Beranda / Rumah Tangga / Diam-Diam Jatuh Cinta / Pria Frustasi Yang Posesif

Share

Pria Frustasi Yang Posesif

Penulis: Zizara Geoveldy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-22 13:34:08

Zoia bergidik ngeri. Seringai lebar yang tercetak di wajah Javas membuatnya ketakutan. Apa laki-laki itu benar-benar menginginkannya?

Pria itu semakin dekat. Jarak wajahnya dan muka Zoia hanya terhitung beberapa sentimeter. Sedikit lagi maka kulitnya dan Javas benar-benar akan bersentuhan.

Sebelum itu terjadi, Zoia mendorong Javas dengan sekuat tenaga sehingga laki-laki itu tersingkir darinya. Begitu mendapat kesempatan untuk lepas, Zoia mengangkat diri dan menjauh dari Javas.

“Kamu jangan macam-macam. Jangan pernah menyentuh saya!” hardik Zoia dengan sorot mata ketakutan.

“Saya berhak melakukannya dan kamu nggak boleh menolak.” Javas membalas ucapan Zoia sambil turun dari ranjang dan berjalan mendekatinya.

“Tapi nggak pernah ada di dalam perjanjian kalau saya harus melayani kamu seperti ini.”

“Apa kamu amnesia? Di dalam surat itu tertera bahwa kamu harus melakukan apa saja yang saya perintahkan. Apa pun!”

Dengan tenaganya yang kuat Javas menarik tangan Zoia ke ranjang dan membaringkannya seperti tadi. Lalu lelaki itu menyapukan bibirnya di sekujur tubuh Zoia.

Zoia memejamkan matanya. Setiap inci kulitnya yang bersentuhan dengan Javas meremang sempurna. Javas adalah laki-laki pertama yang menyentuhnya.

“Jangan ...” Zoia berujar lirih ketika kecupan Javas tiba di pangkal pahanya. Zoia belum siap. Ia juga merasa malu dan takut melakukannya.

Javas tidak menggubris kata-kata Zoia. Karena perempuan itu sudah menghancurkannya maka ia berhak menuntut balas dengan mengambil satu-satunya hal paling berharga yang dimiliki Zoia.

Mengangkat wajahnya dari bawah sana, Javas menanggalkan satu demi satu penutup tubuh perempuan itu hingga lapis kain terakhir. Meskipun Zoia melakukan perlawanan akan tetapi tenaga Javas jauh lebih kuat. Ia berhasil membuat polos perempuan itu.

Javas melepas pakaiannya sendiri setelahnya. Matanya mulai nanar menyaksikan Zoia yang kini tampil seperti manekin tanpa busana. Bukan nanar karena hangover melainkan karena keindahan tubuh perempuan itu. Meskipun tadi minum alkohol dalam jumlah yang mengkhawatirkan, namun tingkat toleransi tubuh Javas terhadap alkohol cukup tinggi.

Zoia menutupi dadanya yang terbuka dengan menyilangkan kedua tangannya. Ia juga melakukan hal yang sama dengan menyilangkan kaki menutupi inti bawah tubuhnya.

Javas menelan salivanya dalam-dalam. Perempuan ini sangat menggiurkan. Sayangnya Javas tidak mencintainya. Tapi untuk berhubungan seks tidak perlu cinta kan? Ia bisa tidur dengan wanita mana saja tanpa perlu perasaan cinta.

Tapi … para wanita yang pernah ia tiduri bukan istrinya. Mereka adalah perempuan gampangan yang bersedia ditukar dengan rupiah. Sedangkan Zoia adalah istrinya. Dan entah mengapa ia tidak ingin menyamakan Zoia dengan para perempuan itu. Apalagi saat menyaksikan wajah pucat Zoia dan ketakutan saat melihatnya Javas menjadi kasihan.

Ini aneh dan sangat bertentangan dengan logikanya. Namun suara dalam dirinya meminta Javas untuk melepaskan Zoia.

Javas mengurungkan niatnya untuk menyentuh Zoia lalu memungut boxer-nya dari lantai dan kembali mengenakannya.

“Keluar kamu!” Javas menunjuk pintu dan meminta Zoia untuk pergi.

Zoia tercengang. Apa ia tidak salah dengar? Kenapa Javas memintanya pergi? Kenapa lelaki itu tidak jadi melakukannya?

“Saya bilang keluar kamu sekarang. Bisa dengar kan?”

“Bi—bisa ...,” jawab Zoia tergagap.

Zoia bangkit dari berbaring lalu turun dari ranjang sambil menutupi dadanya dan bergegas pergi dari kamar Javas. Karena terburu-buru Zoia lupa mengambil pakaiannya. Ia meninggalkannya di sana.

Setelah Zoia pergi, Javas menutup pintu kamar dengan membantingnya cukup keras. Ia mengusap mukanya sambil menghela napas panjang.

Duduk di tepi ranjang, matanya bertemu dengan bingkai foto di nakas. Di sana terpajang potretnya berdua dengan Prilly. Saat itu mereka sedang liburan berdua ke Santorini. Mereka mengabadikan kenangan itu tepat di depan cave house khas Santorini yang identik dengan warna putih. Ia dan Prilly saling merangkul dan tersenyum lebar. Mereka sangat bahagia saat itu.

Javas mengambil bingkai tersebut lalu mengusap wajah cantik Prilly. Rasa sakitnya muncul ketika ingat semua perbuatan buruk Prilly padanya. Dengan sekali bantingan Javas membuang bingkai itu ke lantai hingga pecah berkeping-keping.

