“Sampai kapan kamu seperti ini, Key?” gumamku. “Hidup sendiri belum tentu buruk. Bekerjalah, dan nikmati hasil jerih payahmu.”
Aku mengalihkan perhatian dengan membuka aplikasi bergambar melody background hitam. Wajah Jake Enhypen langsung muncul dengan senyum cerianya. Tahu saja ini aplikasi kalau hatiku sedang bersedih.
Aku terpaku menatap Jake. Beberapa tahun terakhir aku mulai jenuh dengan sikap Neal dan selalu melarikan diri kepada Jake.
Aku suka Jake karena dia bebas mengekspresikan perasaannya. Dia yang tersenyum atau merengut, suka atau tidak, ngambek atau marah. Sangat bertolak belakang denganku. Dia cerdas, aku lelet.
Melihat Jake tersenyum, seakan-akan mewakili keinginanku. Aku juga ingin tersenyum tulus dan bersedih di depan orang lain.
Tanpa sadar air mataku mengalir. Aku tau Jake tidak melihatku, bahkan tidak tahu ada aku di dunia ini. Tapi inilah realita. Antara bias dan fans tak lebih dari dunia halu.
Tanpa sadar jari menyentuh ikon komentar. Di komentar pertama tertulis.
“My bias is rich man.”
Aku tertegun menatap kalimat itu. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat.
“Rich man?” ejaku.
Jake memang salah satu member anak orang kaya di Enhypen. Berkah dari kekayaan orang tua, Jake bisa mendapatkan pendidikan di sekolah internasional bergengsi dan juga di rumah diajarkan kebiasaan yang baik. Sepertinya Jake selalu dihargai di rumah, hingga ciptakan lirik satu bait pun ia bergegas memberi tahu orang rumah.
“Rich man?” Kembali aku mengeja. Aku tertegun menatap kalimat itu. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat. Dada berdebar keras. Aku merasa seperti di tengah lautan yang tiba-tiba memutar haluan dan menentang arah angin. Rich man dua kosa kata yang tak pernah terpikirkan, tiba-tiba saja menjadi tujuanku.
Aku tak berharap mendapatkan apresiasi seperti Jake, setidaknya aku bisa membahagiakan diriku sendiri di antaranya mendatangi fan meeting dengan Jake atau minimal membeli album. Bukankah lebih baik mendukung Jake, daripada Neal yang tidak tahu terima kasih?
Aku membuat lagi satu email dan akun baru di aplikasi background hitam itu dengan nama Keyla J.
“Minimal dapat fanboy yang dapat mengantarkanku padamu, Jake,” gumamku sambil log out dari aplikasi. “Ya Allah, aku ingin Jake.”
Setelah itu aku follow beberapa akun engene, searching trend, d******d beberapa video Jake. Kemudian masuk ke aplikasi editor foto.
Ponsel berbunyi, pertanda sebuah pesan masuk. Aku abai dan terus mengedit dengan menggabungkan komplikasi video.
Setelah berhasil ekspor, langsung upload video dan tak lupa kasih caption.
[Dengan cara apapun, aku harus bertemu denganmu, Jake.]
Jantungku kini bertalu-talu, membayangkan berhasil melihat senyum Jake secara langsung.
Aku menyeka keringat yang sempat menetes dahi dengan mata terus menatap proses upload ke akun baru.
Seketika aku menghela napas, setelah berhasil upload. Aku langsung berbaring telentang dan berteriak sambil menghentakkan kaki.
“Aaaa ….”
“KEY, KAU TIDAK APA-APA?” tanya seseorang dari luar disertai dengan ketukan.
“Tidak apa-apa, Bu. Maaf,” sahutku sambil membuka pesan yang berisi tawaran endorse.
Aku langsung membalas pesan.
[Maaf, Kak. Saya berhenti jadi admin akun fans Neal 🙏]
[Begitu? Apa Kakak punya nomor admin baru?] Kembali masuk satu pesan.
Aku segera membalas. [Tidak tahu, Kak. Seharusnya ada di bio. Jika tidak ada, coba saja inbox🙏]
Aku langsung melepaskan nomor yang dikhususkan jadi admin akun fans Neal dan melempar ke tempat sampah. Baru kali ini aku menolak tawaran endorse dari akun fans Neal. Sesaat aku dapat merasakan kelegaan dari napasku. Ternyata berlepas dari Neal tidak terlalu buruk.
Aku mempunyai akun khusus untuk promosi Neal. Akun itu sudah mempunyai jutaan follower. Sudah memiliki penghasilan dari endorse dan afiliasi. Bisa dibilang sukses. Akun itu salah satu pintu kesuksesan Neal. Materi dan popularitas.
