“Dek, percaya sama Abang, itu bukan anak Abang.”
Lagi-lagi ayu hanya diam.
“Kau mau berkilah Bang, ini foto-fotomu lihat!” tunjuk Tiara ke ponselnya, di sana ada fotoku bertelanjang dada.
‘Sial! Dari mana dia dapat foto itu?’
Ayu ikut melihatnya bersamaku, saat layar di ponsel Tiara menunjukkan aku yang tengah terlelap dengan bertelanjang dada sedang dipeluk Tiara, bisa kulihat mata Ayu mulai berembun. Lantas dia memalingkan wajah, namun tetap tak ada satu kata pun yang terucap.
“Mbak kamu masih mau percaya sama suamimu hah? Di mana harga dirimu Mbak? Kau bela mati-matian laki-
laki yang sudah tidur dengan wanita lain?” ucap Tiara berapi-api.
“Aku lebih percaya suamiku,” ucap ayu.
Seketika duniaku berasa berhenti.
“Gila kau Mbak, apa aku harus melakukannya di depanmu baru kamu percaya?”
“Atas nama Tuhan suamiku bersumpah tidak pernah tidur denganmu!” Ayu setengah berteriak di hadapan Tiara ku lihat bibirnya bergetar.
“Mbak percaya hanya karena dia bersumpah atas nama Tuhan hahaha. Dia membohongimu Mbak.” Tiara tertawa.
“Itu urusannya dengan Tuhan, bukan urusanku.” Ayu memalingkan wajahnya tak lagi menatap Tiara.
“Kenapa kau mulai percaya bukan ? Suami yang kau banggakan mengkhianatimu Mbak?” sindir Tiara.
Ayu hanya terdiam, kulihat dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangisnya agar tidak tumpah di depan Tiara.
“Kenapa diam aja, Mbak? Enggak bisa ngomong lagi kan? Mbak pikir mbak siapa? Memang Mbak diem kayak gini bisa ngerubah fakta kalau ayah dari bayi ini suami Mbak sendiri?”
“Cukup Tiara, pergi dari sini atau aku panggil satpam.” Aku membentaknya sangat keras, tak peduli lagi jika dia seorang perempuan.
Tiara tersentak, dia pasti tidak menyangka aku akan memarahinya di depan orang banyak, dia terlihat kesal sekali tapi dia tak lagi berkata apa pun dia memilih pergi. Ayu masih berdiri di samping, lengan kanannya tampak meremas ujung gamis yang ia kenakan. Badannya bergetar, entah kenapa dia tetap bungkam.
“Aku tahu kamu marah Dek.” Kutatap Ayu yang sedari tadi diam tanpa suara
“Luapin Dek, luapkan aja jangan ditahan kayak dulu lagi.”
Ayu hanya menunduk.
“Hei liat Abang sayang.” Kupegang kedua bahu ayu ku buat ayu melihatku.
“Terima kasih, terima kasih sayang, Adek masih percaya sama Abang, kita selesaikan ini di rumah ya, kita pulang ok.”
Aku tidak tahan lagi kupeluk dia tak peduli kami berada di keramaian. Ayu hanya mengangguk, aku menuntunnya ke mobil, lalu kuhubungi anak-anakku agar menyusulku ke parkiran. Ayu masih bersamaku dia tengah duduk di sisiku, kami berada dalam satu mobil menuju arah pulang, tapi ketakutanku akan kehilangan dia lagi begitu besar. Terbayang akan hari-hariku yang panjang tanpa senyum dan tawa darinya. Apakah untuk kembali ke jalan yang benar harus sesulit ini. Sungguh aku tidak ingin hari itu akan terulang untuk kedua kalinya.
Meskipun Ayu sudah tampak jauh lebih tenang dia masih enggan bicara. Perjalanan yang kami tempuh mendadak terasa sangat lama, lagi-lagi Ayu hanya diam membisu. Matanya menerawang menatap ke luar jendela. Jarak kami hanya sejengkal tapi seolah ribuan kilometer. Larut dalam pemikiran masing-masing Sesekali terdengar anak-anak yang tertawa menceritakan keasyikan mereka di Time Zone, sedang Reno sibuk melihat setiap inci laptop barunya. Melihat anak-anak begitu bahagia andai saja uang bisa membeli kebahagiaanmu Dek, aku ingin membelinya meskipun harus bekerja keras untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi. Kita memang tidak bisa hidup tanpa uang, tapi tidak semua hal bisa dibeli dengan uang.
