Share

Bab 4

Author: Seli
Sore itu asisten pribadi Tritan, Evan datang mencariku ke laboratorium.

“Bu Isabel, Pak Tritan mengundang Ibu makan malam di La Monsoon Resto malam ini. Bapak ingin bertemu Ibu.”

Aku tertegun.

La Monsoon Resto.

Tempat yang tak akan pernah kulupakan.

Di sana, tepat di hari ulang tahun pernikahan kami dulu, dia membatalkan rencana. Karena rapat bisnis, dia meninggalkanku menunggu sepanjang malam.

Kupaksa menenangkan diri, lalu mengangguk.

Malam menjelang, aku tiba di La Monsoon Resto. Tritan sudah duduk di tepi jendela, rapi dalam setelan jas gelap, rambut disisir ke belakang, kacamata berbingkai emas menempel di hidungnya. Saat dia menengadah dan melihatku, sudut bibirnya terangkat menampilkan senyuman tipis, seolah mengatakan tak pernah terjadi apa-apa di antara kami.

“Isabel.” Suaranya rendah dan lembut.

Jantungku berdetak kencang. Sudah kukatakan pada diriku untuk melepaskan, tapi melihatnya selalu membangkitkan rasa yang kusimpan bertahun-tahun. Napasku memburu, pipiku memerah tanpa kusadari.

Aku melangkah mendekat. Dia menarik kursiku agar segera duduk, layaknya seorang pria sejati.

Tritan menatapku, sorot matanya penuh kerumitan.

“Isabel, aku mau bicara sama kamu.”

“Apa yang mau kamu bicarakan?” jawabku.

Dia menatapku sebentar, matanya menampakkan kerumitan.

“Isabel, aku tahu akhir-akhir ini sering mengabaikanmu, tapi aku sama Renata...”

Tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan dari Evan.

“Pak Tritan, Bu Renata melukai pergelangan tangannya.”

Tritan langsung bangkit.

“Apa?!”

Melihat reaksinya yang panik itu, rasanya seperti seember air dingin disiramkan ke wajahku, memadamkan sisa-sisa harap yang masih kurawat. Aku berharap dia akan bicara jujur, mengungkap hal-hal yang selama ini membuatku salah paham.

Namun saat telepon dari wanita itu datang, kekhawatiran Tritan tampak nyata.

Jadi… ini yang dia sebut sebagai penjelasan?

Ini… yang katanya dia ingin bicarakan denganku?

“Pergilah,” kataku pelan.

Aku mengangkat kepala, berusaha keras membuat suaraku terdengar tenang.

Dia menatapku sejenak, sorot matanya menyiratkan kepedihan.

“Isabel, maafkan aku. Aku akan segera kembali.”

Selesai mengatakannya, dia pun berbalik dan melangkah pergi dengan tergesa.

Aku menatap punggungnya yang menjauh. Dadaku terasa tertusuk, pandanganku menggelap. Aku pun kehilangan kesadaran.

Saat tersadar, aku sudah terbaring di ranjang rumah sakit.

Dokter sedang berbicara dengan Evan. Begitu melihatku terbangun, dokter menatapku prihatin.

“Sudah bangun, Bu Isabel?”

Aku mengangguk. Jantungku masih berdegup kencang. Apa dia akan memberitahu Evan tentang kehamilanku?

“Kondisi Ibu sangat lemah. Ibu perlu banyak istirahat,” kata dokter, suaranya tegas.

“Selain itu, Ibu sedang...”

Panik mengekang dahiku, aku menahan napas sampai keringat dingin membekas. Beruntung, ponsel Evan berdering.

“Maaf, ini telepon dari Pak Tritan,” ucap Evan lalu keluar untuk menerima panggilan.

Aku menghela napas lega, kemudian cepat-cepat memanggil dokter.

“Dokter… soal kehamilanku, tolong jangan katakan pada mereka.”

Dokter mengangguk.

“Tentu saja. Itu privasi Ibu.”

Beberapa menit kemudian Evan kembali.

“Bu Isabel, Pak Tritan ada urusan mendadak, jadi aku harus segera pergi.” Dia meletakkan sebuah kartu kredit di meja.

“Pak Tritan menyuruhku tinggalkan ini. Kalau ada kebutuhan apa pun, bilang saja ke dokter.”

Tanpa menunggu jawabanku, dia bergegas pergi meninggalkan ruangan.

Di ranjang rumah sakit, aku menatap langit-langit yang putih, hampa tapi berisik. Hati seperti terkikir tipis.

Selama masa perawatan, bisik-bisik perawat tak pernah lepas dari telingaku.

