Arkana sudah setengah mabuk ketika jari-jari panjang yang super dingin itu menancap di bahunya. Gadis itu reflek berbalik, hampir berteriak. Ia menginjak sepatu penangkapnya. Mereka terjungkal ke belakang. Lalu keduanya cekikikan.
“Sva, kamu membuatku kaget,” omel Arkana ketika tubuh jangkung Svaha masih melintang di atasnya. Rambut hitam yang biasa ia sisir ke belakang terurai. Ujungnya hampir menyentuh wajah Arkana. Kedua tangan lelaki itu bertumpu di tanah membentuk penjara berpilar dua. Mengurung Arkana di antaranya. Lalu Svaha cepat-cepat berdiri sambil menepuk-nepuk paha celananya dengan dua tangan.
“Aku sudah merasa keren tadi, tapi adegan jatuh benar-benar tidak ada di sekenario.” Svaha berkelakar, menunggu Arkana berdiri. Sekali lagi ia menangkap lengan Arkana dan memojokkan tubuh gadis di depannya ke batang pohon terdekat.
“Tertangkap,” kata lelaki itu.
“Haha.” Arkana menggumamkan tawa lalu menghela nafas.
Ada kekosongan di wajah Svaha.
“Apa kamu sehat?” Arkana memeluk pinggang Svaha. Kemudian ia menarik lelaki itu ke dekatnya. Tanpa menyadari sama sekali bahwa hal tersebut membuat jarak mereka lebih dekat dari yang bisa ia perkirakan jika tidak dalam pengaruh alkohol.
Nafas mereka masih terengah, mengisi ruang kosong antara wajah Arkana dan dada milik Svaha. Arkana mendongak untuk melihat mata lawan bicaranya, seketika merasa malu saat ketahuan meneliti bibir lelaki itu. Svaha menelan ludah. Arkana membasahi bibir.
“A—aku khawatir harus memenjarakanmu sekarang, Arkana,” ucap Svaha dengan suara yang serak dan berat. Getarannya membuat telinga Arkana gatal.
Arkana mengutarakan senyum. Tapi mereka berdua tidak bergerak sama sekali. Pohon ini membuat keduanya lengket.
“Di mana letak penjaranya tadi?” Svaha menghela nafas.
Pembuluh darah di ulu hatinya berdenyut-denyut di atas kulit Arkana, Svaha juga menyadarinya.
“Maaf,” gumam si lelaki.
Arkana menyentuh asal denyut itu dengan ujung jarinya. Seperti anak kecil yang kagum pada kehamilan baru ibunya. Lalu ia mencari-cari mata sahabatnya. Jemarinya menyisir di atas baju yang Svaha kenakan, dadanya yang bidang, naik ke leher—tempat pembuluh darah yang lain berdenyut.
Ada hal gila yang tiba-tiba melayang di kepala Arkana. Hampir saja gadis itu punya ide untuk mencium Svaha! Hampir saja! Tapi Arkana memutuskan untuk berlari menjauh.
“Lain kali,” kata gadis itu dengan intonasi riang. Ia adalah Buronan yang melarikan diri.
Sayup Arkana mendengar suara tawa sahabatnya di belakang. Tapi semakin jauh berlari, ia tahu kalau Svaha tidak mengejarnya lagi.
Arkana memutuskan untuk berhenti. Terperosok pada kesadaran bahwa rasa mabuknya sudah lenyap entah ke mana. Ia pandangi telapak tangannya yang lembab meski percuma. Terlalu gelap di sini.
“Kenapa pula aku malah lari terlalu cepat? Bukankah akan mengasikkan jika Svaha mengejarku? Kakinya yang panjang namun pemalas tidak mungkin mengalahkanku,” pikirnya.
Ada desau nafas yang bersahutan ketika Arkana memutuskan kembali ke tempat Svaha menangkapnya tadi. Arkana memutuskan untuk bersembunyi dan mengintip.
Tubuh jangkung Svaha berdiri membelakanginya, sementara seorang Buronan lain berdiri di hadapannya. Tangan kurus itu menyilang di pinggang sahabatku.
Svaha melingkarkan tangan di leher perempuan itu. Bibir mereka bersentuhan, bersilangan desau dan suara decap yang basah.
Cantra. Cantra sudah menemukannya. Atau sebaliknya. Dia gadis yang pandai memenangkan situasi. Arkana berdiri mematung, pikirannya menjadi kosong seketika.
Arkana tentu punya alasan yang cukup bagus untuk menjelaskan mengapa dia tidak menyukai pacar Svaha sejak awal.
Cantra Bhuana. Adalah nama yang akan paling pertama terdengar ketika seorang mahasiswa baru masuk ke universitas kota Harsha. Bukan nama rektornya, bukan dekan fakultas, bukan dosen pembimbing akademik. Bukan. Tapi Cantra.