Kami telah sampai rumah ini masih jam dua siang aku dan Ayu memutuskan untuk langsung masuk kamar. Dia mulai menanggalkan jilbab lalu membuka resleting belakang kemudian berjalan menuju kamar mandi.
“Ini masih siang loh Dek, kok mandi?”
“Gerah Bang.”
Aku yakin itu hanya alasannya saja. Bagaimana mungkin dia bisa berkeringat dari tadi dia berada di ruangan AC?
Cukup lama Ayu berada di kamar mandi, aku sampai ketiduran menunggunya selesai mandi. Padahal dia bisa saja meluapkan emosi tetapi dia memilih untuk meredam emosinya. Ketika dia membuka lemari untuk mengambil pakaian ganti aku terbangun.
“Kok lama banget Dek mandinya?”
“Sebentar ya Bang, ganti baju dulu,” ucap ayu sambil berlalu ke kamar mandi.
Kita bahkan sudah hampir 20 tahun menikah tapi kamu masih malu-malu untuk ganti baju di depanku seperti anak gadis saja.
Ponsel Ayu bergetar. Sudah lama juga aku tidak pernah memeriksa ponsel miliknya. Betapa terkejutnya ketika melihat pengirim pesan itu bernama Tiara. Aku langsung membukanya dia mengirimkan begitu banyak fotoku dan dia sedang berpelukan, dan ternyata selama ini Tiara sudah pernah mengirimkan foto-foto dulu saat aku masih dekat dengannya bahkan rekaman CCTV saat di lorong hotel dia mengirimkannya juga ke Ayu, pantas saja Ayu masih terlihat tenang saat Tiara menunjukkan video itu. Ada satu hal yang membuatku tiba-tiba tersenyum, Ayu membalas Tiara kalau dia lebih percaya aku. Hal yang sama yang dia ucapkan ketika kejadian di Mall tadi siang. Berapa banyak luka lagi yang bisa kamu sembunyikan di hatimu Dek, bahkan urusan seperti ini kamu tidak memberitahuku. Terdengar derat pintu yang terbuka. Ayu keluar dengan memakai dress lengan pendek selutut berwarna merah marun, Aku yang menyuruhnya untuk memakai pakaian seperti itu jika di rumah, karena Ayu terlihat cantik saat mengenakannya.
“Dek sini.” Kutepuk kasur di sampingku mengisyaratkan agar ayu mau duduk bersebelahan denganku, Ayu menurut dia pun duduk tepat di sampingku.
“Apa Adek enggak ada yang mau ditanyain ke Abang?”
Ayu tetap diam.
“Tanyalah Dek, Abang bakal jawab sejujur jujurnya.”
Hening lagi-lagi dia tak mau bicara hanya menunduk.
“Bang apa foto tadi itu asli?” ucapnya memecah keheningan di antara kami.
“Dek andai foto itu asli, Adek masih mau dengerin penjelasan Abang?”
Aku balik bertanya pada Ayu.
Ayu terlihat mengangguk.
“Itu asli Dek,” jawabku.
“Tapi Abang gak pernah ngelakuin hubungan badan sama Tiara, waktu perjalanan dinas ke Bandung mobil Abang mogok pas tengah malem kebetulan lagi hujan gede, Abang semobil sama Tiara, temen Abang yang lain di mobil yang berbeda mereka kayaknya udah duluan, dari awal Abang nyetirnya pelan soalnya kepala Abang udah kerasa sakit, bener aja vertigo Abang kumat terpaksa Abang nyari penginapan di sekitar situ, yang Abang ingat Tiara papah Abang sampai ke kamar, tapi setelah sampai di tempat tidur Abang enggak ingat apa-apa lagi.” Seketika wajah Ayu ditekuk.
“Tapi kenapa bisa ada foto kayak gitu Bang?”
“Abang juga gak tahu Dek, keesokan paginya Abang bangun...” ucapanku terpotong sungguh aku belum siap mengatakannya sekarang.
“Dek, janji ya jangan marah!”
Aku mengubah posisiku berjongkok di hadapan Ayu, sembari memegangi ke dua lengannya.
“Kenapa Bang? Abang melakukan kesalahan?” tanya Ayu sejurus kemudian matanya menatap lurus ke arahku.
“Di-dis di samping Abang ada Tiara Dek.”
