Share

Suamimu Di Atas Ranjangku

Javas melepaskan diri dari dekapan Prilly. Ia harus pulang sekarang. Sudah terlalu lama ia berada di mobil perempuan itu. Padahal tadi ia menjanjikan hanya lima menit saja.

“Jav, kamu mau ke mana?” Prilly menahan tangan Javas agar tidak pergi darinya.

“Aku mau pulang, sudah malam.” Javas ingat jika tadi ia datang bersama Zoia. Mungkin Zoia sudah keluar dari toilet dan saat ini sedang menunggunya.

“Tapi aku masih kangen sama kamu, Jav,” ujar Prilly dengan suara manjanya.

“Besok kita kan bisa ketemu lagi, sekarang aku harus pulang. Zoia sudah menungguku.”

Prilly mendengkus mendengar nama itu disebut. Katanya hanya pernikahan sementara, tapi dari kata-kata Javas sepertinya perempuan itu begitu berharga sampai-sampai Javas memedulikannya.

“Jadi sekarang aku udah nggak ada artinya lagi buat kamu? Padahal seharusnya aku yang menjadi istri kamu, Jav,” ucap Prilly sedih dengan suara yang lirih. Dan itu membuat Javas tidak tahan.

“Dia nggak ada apa-apanya, Prilly. Buat aku kamu jauh lebih berarti. Tapi sekarang kondisi kita sudah berbeda. Aku sudah menikah.”

“Apalah artinya status kalau hati kamu tetap buat aku, begitu kan? Atau jangan-jangan perasaanmu juga sudah berubah karena pernikahan laknat itu?” Prilly menggulir matanya memindai inci demi inci wajah gagah di hadapannya.

“Perasaanku nggak sedangkal itu buat kamu, tapi—“

Perkataan Javas gagal tuntas karena Prilly membekap mulut Javas dengan ciumannya.

Javas yang awalnya tidak merespon mulai bereaksi ketika lidah perempuan itu menelusup masuk lalu menggelitik di dalam rongga mulutnya. Javas membalas.

“Jav, malam ini menginap di apartemenku aja ya?” Prilly mengusap paha Javas setelah pagutan mereka terurai.

Jika hanya menginap apa salahnya? Lagi pula hanya satu malam. Pernikahan bukanlah ikatan yang akan mengikatnya. Apalagi Zoia hanya istri pura-pura.

Prilly tersenyum senang menyaksikan anggukan kepala Javas. Ia tahu Javas yang buta cinta tidak akan mampu menolak. Mereka kemudian bertukar tempat. Prilly meminta Javas yang menyetir.

***

Zoia yang sejak beberapa menit yang lalu keluar dari toilet kebingungan mencari Javas. Suaminya itu tidak ada di mana-mana. Zoia sudah mencarinya dan bertanya pada beberapa orang tapi tidak ada yang melihat Javas. Mungkin Javas sudah duluan ke mobil, pikir Zoia.

Zoia keluar dari ballroom hotel dan langsung menuju area parkir kendaraan.

“Pak, Javas mana?” tanyanya pada supir Javas begitu tiba di sana akan tetapi lelaki itu tidak ada di mobil.

“Saya juga sedang menunggu Pak Javas, Bu,” jawab Reno, asisten sekaligus supir Javas.

Zoia memandang gusar ke sekelilingnya. Javas benar-benar tidak ada di sana.

“Coba saya telfon dia dulu.” Zoia bergumam sendiri kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas.

Menempelkan benda itu ke telinganya, Zoia menunggu respon ketika panggilan tersambung. Ia mengembuskan napas panjang karena Javas tidak menjawab panggilan darinya.

“Gimana, Bu Zoia?” tanya Reno setelah Zoia menjauhkan ponsel dari telinga.

“Nggak dijawab, Pak,” ujar Zoia pelan.

“Coba saya yang telfon, mungkin tadi Bapak nggak dengar handphonenya bunyi.”

Reno kemudian menghubungi Javas, dan hasilnya sama saja. Majikannya itu tidak menggubrisnya.

“Bapak nggak jawab telfon dari saya. Jadi sekarang gimana, Bu? Apa kita langsung pulang?” tanya Reno meminta pendapat Zoia.

Zoia tidak langsung memberi jawaban. Ia khawatir jika mereka meninggalkan Javas maka lelaki itu akan meradang lagi. Tahu sendiri bagaimana seorang Javas.

“Apa nggak kita tunggu saja dulu, Pak?”

“Tapi sepertinya Pak Javas sudah pulang duluan, Bu. Tempat ini juga sudah sepi.”