Perempuan ini populer, kredibilitasnya tinggi. Semua orang memuji, khusus lelaki, memuja. Cantra adalah Freya dalam mitologi Nordik bagi kaum adam di kampus itu. Dan dialah Athena bagi kaum hawa. Dia menarik, berbakat, cantik, ramah, kaya dan murah hati.
Bukankah itu aneh? Dan keanehan itu saja sudah membuat Arkana jengkel.
Arkana yakin kalau dirinya tidak sirik. Arkana Kana juga perempuan yang berbakat (di bidangnya). Dia cantik (menurut delapan puluh persen orang yang sudah ia temui dalam hidup dan riset yang tidak dilakukan oleh Oxford tentu saja). Arkana gadis yang cuek, ia bicara apapun yang ada di kepalanya, nyaris tanpa beauty filter. Dan itu sudah cukup menjelaskan sifatnya yang manusiawi, karena semua orang haruslah punya kelemahan. Terlebih, ia tidak akan memuji diri sendiri dan membuat dirinya terlihat sama dengan Cantra Bhuana.
Banyak yang memprediksi bahwa Arkana akan menggantikan kepopuleran Cantra setelah lulus. Tapi, Arkana yakin bisa melakukan itu tanpa perlu dibanding-bandingkan atau menunggu sampai yang bersangkutan lulus. Singkatnya, Arkana adalah perempuan yang apa adanya. Agak angkuh, tapi tidak makan manusia.
Di luar itu semua, Cantra memilih Svaha. Svaha Nirmala. Ya, Svaha yang itu, lelaki penyendiri yang suka baca buku tebal, yang suka nonton film fiksi fantasi dan misteri. Lelaki yang pengecut dan hobi menyembunyikan diri di balik dinding perpustakaan. Svaha yang pemalas tapi paling pintar di kelas.
“Dari sekian ribu mahasiswa atau mahasiswi di kampus ini, kenapa dia memilih Svaha-ku? Apa maunya? Apa rencananya? Bagaimana ia akan diuntungkan dengan itu?” Pertanyaan Arkana selalu sama.
Meski bagaimanapun juga Arkana tentu akan mendukung Svaha mendapatkan perempuan manapun yang dia mau. Arkana akan senang jika sahabatnya merasa senang, jika Svaha bahagia. Arkana cukup suportif terhadap hubungan Cantra dan Svaha. Ia tak masalah berhadapan dengan Cantra, menyapa lebih dahulu, membalas senyumnya. Arkana menghormati keputusan Svaha untuk punya waktu yang berkualitas tanpa kehadirannya. Dan yang terpenting, Arkana tidak mencakar. Belum lebih tepatnya.
“Oh! Semakin dipikirkan semakin kesal rasanya.”
“Di sini rupanya.” Laung muncul dan memeluk Arkana dari belakang. Rambut-rambut yang tumbuh di lengan lelaki itu menyikat kulit Arkana.
Arkana menghembuskan nafas, lalu berbalik.
“Sampai kapan kamu mau mengintip mereka?” bisik Laung. Ia melirik Svaha dan Cantra yang belum menyadari kehadiran orang lain di sana.
“Hanya memastikan dia tidak memangsa sahabatku,” kata Arkana dengan nada suara sinis dan tajam.
Tawa Laung berhembus di kekasihnya. Ia menciumi rahang Arkana. Tangannya meluncur ke belakang, meremas kulit punggung gadis itu.
“Laung, Laung. Aku sedang tidak mood.” Arkana menolaknya.
“Ya Tuhan, aku sedang menolaknya. Apa ia akan marah sekarang?” pikir Arkana.
“Hei, rilekslah sedikit. Tak ada ibumu di sini.”
“Jangan bawa nama ibuku.”
“Kita boleh bawa nama ayahku kalau kamu mau.”
“Laung, hentikan!”
“Uh, bisakah kamu lebih menikmati? Seperti temanmu itu?” Bukannya berhenti, Laung menarik simpul dari bikini Arkana hingga merosot.
Arkana menutupi dadanya cepat-cepat. Ia ingin membentak Laung, tapi giginya menyaring kata itu, membuatnya jadi desis yang tajam.
Lalu Laung mencengkram lengan Arkana, ia menarik rambut perempuan itu ke belakang sampai kepala Arkana mendongak.
“Apa yang barusan itu?” Laung membasahi bibir atasnya karena marah membuatnya kering.
“Aku, jangan mengasariku!”
“Siapa di sana?” Cantra menginterupsi ketegangan di antara Arkana dan Laung.
Laung langsung melepaskan Arkana, ia membelai kepala gadis itu, jarinya tersangkut dalam gumpalan rambut.
