Tiga tahun kemudian.
Pagi di pulau itu terasa damai seperti biasa, tapi di sebuah ruangan kecil dengan jendela terbuka, suara perdebatan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Jacob dengan sikap santainya, duduk di kursi sambil memperhatikan Luna yang sibuk menulis di atas buku.
"Akhirnya, setelah bertahun-tahun otakmu menunjukkan perkembangan yang layak diapresiasi. Tidak sia-sia aku mengabdikan diriku sebagai guru privat selama tiga tahun belakangan," ujar Jacob dengan nada setengah menggoda.
Luna berhenti menulis sejenak, menatap Jacob dengan tatapan yang nyaris membunuh, sebelum kembali sibuk dengan tugasnya. Meski kesal, ia tidak bisa menyangkal bahwa ucapan Jacob ada benarnya. Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu dan kini Luna sudah berusia sembilan belas tahun.
Tapi, gadis itu masih mempertahankan penampilannya dengan rambut pendek sebatas leher. Setiap kali rambutnya tampak sedikit panjang, Luna akan memotongnya.
"Aku sudah selesai," kata Luna, membuyarkan lamunan Jacob. Ia mendorong bukunya ke meja. "Sekarang, bolehkah aku keluar?"
Jacob mengambil buku itu, memeriksanya dengan cermat. "Tetap di sini sampai aku selesai memeriksa tugasmu," jawabnya santai.
Luna mendengus pelan, tapi ia tetap duduk, meski terlihat jelas dari sorot matanya bahwa ia ingin segera pergi.
"Sudah cukup bagus," kata Jacob setelah beberapa menit, meletakkan buku itu di meja dengan bunyi plak. "Tapi masih ada beberapa kesalahan yang kamu buat."
Ia menatap Luna, gadis itu balas menatapnya tanpa rasa takut. Selama tiga tahun saling mengenal, tampaknya Luna mulai berani dengan terang terangan menantangnya. Bahkan dari sorot matanya, Jacob melihat tatapan kebencian seakan ingin mencakarnya saat ini juga.
"Aku sudah belajar tiga tahun bersamamu," kata Luna dengan nada menantang. "Apa sekarang aku lulus?"
Jacob terkekeh, mengulang kata itu seolah ia baru mendengar lelucon. "Lulus? Kau bercanda, kan?" Ia mendorong kening Luna dengan jari telunjuknya, hanya untuk membuat gadis itu menepisnya dengan kasar. "Masih ada banyak hal yang perlu kau pelajari, Luna. Jangan bermimpi."
Luna berdiri mendadak membuat Jacob mendongak ke arahnya, tak ingin merasa kalah, Jacob pun berdiri sehingga kini Luna yang mendongak menatap Jacob.
"Apa? Kau mau menantangku sekarang?" tanyanya, senyumnya penuh ejekan.
"Hei, Tuan pemburu kelinci," Luna menyipitkan matanya dengan tatapan penuh perlawanan. "Selama tiga tahun ini, apa kau tidak bosan di pulau ini? Tidak rindu menikmati kebebasanmu di dunia luar sana?"
Alis Jacob terangkat, dan seringai kecil menghiasi bibirnya. "Kau ingin aku pergi agar kau terbebas dari pengajaranku, ya?"
"Sial, kau bisa membaca pikiranku," gerutu Luna lirih, tapi cukup keras untuk didengar Jacob.
Dengan gerakan cepat, Jacob meraih dagu Luna, memaksanya untuk kembali mendongak menatapnya. "Aku tidak mengizinkanmu mengumpat di depanku, gadis kecil," katanya dengan nada rendah yang menggoda.
Luna langsung menepis tangannya dengan gerakan kasar. "Aku bukan anak kecil! Aku sudah sembilan belas tahun, aku sudah dewasa!" serunya dengan nada tinggi, penuh perlawanan.
Jacob memiringkan kepalanya, tatapannya berubah sedikit lebih serius, tapi bibirnya tetap tersenyum. "Oh, ya?"
"Ya! Tentu saja!" Luna menegaskan, menatap Jacob tanpa sedikit pun rasa takut.
Jacob hanya menaikkan kedua alisnya tinggi, menyadari Luna kembali menantangnya. Tapi satu hal yang Jacob sadari, tubuh Luna kini lebih tinggi dari tiga tahun lalu dan beberapa bagian tubuhnya tampak menonjol dari sebelumnya.
