ZELINEBerikutnya, seharian aku bersama Jevin. Dia mengajariku surfing seperti yang dijanjikannya.Ucapan Jevin terbukti benar. Awalnya memang ngeri tapi lama kelamaan keseruannya mulai terasa. Apalagi coach-nya segagah Jevin.Tanpa terasa matahari mulai turun ke barat. Kami kembali ke resort dengan membawa selaksa kenangan.“Mau ke mana?” Jevin menahan tanganku saat aku akan berbelok menuju kamar.“Ke kamar, mau siap-siap.” Setelah ini kami akan dinner merayakan pertambahan usianya yang kedua puluh enam tahun.“Di kamarku aja.”“Apanya?”“Siap-siap.”“Tapi bajuku masih di kamar.”“Kita ke kamar sekarang ambil baju kamu terus ke kamarku.”Aku menggigit bibir, merasa ragu untuk sesaat. Namun kemudian aku mengikuti kemauannya. Jevin mengawalku ke kamar. Setelah mengambil baju dan perlengkapan lain aku ikut ke kamarnya.Entah mengapa walau baru bertemu tapi aku merasa sudah sangat dekat dengannya, seakan kami sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya. Jevin dengan segala pesona dan
ZELINEAku mengakhiri cerita panjang itu dengan mata berkaca-kaca. Perasaanku semakin kacau. Dulu aku memang bodoh, ceroboh, dan mudah terbuai. Tapi sekali lagi, aku nggak menyesal karena memberikannya pada orang yang kucintai walau mungkin bukan orang yang tepat.Sementara di hadapanku wajah Mbak Zoi mengeras. Emosinya mulai ke-trigger mendengar pengalaman kelamku yang suram.“Zel, Mbak jadi pengen ikut nonjok Mas Jevin sekarang,” ujar Mbak Zoi geram. “Udah, Mbak, tadi udah diwakilin Mas Javas dan Om Joe.”“Itu aja nggak akan cukup. Dia nggak hanya ngerusak kamu, tapi juga mempermainkan kamu. Dia bajingan!” Mbak Zoi memaki Jevin melampiaskan emosinya.Dia memang bajingan. Makian saja tidak akan pernah cukup untuknya. Tapi kenapa aku merasa kasihan melihat Jevin dipukuli?“Mama sama Papa harus tahu ini.”“Jangan, Mbak!” Aku mencekal pergelangan Mbak Zoi yang akan mengambil ponsel, menahannya agar tidak menghubungi orang tua kami. “Kenapa nggak boleh? Mama sama Papa harus tahu tentan
ZELINEAku mengembalikan ponsel ke dalam saku rok dengan lesu setelah memutus panggilan dari Jevin. Tadi, lima menit sebelumnya Mama lebih dulu menelepon. Mama memintaku pulang. Mama dan Papa sudah tahu semuanya. Dan itu gara-gara Mbak Zoi. Aku pikir setelah percakapan kami kemarin kakakku itu bisa diajak berkompromi. Nyatanya dia langsung menghubungi Mama.Mama marah dan mengomeliku habis-habisan. Aku nggak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Papa. Mungkin Papa akan memukulku atau mengubur hidup-hidup karena nggak mampu menjaga diri. Aku nggak punya kekuatan untuk berhadapan dengan keduanya. Aku kehilangan muka untuk bertemu dengan mereka. Tapi aku tetap harus pulang.Pak Ariq sedang fokus dengan laptop di hadapannya ketika aku masuk ke ruangan dia.“Pak …”“Ada apa, Zel?” tanyanya tanpa mengalihkan atensi dari benda di meja.“Saya mau bicara sebentar, Pak.”“Silakan.” Pak Ariq menyuruhku duduk lalu memindahkan perhatian menatapku.“Pak, saya mau cuti buat nyiapin wisuda.”“Ma
ZELINEGelap mulai menyapa saat aku menginjakkan kaki di kota kelahiranku. Seharusnya aku sudah tiba sejak satu jam yang lalu. Tapi karena delay mengakibatkan kedatanganku pun tertunda.Detak jantungku semakin cepat seiring dengan taksi yang semakin mendekati rumah. Pasti Mama sudah menyiapkan ruang sidang untukku dengan Papa sebagai hakimnya.Nggak ada yang berubah dari rumah masa kecilku itu. Meskipun sederhana tapi setidaknya aku dan kedua kakakku dibesarkan di sana dengan penuh kasih sayang. Namun, aku yang nggak tahu diri ini membalas semua itu dengan memberi orangtuaku masalah besar.Lututku terasa goyah saat aku turun dari taksi. Persendianku seakan tidak berfungsi yang membuat sekujur tubuhku lemah. Di sana, di balik pintu di depanku Mama dan Papa pasti sudah menunggu.Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki kulangkahkan kaki, lalu berhenti tepat di depan pintu. Tanganku begitu gemetar ketika memutar gagang pintu.Seperti yang sudah kuduga Mama dan Papa sedang duduk menunggu. M