Tak dapat dipungkiri aku bisa hidup dari situ, tetapi lebih dari separuh penghasilan terforsir untuk mendukung kinerja Neal. Lebih tak berbanding jika diingat dengan perlakuan Neal padaku.
“Selamat tinggal Neal.”
***
Kesekian kalinya aku membuka ponsel. Lagi-lagi harus menerima kekecewaan. Lebih kecewa pada diri yang masih saja mengharapkannya.
Jemariku beralih menyentuh aplikasi berwarna ungu muda, tetapi belum sempurna tampilan aku sudah keluar.
“Berhenti stalking dia. Kau harus move on. Cari uang sebanyak-banyaknya, supaya bisa beli datang ke konser Jake meski ke ujung dunia,” gumamku sambil mengalihkan jari ke aplikasi hitam. Spontan aku terduduk ketika melihat ada 99 notif lebih di ikon hati. “Fyp?
Aku tak bisa berhenti tersenyum sambil membalas komen satu persatu, meski nampak bodoh. Ya, karena tujuan utama mencari circle engene, terutama fanboy.
Dalam dua malam, followersku sudah mencapai ribuan. Langsung saja aku mendaftar menjadi affiliator khusus album, card dan aksesoris Enhypen. Berinteraksi dengan banyak engene membuatku bisa melupakan Neal dan pria itu juga tak menghubungiku.
Tentu saja. Bukankah aku sudah mendengar kalau Neal sudah muak denganku?
“Kau lupa dia tidak mengenakan benda yang sudah diinjak orang? Apalagi ini punya Key. Siapapun itu, harus mengganti full. Ah tiga kali lipat. Di sini sudah sold out. Aku harus mencari di outlet lain, mungkin saja harus outlet luar negeri. Karena itu edisi terbatas.”Indra beralih pada Melodi. “Anda dengar ‘kan?”Indra kembali mengangkat teleponnya. “Lalu bagaimana kau menghadapinya? Setelah ini mungkin aku juga akan dipecat.”Bisik-bisik kembali terdengar. Neal ikut bertanya-tanya siapa sebenarnya Key. Ia baru ingat kalau ayah Key orang kaya. “Apa Key sudah baikan dengan ayahnya?” gumam Neal. Melodi yang mendengar gumaman Neal segera berbisik. “Siapa ayahnya?”Neal tak menjawab. Perhatian mereka teralih pada percakapan Indra. “Jangan kuatir, Ndra. Toko baru saja mendapatkan edisi terbaru. Asalkan Key menyukainya, kau akan selamat.”“Baiklah, bawa paket itu ke sini. Kita harus menenangkannya.” Indra menyudahi panggilannya. Ia beralih pada Melodi. “Anda sudah mendengarnya.” Ia mempe
[Hati-hati di jalan.]Key yang tadinya bersandar pada kursi kini terduduk ketika melihat alamat yang diberikan Javi. Lokasi itu bahkan nama gedungnya sama yang sering ia masuki untuk mengantar makanan Neal.“Memangnya si Ayam Panggang bekerja sebagai apa?”“Apa, Non.”Key terkesiap karena melupakan Bibi Nurul yang tak jauh darinya. “Tidak apa, Bi. Aku turun dulu, Bi. Assalamu ‘alaikum.”“Wa ‘alaikum salam,” sahut Bibi Nurul sambil tersenyum. Ucapan salam hanya kegiatan sederhana, tapi tidak semua orang konsisten atau peduli melakukannya. Tindakan sederhana, tetapi membuat Bibi Nurul yakin, Key perempuan baik dan layak mendampingi majikan yang sejak kecil ia besarkan. ***“Jev, aku sudah di bawah. Kantormu di mana?” tanya Key di dalam telpon. “Tunggu saja di sana. Aku minta Indra menjemputmu.”“Baiklah. Aku tunggu.” Key menutup panggilan. Sesaat ia mengedarkan pandangan. Luasnya lobi dan orang-orang berlalu. Baru kali ini ia memperhatikan suasana lobi. Biasanya ia langsung saja melun