Aku tidak menyadari jika aku terlalu lama berada di toilet, sampai kemudian Mas Syahru menyusul ke sini. Aku buru-buru keluar agar ia tak khawatir.“Ada apa? Kenapa lama banget ke toiletnya? Perutmu sakit?”“Hm, sedikit, tapi udah lebih baik.”“Apa karena obat antidepressant itu?”“Enggak.”“Obatnya sudah habis dan aku udah enggak pernah minum lagi sejak sebulan yang lalu.”“Loh, kenapa?”“Maaf, tapi kepalaku sering sakit kalau terus-terusan minum obatnya.”“Terus sekarang kenapa bisa sakit?”“Mungkin cuma masuk angin. Aku mau ganti baju dulu, gamisku kena muntahan.”“Muntah? Memangnya dari tadi kamu muntah?”“Iya.”“Kapan terakhir datang bulan?”“Hm, ya Allah udah 2 minggu yang lalu.”Pria itu mendadak tersenyum, bukan hanya tersenyum ia bahkan tiba-tiba saja mengangkatku dan memutarnya.Ya Tuhan aku masih lemas karena muntah yang tak kunjung usai, ia malah membuatku pusing dengan berputar-putar.“Mas turunin dulu, aku mabok!”“Maaf ya, Mas seneng aja. Ini kamu pasti hamil Sayang.”
Bahkan sekarang melihatku tak berdaya. Pria ini tak hanya memanggilkan dokter, ia juga rela mengurus rumah bahkan menyuapiku makan dan membantu ke toilet.Entah kenapa dengan fisikku. Aku begitu takut dengan ancaman, setelah berbulan-bulan terus saja ditekan dengan berbagai hinaan, makian bahkan kadang-kadang ada juga beberapa akun yang mengancamku. Aku masih baik-baik saja, karena aku pikir itu hanya ucapan tanpa pembenaran. Namun, nyatatanya saat tahu jika kemarin aku benar-benar diancam. Pertahananku benar-benar runtuh.“Al, kita ke rumah sakit saja ya!”“Enggak Mas, aku baik-baik saja.”“Kamu terus saja waspada sejak kemarin bahkan belum tidur sama sekali.”Bagaimana aku bisa tidur jika, setiap waktu aku terus ketakutan kalau mungkin saja ada yang akan datang ke rumah. Ketakutan itu semakin menjadi mana kala tak ada orang di rumah.“Reza enggak akan ke sini Sayang, kalau kamu terus begini bisa ganggu kesehatan. Kita ketemu psikiater aja oke?”“Aku enggak gila.”“Enggak semua orang
“Ya Allah Mas, itu bukannya orang yang pernah datang ke rumah kita?”“Iya, itu anak buahnya Reza.”“Mau apa lagi coba? Kok bisa tahu kita ada di sini?”“Entah, nah itu Rezanya datang. Kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Sini pegangan! Kita emang enggak bisa terus menghindar. Di sini banyak CCTV jadi kalau ada apa-apa banyak saksinya. Kamu jangan takut!”Pria itu menggenggam lenganku lantas mulai berjalan menuju Reza yang kini juga menatap kami ke arah yang sama. Di sampingnya sudah ada dua orang pria berbadan tegak dan besar yang melihat kami dengan tatapan sangarnya yang khas.Tak lama beberapa bawahannya yang lain juga datang dan berjajar di belakangnya. Namun, seolah tak kenal takut Mas Syahru terus melangkah.Sampai kemi berdiri tepat di depan pria itu, ia tiba-tiba saja menghadiahi pukulan yang cukup keras di perut sahabatnya. Hampir saja dua bawahannya membalaskan apa yang ia lakukan pada Reza, kalau saja tak dicegah oleh atasannya, aku yakin Mas Syahru juga sudah mendapatkan pukula
“Apa sih Sayang, pikiran kamu itu ya! Kotor banget.”“Memang kenyataannya begitu ‘kan?”“Suamimu ini masih normal. Mana mungkin mau melakukan hubungan sesama jenis. Membayangkannya saja sangat mengerikan.”“Ya terus kalau Reza nginep dia tidur di mana?”“Di bawah, di sofa tempat Mas biasa tidur.”“Memangnya dia mau.”“Ya, harus mau. Suruh siapa numpang tidur di sini. Sudah tahu rumahnya kecil.”Ternyata berbeda sekali perlakuannya padaku dan orang lain.“Meskipun Mas berteman baik, Mas juga enggak naif. Dia dari awal memang keliatan enggak normal sejak kasus pelecehan itu, jadi harus pintar jaga diri.”“Baguslah.”“Udah enggak marah lagi?”Aku hanya menggeleng.“Cie ada yang cemburu.”“Aku hanya bertanya, tolong jangan menafsirkannya sebagai cemburu.”“Orang enggak akan bertanya jika tidak cemburu.”Entah sejak kapan pria ini menjadi sangat narsis. Sepanjang jalan menuju rumah ia bahkan terus saja memaksaku untuk mengakui kecemburuanku padanya.“Iya, aku cemburu sama Reza. Puas?”Seka