Seringai kecil menghiasi wajah Jacob, seolah ia ingin menggodanya lagi. Tapi sebelum ia sempat bicara, Luna sudah berbalik dengan cepat, berjalan pergi sambil menghentakkan kakinya dengan kesal.
___
Langit malam menggantung kelam di atas mansion, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar menyusup melalui celah dedaunan. Suasana sepi, hanya suara angin malam yang sesekali membelai tirai jendela. Di dalam kamarnya, Jacob menutup buku yang telah dibacanya sejak tadi. Ia menghela nafas panjang. Malam-malam seperti ini sering membuatnya bosan, dan entah sejak kapan, mencari Luna dan menggoda gadis itu menjadi pelarian favoritnya.
"Dimana Luna?" tanyanya santai pada Maci, pelayan yang kebetulan lewat di depan kamarnya.
"Saya tadi melihat Luna keluar sambil membawa lentera, sepertinya menuju ke arah hutan," jawab Maci dengan nada ragu.
Jacob mengerutkan kening. Di malam selarut ini, untuk apa Luna pergi ke hutan? Perasaan aneh menghampirinya, dan tanpa berpikir panjang, ia meraih mantel dan melangkah keluar menuju arah yang disebutkan Maci.
Hutan di malam hari bukanlah tempat yang ramah. Gelap dan sunyi, dengan suara ranting patah di bawah kaki serta gesekan daun yang seolah berbisik mengikuti langkahnya. Meskipun selama tinggal di pulau ini Jacob belum pernah bertemu hewan buas, tapi tetap saja banyak ular berbisa berkeliaran.
"Luna?!" panggilnya lantang.
Hanya keheningan yang menjawab. Jacob terus melangkah lebih dalam, matanya tertuju pada cahaya redup lentera yang berkedip-kedip dari kejauhan. Itu pasti Luna. Langkahnya semakin cepat, namun suara gemericik air membuatnya berhenti sejenak.
Di dekat sebuah kolam air terjun kecil, Luna menikmati kesendiriannya. Air dingin menyegarkan tubuhnya, dan suasana hening membuatnya rileks setelah hari-hari penuh gangguan dari Jacob. Dengan senyum tipis, ia membiarkan tubuhnya yang telanjang tenggelam dalam kenyamanan air yang sejuk.
"Aku berharap dia segera pergi dari pulau ini," gumamnya pelan, tanpa menyadari bahwa harapannya segera berbalik menjadi kenyataan yang janggal.
"Kau di sini ternyata."
Suara itu membuatnya tersentak. Tubuhnya langsung membeku, dan ketenangan yang baru saja ia nikmati buyar seketika. Luna menoleh dengan cepat, hanya untuk melihat Jacob berdiri di tepi kolam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Apa yang Anda lakukan kemari?" tanyanya dengan nada tegang.
"Mencarimu," jawab Jacob santai, matanya tetap tertuju pada bahu Luna yang terlihat samar di bawah cahaya lentera.
Luna menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Dalam kondisi seperti ini, ia tidak mungkin keluar dari air. Tanpa sehelai pakaian pun di tubuhnya, situasi ini bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya.
"Tuan, berbaliklah," desisnya, nadanya setengah memohon.
Jacob mengangkat alis, bingung. "Di mansion ada kolam renang. Kenapa kau repot-repot datang ke hutan hanya untuk berenang? Cepat keluar dari sana. Bahaya kalau ada ular atau binatang lain yang mendekat."
Luna memejamkan mata, tangannya menyilang di depan dada, berusaha menutupi dirinya di bawah air. "Tuan, aku mohon, berbaliklah! Aku… aku tidak mengenakan apa pun. Jangan melihatku!"
Perkataan itu membuat Jacob terdiam. Matanya membelalak kecil, menyadari apa yang Luna maksudkan. Ia segera membalikkan tubuhnya, membelakangi gadis itu.
"Sudah. Sekarang kau bisa keluar dari kolam itu."