“Kami menikmati suasana,” jawab lelaki itu. Tapi lengan Arkana masih diremasnya. Arkana meringis.
Pasangan lain mendekat pada mereka. Svaha, dia berjalan pelan. Cantra di depannya.
“Bagaimana permainannya, Sva?” tanya Laung pada Svaha.
“Bagus.” Svaha masih memerhatikan wajah sahabatnya. “Maksudku, asik.”
“Kulihat kamu sudah menangkap satu Buronan.”
“Kamu juga,” jawabnya dingin. Ia mencurigai tindak tanduk Laung. Arkana tahu, kalau ia ingin mengadu, inilah saatnya.
Svaha membentangkan jari tangannya dan menyentuhkan ibu jari ke dada, isyarat singkat yang bisa berarti, ‘Apa kamu baik-baik?’.
“Tidak, tolong selamatkan aku dari lelaki ini,” teriak Arkana dalam hati.
Arkana mengangguk. Membuat isyarat yang sama.
“Kalau demikian, ayo kita bawa para Buronan ke dalam penjara.” Senyum Laung terdengar jelas dalam intonasinya. “Ayo naiklah sini!” Lelaki itu kemudian membungkuk di depan Arkana.
Cantra melirik pada Svaha. Svaha memaksakan senyumnya.
Arkana tidak ingin Laung terlihat konyol, ia naik ke punggung pacarnya dengan terpaksa. Cantra dan Svaha berjalan di samping mereka sambil berpegangan tangan.
Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit. Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan. Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya. “Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini. Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin. “Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi d
Arkana memaksa diri untuk bangun, saat ia bermimpi tentang salah satu murid ibunya; seorang anak nakal menendangi kepalanya sampai benjol. Dan saat sudah yakin bahwa secara fisik dirinya sudah terbangun, benjol itu seperti bersarang, nyerinya berkedutan. Arkana melenguh jengkel.Ia mengusap wajah. Masih dalam posisi rebahan gadis itu membuka mata. Mendapati musuh besarnya sudah duduk di tepi tempat tidur, sambil mengumbar senyum. Arkana tersentak sambil mendudukkan diri. Kepalanya terasa makin sakit.Sikap Cantra yang aneh membuat Arkana gugup. “Apa maumu, Cantra?”“Mari kita mulai dengan selamat pagi. Apa kamu tahu ini di mana?”Arkana tahu. Tapi ia memilih untuk melihat ke sekitar sebelum mengangguk.“Bagus. Jadi semalam kamu tidak sepenuhnya mabuk.” Cantra mengulurkan segelas air dingin dan sebutir penghilang rasa sakit. Untuk sakit yang menendang kepala Arkana.“Kamu mengira aku mabuk untuk menca
Svaha ingat, terakhir kali Arkana memagari hatinya dengan membuat tembok yang tinggi adalah lima tahun yang lalu.Waktu itu umur mereka empat belas atau lima belas tahun. Sore yang cerah dan warnanya kemerahan tumpah di halaman belakang rumah keluarga Kana yang mulai sesak karena tamu undangan juga properti untuk acara ulang tahun si putri tunggal.Arkana berputar-putar di antara para tamu undangan dengan gaun berwarna hijau tosca, bertukar antara sapa dan bingkisan. Svaha yang sudah sejak dua jam di sana benar-benar tak punya ide saat teman baiknya bertanya bagaimana warna tosca terlihat di kulitnya.“Itu tetap berwarna tosca,” jawab anak lelaki itu. Gaun panjang Arkana menyeret di rumput seperti kain pel dan entah kenapa suara gesekannya memuaskan mata dan telinga Svaha kecil.Pekarangan rumah keluarga Kana nampak asri. Tidak begitu besar, tapi terlalu luas untuk dikatakan sempit. Ayah Arkana adalah lelaki yang cukup sukses. Setelah ia
Pandangannya jadi sempit karena sinar matahari sore yang begitu menyudutkan. Menyisakan cukup banyak titik buta berwarna merah tembaga yang tidak terjangkau. Sesekali Arkana menutup dahi dengan kelima jarinya. Hanya untuk memastikan, agar dirinya tidak terjerembab atau menabrak apapun.Langkah Arkana mengapung di atas trotoar jalan utama yang lenggang. Tidak banyak pejalan kaki atau pelari sore yang lewat sini, tiang lampu mulai menyala satu-satu juga papan tanda lalu lintas jadi tampak kesepian. Hawa panas menguap dari bawah, kadang diselingi udara got yang berbau asam. Mengambang tanpa tujuan jelas, kecuali membuat gadis itu makin mual.Arkana membenci sore ini. Beberapa hari belakangan ini. Hari-hari antara dulu dan sekarang. Atau sampai sekarang.“Kalau saja aku bisa lebih jujur dan mengungkapkan semuanya, ini tidak akan pernah terjadi. Aku tak harus mempermalukan diriku sendiri di depan sahabat baikku. Ia lelaki baik. Yang terperting, ia tidak bersala
