Hari demi hari berlalu, namun bagi Jacob, waktu seolah berjalan di tempat. Mengajar Luna terasa seperti menghadapi tembok yang keras kepala. Gadis itu sepertinya lebih tertarik pada hal-hal lain daripada pelajaran yang ia berikan. Setiap kali mereka duduk bersama, Jacob mendapati dirinya di ambang kehilangan kewarasan.
"Luna! Ini sudah lima bulan sejak aku mengajarimu, tapi kenapa kau tetap saja tidak paham apa yang aku jelaskan?!" serunya sambil mengetukkan tongkat kayu kecil ke kening Luna. "Gunakan otakmu! Apa kau kira belajar itu hanya sekedar duduk-duduk manis?"
Luna memanyunkan bibir, mengeluh seperti anak kecil yang dimarahi. "Anda selalu marah-marah. Apa tidak bisa mengajar dengan lebih lembut?"
Jacob menggerutu, meletakkan tongkatnya dengan kasar di meja. "Lembut? Bagaimana aku bisa lembut kalau muridku sekeras batu dan seceroboh dirimu?!"
Luna menunduk, memainkan jari-jarinya di atas buku. "Angka-angka ini sulit sekali," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Jacob menghela napas berat. Mengajari Luna ternyata jauh lebih sulit daripada membujuk anak kecil memakan sayuran. Ia berdiri, mengusap wajahnya dengan frustasi sebelum melangkah keluar ruangan.
Begitu Jacob menghilang, Luna tersenyum lebar. "Yes! Aku bebas!" bisiknya dengan penuh kemenangan.
Namun, belum sempat ia menikmati kebebasannya, Jacob kembali masuk ke ruangan dengan tatapan tajam. Luna seketika tertegun.
"Kau punya tugas. Baca dari halaman satu sampai dua puluh. Kalau aku kembali dan kau belum selesai, kau akan menerima hukuman." Jacob berkata tegas sebelum benar-benar pergi.
"Apa?!" Luna mendelik, mulutnya terbuka lebar. Tapi Jacob sudah menghilang di balik pintu, meninggalkan Luna dengan tatapan protesnya.
"Argh! Kenapa dia menyebalkan sekali?! Aku seharusnya bisa bermain dengan kelinci-kelinciku hari ini!" gerutunya sambil mengacak rambut kesal.
Di balik pintu, Jacob berdiri diam. Ia mendengar setiap keluhan Luna, dan bibirnya tanpa sadar melengkung menjadi seringai kecil.
"Jangan pikir kau akan bisa lolos, aku akan terus mengawasimu agar tetap belajar, Luna."
__
Sore harinya, niat Luna ingin bersantai di taman seperti biasanya lagi-lagi di ganggu oleh Jacob. Ia berusaha untuk mengabaikan dan fokus bermain bersama para kelinci.
Sejak Jacob datang dan menawarkan menjadi teman untuknya, Luna sudah mulai menaruh kecurigaan. Ia tidak yakin Jacob benar-benar menawarkan pertemanan, dan ternyata pria itu punya niat terselubung, yaitu memarahinya dengan dalih sebagai guru yang mengajari muridnya.
"Bagus. Kau menangkap kelinci itu. Nanti malam aku akan menjadikannya santapan kelinci panggang," ujar Jacob dengan nada datar yang membuat Luna menoleh tajam.
Luna menatapnya dengan kesal, "Aku tidak akan membiarkan kelinci ini menjadi santapanmu!"
"Oh, kau mencoba menantangku?" balas Jacob.
Bibir Luna mencebik, ia sengaja melepaskan kelinci yang ia pegang agar Jacob tidak menjadikannya santapan. Kedua alis Jacob terangkat tinggi melihat kelinci yang Luna pegang dilepaskan.
"Coba tangkap, kalau kau bisa." ucapnya menantang.
Jacob menyeringai, "Kau menantangku rupanya." tanpa ragu Jacob menghampiri satu persatu kelinci dan menangkapnya, tapi para kelinci itu ternyata sangat gesit.
Luna melipat tangan di depan perut, yakin bahwa Jacob pasti tidak akan berhasil menangkap kelinci itu. Tapi hanya beberapa detik sejak ia berpikir demikian, Luna di buat kaget karena melihat Jacob berhasil menangkap seekor kelinci dengan tangan kosong.
Matanya mendelik, "Lepaskan kelinci itu!"
Jacob mengangkat kelinci itu di udara. "Aku akan melepaskannya... setelah aku memanggangnya." Ia berbalik, berjalan menuju rumah.
Luna menjadi panik, ia mengejar Jacob dan tanpa di sangka, Jacob menyadari pergerakannya. Alhasil, Jacob ikut berlari menghindari serangan Luna.