Luna menoleh perlahan, memastikan Jacob benar-benar tidak melihatnya. Baru setelah yakin, ia mulai keluar dari air, tubuhnya menggigil karena udara malam. Namun tanpa ia sadari, bayangannya yang dipantulkan cahaya lentera tercetak jelas di permukaan air dan tanah. Siluet tubuhnya yang ramping dan sensual tanpa busana terlihat seperti sebuah karya seni, tak luput dari perhatian Jacob.
Meskipun punggungnya membelakangi Luna, bayangan gadis itu tidak bisa dihindari. Jacob tertegun, matanya menangkap setiap detail yang terpantul. Ia segera menunduk, mencoba mengalihkan pikiran, tapi imajinasi liar sudah terlanjur muncul di benaknya.
"Sudah selesai?" tanyanya cepat, mencoba menutupi kegugupannya.
Luna mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, wajahnya memerah meskipun Jacob tidak melihat langsung. "Ya, sudah. Sekarang kita bisa pergi," balasnya dengan nada ketus.
Jacob berbalik dan matanya mengikuti langkah Luna, ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan, untuk pertama kalinya ia menatap gadis itu bukan lagi sebagai anak kecil di matanya.
Jacob merasa gugup, sesuatu pada bagian tubuhnya yang lain terasa tidak nyaman secara tiba-tiba setelah melihat bayangan tubuh Luna di air beberapa saat lalu.
"Apa yang terjadi padaku?" desisnya frustasi.
10 Tahun KemudianMentari sore menggantung rendah di langit, menciptakan semburat jingga keemasan yang menyelimuti pulau. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan nostalgia masa kecil yang perlahan memudar. Di tepi dermaga kecil, di mana ombak lembut menyapa tiang-tiang kayu, Jacob berdiri berdampingan dengan putranya, Henry, yang kini telah tumbuh menjadi remaja enam belas tahun dengan sorot mata yang mantap.“Kau serius?” tanya Jacob, suaranya tenang namun menyimpan getaran halus. Tatapan matanya tak bisa menyembunyikan emosi yang berlapis, antara bangga dan kehilangan.Henry mengangguk. “Aku ingin keluar dari pulau ini, Ayah. Aku ingin mencoba hidup di luar. Belajar mandiri, menghadapi dunia nyata dengan caraku sendiri.”Jacob menarik nafas panjang, seolah menyerap kata-kata itu hingga ke dalam dadanya yang sesak. Ia merangkul Henry sekilas, menepuk punggungnya pelan. “Kalau itu keputusanmu, Ayah tak akan menghalangi. Itu hakmu.”Henry menatap sang ayah sejenak sebelum be
Hari masih pagi benar, matahari bahkan belum sepenuhnya menggantung di langit. Tapi dari halaman belakang, sudah terdengar gelak tawa yang memecah keheningan. Suara riuh Riley dan Henry menyatu dengan pekikan ceria khas anak-anak, menggema hingga ke dalam rumah, cukup untuk membuat Luna dan Jacob terbangun dari tidur mereka.Dengan mata masih setengah terpejam, Luna mengintip jam di dinding. Tujuh pagi. Ia menghela nafas lalu beranjak dari tempat tidur, berjalan pelan menuju balkon kamarnya yang menghadap langsung ke halaman belakang.Begitu sampai, senyum langsung merekah di wajahnya. Riley terlihat memeluk seekor kelinci putih dengan lembut, sementara Henry berlarian dengan penuh semangat bersama Nico, mengejar kelinci lain yang dengan lincah menghindar di antara semak dan rerumputan.Setiap kali seekor kelinci dewasa mendekat, Nico dengan penuh semangat mencoba menangkapnya. Tapi entah karena terlalu lambat atau kelincinya terlalu gesit, yang ada justru Nico yang tersungkur berulan
