Share

Kejujuran

Sambil menggenggam tangan Ayu. Entah kenapa rasanya berat sekali untuk mengatakannya, tetapi ada sedikit lega saat aku berani jujur mengatakan yang sebenarnya meskipun aku tahu itu akan sangat menyakiti hatinya. Ayu memalingkan wajahnya, kali ini dia enggan menatapku lagi. Apa sekarang kamu merasa jijik padaku, Dek?

“Abang tahu, meskipun fakta di depanku membenarkan kalau anak di kandungan Tiara itu....”

Ayu mendongakkan wajahnya ke atas, dia berusaha menahan agar air matanya tak tumpah ruah.

Astaghfirrullahaladzim.”

Ayu memejamkan matanya, hingga berkali-kali melafalkan istigfar. Sungguh itu membuat hati ini bagai tersayat mendengarkan kalimat suci berulang-ulang keluar dari mulut Ayu.

“Abang masih ingat Abang yang memaksaku percaya dengan bersaksi atas nama Tuhan? Aku percaya Bang, tapi kenapa hari ini Abang jelasin lagi sesuatu yang enggak ingin aku denger?”

Lidahku kelu, rasanya tidak bisa di gerakkan saat lagi-lagi Ayu mengungkit sumpahku.

“Aku permisi Bang, kasih aku waktu untuk mencerna semuanya,” ucapnya.

Aku masih diam terpaku di tempat dudukku, entah apa yang harus aku katakan, pikiranku buntu.

Hingga aku teringat kalau Ayu pernah bilang kalau tiap tanggal 10 setiap bulannya dia harus periksa kehamilan. Kebetulan besok adalah tanggal 10. Aku harus menemaninya mungkin itu bisa mengurangi sedikit kekecewaannya. Seingatku Tiara tak mengatakan apa pun setelah kejadian di hotel aku langsung check out saat itu juga setelah merapikan baju tentunya.

Sepanjang perjalanan suasana menjadi kikuk. Tak ada perbincangan apa pun.

Hingga keesokan hari, Tiara masih belum mengatakan apa pun. Aku pikir tidak ada yang terjadi di antara kami. Apa lagi ia terlihat bersikap biasa. Seolah tidak terjadi hal yang besar.

Beruntung Ayu tak menolak ajakkanku untuk mengantarnya periksa kehamilan.

Kali ini aku sengaja mengajaknya periksa di rumah sakit. Setahuku di sana ada Dokter Spesialis Kandungan perempuan. Di mana biasanya Ayu hanya ikut posyandu bulanan yang diadakan sebulan sekali atau terkadang juga di puskesmas. Saat ditanya kenapa dia lebih memilih periksa di sana, Ayu hanya bilang di sana murah.

Lagi-lagi aku seolah ditampar dengan ucapan wanita itu. Pasti dia harus berhemat mati-matian dengan uang nafkah yang pas-pasan ditambah lagi aku melarangnya berjualan.

Tiba di Rumah Sakit. Di mana giliran Ayu untuk diperiksa. Hal yang mengejutkan justru terjadi, ketika pintu dibuka terlihat Tiara baru saja keluar dari ruangan itu.

“Ya ampun, memang kalau anak sama ayah tuh enggak bisa dipisahin. Itu Ayah kamu malah susul kita  ke sini, Dek,” ucap Tiara.

Sambil mengusap perutnya perlahan ia tersenyum padaku, tanpa merasa bersalah sama sekali.

Sungguh sial bisa bertemu Tiara di sini. Kenapa juga di antara banyak tempat dia harus periksa kandungan di tempat yang sama dengan Ayu.

Saat itu hanya satu yang ada di dalam benakku, aku mengkhawatirkan Ayu. Dia pasti akan marah padaku. Namun, kenyataannya seperti biasa wanita itu hanya diam. Ia memilih berlalu masuk ke dalam mengabaikan Tiara.

“Mas Andi kebetulan nih, mas bayarin aku ya ke bagian administrasi! Mas kan Ayahnya,” ucapnya sambil berusaha meraih lenganku. Seketika itu juga aku refleks menghindar.

Tepat saat kejadian itu Ayu sedang menatap ke arah kami. Sesaat ketika pandangan kami bertemu. Aku bisa melihat ada kesedihan di matanya. Sayangnya baru beberapa detik saja, Ayu memilingkan wajahnya.

“Sudahlah Bang bayarin aja, aku tunggu di sini,” perintah Ayu.

Akhirnya tanpa membuang waktu lagi aku pun membayarkan biaya cek kehamilan Tiara, sepanjang perjalanan Tiara terus saja menggelayuti tanganku, aku sampai risi karena jadi pusat perhatian orang. Setelah kubayar biaya administrasi Tiara terus saja menahanku.

Aku harus pura-pura ke kamar mandi dan sialnya dia masih saja mengikutiku, aku sampai bertukar jaket dengan orang lain sekaligus membeli jaket itu seharga 300 ribu. Tak apalah yang penting aku bisa selamat dari Tiara.

