JEVINMami dan Papi sama-sama terperangah mendengar pengakuanku. Aku sangat paham apa yang saat ini ada di dalam pikiran mereka. Usia Zeline saat itu masih terlalu dini. Bahkan dia belum merayakan sweet seventeen. Tiba-tiba Papi berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke arahku.PLAK!!! Tamparan keras itu bersarang di pipiku. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Rasanya panas, perih, dan sakit. Namun, aku hanya diam dan membiarkan Papi menghajarku sepuasnya.Mami yang terkejut atas aksi brutal Papi juga tidak bisa melakukan apa-apa, termasuk mencegah agar Papi menghentikan amukannya. Sedangkan Zeline duduk membeku di tempatnya. Dia terpaksa menyaksikan kekerasan ini.“Papi nggak pernah mengajarkan kamu menjadi pedofil, Jev. Sebrengsek-brengseknya keturunan Papi tapi nggak ada yang seperti kamu!” Papi menumpahkan amarahnya setelah puas menghajarku sana-sini.Kepalaku pusing tujuh keliling, telingaku berdengung, pun dengan pandanganku yang terasa nanar. Belum hilang rasa sakit da
JEVINAku nggak menemukan Zeline setelah keluar dari kamar mandi. Tasnya juga sudah lenyap dari tempatnya.“Zel! Zeline! Kamu di mana, Zel?" kupanggil namanya sambil mencari Zeline, tapi tidak ada sahutan apa pun.Dengan badan lemah bekas dihajar aku mencari Zeline sampai keluar dari kamar dan terus menggaungkan namanya, tapi Zeline tetap nggak ada di manapun.Mungkin Zeline lagi di ruang belakang, pikirku. Menarik langkah ke sana, aku berpapasan dengan Mami.“Mi, Zeline tadi mana?” tanyaku.“Dia udah pulang,” jawab Mami datar. Suaranya yang terdengar dingin memberitahu padaku bahwa Mami masih marah.“Pulang? Kok dia nggak bilang sama aku dulu, Mi?” ujarku heran.“Tadi kamu lagi di kamar mandi. Dia udah pamit sama Mami.”Aku terdiam. Seharusnya Zeline bisa menungguku dulu baru pergi. Tapi kenapa dia pergi tiba-tiba? Aneh.Tanpa berkata apa-apa lagi aku kembali ke kamar. Aku akan menelepon Zeline. Aku harus tahu apa alasannya pergi begitu saja.Ternyata Mami mengikutiku. Dia ikut mas
Flashback ZELINE “Mamaaaa! Maaaa!” Baru saja memarkirkan motor di halaman rumah aku langsung berteriak-teriak memanggil Mama dengan heboh. Mama keluar dengan tergopoh-gopoh dari arah dalam. Alih-alih akan marah, senyum mengembang di bibirnya saat melihat baju seragamku yang berwarna putih penuh dengan coretan spidol dan cat pylox. Mama tahu itu artinya apa. Hari itu adalah hari kelulusanku dari Sekolah Menengah Pertama. “Aku lulus, Ma. Nilaiku paling tinggi di antara semuanya!” Aku meloncat-loncat kegirangan lalu memeluk Mama. “Kamu hebat, Zel, kamu udah bikin Mama bangga,” bisik Mama terharu. “Semuanya berkat doa Mama dan Papa juga. Kalau bukan karena Mama dan Papa aku nggak akan jadi apa-apa,” ujarku sambil melepas pelukan. Kulihat mata Mama berkaca-kaca saat mendengar kata-kataku. Dari pertama masuk sekolah sampai tamat aku selalu menjadi juara yang membuat kedua orang tuaku bahagia. “Ma, berarti aku udah boleh liburan kan?” Aku langsung menagih janji pada
ZELINEKaget dong aku. Tadinya kupikir tamu di kamar ini adalah salah satu dari para bule itu. Ternyata dugaanku salah.Aku masih membeku di tempatku berdiri saat selanjutnya dia kembali bicara.“Sorry, apa kamu pegawai resort ini?” herannya. Mungkin dia baru menyadari bahwa penampilanku berbeda dengan yang lain. Saat itu aku mengenakan skinny jeans, kemeja biru langit ngepas body dan mini scarf navy yang kusimpul menyamping.“Bukan, tapi saudara temanku yang punya resort ini, kebetulan aku yang mengantar makanan ini untuk kamu,” jawabku meluruskan.“Oh, thank you.” Dia menerima wadah makanan yang kuberikan. Aku hendak beranjak pergi, tapi dia menahanku. “Nama kamu siapa?”“Zeline,” jawabku pelan.“Aku Jevin.” Dia balas menyebutkan namanya.Aku sedikit kaget saat mendengar namanya. Aku pikir dia sengaja memirip-miripkan nama kami untuk menggodaku.“Beneran?” pandangku tak percaya.“Apanya?”“Nama kamu. Itu nama sungguhan?”“Menurutmu?” Dia balas bertanya.“Yeee, ditanya malah balik