Zoia mengikuti pandangan Reno memindai area di sekitar mereka. Tidak ada lagi lalu lalang orang-orang atau kendaraan di sekitar mereka.

“Ya sudah, Pak, kita pulang sekarang.” Zoia memberi keputusan.

Reno mulai bergerak keluar dari area parkir hotel setelah Zoia menyuruhnya. Sama seperti sang majikan, pria itu tidak banyak bicara. Ia hanya bicara yang penting-penting saja.

“Pak, saya mau tanya, sebelumnya apa di rumah memang nggak ada asisten rumah tangga?” Zoia memecah keheningan. Selama ini hal itulah yang mengganjal di kepalanya. Kenapa di rumah besar dan mewah tersebut tidak ada seorang pun pembantu?

“Ada, Bu. Tapi setelah Pak Javas dan Ibu menikah, Pak Javas memecat mereka,” jawab Reno mengejutkan Zoia.

“Lho, kenapa begitu?” tanya Zoia tidak habis pikir.

“Maaf, Bu, saya juga nggak tahu.” Reno menjawab dengan sopan sambil melirik Zoia melalui spion tengah.

Jawaban yang didengarnya dari sang supir membuat Zoia berasumsi sendiri. Jangan-jangan Javas sengaja memberhentikan semua pekerja di rumah tersebut agar bisa menyiksa Zoia, termasuk memosisikannya sebagai pembantu.

Dugaan mereka meleset karena setibanya di rumah Javas tidak ada di sana. Ternyata lelaki itu belum pulang. Begitu pun saat Zoia mengetuk pintu kamar Javas. Tidak ada sahutan apa-apa. Kamar itu kosong.

***

Javas baru saja memasuki area Zero Residence. Prilly tinggal di sana. Lebih tepatnya di lantai lima belas. Saat mereka masih pacaran dulu Javas sudah biasa wara-wiri bahkan menginap di apartemen Prilly. Baginya tempat tersebut adalah rumah keduanya.

Prilly menggandeng mesra tangan Javas setelah mereka turun dari mobil. Perempuan itu seakan takut jika kaitan tangannya longgar sedikit saja maka Javas akan lepas darinya.

“Pril, malu dilihat orang,” bisik Javas di telinga Prilly ketika bibir perempuan itu merayap di lehernya. Saat itu mereka sedang berada di lift. Selain Javas dan Prilly, ada dua orang pengguna lift lainnya.

“Who cares? Kan aku kangen. Siapa suruh mereka naik lift bareng kita?” Perempuan itu tidak peduli dan tak henti bergelayut manja serta menggoda Javas dengan sentuhannya.

Javas tidak membalas. Meskipun sangat mencintai Prilly tapi ia tidak berani berbuat begitu di depan umum. Ia khawatir ada yang mengenalnya.

Prilly cemberut karena Javas tidak merespon, yang membuat Javas tersenyum gemas melihat bibir mengerucut perempuan itu.

“Sabar ya, Cantik, nanti kalau udah nyampe kita puas-puasin,” bisiknya di telinga Prilly.

Prilly tersenyum senang. Bibirnya tidak lagi meruncing seperti tadi.

Begitu pintu lift terbuka keduanya bergegas keluar kemudian masuk ke apartemen Prilly.

“Jav, kamu istirahat di kamar ya, aku siapin minuman. Kamu mau apa?”

“Soft drink dingin,” jawab Javas.

“Okay, Sayang.” Prilly memberi kecupan hangat di bibir lelaki itu.

Selagi Javas masuk ke kamar dan berbaring di ranjang, Prilly berjalan ke belakang. Ia tidak langsung menyiapkan minuman seperti yang dikatakannya tadi, akan tetapi menghubungi Zoia.

“Halo.”

“Halo, Zoia, ini aku Prilly. Maaf aku mengganggu tidurmu dengan Javas.”

“Aku belum tidur, Javas juga belum pulang,” jawab Zoia.

“Really? Sudah selarut ini masih belum pulang?” Prilly pura-pura terkejut. “Memang dia ke mana?”

“Aku juga nggak tahu. Dia menghilang di tempat acara.”

“Apa aku bilang. Dia memang sesukanya. Bisa saja saat ini dia sedang bersama perempuan lain. Jadi mending sekarang kamu nggak usah tunggu dia pulang. Kamu tidur aja yang nyenyak,” ucap Prilly pelan sambil berjalan mengendap-endap ke arah kamar. Tepat di depan pintu Prilly mengintip melalui sedikit celah. Ia tersenyum melihat Javas berbaring nyaman di atas ranjangnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status