Share

Diam-Diam Jatuh Cinta
Diam-Diam Jatuh Cinta
Author: Zizara Geoveldy

Married to a Psychopath

“Prilly! Kenapa manjat jendela?” Zoia terkejut begitu menemukan calon pengantin wanita yang tak lain adalah klien atau pemakai jasa wedding organizer-nya hendak meninggalkan kamar melalui jendela.

“A—aku ….” Prilly terbata-bata.

Zoia langsung berjalan menghampiri Prilly dan menariknya dari jendela.

“Aduh, Pril, kamu mau ngapain pake manjat jendela kayak gini? Apa coba yang mau diambil? Duduk anteng aja kenapa sih? Kalau kamu celaka gimana? Sebentar lagi kan kamu mau akad.” Tentu Zoia tidak ingin kliennya ini kenapa-kenapa. Ia harus memastikan bahwa calon pengantin sempurna sampai berada di pelaminan.

Prilly memandang Zoia dengan tatapan kosong lalu melepaskan tangan dari genggaman Zoia yang khawatir akan keadaan dirinya dengan begitu saja.

Prilly tampak sedih dan berkata pada Zoia. “Aku mau pergi dan aku mohon jangan halangi.”

“Memangnya kamu mau pergi ke mana? Ini kan hari bahagiamu. Sebentar lagi penata rias akan datang untuk mendandanimu.”

“Hari bahagia?” Prilly menggelengkan kepalanya. “Ini bukan hari bahagiaku. Aku mau pergi. Aku nggak mau menikah dengan Javas.”

“Lho, kenapa begitu? Bukankah kalian saling mencintai?” Zoia benar-benar tidak paham apa maksud Prilly.

“Tahu apa kamu tentang hidupku?” balas Prilly menyanggah kata-kata Zoia.

Zoia buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam saku untuk menelepon rekannya yang lain. Ia tidak mau terlibat masalah jika calon pengantin yang ditanganinya sampai kabur.

Baru akan menempelkan ponsel ke telinga, Prilly langsung mencekal tangan Zoia, menahannya agar tidak menghubungi siapa pun.

“Stop! Aku mohon jangan kasih tahu orang-orang. Biarkan aku pergi. Aku nggak bisa menikah dengan psikopat.”

“Apa? Psikopat?” Zoia mengerutkan dahi. Ia kaget mendengar penuturan Prilly.

“Kamu nggak salah dengar. Javas itu kejam. Aku terpaksa menikah dengannya karena dia mengancamku. Asal kamu tahu ya, dia nggak lebih dari seorang psikopat. Dia sering menyakitiku. Nggak hanya membentakku dengan kata-kata kasar, tapi dia juga sering menamparku. Aku nggak bisa hidup bersamanya.”

Zoia memandang Prilly penuh keraguan setelah medengar penjelasan dari perempuan itu. Rasanya Zoia sulit untuk percaya. Dari luar Javas terlihat seperti pria baik-baik dan jauh dari hal-hal buruk yang dikatakan Prilly padanya.

Melihat gelagat Zoia yang tidak percaya padanya, Prilly kembali meyakinkan. “Sebagai sesama wanita kamu pasti mengerti bagaimana rasanya. Jadi aku mohon padamu, tolong izinkan aku pergi. Waktuku nggak banyak,” mata perempuan itu berkaca-kaca.

Zoia tidak langsung menjawab. Ia tidak bisa melakukannya karena Prilly adalah tanggung jawabnya. Zoia ingin pernikahan kliennya ini berlangsung dengan lancar.

“Apa kamu nggak kasihan padaku? Jika ini terjadi padamu apa kamu sanggup? Hanya sekarang waktuku untuk pergi karena jika aku sudah menjadi istri Javas dia nggak akan pernah melepaskanku.” Prilly kembali mendoktrin melihat Zoia diam bergeming di hadapannya.