Benar saja saat aku berjalan di depannya dia tidak mengenaliku. Aku segera kembali ke ruangan tempat Ayu diperiksa. Sayangnya, ketika aku membuka pintu, Ayu dan dokter kandungan itu tampak sangat akrab. Setahuku Ayu tipe orang yang susah bergaul.

Mereka terus saja mengulang kata 5 Minggu, bahkan Ayu tampak tersenyum saat dokter itu memastikan kalau benar 5 minggu. Aku jadi bingung apanya yang 5 Minggu? Baru saja aku ingin menanyakan perihal hal tersebut, mereka sudah berdiri berpelukan seperti seorang teman yang lama tidak jumpa. Siapa Dokter itu kenapa Ayu begitu dekat dengannya?

“Bang kenalin ini Dr. Maura, dia adikku!” ucap Ayu.

“Oh kamu Maura, maaf ya Maura saya sampai tidak mengenali kamu.”

“Gak apa-apa, Pak,” ucap Maura.

“Panggil Mas aja Ra, dia kan kakak iparmu,” ucap Ayu.

“Oh iya deh, Mbak kalau ada waktu jangan lupa Ya,” ucap Maura.

Aku tidak mengerti apa maksudnya.

Insyaallah kami pamit, ya,” pamit Ayu.

Setelah berpamitan Maura kembali ke ruangannya. Sedangkan kami tentu saja memutuskan untuk pulang.

“Dek tadi waktu ngobrol sama Maura, kamu ngobrolin apa?”

Tiba-tiba Ayu tersenyum ke arahku. Sepertinya dia tidak menyangka kalau aku akan sebegitu ingin tahu tentang hal ini padanya.

Memang tak biasanya aku seperti ini. Namun, entah kenapa senang sekali melihatnya tersenyum seperti itu. Apa dia sudah memaafkanku, tapi rasanya tak mungkin?

“Maura nyuruh kita nengokin Ibu, katanya ibu sudah sakit-sakitan. Tadi dia juga bilang kalau sekarang Ibu ikut sama Maura.”

“Yaudah kapan kita mau nengok?”

“Haruskah kita nengokin Ibu, Bang? Aku takut ibu bakal ngusir kita lagi. Abang masih ingat waktu kita baru nikah karena Abang belum dapet kerjaan Ibu usir kita dari rumah hanya karena kita gak ngasih ibu uang belanja 2 hari,” ucap Ayu sambil tertunduk tiba-tiba matanya berembun.

Lantas, dengan cepat dia memalingkan wajahnya ke jendela. Itulah kebiasaan Ayu dia selalu sekuat tenaga agar air matanya tidak tumpah di depan orang lain. Aku menghentikan laju mobil. Kutangkupkan ke dua tangan di wajahnya.

“Hei Sayang liat Abang! Ibu sudah sakit-sakitan. Abang cuma gak mau Adek nyesel kalau sampai ketemu ibu dalam keadaan—”

“Cukup, Bang!” potong Ayu.

“Adek mau tengok Ibu, tapi kasih waktu. Aku belum siap kalau hari ini.”

“Abang tahu saat Abang mengkhianati pernikahan kita kenapa aku memilih bertahan?”

Aku hanya menggeleng tak tahu harus menjawab apa.

“Karena aku enggak mau jadi kayak Ibu yang dibenci anak-anaknya. Ibu enggak sepenuhnya salah Bang dia hanya korban, sayangnya dia lebih memilih mengikuti nafsu. Memilih membalaskan dendam, dengan menikahi beberapa pria agar Ayahku tahu kalau Ibu baik-baik saja tanpa Ayah.”

Bahkan meski ia menyembunyikan kesedihannya, semua itu masih terlukis dengan jelas di rona wajahnya.

“Ibu lupa ada kami di antara mereka. Anak-anak kecil seperti kami dipaksa mengerti hubungan orang dewasa yang rumit,” tambah Ayu.

Aku hanya diam mendengarkan setiap keluh kesahnya, karena jarang sekali Ayu mau berbicara panjang lebar tentang keluarganya.

“Aku punya empat adik Bang, tetapi semuanya dari Ayah yang berbeda. Tahu enggak sampai kata teman-temanku, aku ini Bapaknya banyak,” tambah Ayu lagi.

Saat itu ia tersenyum lebar, sampai memperlihatkan giginya yang putih bersih. Namun, aku tahu hatinya pasti sakit, saat kembali menceritakan masa lalunya yang kelabu.

“Setiap orang pernah khilaf pada masanya Dek, kalau Adek bisa maafin Abang. Kenapa Adek ga bisa maafin ibu?”

Ayu tersenyum ke arahku, tetapi kemudian menunduk begitu saja. Namun, hanya sebentar. Ia buru-buru mengusapnya dengan telapak tangan. Melihatnya rapuh seperti itu kuurungkan niat untuk melanjutkan pertanyaanku perihal 5 minggu tadi.

Aku memang pernah sakit hati dengan perlakuan ibu mertuaku ini. Dulu ia pernah tega mengusir kami, hanya karena 2 hari aku tak memberi uang dapur

Awal menikah hidup kami memang serba kekurangan. Aku hanya montir di sebuah bengkel yang tidak cukup besar, yang upahnya dibayar harian. Jadi, ibu selalu menagih uang pada Ayu hampir setiap hari.

