“Rumor beredar kau menjalin hubungan dengan Melodi, benar?”
Tanganku yang sedang memegang handel pintu seketika terhenti. Sengaja aku datang ke sini untuk memberi kejutan, tetapi nyata aku dihadapkan fakta baru.
"Iya. Aku pacaran dengannya demi menaikkan rating sinetron ini." Suara Neal terdengar tegas, seolah menjelaskan sesuatu yang sudah dipikirkan matang-matang.
Sesaat aku dapat merasakan jantungku berhenti berdetak.
Pacaran dengan Melodi? Demi rating sinetron?
Rasa dingin menjalar dari ujung kakiku. Lunch box yang tadi terasa hangat di tangan kini seolah tak bernyawa. Pikiranku berkecamuk. Neal kekasih rahasiaku. Aku mendukung Neal sampai setenar sekarang ini, ternyata memiliki agenda lain dengan Melodi, lawan akting serial di sebuah aplikasi.
“Lalu bagaimana dengan Key?”
Aku kembali menajamkan pendengaran.
“Entahlah. Aku makin muak dengan sikapnya.”
“Muak?”
Terdengar pekikan Dilan. Andai jantungku dipasangkan alat, mungkin lebih nyaring dari pekikan Dilan.
“Aku menerimanya juga karena wasiat almarhum bapak.”
“Setidaknya lepaskan dia.”
“Sudahlah. Bagaimana pun aku masih membutuhkannya dan aku yakin dia masih memahamiku.”
“Muak? Membutuhkan? Ada apa denganmu? Neal, dia sudah mendukungmu selama delapan tahun, lahir dan batin sampai kau di titik ini. Selain itu, hubungan settingan dengan Melodi juga sampai kapan? Kau tahu semakin naik rating, PD pasti akan memperpanjang episode.”
“Aku yakin dia masih bisa menungguku. Di dunia ini ia hanya bisa melihatku,” sahut Neal terdengar percaya diri.
Aku menelan ludah yang terasa menggumpal. Tanganku gemetaran. Aku menarik napas guna menenangkan hati yang dikuasai gelisah. Aku ingin masuk dan bertanya langsung pada Neal, tapi takut kemungkinan jawaban Neal membuat kakiku terpaku di tempat.
Aku memeluk lunch box yang sejak tadi ditenteng. Aku turut bangga jika Neal semakin naik dan populer, tapi bagaimana dengan hubungan kami? Hubungan hanya sebatas wasiat almarhum bapaknya.
Neal mewanti-wanti supaya orang lain tidak tahu, seakan aku aib baginya. Dilan tahu juga tanpa disengaja. Beruntungnya Dilan, menyembunyikan hubungan kami. Di depan publik aku hanyalah saudara jauh Neal.
Aku tersentak ketika pintu terbuka.
Dilan yang membuka pintu juga tak kalah terkejut. Ia keluar dan menutup pintu “Key? Sejak kapan kau ada di sini?”
“Aku ingin mengantar ini?” sahutku gugup sambil mengangkat lunch box.
Dilan terlihat menghela napas. Sengaja aku abai dengan pertanyaannya karena tidak ingin membicarakan hal itu padanya. Dilan sahabat baik Neal, ia baik baik padaku tetapi aku bukan tipe orang terbuka.
“Key, sampai kapan kamu seperti ini?”
“Maksudmu?’ Aku pura-pura tidak mengerti.
“Jujur saja, kau pasti mendengar obrolan kami di dalam. Key, sebagai teman aku kasih nasihat, hargai dirimu. Jangan terus-terusan berjuang demi orang yang tak memperdulikan perasaanmu.”
“Dilan, aku harus mengantar makanan ini,” elakku.
“Key!” Suara Dilan meninggi.
“Aku mengerti. Terima kasih atas perhatiannya. Tapi ….”
Pintu terbuka. Muncul Neal dengan wajah kaget. Ia menoleh ke kiri dan kanan, kemudian menyeret lenganku hingga masuk ke ruang ganti.
“Key, bisa tidak kamu jangan ke sini lagi?!” cecar Neal dengan wajah emosinya.
“Kenapa?” tanyaku bergetar sambil memeluk lunch box sambil berharap ia tidak mengatakan apa yang telah kudengar tadi.
“Dengar, seriesku sekarang sedang naik, itu karena aku digosipkan dengan Melodi. Jadi PD menyuruh kami melanjutkan spekulasi netizen. Kamu mengerti? Aku nggak mau karirku hancur hanya karena tindakanmu yang tidak penting ini.”
Tidak penting?
Aku menengadahkan kepala, menatap wajah kekasih kecilku. Neal selalu begini. Lamanya aku memberi perhatian dan dukungan, tidak membuatnya berempati, malah makin muak.
Ia bertahan hanya karena wasiat bapaknya. Di sisi lain, ia memanfaatkan dukunganku. Tanpa dukungan mungkin aku sudah dilemparnya entah kemana.