***

Pagi ini Zoia bangun lebih awal.  Sambil menyiapkan sarapan pagi Zoia berpikir tentang kejadian kemarin.

Apa yang terjadi sehingga Javas batal menyentuhnya? Padahal mereka sudah sama-sama tidak berbusana dan hanya tinggal melakukannya saja. Tapi apa pun yang sudah mengubah pikiran Javas Zoia bersyukur terbebas dari semua itu.

Zoia yang sibuk melamun tidak menyadari akan kehadiran Javas. Pria itu duduk di kursi ruang makan sambil mengawasinya.

Javas kemudian berdeham yang membuat Zoia menoleh dan berdiri dengan gugup. Setelah kejadian semalam Zoia merasa canggung, seakan Javas masih melihat bentuk asli tubuhnya saat ini.

“Saya siapin roti untuk kamu, kamu suka kan?” tanya Zoia. Ia khawatir kalau nanti ternyata Javas tidak menyukainya dan meminta ganti makanan baru.

Javas memandang dingin setangkup roti tawar dengan olesan selai coklat hazelnut yang diletakkan Zoia di hadapannya. “Bersihin kamar saya!"

Tanpa diperintahkan dua kali Zoia menuju kamar Javas dan menyaksikan sendiri bagaimana berantakannya ruangan lelaki itu. Zoia mengaduh saat tanpa sengaja kakinya menginjak pecahan kaca.

Ada selembar foto di sana di antara serpihan kaca dan patahan bingkai. Zoia memandang sesaat foto Javas dan Prilly. Mereka tampak serasi. Bahkan pada mulanya Zoia sempat kagum melihat kemesraan pasangan itu.

Selagi Zoia di kamar Javas, bel berbunyi. Javas membukanya dan langsung mendapati seorang laki-laki muda di sana. Lelaki itu tersenyum ramah.

“Pagi, saya Zico. Saya mau menjemput Zoia. Saya teman Zoia dan kami sudah ada janji. Saya dan Zoia akan pergi menemui teman saya yang akan memakai jasa Shannon Wedding Organizer.” Zico menjelaskan pada Javas maksud kedatangannya.

Javas memandang lelaki itu dengan tatapan datar. Belum ia bicara, Zoia sudah muncul ke ruang depan.

“Eh, udah datang? Bentar ya, aku ambil tas dulu.”

Zoia kembali ke kamar. Javas menyusulnya.

“Kamu mau ke mana?” tanya Javas menginterogasi.

“Saya mau bertemu klien. Dia teman Zico,” jelas Zoia sama seperti yang tadi dikatakan Zico pada Javas.

“Nggak boleh!” larang Javas tegas.

“Apa?”

“Nggak boleh. Apa kamu nggak dengar?”

Zoia menatap Javas dengan raut heran. “Kenapa nggak boleh?”

“Itu aturannya. Sebagai istri saya kamu dilarang berhubungan dengan lelaki manapun.”

“Tapi itu nggak ada di dalam surat perjanjian,” sanggah Zoia tidak setuju. Lelaki frustasi ini terlalu mengada-ngada.

“Memang nggak ada, tapi nanti akan saya tambahkan. Sekarang temui dia, katakan kalau kamu berangkat dengan saya. Suruh dia pergi sekarang."

"Saya nggak bisa. Saya dan Zico ada urusan penting. Ini menyangkut pekerjaan saya, tolong mengertilah,” pinta Zoia begitu memelas.

“Tapi saya suami kamu. Apa kamu lupa bahwa seorang istri wajib menghormati dan mematuhi suaminya?” Tentu saja Javas tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannnya. Ia hanya ingin membuat Zoia susah dan menyakiti perempuan itu dengan caranya.

“Saya tahu itu, tapi saya minta pengertian kamu. Tolong jangan kacaukan pekerjaan saya.”

Javas menyipit memandang Zoia. Ia tidak suka mendengarnya. “Bukan saya yang pengacau, tapi kamu. Kamu yang menghancurkan pernikahan saya sampai calon istri saya pergi. Nggak hanya itu, tapi dia juga membawa kabur uang saya, jadi kurang apa lagi kekacauan yang kamu buat?”

Zoia menahan napasnya. Javas selalu mengungkit-ungkit masalah tersebut, seakan pertanggungjawabannya tidak pernah cukup bagi laki-laki itu. Padahal pengorbanan Zoia juga tidak terhingga. Zoia bahkan merelakan dirinya untuk hidup bersama Javas.

"Saya ingatkan sekali lagi, di sini saya yang punya kuasa. Kamu nggak boleh membantah!” Javas memungkasi dengan nada suaranya yang tegas sembari menatap marah pada Zoia.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Diam-Diam Jatuh Cinta   TAMAT (True Love never Dies)

    True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka

  • Diam-Diam Jatuh Cinta   Husband Goals

    JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter

  • Diam-Diam Jatuh Cinta   Yang Dinanti Sejak Lama

    JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria

  • Diam-Diam Jatuh Cinta   Jalan Terakhir

    JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa

  • Diam-Diam Jatuh Cinta   Rahasia Yang Tersimpan

    ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den

  • Diam-Diam Jatuh Cinta   Hanya Masalah Waktu

    ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach

  • Diam-Diam Jatuh Cinta   Memulai Hidup Baru

    ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke

  • Diam-Diam Jatuh Cinta   Gembok Cinta

    JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena

  • Diam-Diam Jatuh Cinta   Bed Friend

    ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status