Luna panik. "Tunggu! Kau tidak boleh memakannya!" Ia berlari mengejar Jacob.
Jacob tertawa kecil, menikmati kehebohan yang ditimbulkan. "Kau yang menantangku, sekarang kau yang keberatan? Lucu sekali."
Oh astaga, Jacob tidak pernah menyangka jika berebut kelinci akan terasa menyenangkan seperti ini. Apalagi ia harus berebut dengan gadis kecil yang tubuhnya jauh lebih kecil darinya, kedua kaki kecil Luna melompat beberapa kali untuk meraih kelinci di tangan Jacob.
Tapi pria itu terus berlari mundur dengan kecepatan rendah, sengaja menggoda Luna. Namun sial, Jacob yang tidak memperhatikan langkah membuatnya tersandung oleh bebatuan yang ada sehingga ia terjatuh.
Kelinci yang ia pegang juga terlepas dari tangannya, tapi lebih dari itu, gadis yang mengejarnya rupanya turut terjatuh menimpa tubuh Jacob yang terbaring di rerumputan.
"Gadis kecil sepertimu berani sekali menggodaku." ujar Jacob, suaranya dingin meskipun sebenarnya ia sedang bercanda.
Luna membelalak kaget, bergegas bangkit. Alih-alih meminta maaf, gadis itu lebih memilih memastikan kalau kelinci yang Jacob tangkap sudah terlepas.
"Syukurlah dia bebas," gumamnya dengan nada lega.
Jacob beranjak duduk, menaikkan alisnya melihat respon tak terduga dari Luna. "Reaksi macam apa ini, harusnya kau minta maaf atas apa yang kau lakukan." ucapnya.
Luna meliriknya sinis, bukannya minta maaf dia malah menjulurkan lidahnya mengejek sebelum lari. Jacob memijat keningnya, ia benar-benar bermain dengan gadis yang jauh lebih muda darinya, ini terasa aneh dan sialnya Jacob menyukainya.
Ia tertawa kecil sambil menyugar rambutnya. "Dasar anak kecil."
10 Tahun KemudianMentari sore menggantung rendah di langit, menciptakan semburat jingga keemasan yang menyelimuti pulau. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan nostalgia masa kecil yang perlahan memudar. Di tepi dermaga kecil, di mana ombak lembut menyapa tiang-tiang kayu, Jacob berdiri berdampingan dengan putranya, Henry, yang kini telah tumbuh menjadi remaja enam belas tahun dengan sorot mata yang mantap.“Kau serius?” tanya Jacob, suaranya tenang namun menyimpan getaran halus. Tatapan matanya tak bisa menyembunyikan emosi yang berlapis, antara bangga dan kehilangan.Henry mengangguk. “Aku ingin keluar dari pulau ini, Ayah. Aku ingin mencoba hidup di luar. Belajar mandiri, menghadapi dunia nyata dengan caraku sendiri.”Jacob menarik nafas panjang, seolah menyerap kata-kata itu hingga ke dalam dadanya yang sesak. Ia merangkul Henry sekilas, menepuk punggungnya pelan. “Kalau itu keputusanmu, Ayah tak akan menghalangi. Itu hakmu.”Henry menatap sang ayah sejenak sebelum be
Hari masih pagi benar, matahari bahkan belum sepenuhnya menggantung di langit. Tapi dari halaman belakang, sudah terdengar gelak tawa yang memecah keheningan. Suara riuh Riley dan Henry menyatu dengan pekikan ceria khas anak-anak, menggema hingga ke dalam rumah, cukup untuk membuat Luna dan Jacob terbangun dari tidur mereka.Dengan mata masih setengah terpejam, Luna mengintip jam di dinding. Tujuh pagi. Ia menghela nafas lalu beranjak dari tempat tidur, berjalan pelan menuju balkon kamarnya yang menghadap langsung ke halaman belakang.Begitu sampai, senyum langsung merekah di wajahnya. Riley terlihat memeluk seekor kelinci putih dengan lembut, sementara Henry berlarian dengan penuh semangat bersama Nico, mengejar kelinci lain yang dengan lincah menghindar di antara semak dan rerumputan.Setiap kali seekor kelinci dewasa mendekat, Nico dengan penuh semangat mencoba menangkapnya. Tapi entah karena terlalu lambat atau kelincinya terlalu gesit, yang ada justru Nico yang tersungkur berulan