Musim terus berganti, namun pulau kecil yang tersembunyi itu tetap menjadi surga tenang bagi keluarga kecil Jacob. Lokasinya terpencil, nyaris tak terjamah dunia luar, hanya keluarga Jacob yang tahu letaknya, seolah Tuhan sengaja menciptakannya sebagai tempat pelarian dari segala kebisingan dunia.Saat pintu rumah dibuka, pemandangan pertama yang menyambut adalah kelinci-kelinci putih berlarian bebas di rerumputan, bunga liar bermekaran di tepian jalan setapak, dan udara laut yang segar menyapu wajah dengan lembut.Kini adalah musim panas keenam sejak mereka tinggal di sana. Pulau itu telah menjadi rumah yang utuh, tempat mereka menua bersama waktu, membesarkan anak-anak, dan menyulam kebahagiaan dalam sunyi yang damai.“Ayah! Lihat aku, aku bisa melakukannya!” teriak Riley, gadis kecil yang hampir genap berusia enam tahun. Tubuh mungilnya berdiri mantap di atas papan selancar yang meliuk lincah dibawa ombak.Tawa Riley pecah, bergema bersamaan dengan deru ombak yang memecah bibir pan
Tiga tahun kemudian.Mentari pagi menembus jendela-jendela besar rumah kayu mereka, memantulkan cahaya hangat ke lantai kayu yang mengkilap. Luna menuruni tangga dari lantai dua, gaun santainya bergoyang lembut mengikuti langkahnya. Tapi tak seperti biasanya, suasana rumah pagi itu terasa terlalu sunyi.Tak ada suara tawa anak-anak, tak ada suara Jacob yang biasanya sibuk menyiapkan sarapan atau menggoda Henry dan Riley. Ruang tamu kosong. Dapur pun sepi.Luna mengernyit. Hatinya bertanya-tanya.Langkahnya pun membawanya ke belakang rumah, ke arah kebun. Di sana, ia hanya menemukan Maci yang baru saja selesai mengisi keranjang dengan hasil panen kentang. Wajah wanita paruh baya itu tampak bersemu oleh matahari, peluh membasahi pelipisnya.“Bu, kemana anak-anak dan ayahnya?” tanya Luna dengan lembut.Maci mengusap keringatnya dengan punggung tangan lalu tersenyum. “Mereka ke arah sungai di utara. Sekarang sedang musim udang air tawar, dan Riley serta Henry semangat sekali ikut berburu.”
Pulau itu adalah tempat dimana Jacob dan Luna pertama kali bertemu, selain itu, pulau tersebut juga adalah tempat ternyaman bagi Luna. Ia masih tidak menyangka bahwa Jacob mengajaknya menetap di pulau tersebut, itu keputusan yang cukup mengejutkan.Pagi ini, udara terlihat sangat menyejukkan mata. Selesai melakukan tugasnya sebagai seorang ibu untuk menyusui kedua anaknya, Luna pun memilih jalan-jalan di sekitar pulau yang sudah sekitar satu tahun ia tinggalkan.Sementara kedua bayinya, mereka dijaga dengan baik oleh Maci. "Aku penasaran bagaimana bisa kedua orang tuamu mengetahui pulau ini dan menjadikannya milik mereka," ucap Luna pada Jacob yang berjalan di sebelahnya.Jacob mengedarkan pandangan pada lautan lepas yang ada di hadapannya, kemudian menghembuskan nafas panjang. "Bukan kedua orang tuaku yang mendapatkan pulau ini, aku sempat mendengar bahwa pulau ini ditemukan oleh seorang nelayan yang tersesat, lalu mendiang nenek membelinya.""Nenek?" tanya Luna.Jacob mengangguk, "P
Tidak ada yang bisa menghentikan kepergian Jacob dan Luna, keputusan mereka sudah final dan tak bisa ditarik kembali. Setelah menunggu hingga usia bayi mereka empat bulan, kini waktunya untuk menuju ke tempat tinggal yang baru.Di atas sebuah helipad gedung apartemen Jacob, helikopter sudah siap mengantar mereka. Disisi lain, Hazel masih menggendong Riley dalam dekapannya, bayi itu menggunakan pelindung telinga untuk mengantisipasi gangguan mesin helikopter pada pendengarannya."Sayang sekali kita harus berpisah sampai disini, tunggu aku untuk menjenguk kalian ya." ucap Hazel tak tega, ia mendaratkan kecupan manis di pipi Riley sebelum menyerahkan bayi itu pada Jacob.Sementara bayi satunya, ada di gendongan Nico. Lelaki itu jug tampak enggan melepaskan Henry dari pelukannya saat Luna akan mengambilnya, bahkan Nico mundur selangkah dengan kepala menggeleng pelan, Luna menatap Nico dengan senyum tipis agar adiknya itu segera menyerahkan Henry padanya."Luna, tinggal saja disini okay? Ta