“Neal, ibuku mau menjodohkanku dengan anak temannya. Apa .. kau … bersedia ….”
Aku tak mampu melanjutkan kata. Nyatanya aku takut kehilangannya.
Trauma membuatku tak bisa menatap siapa pun pria di dunia ini selain Neal. Dulu Neal bersikap baik padaku. Ia berubah semenjak masuk SMA dan bergaul dengan Melodi dan anak-anak orang kaya lainnya.
“Key!”
Aku tersentak dengan hardikannya. Mungkin ia berkali-kali memanggilku sampai suaranya terasa menggelegar di ruangan ini.
“Mana mungkin ibumu melakukan ini. Ibumu juga tau wasiat bapak. Aku tau usiamu sudah cukup menikah, jangan begini! Dengar, jangan berolah dan jangan lagi ke sini!”
Mataku memerah dan bibirku bergetar.
“Neal, kru sudah menunggumu. Ayo.” Melodi datang dengan anggunnya. Tubuh Melodi yang body goal semakin mempesona dengan balutan gaun indah.
“Key, ngapain kamu ke sini?” tanya Melodi padaku.
“Cuma mengantar makanan ini,” sahutku getir, kemudian menyerahkan pada Neal.
“Oh, Key. Aku pernah dengar kau sering mengantar makanan buat Neal. Perhatian sekali. Boleh aku lihat? Pasti enak,” ucap Melodi langsung merebut dari tanganku.
“Wah enak sekali,” seru Melodi setelah membuka penutup lunch box itu. Ia menyerahkan lunch box itu padaku, tapi entah kenapa lunch box itu malah terjatuh ke lantai dan berhamburan isinya. Sebiji telor rebus menggelinding jauh.
“Maaf, maaf, Key. Aku nggak sengaja,” ucap Melodi dengan wajah sesalnya. Ia hendak mengambil, tetapi gaunnya membuatnya kesulitan berjongkok.
“Sudahlah, sudah jatuh juga. Nggak bisa dimakan lagi.” seru Neal sambil menahan bahu Melodi.
“Key, bersihkan ini! Kami harus syuting sekarang,” titah Neal kemudian menjauh sambil menarik lengan Melodi tanpa menunggu jawabanku.
“Kau lupa dia tidak mengenakan benda yang sudah diinjak orang? Apalagi ini punya Key. Siapapun itu, harus mengganti full. Ah tiga kali lipat. Di sini sudah sold out. Aku harus mencari di outlet lain, mungkin saja harus outlet luar negeri. Karena itu edisi terbatas.”Indra beralih pada Melodi. “Anda dengar ‘kan?”Indra kembali mengangkat teleponnya. “Lalu bagaimana kau menghadapinya? Setelah ini mungkin aku juga akan dipecat.”Bisik-bisik kembali terdengar. Neal ikut bertanya-tanya siapa sebenarnya Key. Ia baru ingat kalau ayah Key orang kaya. “Apa Key sudah baikan dengan ayahnya?” gumam Neal. Melodi yang mendengar gumaman Neal segera berbisik. “Siapa ayahnya?”Neal tak menjawab. Perhatian mereka teralih pada percakapan Indra. “Jangan kuatir, Ndra. Toko baru saja mendapatkan edisi terbaru. Asalkan Key menyukainya, kau akan selamat.”“Baiklah, bawa paket itu ke sini. Kita harus menenangkannya.” Indra menyudahi panggilannya. Ia beralih pada Melodi. “Anda sudah mendengarnya.” Ia mempe
[Hati-hati di jalan.]Key yang tadinya bersandar pada kursi kini terduduk ketika melihat alamat yang diberikan Javi. Lokasi itu bahkan nama gedungnya sama yang sering ia masuki untuk mengantar makanan Neal.“Memangnya si Ayam Panggang bekerja sebagai apa?”“Apa, Non.”Key terkesiap karena melupakan Bibi Nurul yang tak jauh darinya. “Tidak apa, Bi. Aku turun dulu, Bi. Assalamu ‘alaikum.”“Wa ‘alaikum salam,” sahut Bibi Nurul sambil tersenyum. Ucapan salam hanya kegiatan sederhana, tapi tidak semua orang konsisten atau peduli melakukannya. Tindakan sederhana, tetapi membuat Bibi Nurul yakin, Key perempuan baik dan layak mendampingi majikan yang sejak kecil ia besarkan. ***“Jev, aku sudah di bawah. Kantormu di mana?” tanya Key di dalam telpon. “Tunggu saja di sana. Aku minta Indra menjemputmu.”“Baiklah. Aku tunggu.” Key menutup panggilan. Sesaat ia mengedarkan pandangan. Luasnya lobi dan orang-orang berlalu. Baru kali ini ia memperhatikan suasana lobi. Biasanya ia langsung saja melun