Musim terus berganti, namun pulau kecil yang tersembunyi itu tetap menjadi surga tenang bagi keluarga kecil Jacob. Lokasinya terpencil, nyaris tak terjamah dunia luar, hanya keluarga Jacob yang tahu letaknya, seolah Tuhan sengaja menciptakannya sebagai tempat pelarian dari segala kebisingan dunia.Saat pintu rumah dibuka, pemandangan pertama yang menyambut adalah kelinci-kelinci putih berlarian bebas di rerumputan, bunga liar bermekaran di tepian jalan setapak, dan udara laut yang segar menyapu wajah dengan lembut.Kini adalah musim panas keenam sejak mereka tinggal di sana. Pulau itu telah menjadi rumah yang utuh, tempat mereka menua bersama waktu, membesarkan anak-anak, dan menyulam kebahagiaan dalam sunyi yang damai.“Ayah! Lihat aku, aku bisa melakukannya!” teriak Riley, gadis kecil yang hampir genap berusia enam tahun. Tubuh mungilnya berdiri mantap di atas papan selancar yang meliuk lincah dibawa ombak.Tawa Riley pecah, bergema bersamaan dengan deru ombak yang memecah bibir pan
Tiga tahun kemudian.Mentari pagi menembus jendela-jendela besar rumah kayu mereka, memantulkan cahaya hangat ke lantai kayu yang mengkilap. Luna menuruni tangga dari lantai dua, gaun santainya bergoyang lembut mengikuti langkahnya. Tapi tak seperti biasanya, suasana rumah pagi itu terasa terlalu sunyi.Tak ada suara tawa anak-anak, tak ada suara Jacob yang biasanya sibuk menyiapkan sarapan atau menggoda Henry dan Riley. Ruang tamu kosong. Dapur pun sepi.Luna mengernyit. Hatinya bertanya-tanya.Langkahnya pun membawanya ke belakang rumah, ke arah kebun. Di sana, ia hanya menemukan Maci yang baru saja selesai mengisi keranjang dengan hasil panen kentang. Wajah wanita paruh baya itu tampak bersemu oleh matahari, peluh membasahi pelipisnya.“Bu, kemana anak-anak dan ayahnya?” tanya Luna dengan lembut.Maci mengusap keringatnya dengan punggung tangan lalu tersenyum. “Mereka ke arah sungai di utara. Sekarang sedang musim udang air tawar, dan Riley serta Henry semangat sekali ikut berburu.”
Pulau itu adalah tempat dimana Jacob dan Luna pertama kali bertemu, selain itu, pulau tersebut juga adalah tempat ternyaman bagi Luna. Ia masih tidak menyangka bahwa Jacob mengajaknya menetap di pulau tersebut, itu keputusan yang cukup mengejutkan.Pagi ini, udara terlihat sangat menyejukkan mata. Selesai melakukan tugasnya sebagai seorang ibu untuk menyusui kedua anaknya, Luna pun memilih jalan-jalan di sekitar pulau yang sudah sekitar satu tahun ia tinggalkan.Sementara kedua bayinya, mereka dijaga dengan baik oleh Maci. "Aku penasaran bagaimana bisa kedua orang tuamu mengetahui pulau ini dan menjadikannya milik mereka," ucap Luna pada Jacob yang berjalan di sebelahnya.Jacob mengedarkan pandangan pada lautan lepas yang ada di hadapannya, kemudian menghembuskan nafas panjang. "Bukan kedua orang tuaku yang mendapatkan pulau ini, aku sempat mendengar bahwa pulau ini ditemukan oleh seorang nelayan yang tersesat, lalu mendiang nenek membelinya.""Nenek?" tanya Luna.Jacob mengangguk, "P
Tidak ada yang bisa menghentikan kepergian Jacob dan Luna, keputusan mereka sudah final dan tak bisa ditarik kembali. Setelah menunggu hingga usia bayi mereka empat bulan, kini waktunya untuk menuju ke tempat tinggal yang baru.Di atas sebuah helipad gedung apartemen Jacob, helikopter sudah siap mengantar mereka. Disisi lain, Hazel masih menggendong Riley dalam dekapannya, bayi itu menggunakan pelindung telinga untuk mengantisipasi gangguan mesin helikopter pada pendengarannya."Sayang sekali kita harus berpisah sampai disini, tunggu aku untuk menjenguk kalian ya." ucap Hazel tak tega, ia mendaratkan kecupan manis di pipi Riley sebelum menyerahkan bayi itu pada Jacob.Sementara bayi satunya, ada di gendongan Nico. Lelaki itu jug tampak enggan melepaskan Henry dari pelukannya saat Luna akan mengambilnya, bahkan Nico mundur selangkah dengan kepala menggeleng pelan, Luna menatap Nico dengan senyum tipis agar adiknya itu segera menyerahkan Henry padanya."Luna, tinggal saja disini okay? Ta