Key dapat merasakan napasnya yang tertahan. Terperangkap? Bukankah itu yang menakutkan. Bukankah ia seperti lepas dari kucing, masuk ke sarang singa. “Tidak akan,” sahut Key dengan memasang wajah meyakinkan. Ia harus pintar manipulatif, jika tidak arena yang tadinya tempat main-main akan berubah menjadi perang. Ironisnya ia terperangkap di dalamnya. Javi memajukan wajahnya. Key memejamkan mata dengan sedikit memiringkan wajahnya. Melihat itu Javi mengalihkan sasarannya. Key meringis. Spontan ia mendorong Javi. “Jev, kenapa menggigitku?” protes Key sambil mengusap lehernya yang terasa sakit. “Untuk menyenangkan kedua pengasuhku. Nenek pun kalau melihat ini pasti senang.”“Hah?” tanya Key dengan wajah kebingungan sambil mengelvs lehernya yang masih terasa sakit. “Bangunlah. Kita salat berjamaah.” Key mengangguk saja, meski belum mengerti apa yang dikatakan Javi barusan.***Di ruang makan sudah ada Indra yang berdiri tak jauh dari Javi dan sepasang suami istri yang menyiapkan sar
“Key meninggalkanku? Tidak mungkin. Cinta Key padaku dari kecil, jadi mana mungkin bisa berpindah ke orang baru.”***Key memejamkan matanya, berharap ia tertidur lebih duluan. Nyatanya, telinganya makin menajam, memindai bunyi shower di kamar mandi bahkan ia dapat merasakan gerakan-gerakan Javi. Shower dimatikan dan tak lama pintu terbuka. Seketika dadanya berdebar keras dan semakin bergemuruh ketika indra penciumannya menangkap aroma vanila lembut semakin dekat. Terlalu dekat malah. Ternyata dirinya masih belum bisa menjadi wanita dingin materialis yang sebenarnya. Menjalin hubungan nominal tanpa rasa. Kecupan lembut di dahi yang membuat matanya seketika membuka. “Belum tidur?”Key hanya mampu menggeleng sedikit, bahkan tak berani mengerjap. Ia dapat merasakan detak jantungnya yang bertalu-talu. Ia berpikir, jika Javi menjauhkan wajahnya beberapa detik lagi, jantungnya akan berhenti berdetak. Javi terus saja memindai wajah cantik yang telah halal untuknya. Ia menatap setiap inci
“Diusahakan malam ini?”“Apa? Kalian tidak melakukan tindakan memalukan itu kan?”“Kenapa Nenek berpikir begitu?” protes Javi.“Kamu sih! Kebanyakan nikahan grasak-grusuk itu karena ngisi duluan.”“Tidak, Nek. Aku cuma ingin secepatnya.”“Mudah ngomongnya. Mesan tempat saja paling nggak sebulan duluan.”“Nek, ada yang ingin saya sampaikan pada Nenek. Semoga Nenek memaklumi keadaan saya,” sela Key. Ia menundukkan wajahnya. “Tapi, jika memang tak bisa ditoleransi, saya rela mundur dari rencana pernikahan ini. Saya akan kembalikan dari apa telah diberikan pada saya.”Nenek menatap penuh tanya. “Nek, saya mempunyai trauma tak bisa berada di orang banyak bahkan tak bisa menatap orang. Jadi, jika boleh, pernikahan diadakan yang ada hanya kita.”Javi meraih tangan Key dan menggenggamnya. Dadanya berdenyut nyeri. Lebih sakit saat dulu Key yang tak pernah mau menatapnya. Andai ia tahu lebih dulu, seharusnya setahun cukup mengobati luka Key. Ia baru tahu setelah ngobrol dengan calon mertuanya
“Mmm,” shaut Key sambil menggeliat, tetapi dua detik berikutnya ia terlonjak duduk. “Ibu? Kapan Ibu datang?”Ia lebih syok ketika menyadari mereka sedang tidak berada di kamarnya. “Kita di mana?”“Kita di mana? Kau masih belum sadar?!” Zaida langsung menarik sebuah bantal dan memukulkan ke badan Key. “Bagaimana kau bisa ceroboh sekali?! Bagaimana bisa sampai di sini, heh?!”“Ampun, Bu,,” seru Key sambil melindungi badannya dengan mengangkat kedua tangan. “Sebentar-sebentar.”Zaida menghentikan pukulannya. Napasnya tersengal. Kening Key mengerut. Berusaha meraba-raba ingatan terakhir kali. Ia teringat kemarin ke mall, pulang, kakinya yang pegal, tawaran Javi, setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Seketika wajahnya meringis. Fakta tidur di rumah pria membuatnya ingin menenggelamkan diri, belum lagi bagaimana harus menjelaskan kepada wanita yang melahirkannya itu. “Sudah ingat?!” ejek Ibunya. Key mendekat dan menarik lengan ibunya. “Bu,” ucap Key dengan nada antara rayuan dan ta