Share

8

Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit.

Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan.

Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya.

“Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini.

Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin.

“Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi dalam matanya yang bulat.

Svaha menoleh padanya. “Yang mana?”

Cantra memperbaiki posisi duduknya, kini menyerong sedikit agar leluasa memandang wajah lelaki di sebelahnya.

“Arkana Kana.” Perempuan itu memulai.

Svaha tidak begitu hirau dengan alasan Cantra menyebut nama sahabatnya lengkap sampai dengan nama belakangnya.

“Apa kamu pikir dia baik-baik saja?” tanya perempuan itu.

Svaha berpikir sambil menyisip minumannya, menoleh pada Arkana yang sedang menenggak vodka langsung dari botolnya seperti anak kecil dan susu favoritnya. “Dia minum banyak. Apa yang membuatmu berpikir dia dalam keadaan buruk?”

“Ada dua. Hanya pecandu alkohol yang minum langsung dari botol. Berikutnya, hanya rasa frustasi yang membuat orang minum langsung dari botol. Keduanya menyedihkan.” Sekali lagi Cantra menjilat bibir bawahnya. “Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja.”

“Arkana. Dia bukan orang yang senang menyimpan rahasia. Apalagi perasaannya. Jadi kalau dia tidak dalam keadaan baik, dia pasti sudah mengoceh.”

“Kamu benar.” Cantra menghadapi api unggun lagi. Tapi seperti belum puas, dia memandang kekasihnya lagi. “Aku khawatir padanya.”

“Apa ada yang harus aku ketahui?” tanya Svaha. Kalau bertanya bisa membuat Cantra merasa lebih dianggap dan diperdulikan, Svaha yakin bisa melakukannya semalaman.

“Lupakan saja. Aku sudah setengah mabuk.” Yang perempuan memilih mengakhiri percakapan itu dan mulai membicarakan hal lain.

Tapi, diam-diam Svaha jadi merasa cemas. Ia jadi memikirkan Arkana. Apa temannya itu baik-baik saja? Apa yang bisa dilihat Cantra tapi tidak Svaha ketahui? Svaha menduga-duga dalam hati.

Mungkin, hubunga antara Arkana dengan Laung sedang dalam situasi yang pelik. Svaha maklum karena hal semacam itu terjadi pada semua orang. Kadang dia sendiri merasa kesal pada Cantra tanpa sebab jelas. Begitu juga Cantra, meski seringkali mereka tak mau mengakuinya. Rasa bosan terjadi pada semua orang.

“Omong-omong…” suara Cantra naik ke permukaan. Svaha menoleh agar Cantra melanjutkan.

“Omong-omong, waktu Arkana datang ke tempatmu dalam keadaan mabuk. Ingat?”

“Ya,” jawab Svaha.

“Aku tidak marah. Aku pikir ia lebih membutuhkanmu pada saat itu. Jadi, aku meninggalkan kamarmu. Agar kalian punya waktu mengobrol.”

“Terimakasih sudah perduli padanya,” jawab Svaha sekedarnya.

Lalu dalam hati lelaki itu berteriak, “Jujur saja, aku belum tahu alasan sebenarnya Arkana datang dalam keadaan mabuk waktu itu. Kami disibukkan dengan insiden lain. Benar katamu, aku menyukainya. Sahabat baikku itu. Dan aku menikmatinya. Aku bahkan tak memikirkanmu sama sekali!” pikiran itu membuat Svaha agak tersengal. Ia berharap Cantra tidak menyadarinya.

Sebab kini Svaha jadi merasa bersalah pada Cantra. Cantra begitu perduli pada persahabatan Svaha dan Arkana.

“Apa aku harus jujur padanya? Apa sekarang waktu yang tepat?” tanya Svaha dalam hati.

“Ayo kita kembali ke villa! Suhu mulai dingin di sini.” Cantra berdiri, mengulurkan tangan untuk membantu lelakinya bangun. Svaha tersenyum, menangkap jari-jari lentik itu.

“Cantra,” panggil Svaha setelah berdiri dan membersihkan debu dari celananya.

Cantra menatapnya, gadis itu tersenyum, mendongak sedikit agar bibirnya sejajar dengan milik lelaki di depannya. Lalu ia kecup setiap jengkal wajah Svaha sebelum berkata, “Ya?”