Terus terang Zoia kasihan melihat Prilly. Dan dari gestur perempuan itu sepertinya Prilly tidak berbohong. Buktinya dia menangis. Air matanya tidak dibuat-buat. Jika menjadi Prilly Zoia mungkin akan melakukan hal yang sama. Kasihan, pikirnya.

“Pergilah ….” Dengan berat hati Zoia mengizinkan Prilly pergi setelah perperangan batin yang sangat hebat.

Sepeninggal Prilly, Zoia termangu sendiri. Bagaimana caranya mengatakan pada orang-orang tentang apa yang terjadi? Apa yang harus disampaikannya ketika Javas bertanya di mana calon istrinya?

Zoia mondar-mandir sendiri di dalam kamar itu seperti orang bingung. Belum ia menemukan solusi, Javas sudah datang ke sana.

“Prilly mana?” tanyanya pada Zoia.

Melihat Zoia bungkam sambil menundukkan kepalanya, Javas menjadi geram. Perasaannya mulai tidak enak.

“Saya lagi nanya sama kamu, ke mana calon istri saya? Harusnya dia ada di sini dengan kamu karena kamu yang bertanggung jawab atas mempelai wanita!”

Perlahan Zoia mengangkat kepalanya dan menatap Javas yang sedang marah padanya lalu berdiri berhadapan dengan lelaki itu. Zoia membalas dengan nada yang juga tinggi tetapi masih sopan.

“Maaf sebelumnya, Bapak Javas, bukannya saya ingin mencampuri urusan anda. Namun saya tidak akan membiarkan pria seperti anda menyakiti seorang wanita yang lemah. Seharusnya anda bisa berkaca akan tindakan anda. Kenapa calon istri anda sampai pergi dan kabur dari pernikahan ini!”

“Apa kamu bilang? Saya menyakitinya?” Javas melangkah maju mengikis jarak di antara mereka lalu menatap Zoia dengan tajam.

“Saya membiarkannya pergi karena kasihan. Sebagai sesama wanita saya mengerti bagaimana perasaannya.” Zoia sedikit gugup karena Javas kini hanya berjarak beberapa sentimeter di depannya.

“Perasaan? Perasaan apa? Apa kamu tahu apa yang telah dilakukannya?” Javas kemudian mengambil ponsel dari saku celananya dan menunjukkan pada Zoia notifikasi M-banking. Telah terjadi transaksi penarikan tunai serta transfer uang dalam jumlah luar biasa dari rekeningnya yang telah dilakukan oleh Prilly. Javas yang sangat mencintai Prilly memang memercayakan buku tabungan dan kartu debitnya dipegang oleh perempuan itu. Tadinya Javas mendapat surat dari Prilly yang mengatakan dia tidak bisa menikah dengan Javas. Javas ingin meminta penjelasan secara langsung pada Prilly. Tepat di depan pintu kamar notifikasi ponselnya berbunyi. Dan ternyata saat tiba di kamarnya Prilly sudah melarikan diri.

“See? Kamu lihat sendiri kan apa yang telah dilakukannya? Dia sudah membawa lari uang saya!” Lelaki itu membentak dengan sklera memerah.

Zoia terdiam seribu bahasa. Ia tidak sanggup berkata apa-apa. Ternyata ia begitu bodoh. Prilly dengan begitu mudah menipunya.

“Maaf, Pak Javas, saya tidak tahu kalau Prilly menipu Bapak.”

“Maaf?” Javas menyipit memandang Zoia. Emosinya kian memuncak. “Kamu sudah menuduh saya, juga menghancurkan pernikahan ini. Kamu kira cukup hanya dengan kata maaf?”

Zoia tidak mampu menjawab. Tapi ia juga tidak bisa melakukan apa-apa selain menyampaikan permintaan maaf tersebut.

“Sekali lagi saya minta maaf atas kejadian ini. Dan sebagai permohonan maaf dari WO kami saya akan memberikan Bapak potongan harga atas sisa pembayaran yang belum kami terima,” kata Zoia mengajukan solusi.