“Beruntung banget Bu Renata dapat suami seperti Pak Tritan.”

“Iya, tiap hari datang menjenguk, bahkan masakkan sup sendiri.”

“Katanya, Bu Renata bentar lagi mau melahirkan pewaris Keluarga Wirajaya.”

“Ya, katanya sih, sudah masuk bulan ketiga kehamilan…”

Setiap kalimat itu menusuk. Di mulut perawat, “istri Tritan” yang sempurna itu seharusnya aku. Ironisnya, justru aku yang disembunyikan, lenyap dari pandangan dunia.

Beberapa hari kemudian aku diizinkan pulang. Langkahku bukan kembali ke vila, bukan juga mencari tempat untuk beristirahat, melainkan langsung ke pengadilan negeri.

Di sana, aku menerima selembar dokumen yang sudah lama kutunggu, putusan perceraian yang kini resmi berkekuatan hukum.

Menatap lembaran kertas di tanganku, aku menarik napas dalam-dalam, berusaha sekuat tenaga menenangkan gejolak yang berkecamuk di dada.

Aku tahu, sekali melangkah melewati batas ini, tak akan ada jalan kembali.

Namun aku juga tahu, ini satu-satunya jalan yang bisa membebaskanku.

Di layar ponsel kubuka aplikasi pengiriman. Saat mengisi alamat, aku sengaja menunda jadwal pengantaran tiga hari. Aku ingin putusan itu baru sampai ke tangan Tritan setelah aku tiba di Norevia. Aku tak mau melihatnya lagi. Aku tak mau mendengar kabar darinya, tidak lagi.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 11

    Tatapan Tritan tak pernah lepas dariku.Dia memperhatikanku bergerak lincah di laboratorium perkemahan, membahas rencana penelitian bersama tim, mencatat data dengan penuh fokus.Setiap kali mataku bertemu dengan matanya, aku bisa membaca perjuangan batin dan rasa sakit di balik sorot matanya.Kini dia mulai menyadari, aku sudah bukan lagi istri yang pasif dalam dunianya. Aku seorang peneliti mandiri, berbakat, dan penuh semangat.Seorang wanita yang selama ini belum pernah benar-benar dia pahami.Kesadaran itu, bagi Tritan, mungkin lebih menyakitkan daripada luka fisik mana pun.Dunia lamanya, benteng yang dibangun dari kekuasaan dan keinginan mengontrol, perlahan runtuh.Dia mencoba menggunakan logika lama untuk memahami semuanya, tapi sadar, logika itu tak lagi berguna.Dia tak bisa membeli maafku dengan uang, juga tak bisa memaksaku tetap tinggal dengan kekuasaannya.Di perkemahan ini, dia hanyalah seorang asing sepenuhnya.Tritan menutup matanya, perihnya merambat ke seluruh hati.

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 10

    “Isabel!”“Isabel!”Tritan dan Owen sama-sama terkejut, suara mereka nyaris bersamaan.Namun Tritan lebih cepat satu langkah. Dia melesat ke depan, langsung menangkapku ke dalam dekapannya.“Apa yang kamu lakukan?” Owen berteriak marah, mencoba merebutku.Namun Tritan memelukku erat, tatapannya penuh ketegasan.“Aku suaminya. Aku punya hak untuk menjaganya.”Dalam kekacauan itu, aku dibawa masuk ke tenda medis.Tritan duduk di samping ranjangku, menyiapkan segelas susu hangat dengan hati-hati. Dia mencoba memastikan suhunya, lalu menyodorkan sedotan ke bibirku.“Isabel… minumlah sedikit. Kamu akan merasa lebih baik.”Aku menerimanya dalam diam, menatap tangannya yang penuh bekas luka, tapi tetap terasa hangat dan lembut.Hati ini terasa campur aduk.Dulu, tangan ini adalah sandaran terkuat bagiku. Kini, justru menjadi sumber luka yang terdalam di hatiku.Aku meneguk susu itu tanpa sepatah kata. Tritan pun diam, hanya menatapku dengan sorot mata yang sulit ditebak.Hening. Hanya terdeng