Key dapat merasakan napasnya yang tertahan. Terperangkap? Bukankah itu yang menakutkan. Bukankah ia seperti lepas dari kucing, masuk ke sarang singa. “Tidak akan,” sahut Key dengan memasang wajah meyakinkan. Ia harus pintar manipulatif, jika tidak arena yang tadinya tempat main-main akan berubah menjadi perang. Ironisnya ia terperangkap di dalamnya. Javi memajukan wajahnya. Key memejamkan mata dengan sedikit memiringkan wajahnya. Melihat itu Javi mengalihkan sasarannya. Key meringis. Spontan ia mendorong Javi. “Jev, kenapa menggigitku?” protes Key sambil mengusap lehernya yang terasa sakit. “Untuk menyenangkan kedua pengasuhku. Nenek pun kalau melihat ini pasti senang.”“Hah?” tanya Key dengan wajah kebingungan sambil mengelvs lehernya yang masih terasa sakit. “Bangunlah. Kita salat berjamaah.” Key mengangguk saja, meski belum mengerti apa yang dikatakan Javi barusan.***Di ruang makan sudah ada Indra yang berdiri tak jauh dari Javi dan sepasang suami istri yang menyiapkan sar
“Key meninggalkanku? Tidak mungkin. Cinta Key padaku dari kecil, jadi mana mungkin bisa berpindah ke orang baru.”***Key memejamkan matanya, berharap ia tertidur lebih duluan. Nyatanya, telinganya makin menajam, memindai bunyi shower di kamar mandi bahkan ia dapat merasakan gerakan-gerakan Javi. Shower dimatikan dan tak lama pintu terbuka. Seketika dadanya berdebar keras dan semakin bergemuruh ketika indra penciumannya menangkap aroma vanila lembut semakin dekat. Terlalu dekat malah. Ternyata dirinya masih belum bisa menjadi wanita dingin materialis yang sebenarnya. Menjalin hubungan nominal tanpa rasa. Kecupan lembut di dahi yang membuat matanya seketika membuka. “Belum tidur?”Key hanya mampu menggeleng sedikit, bahkan tak berani mengerjap. Ia dapat merasakan detak jantungnya yang bertalu-talu. Ia berpikir, jika Javi menjauhkan wajahnya beberapa detik lagi, jantungnya akan berhenti berdetak. Javi terus saja memindai wajah cantik yang telah halal untuknya. Ia menatap setiap inci
“Diusahakan malam ini?”“Apa? Kalian tidak melakukan tindakan memalukan itu kan?”“Kenapa Nenek berpikir begitu?” protes Javi.“Kamu sih! Kebanyakan nikahan grasak-grusuk itu karena ngisi duluan.”“Tidak, Nek. Aku cuma ingin secepatnya.”“Mudah ngomongnya. Mesan tempat saja paling nggak sebulan duluan.”“Nek, ada yang ingin saya sampaikan pada Nenek. Semoga Nenek memaklumi keadaan saya,” sela Key. Ia menundukkan wajahnya. “Tapi, jika memang tak bisa ditoleransi, saya rela mundur dari rencana pernikahan ini. Saya akan kembalikan dari apa telah diberikan pada saya.”Nenek menatap penuh tanya. “Nek, saya mempunyai trauma tak bisa berada di orang banyak bahkan tak bisa menatap orang. Jadi, jika boleh, pernikahan diadakan yang ada hanya kita.”Javi meraih tangan Key dan menggenggamnya. Dadanya berdenyut nyeri. Lebih sakit saat dulu Key yang tak pernah mau menatapnya. Andai ia tahu lebih dulu, seharusnya setahun cukup mengobati luka Key. Ia baru tahu setelah ngobrol dengan calon mertuanya
“Mmm,” shaut Key sambil menggeliat, tetapi dua detik berikutnya ia terlonjak duduk. “Ibu? Kapan Ibu datang?”Ia lebih syok ketika menyadari mereka sedang tidak berada di kamarnya. “Kita di mana?”“Kita di mana? Kau masih belum sadar?!” Zaida langsung menarik sebuah bantal dan memukulkan ke badan Key. “Bagaimana kau bisa ceroboh sekali?! Bagaimana bisa sampai di sini, heh?!”“Ampun, Bu,,” seru Key sambil melindungi badannya dengan mengangkat kedua tangan. “Sebentar-sebentar.”Zaida menghentikan pukulannya. Napasnya tersengal. Kening Key mengerut. Berusaha meraba-raba ingatan terakhir kali. Ia teringat kemarin ke mall, pulang, kakinya yang pegal, tawaran Javi, setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Seketika wajahnya meringis. Fakta tidur di rumah pria membuatnya ingin menenggelamkan diri, belum lagi bagaimana harus menjelaskan kepada wanita yang melahirkannya itu. “Sudah ingat?!” ejek Ibunya. Key mendekat dan menarik lengan ibunya. “Bu,” ucap Key dengan nada antara rayuan dan ta