ZELINEBerikutnya, seharian aku bersama Jevin. Dia mengajariku surfing seperti yang dijanjikannya.Ucapan Jevin terbukti benar. Awalnya memang ngeri tapi lama kelamaan keseruannya mulai terasa. Apalagi coach-nya segagah Jevin.Tanpa terasa matahari mulai turun ke barat. Kami kembali ke resort dengan membawa selaksa kenangan.“Mau ke mana?” Jevin menahan tanganku saat aku akan berbelok menuju kamar.“Ke kamar, mau siap-siap.” Setelah ini kami akan dinner merayakan pertambahan usianya yang kedua puluh enam tahun.“Di kamarku aja.”“Apanya?”“Siap-siap.”“Tapi bajuku masih di kamar.”“Kita ke kamar sekarang ambil baju kamu terus ke kamarku.”Aku menggigit bibir, merasa ragu untuk sesaat. Namun kemudian aku mengikuti kemauannya. Jevin mengawalku ke kamar. Setelah mengambil baju dan perlengkapan lain aku ikut ke kamarnya.Entah mengapa walau baru bertemu tapi aku merasa sudah sangat dekat dengannya, seakan kami sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya. Jevin dengan segala pesona dan
ZELINEAku mengakhiri cerita panjang itu dengan mata berkaca-kaca. Perasaanku semakin kacau. Dulu aku memang bodoh, ceroboh, dan mudah terbuai. Tapi sekali lagi, aku nggak menyesal karena memberikannya pada orang yang kucintai walau mungkin bukan orang yang tepat.Sementara di hadapanku wajah Mbak Zoi mengeras. Emosinya mulai ke-trigger mendengar pengalaman kelamku yang suram.“Zel, Mbak jadi pengen ikut nonjok Mas Jevin sekarang,” ujar Mbak Zoi geram. “Udah, Mbak, tadi udah diwakilin Mas Javas dan Om Joe.”“Itu aja nggak akan cukup. Dia nggak hanya ngerusak kamu, tapi juga mempermainkan kamu. Dia bajingan!” Mbak Zoi memaki Jevin melampiaskan emosinya.Dia memang bajingan. Makian saja tidak akan pernah cukup untuknya. Tapi kenapa aku merasa kasihan melihat Jevin dipukuli?“Mama sama Papa harus tahu ini.”“Jangan, Mbak!” Aku mencekal pergelangan Mbak Zoi yang akan mengambil ponsel, menahannya agar tidak menghubungi orang tua kami. “Kenapa nggak boleh? Mama sama Papa harus tahu tentan
ZELINEAku mengembalikan ponsel ke dalam saku rok dengan lesu setelah memutus panggilan dari Jevin. Tadi, lima menit sebelumnya Mama lebih dulu menelepon. Mama memintaku pulang. Mama dan Papa sudah tahu semuanya. Dan itu gara-gara Mbak Zoi. Aku pikir setelah percakapan kami kemarin kakakku itu bisa diajak berkompromi. Nyatanya dia langsung menghubungi Mama.Mama marah dan mengomeliku habis-habisan. Aku nggak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Papa. Mungkin Papa akan memukulku atau mengubur hidup-hidup karena nggak mampu menjaga diri. Aku nggak punya kekuatan untuk berhadapan dengan keduanya. Aku kehilangan muka untuk bertemu dengan mereka. Tapi aku tetap harus pulang.Pak Ariq sedang fokus dengan laptop di hadapannya ketika aku masuk ke ruangan dia.“Pak …”“Ada apa, Zel?” tanyanya tanpa mengalihkan atensi dari benda di meja.“Saya mau bicara sebentar, Pak.”“Silakan.” Pak Ariq menyuruhku duduk lalu memindahkan perhatian menatapku.“Pak, saya mau cuti buat nyiapin wisuda.”“Ma
ZELINEGelap mulai menyapa saat aku menginjakkan kaki di kota kelahiranku. Seharusnya aku sudah tiba sejak satu jam yang lalu. Tapi karena delay mengakibatkan kedatanganku pun tertunda.Detak jantungku semakin cepat seiring dengan taksi yang semakin mendekati rumah. Pasti Mama sudah menyiapkan ruang sidang untukku dengan Papa sebagai hakimnya.Nggak ada yang berubah dari rumah masa kecilku itu. Meskipun sederhana tapi setidaknya aku dan kedua kakakku dibesarkan di sana dengan penuh kasih sayang. Namun, aku yang nggak tahu diri ini membalas semua itu dengan memberi orangtuaku masalah besar.Lututku terasa goyah saat aku turun dari taksi. Persendianku seakan tidak berfungsi yang membuat sekujur tubuhku lemah. Di sana, di balik pintu di depanku Mama dan Papa pasti sudah menunggu.Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki kulangkahkan kaki, lalu berhenti tepat di depan pintu. Tanganku begitu gemetar ketika memutar gagang pintu.Seperti yang sudah kuduga Mama dan Papa sedang duduk menunggu. M