“Tidak bisa begitu. Saya tidak butuh potongan harga.” Javas tidak setuju. “Nama saya akan rusak kalau pernikahan ini sampai batal. Saya akan menjadi cemoohan orang-orang dan nilai saham perusahaan saya akan turun. Apa kamu tahu, membangun personal branding itu tidak gampang! Saya melakukannya bertahun-tahun tetapi kamu menghancurkannya hanya dalam waktu satu hari!”

Zoia menundukkan kepala. Selain merasa bersalah ia juga tidak sanggup menatap mata Javas yang menyala murka.

Di saat mereka sedang berdebat salah seorang kru wedding organizer datang menengahi keduanya.

“Maaf, apa calon pengantin wanita sudah siap? Tamu sudah banyak yang datang dan sudah waktunya akad nikah.”

Javas memandang arloji di pergelangan tangannya dengan perasaan gelisah. Waktunya sudah tiba. Ia tidak mungkin membatalkan pernikahan ini yang akan merusak nama baiknya. Rivalnya bisa tertawa dan mencemoohnya.

Lalu dipandanginya Zoia dari puncak kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu sangat good looking dan tidak akan membuatnya malu jika bersanding dengannya di pelaminan.

“Menikahlah dengan saya sebagai bentuk pertanggungjawabanmu!”

“Ap—apa? Menikah dengan anda?” Zoia terkejut mendengar permintaan absurd Javas. “Saya tidak bisa, Pak,” imbuhnya menolak.

“Jadi kamu mau menolak? Kamu mau lari dari tanggung jawab?” Javas menaikkan intonasi suaranya.

“Saya akan bertanggung jawab tapi caranya bukan menikah dengan anda. Saya bisa ganti kerugian ini dengan uang.”

“Saya tidak butuh uang. Yang saya butuhkan adalah pertanggungjawaban kamu dengan cara menggantikan calon istri saya. Atau ... saya akan laporkan WO ini. Saya akan ekspos beritanya bahwa WO kamu tidak bertanggung jawab! WO ini sama sekali ini tidak profesional!” ancam Javas penuh penekanan yang membuat Zoia merasa terintimidasi. Javas tidak main-main dengan ancamannya. Ia tidak mau mengambil risiko dengan merusak reputasinya sendiri.

Zoia terperanjat. Mata bulatnya melebar, sedangkan mulutnya setengah terbuka begitu mendengar ancaman pria beraura dingin di hadapannya.

“Jangan, Pak, tolong jangan lakukan itu,” pinta Zoia ketakutan. Kalau Javas benar-benar melakukannya maka usahanya akan terancam collapse. Sedangkan WO tersebut merupakan mata pencarian satu-satunya. Zoia adalah tulang punggung keluarga.

“Kenapa? Kamu takut?” Javas menatap sinis pada wajah pucat Zoia.

“Apa tidak ada cara lain, Pak?” tanya Zoia lesu. Ia tidak mungkin menggantikan calon istri Javas untuk menikah dengan pria itu.

“Hanya ada dua pilihan, menikah dengan saya atau bisnismu ini hancur. Kamu pasti tahu sebesar apa kekuasaan saya kan? Sedikit saja saya bertindak maka usahamu ini akan hancur. Apa itu yang kamu inginkan?”

Zoia menggeleng ketakutan. Usaha ini dibangunnya dengan jerih payah dan jatuh bangun berkali-kali. Kehidupannya jauh lebih baik karena usaha wedding organizer tersebut. Para karyawannya juga bergantung pada bisnis ini.

“Baik, saya akan bertanggung jawab. Saya akan menikah dengan anda,” putus Zoia lirih.

Pernikahan itu akhirnya pun diselenggarakan. Dan kini Zoia resmi menjadi istri pria asing yang merupakan kliennya sendiri.