Svaha baru akan membuka mulut saat perhatian Cantra tercurah pada hal lain.

“Arkana.” Cantra menunjuk dengan dagunya. “Sepertinya dia butuh bantuanmu.”

Svaha spontan menoleh. Di ujung sana perempuan yang Cantra maksud sedang terbungkuk sambil muntah. Laung mendekatinya, tapi Arkana mendorong lelaki itu. Mereka bertengkar. Mereka sedang mendebatkan sesuatu. Suara mereka diterbangkan angin. Svaha hanya mendengar kepulan bunyi yang tidak ada artinya.

“Sana, pergilah!” bisik Cantra.

Svaha mendekat pada Arkana, menyapih pasangan itu supaya tidak saling membunuh dalam pengawasannya. Arkana mengucapkan kata-kata kasar, lalu telunjuknya menusuk-nusuk di udara. Svaha menghentikannya, dia memeluk Arkana erat. Dari sanalah Svaha tahu kalau Arkana sudah mabuk berat.

“Hei, jangan ikut campur urusan kami.” Laung menarik bahu Svaha kemudian mendorongnya. Tidak sekeras itu sampai si pendiam itu jatuh, hanya mundur beberapa inchi.

“Jangan coba-coba menyentuhku.” Svaha membentak.

Cantra pasang badan di depan kekasihnya. Svaha menyangka, gadisnya itu sedang memelototi Laung.

Laung mengangkat kedua tangannya. “Biarkan aku menyelesaikan masalah dengan pacarku.” Ia meminta.

“Tidak dalam keadaan mabuk. Oke?” Cantra berdiplomasi.

Lelaki itu mendengus, “Oke.”

“Bagus,” kata Cantra. Lalu kudengar suaranya berteriak pada penonton yang lain, “Ayo bubar, pestanya sudah selesai.”

Remaja lain menurut. Sambil menggerutu mereka pergi.

“Ayo pulang,” kata Svaha pada Arkana. Arkana melepas pelukannya lalu mengangguk pasrah. Sebelum menjauh dari danau ia merampas sebotol vodka lagi dari dalam kotak pendingin.

“Kamu terlalu banyak minum.” Svaha ingin merebut botol itu dari sahabatnya.

Tapi Cantra melarang, “Biar saja dulu.”

Svaha mempertimbangkan kalimat kekasihnya, kemudian mengangguk. Svaha memang punya pengaruh besar. Bahkan Laung mendengarkannya.

Arkana berjalan sempoyongan di depan, sementara Svaha dan Cantra mengikuti di belakang. Arkana muntah dua kali lagi sebelum sampai di parkiran. Cantra membantu menyingkirkan rambut dan memijat lehernya. Sedang Svaha hanya berdiri sambil memeluk botol vodka.

“Apa kamu mabuk?” tanya Cantra pada Svaha.

Svaha menggeleng.

“Kalau begitu, kita pakai mobilmu. Kamu menyetir. Aku akan menjaga Arkana di belakang.”

Svaha mengangguk, mengeluarkan kunci dan membuka pintu belakang mobil. Setelah memastikan kedua perempuan tersebut nyaman di sana, Svaha menyalakan mesin.

Lampu kuning Civic busuk milik Svaha membelah jalanan yang mulai sepi. Cantra menghela nafas. Svaha menilai dari cermin, melihat Arkana rebah di atas pangkuan Cantra. “Dia tidur?”

“Kupikir, ya. Dia sudah tidur,” jawab Cantra.

Lalu Svaha mengangguk. “Terimakasih sudah perduli padanya.”

Cantra tersenyum. Ia menoleh ke luar jendela. “Aku tidak pernah punya teman. Tidak pernah sedekat persahabatan kalian.”

Svaha tidak menjawab.

“Sudah berapa lama kalian bersahabat?”

“Entahlah, hampir seumur hidup?” Svaha ingin menghitung secara pasti, tapi dia butuh konsentrasi saat menyetir.

Cantra tertawa singkat. “Menyenangkan selalu ada untuk orang lain,” suaranya bergetar.