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 9

    Aku menoleh, menatap Tritan dengan sorot mata dingin penuh jarak, seolah menatap orang asing.Wajahnya tercetak keterkejutan dan kesakitan. Suaranya bergetar saat mencoba membuka mulut.“Isabel… ini aku… aku Tritan…”Aku tetap tenang, tapi nada suaraku dingin.“Pak Tritan, antara kita… sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Menjelang fajar, upaya penyelamatan perlahan berubah menjadi tahap pemulihan.Tritan kembali menghentikanku. Suaranya rendah penuh putus asa.“Isabel, aku tahu aku sudah lakukan kesalahan yang nggak termaafkan… tapi kamu hamil! Bayi itu juga anakku!”Aku menatapnya dingin.“Lalu kenapa? Itu nggak mengubah apa pun.”“Aku mohon… beri aku satu kesempatan untuk menebus semuanya.” Suaranya terdengar memelas.Aku tetap membeku.“Tritan, antara kita… sudah berakhir. Silakan pergi!”“Isabel… kumohon… lihat aku!” teriaknya dalam kesakitan.Aku tetap acuh, menoleh menjauh.“Tritan… sungguh ironis. Dulu, saat mataku hanya memandangmu, kamu nggak pernah menghargainya. Seka

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 8

    Tritan mencengkeram bahu gadis itu, suaranya rendah tapi tergesa-gesa.“Dia di mana? Isabel… sekarang ada di mana?!”Gadis itu terkejut, beberapa detik terdiam sebelum akhirnya menjawab terbata-bata.“Dia… dia minggu lalu pergi ke Norevia, ikut program pertukaran penelitian.”Norevia?Mendengar kata itu, dada Tritan terasa sesak.Dia teringat perkataannya dulu, saat menertawakanku ketika melihat formulir permohonan untuk ikut pertukaran itu.“Norevia? Di sana cuacanya begitu dingin, iklimnya buruk… kamu pasti nggak akan betah.”Saat itu, aku hanya menundukkan kepala, diam tak bersuara.Kini, kenangan itu menusuknya, semua harapanku yang dulu tampak konyol di matanya, kini benar-benar nyata.Tritan merasa dadanya sesak luar biasa. Perlahan, dengan napas berat, dia melepaskan genggaman dari bahu gadis itu dan mundur beberapa langkah, tergopoh-gopoh.“Kamu… baik-baik saja?” tanya gadis itu cemas.Tritan tak menjawab. Dia hanya menarik napas panjang, dalam, dan berat, lalu berbalik melangk

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 7

    Jari-jarinya gemetar saat menyentuh stempel merah di atas surat cerai itu. Tatapannya penuh keterkejutan dan penyesalan.“Bagaimana bisa… bagaimana aku bisa menandatangani ini…?”Renata berdiri di sampingnya, sesekali menoleh ke akta cerai itu. Sebuah senyum tipis terukir di sudut bibirnya, meninggalkan tatapan yang penuh ejekan.“Sudahlah, Tritan. Jangan terlalu khawatir. Isabel cuma sedang ngambek. Pada akhirnya, dia tetap akan berlutut padamu, memohon untuk diterima lagi.”“Bagaimanapun, dia cuma mahasiswi miskin. Mana mungkin dia tega meninggalkanmu, penopang hidupnya.”“Diam!” Tritan tiba-tiba mendongak, sorot matanya membara dengan amarah.“Dia istriku!”Dengan amarah yang meluap, dia mendorong Renata menjauh, lalu melangkah cepat menuju pintu.Tubuh Renata terhuyung, menabrak vas kristal di sampingnya.Pyar!Vas itu jatuh keras, pecah berkeping-keping, serpihan kaca berserakan seakan mencerminkan pernikahan mereka yang hancur.Tanpa menoleh sedikit pun, Tritan bergegas keluar, m

  • Diam-Diam Kuserahkan Surat Cerai   Bab 6

    Di sisi lain, Tritan terus merasa hatinya gelisah, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya tanpa henti.Tiba-tiba, sebuah kesadaran menghantamnya, seakan dia baru kehilangan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang tak seharusnya dia abaikan.Namun saat pikirannya berusaha kembali fokus, sebuah motor melaju kencang dari arah berlawanan.Tritan refleks menginjak rem sekuat tenaga. Ban mobil berdecit keras, gesekannya dengan aspal menimbulkan suara melengking yang menusuk telinga.Di kursi penumpang, wajah Renata seketika pucat pasi, dia menjerit keras.“Tritan! Apa yang kamu pikirkan barusan? Kamu hampir membuatku mati ketakutan!”Namun Tritan tak menghiraukannya. Dadanya bergemuruh, pikirannya dipenuhi kekosongan yang menyesakkan.Saat itulah dia sadar, sudah lama sekali dia tak menerima kabar dariku.“Tritan?” Suara Renata kini sarat dengan nada kesal.Tritan hanya menatap lurus ke depan, ekspresinya dingin.“Maaf,” ujarnya datar. “Aku hanya sedikit melamun.”Sambil meminta maaf, dia

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status