Javas membawa Zoia ke rumahnya. Rumah lelaki itu besar dan mewah yang membuat Zoia menjadi takjub. Saat Zoia sedang mengaguminya di dalam hati, terdengar suara dehaman seseorang di belakangnya. Zoia menoleh dan mendapati Javas sedang berdiri di sana memandanginya.

“Tandatangani ini,” suruh lelaki itu dengan dingin tapi tegas.

Zoia menatap nanar pada bundelan kertas yang dilemparkan Javas ke atas meja, tepat di hadapannya. “Ini apa?” tanyanya tidak mengerti.

“Itu surat perjanjian pernikahan. Pernikahan ini hanya sementara dan sekarang kamu tandatangani.”

Di surat perjanjian itu tertera sejumlah kesepakatan yang sangat merugikan Zoia. Isinya yaitu:

1. Pihak kedua (Zoia) harus menuruti semua keinginan pihak pertama (Javas), termasuk berhubungan seks. Pihak kedua (Zoia) harus melayani pihak pertama (Javas) dengan baik. Mulai dari menyediakan kebutuhan seperti pakaian, makanan, hingga kebutuhan batin. Pihak kedua (Zoia) harus melaksanakan apa pun perintah pihak pertama (Javas) dan tidak boleh membantah. Pihak kedua (Zoia) tidak berhak apa-apa atas pihak pertama (Javas). Sedangkan pihak pertama (Javas) memiliki hak atas pihak kedua (Zoia) sepenuhnya.

2. Pihak pertama (Javas) dan pihak kedua (Zoia) dilarang melibatkan perasaan dalam hubungan mereka karena ini hanya pernikahan sementara.

3. Pihak pertama (Javas) dan pihak kedua (Zoia) dilarang jatuh cinta satu sama lain karena pada akhirnya mereka akan berpisah.

4. Jika pihak kedua (Zoia) melanggar perjanjian tersebut maka pihak pertama (Javas) akan memperkarakan wedding organizer milik pihak kedua (Zoia).

“Saya tidak setuju,” kata Zoia keberatan.

“Saya tidak peduli kamu setuju atau tidak. Saya tidak butuh pendapatmu.”

“Tapi saya sudah bertanggung jawab dengan menggantikan calon istrimu.”

“Kamu pikir semua itu cukup? Tidak, Zoia. Semua pengorbananmu itu tidak ada apa-apanya. Itu memang tanggung jawabmu karena kebodohanmu menghancurkan pernikahan saya!”

Suara keras Javas membuat Zoia berjengit. Zoia memejamkan mata sambil mengambil napas dalam-dalam. Javas betul-betul membuatnya tertekan sekaligus ketakutan.

“Kalau kamu keberatan saya tidak sungkan-sungkan untuk mengangkat kasus itu. Saya bisa menyuruh orang untuk menyebarkan berita tentang WO-mu yang tidak bertanggung jawab. Dan tahu sendiri kan apa risikonya?”

Lagi-lagi ancaman lelaki itu membuat Zoia terintimidasi. Dengan berat hati ia terpaksa menandatangani surat perjanjian pernikahan tersebut.

Setelahnya, Javas pergi dari hadapan Zoia. Kepergian pria itu membuat Zoia merasa lega untuk sejenak. Namun, beberapa jam kemudian Javas datang lagi dengan situasi berbeda.

Javas tampak kusut. Mukanya kuyu, rambutnya acak-acakan. Dan saat ia mendekat Zoia mencium aroma alkohol yang kuat menguar dari pria itu.

Tanpa Zoia duga Javas mendorongnya hingga Zoia terbaring di ranjang. Dengan tubuhnya yang besar Javas memenjarakan Zoia di bawahnya hingga membuat Zoia ketakutan.

“Jav, ka—ka—kamu mau apa?” tanya Zoia dengan suara gemetar sambil mencoba mendorong dada Javas. Namun tenaga pria itu terlalu kuat.

“Laksanakan tugasmu, layani saya malam ini.” Pria itu menyeringai lebar yang membuat Zoia bergidik ketakutan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status