Satu tangan menggaruk dagu, tangan yang lain mengetuk-ngetuk meja. Di dalam sebuah restoran penuh tanaman hias dan lampu gantung bulat kuning menjengkelkan, Svaha menunggu Cantra dengan sabar.Di jendela bagian atas, papan nama restoran tergantung menghadap jalan. Lampu kecil berwarna ungu berbaris di pinggir, membuat tulisannya nampak semakin tebal dan menonjol.LLAH LIAH. HAIL HALL.Seekor kucing melenggak-lenggok di atas trotoar. Bulunya candramawa. Ekor menjulur naik seperti ular—menjilat kaki orang-orang yang lewat di sekitarnya. Svaha melihat binatang itu mendongak sambil membuka mulutnya, menduga apa mungkin mahluk itu sedang mengeong atau sedang berusaha bicara dengan bahasa manusia. Suaranya tidak terdengar.Sementara langit yang tadinya hitam jadi agak kelabu. Awan merapat pendek, seolah akan menelan bangunan-bangunan bertingkat yang berjejalan seperti gigi. Svaha merenggangkan badannya yang jangkung, ia melenguh, mengeluh.“A
Cirrocumulus. Kata itu melayang janggal dalam kepala Arkana seperti balon kata dalam cerita bergambar. Ia memandang ke arah langit. Kepada awan pembawa hujan yang menyebar rata di atas bangunan kampus. Sebentar lagi musim berubah, mungkin itu bisa jadi salah satu alasan atas suasana hatinya yang buruk hari ini. Tapi benarkah perubahan iklim bisa membuat perasaan manusia berubah? Mungkin saja. Kalau tidak salah ia pernah dengar tentang SAD (Seasonal Affective Disorder). Istilah itu begitu mudah diingatnya karena sangat lucu jika diterjemahkan; Gangguan Suasana Hati Musiman. Sejauh yang ia dengar dan pahami, ini hanya berupa peran cuaca terhadap kadar serotonin dalam tubuh seseorang. Bisa membuat seseorang jadi sensitif, atau malah agresif. Tidak berlaku untuk semua manusia, tapi beberapa persen mengalaminya. Setidaknya begitu yang ia bisa ingat dari kuliah umum tidak formalnya Svaha. Fakultas mereka memang tidak ada hubungannya dengan sains a
Mekanisme Coping.Adalah sebuah cara yang sering dilakukan manusia dalam mengatasi trauma atau stress. Mekanisme ini bisa membantu manusia untuk mengolah rasa sakit dan emosi juga menyesuaikan diri dari kejadian buruk yang menimpanya.Beberapa contoh yang sering terjadi pada orang-orang adalah mencari kegiatan baru, menjalani hobi baru, bicara dengan orang baru. Ada juga yang melakukannya dengan makan, menikmati hidup dengan berlibur. Ada yang menyalahkan diri sendiri dan menyangkal keadaannya. Tapi itu membuat mekanisme ini jadi tampak mirip dengan saudaranya yang lain, defense mechanism.Bagi Svaha, membentur-benturkan kepala ke meja adalah salah satu wujud dari mekanisme coping tersebut.Kalau saja, hari ini tidak ada jadwal ujian. Svaha pasti sudah meringkuk di bawah selimut sambil mengembara dalam cerita roman-heroik Musashi. Atau dia akan duduk di taman umum dengan novel Little Women dalam genggaman. Atau tempat manapun tanpa orang yang ia
Arkana tidak pernah menduga kalau menghindari lelaki seperti Laung akan sedemikian mudah. Sebelumnya ia pikir lelaki itu mungkin akan menggunakan kekerasan untuk memaksanya. Laung akan membentak, atau jadi ringan tangan seperti biasanya. Jelas lelaki itu punya pengaruh besar di kampus ini. Kemarin malam, Laung bahkan mempermalukan Arkana di depan teman-teman klub Voli-nya. Tapi, barangkali Arkana hanya perlu bertindak seolah ia perempuan yang kuat. Arkana hanya perlu membalas tatapan Laung dengan pandangan yang menantang dan sok berani. Menjawab omong kosong lelaki itu dengan tegas. Seperti yang sering Arkana lakukan pada Cantra. Maka Laung akan kalah. Ya! Dia akan menunduk dan mengalah. Dia akan mundur dan berpikir dua kali untuk mengasari Arkana lagi. Perihal lain, tanpa bermaksud menjilat ludahnya sendiri, Arkana memuji Cantra dalam hati. Cantra adalah orang yang membuat Arkana sadar akan kekuatan dalam dirinya. Cantra perempuan yang penuh dengan keyakinan