Mendengar kabarnya yang kini sedang terbaring lemah, nyatanya tetap saja hatiku tidak bisa berbohong. Masih ada sedikit rasa sayang pada dirinya, karena dialah yang melahirkan Ayu, Istriku dan ibu dari anak-anakku.

Sesampainya di rumah, Ayu langsung masuk kamar, sedangkan Reno terlihat sedang menjemur pakaian. Anak laki-laki itu sepertinya tidak terbiasa menyuruh orang lain mencuci pakai  miliknya, Ayu berhasil melatihnya jadi anak yang mandiri.

Aku duduk di teras depan rumah sekedar untuk menghilangkan penat. Masalah yang kuhadapi akhir-akhir ini membuat pikiranku tak karuan. Aku memperhatikan Reno dari jauh, dengan telaten satu persatu dia menjemur pakaian miliknya. Hingga, saat giliran Reno menjemur celana pendeknya aku jadi teringat sesuatu, dengan cepat aku mengambil benda itu.

“Loh Pah mau dibawa ke mana? Itu punyaku Pah jangan di pakai!” teriak Reno.

“Nih papah beli, Ren.” Kuserahkan 2 lembar uang merah ketangannya.

Wah wah, nih Pah sekalian seember Papah beli aja semuanya per pcsnya 100 ribu deh.”

Reno tiba-tiba menyerahkan ember kecil berisi beberapa celana pendek miliknya.

“Ampun kamu mah Ren.”

Mengabaikan omongannya yang melantur, aku lantas berlari menuju kamar mencari Ayu. Sayangnya, dia tidak ada di kamar. Akhirnya aku berlari ke sana kemari sambil berteriak.

“Dek Dek,Adeeek Adeek di mana?”

“Kenapa sih Bang kok teriak-teriak?” ucap Ayu yang tiba-tiba sudah ada di belakangku.

“Dek, coba liat Abang bawa apa?” tanyaku dengan berapi-api.

“Kolor,”  jawab Ayu.

“Iya dek ini kolor, Abang inget waktu Abang bangun di hotel Abang masih pakai kolor Spongebob ini Dek, itu artinya Abang ga pernah berhubungan badan sama Tiara, buktinya Abang masih pake kolor Dek.”

Aku mengatakan semuanya dengan penuh keyakinan.

“Hahahhaa astagfirullah, jadi Abang pakai kolor Reno lagi.”

Tiba-tiba Ayu tertawa, membuatku jadi malu sendiri.

“Waktu itu ‘kan gelap Dek Abang asal ambil aja di keranjang Eh tahunya punya Reno,” tuturku.

Namun, Ayu masih saja terus tertawa.

“Lagian kamu sih Dek, ngapain belikan Reno kolor gambar spongebob, anak kita udah gede loh!” jawabku asal jujur saja aku bingung mau bilang apa.

“Reno yang pilih, Bang,” jawab Ayu.

“Kejadian itu kapan sih Bang?” tanya Ayu.

“4 bulan yang lalu Dek.”

Lagi-lagi Ayu tersenyum kepadaku.

“ Abang enggak melakukan itu, Dek.”

Entah kenapa aku refleks berbicara dengan nada memelas?

“Umur kandungan Tiara baru 5 minggu Bang Maura yang bilang.”

Jadi, 5 minggu tadi itu maksudnya usia kandungan Tiara. Entah kenapa aku bahagia sekali mendengarnya, sampai aku tak bisa berkata-kata lagi.

“Jangan seneng dulu Bang, Tiara gaK mungkin mau nyerah gitu aja,” ucap Ayu.

“Benar juga Dek, terus kita harus bagaimana Dek?”

“Gak tahu Bang, Adek cuma bisa berdoa semoga Tiara bisa berubah,” tutur Ayu.

“Yah Dek kok cuma berdoa, Tiara tuh nekat. Adek liat nih Abang sampai beli jaket orang cuma buat nyamar biar bisa kabur dari Tiara!”

“Abang yang pikirkan caranya biar Adek bantu doa,”

“Ini kolor jangan lupa di jemur Bang, masih basah tuh,” ucap Ayu sambil menunjuk kolor spongebob yang sedari tadi ku bawa.

Kamu wanita hebat Dek, masalah sebesar apa pun kamu hadapi dengan tenang. Keyakinanmu pada Tuhan mengalahkan segalanya entah kenapa selalu ada jalan agar kebenaran itu bisa terungkap. Aku percaya jika didunia ini ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh logika itu karena kekuatan doa. Aku berharap semoga anak kita perempuan, supaya dunia ini tidak kekurangan wanita sepertimu. Seorang wanita yang memiliki keyakinan yang kuat pada Tuhannya.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ternyata Tiara hamil nya baru lima Minggu
goodnovel comment avatar
siti mutmainah
akhirnya terbukti juga itu janin siapa
goodnovel comment avatar
Nunyelis
kan kasiihan klo hamil terus padahal radit br usia 1 thn.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status