“Ya, Arkana selalu ada kalau aku ingin pinjam uang.” Svaha berusaha melucu.

Cantra tidak tertawa. “Aku memperhatikan kalian. Beda jurusan dan masih punya waktu makan siang bersama. Akur seperti saudara. Kalian bicara dalam bahasa isyarat juga.”

“Nah, ini dia. Apa Cantra memata-matai kami? Apa ia sudah tahu yang terjadi malam itu? Kenapa ia belum membentakku sampai sekarang?” Svaha merasa curiga, tapi ia memilih tak mengatakan isi pikirannya.

“Kalian tidak pernah kesepian.” Intonasinya menggantung. Svaha tak yakin apa kekasihnya sedang bertanya? Atau sedang menghakiminya?

“Kami sama-sama tidak punya ayah.” Svaha memberi tanggapan yang netral.

“Maaf,” katanya, “kupikir kalau memacarimu, Arkana juga akan mau berteman denganku.”

Svaha terbatuk. Tertusuk.

“Bukan begitu, Svaha. Aku menyukaimu. Sungguh. Tapi, lihatlah dengan kacamataku. Aku ini anak tunggal. Aku tidak punya teman. Aku punya. Tapi, mengertikan maksudku?” Cantra mengusap bibirnya. “Persahabatan kalian jujur. Nyata.

“Dan kalimatmu membingungkan,” gerutu Svaha dalam diam.

“Aku harap Arkana bisa menyukaiku juga. Aku berhak mendapatkan itu. Aku pacarmu.” Cantra mengutarakan sisi lain dirinya. Cantra Bhuana, yang kesepian. “Semua orang mendekatiku dengan tujuan. Di semester awal mereka mendekatiku karena sebuah taruhan,” tuturnya sambil tertawa. Atau meringis.

“Aku akan bicara pada Arkana nanti.” Svaha memberi janji.

“Terimakasih,” kata Cantra antusias. Svaha sampai dapat mendengar senyum lawan bicaranya.

***

Svaha mematikan mesin mobil ketika mereka sampai. Cantra berdecak. Wajahnya kelihatan kaget. Svaha langsung menoleh ke belakang.

“Kupikir kita akan mengantarnya pulang.”

“Oh,” jawab lelaki itu, “Muscle memory. Aku tidak sadar.” Svaha gelagapan.

“Jam berapa ini?” Cantra meraup ponselnya, mengetuk kaca hitam itu dua kali. Wajahnya dihinggapi sinar kebiruan.

Svaha mencoba memperbaiki keadaan dengan mengajaknya, “Menginaplah di sini, dengan kami.”

“Supaya Arkana tidak macam-macam padaku lagi. Atau sebaliknya.” Yang ini tentu tidak dia utarakan juga.

“Tentu.” Cantra mengusap lengan Arkana, membangunkan si pemabuk dengan lembut. Arkana menggeliat, mendudukkan diri sambil mengusap wajah.

Entah apa yang terjadi setelahnya, kedua gadis itu keluar dari pintu mobil yang berbeda. Arkana menepis tangan Cantra, kemudian mendahului masuk ke dalam kamar sewa Svaha.

Svaha kemudian membuat gerakan melingkar dengan kepalan tangan di depan dada yang bermakna permintaan maaf. Sebagai respon, Cantra melontarkan tiga jari di udara. “Tak apa.” Wajahnya sedih tidak bisa ia sembunyikan.

Lalu, suara ‘BRUK’ dari tempat tidur yang artinya ‘kalian berdua tidur di sofa’.

“Kamu sangat sabar,” bisik Cantra. Ia duduk di pangkuan kekasihnya. Mereka tidak menyalakan lampu ruang tamu. Cahaya dari teras hampir menembus material korden, itu sudah cukup.

“Hm,” jawab si lelaki. Ia mengecup telapak tangan Cantra.

“Kita masih punya setengah jam. Agar tidak terbangun kepagian.” Cantra mengusap wajah, lalu menciumi leher Svaha.

Svaha memeluk pinggang ramping itu. “Ya, kurasa tiga puluh menit itu bagus.” Satu tangan menarik tali bikini. “Satu lagi, tolong jangan bersuara keras.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status