JEVINAku tahu nggak sopan namanya bertamu malam-malam begini. Tapi aku nggak bisa menunggu sampai besok. Percuma juga ditunda. Aku tetap nggak akan bisa tidur malam ini.Turun dari mobil, kuketuk pintu rumah Zeline dengan perasaan tidak karuan. Ingin rasanya mundur membayangkan apa yang akan kuterima nanti. Tapi aku sudah bertekad masalah ini harus selesai malam ini juga.Tidak ada tanda pintu akan dibuka setelah berkali-kali ketukan yang membuatku berpikir untuk pulang saja. Kedatanganku pasti mengganggu. Mungkin ada baiknya aku datang besok. Selain waktunya lebih tepat, kondisi fisikku juga jauh lebih baik.Baru saja akan menarik langkah, daun pintu tiba-tiba terbuka. Sesosok pria menyembul. Dari perawakannya yang kukira seumuran dengan Papi membuatku yakin jika laki-laki di hadapanku adalah papanya Zeline. Dia tidak berkata apa-apa, namun sorot dinginnya membuat nyaliku menciut.Om Dion menatapku penuh tanda tanya. Tidak ingin membuatnya penasaran lebih lama, aku menjawab keherana
ZELINEAku yang sejak tadi bersembunyi sambil menyaksikan penghakiman terhadap Jevin akhirnya tidak tahan lagi saat melihat Jevin diseret keluar dari rumah seperti maling yang tertangkap basah.“Pak, jangan!” Aku berteriak sambil berlari keluar rumah menghentikan petugas keamanan yang menyeret Jevin yang mengait lengannya kanan dan kiri.Ketiganya menahan langkah mereka dan menoleh ke belakang, termasuk Jevin. Dia terlihat kaget saat melihatku muncul. Pasti tadinya Jevin nggak tahu kalau aku ada di sini.Menjelang langkahku sampai ke pintu, Papa menahan lenganku dengan suara memberi peringatan. “Pa, lepasin aku. Kasihan Jevin. Jangan perlakukan dia seperti maling.” Aku merengek pada Papa agar memperlakukan Jevin dengan manusiawi.“Kasihan? Jadi Papa harus kasihan sama bajingan ini? Dia saja nggak kasihan sama kamu, lalu kenapa Papa harus kasihan sama dia?”Pertanyaan Papa sukses besar membungkam mulutku. Aku kehabisan kata untuk membela Jevin.“Zel, ternyata kamu ada di sini,” ujar J
ZELINETanpa melihat melalui kaca aku tahu bahwa saat ini wajahku berubah pucat setelah mendengar berita yang disampaikan Mama.Untuk apa orangtua Jevin ke sini? Untuk mencecarku kah? Untuk menyalahkan dan merendahkan bahwa akulah penyebab semuanya?“Orangtua Jevin mau apa ke sini, Ma?” tanyaku pada Mama. Aku nggak mau ada ribut-ribut di antara keluarga kami. “Mama udah bilang kalau Jevin nggak ada di sini?”“Mereka sudah tahu kemarin dia ke sini,” jawab Mama dingin.“Jadi untuk apa lagi mereka ke sini?”Mama mengangkat bahunya sebagai isyarat tidak tahu lalu berlalu meninggalkanku. Aku menyusul ke ruang tamu setelah berganti pakaian. Tampak di sana Mama dan Papa sedang duduk berdampingan berhadapan dengan Om Joe dan Tante Rosella.Keempatnya serentak memandang padaku saat melihatku menampakkan diri. Aku duduk di sofa tunggal sendiri. Satu-satunya tempat yang paling memungkinkan untukku.Tante Rosella memandang padaku dengan ekspresi datar. Aku ingin menyapanya, tapi dia sudah keburu
JEVINZeline langsung mendorong dadaku sehingga membuatnya lepas dari pelukanku, lalu merapikan uraian rambutnya yang berantakan akibat dekapanku tadi.“Mau apa kamu ke sini?” Dia mendesis penuh rasa waspada.“Aku kangen kamu, aku juga mau bicara sama Papa kamu, Zel.”“Papa nggak mau bicara sama kamu. Sebaiknya kamu pergi sebelum dipermalukan seperti kemarin.”“Nggak apa-apa, aku nggak masalah. Mau diseret ke kantor polisi juga aku rela.”Zeline kemudian memandang ke sekitar kalau saja ada orang di dekat kami.“Kamu jangan keras kepala, Jev. Papa dan Mama nggak suka sama kamu. Mereka nggak ingin ketemu sama kamu. Jadi aku harap kamu segera pergi dari sini sebelum Papa ataupun Mama ngeliat kamu," ucapnya sok galak tapi malah membuatnya jadi semakin cantik.“Aku nggak akan tenang sebelum Mama dan Papa memaafkan aku, Zel. Aku nggak akan pergi,” jawabku bersikeras.“Mengertilah, Jev, jangan bikin masalah lagi. Udah cukup kamu bikin aku menderita,” ucap Zeline geram sambil menahan nada sua