semua orang konsisten atau peduli melakukannya. Tindakan sederhana, tetapi membuat Bibi Nurul yakin, Key perempuan baik dan layak mendampingi majikan yang sejak kecil ia besarkan. ***“Jev, aku sudah di bawah. Kantormu di mana?” tanya Key di dalam telpon. “Tunggu saja di sana. Aku minta Indra menjemputmu.”“Baiklah. Aku tunggu.” Key menutup panggilan. Sesaat ia mengedarkan pandangan. Luasnya lobi dan orang-orang berlalu. Baru kali ini ia memperhatikan suasana lobi. Biasanya ia langsung saja melun
Key dapat merasakan napasnya yang tertahan. Terperangkap? Bukankah itu yang menakutkan. Bukankah ia seperti lepas dari kucing, masuk ke sarang singa. “Tidak akan,” sahut Key dengan memasang wajah meyakinkan. Ia harus pintar manipulatif, jika tidak arena yang tadinya tempat main-main akan berubah menjadi perang. Ironisnya ia terperangkap di dalamnya. Javi memajukan wajahnya. Key memejamkan mata dengan sedikit memiringkan wajahnya. Melihat itu Javi mengalihkan sasarannya. Key meringis. Spontan ia mendorong Javi. “Jev, kenapa menggigitku?” protes Key sambil mengusap lehernya yang terasa sakit. “Untuk menyenangkan kedua pengasuhku. Nenek pun kalau melihat ini pasti senang.”“Hah?” tanya Key dengan wajah kebingungan sambil mengelvs lehernya yang masih terasa sakit. “Bangunlah. Kita salat berjamaah.” Key mengangguk saja, meski belum mengerti apa yang dikatakan Javi barusan.***Di ruang makan sudah ada Indra yang berdiri tak jauh dari Javi dan sepasang suami istri yang menyiapkan sar