“Loh, memangnya sudah?”Aku bahkan bisa melihat matanya yang sejak tadi meredup, mendadak berbinar.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah kembali memelukku. Kali ini ia bahkan mendaratkan kecupan singkat di kening.“Sejak kapan?”“Memangnya harus aku kasih tahu?”“Ya harus dong, Sayang.”“Mungkin sebelum Mas mengutarakan semuanya.”“Ya Allah, ih masa sih. Enggak nyangka deh.”“Terus kenapa kemarin kesannya kamu kayak mau nolak Mas.”“Siapa yang enggak shock lihat pasangan sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan sesama jenis lagi. Aku hanya perlu waktu meyakinkan diriku sendiri, kalau memang semua in hanya salah paham.”“Jadi sekarang ceritanya sudah yakin?”“Insyaallah, melihat bagaimana Mas bersikeras untuk melindungiku. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan semuanya.”“Kalau begitu ayo!”“Ke mana?”Ia malah menatap pintu kamar kami yang saat itu masih terbuka. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Reza si pembuat onar itu bahkan tak menutupnya kembali.“Mas memangny
“Kamu di rumah aja. Mas yang ke sana. Kunci pintu ya, jangan keluar kalau ada yang ketuk. Mas ‘kan tahu sandinya jadi pasti langsung masuk.”“Oke.”Aku hanya bisa mengiyakan apa yang diperintahkan suamiku, sebelum akhirnya ia pergi untuk mengatasi kekacauan. Saat itu aku memang mengantarnya sampai ke depan.Namun, begitu aku akan kembali masuk, Luna yang kebetulan tengah membuang sampah malah menyapaku.“Pagi Ka, baik-baik aja ‘kan?” katanya.Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Apakah memang wajahku terlihat bermasalah?“Alhamdulillah.”“Syukurlah, oh ya Ka, aku boleh minta tolong boleh enggak?”“Apa?”“Hari ini aku masak banyak buat acara nanti siang. Kakak bisa enggak cobain masakan aku, kurang apa gitu. Aku enggak percaya diri, masalahnya aku baru mau coba masak. Resepnya aja lihat di youtube.”“Boleh.”Gadis cantik berusia 22 tahun ini merupakan seorang karyawan di bank swasta. Setahuku ia memang tak suka memasak, bahkan pernah mengatakan jika ia tak tahu sama sekali tentang bu
Hingga terdengar decit pintu yang terbuka barulah aku berani untuk membuka selimut. Untungnya yang datang suamiku.“Jangan takut Al, itu hanya ban motor yang tetangga yang pecah.”“Astaghfirrullah.”“Kejadian kemarin pasti bikin kamu trauma, ya?”“Enggak kok Mas, aku cuma sedikit takut aja. Enggak sampai ke tahap trauma. Terus bagaimana orang yang bawa motornya baik-baik aja ‘kan?”“Alhamdulillah. Mas Danu baik-baik saja kok. Dia baru aja pulang shift 3.”“Ada-ada saja.”“Iya, sampai tetangga kita keluar semua. Dikira bom.”Aku sampai tertawa karenanya. Memang bunyinya seperti itu.“Nah, begitu dong. ‘Kan tambah cantik kalau ketawa.”“Apa sih Mas, pagi-pagi bukannya sarapan malah gombal.”“Lihat wajah kamu aja sudah kenyang kok.”“Ih, malah tambah gombal. Sudahlah aku mau ke bawah dulu, kita sarapan roti bakar dulu ya.”“Hm, boleh. Asalkan buatanmu semuanya enak.”“Timbang masukin ke panggangan aja kok enak, Mas. Itu mah standar rasanya.”“Tapi, ‘kan beda rasanya kalau makanan dibuat
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali