Share

Tolong Kurangi Rasa Sakit Ini!

Hari ini aku pulang lebih awal, aku berencana mengajak keluargaku liburan, kami akan menginap selama 2 hari di Bandung. Selama menikah mereka belum pernah liburan ke luar kota. Teringat janjiku dulu, kalau kita sudah punya mobil akan ku bawa dia jalan-jalan tiap weekend.

Dia selalu ingin ke Bandung, sayangnya 18 tahun pernikahan, aku belum pernah mengabulkannya. Terobsesi ingin punya segalanya, membuatku lupa. Dulu Ayu kuajak ke Bandung saat kami belum menikah dan masih satu kerjaan, itu pun ramai-ramai, dengan teman kerja, mana mau dia, kuajak pergi berdua.

~~

Karena ingin cepat sampai rumah, aku mengambil jalan pintas, jalan ini memang sepi karena kanan kiri masih hamparan persawahan. Semoga saja usahaku kali ini berhasil membuat Ayu mau berbicara padaku, tak masalah kalau dia belum memaafkan, yang penting Ayu lebih banyak berbicara.

~

Aku mencari Ayu, dia terlihat berada di ruang salat, syukurkah aku merasa lega sekali, setidaknya dia baik-baik saja, sungguh aku takut dia menjadi seperti ibunya Ilham.

“Dek boleh Abang tahu apa yang Adek minta setiap malam di sini?”

Aku memberanikan diri duduk di samping Ayu yang tengah berzikir. Ayu hanya diam, enggan menjawab pertanyaanku, tapi dapat kulihat dia menghentikan aktivitasnya memindahkan biji-biji tasbih dalam genggamannya.

“Adek pasti capek ya, selama ini nyari tambahan buat nutupin kebutuhan rumah, belum lagi harus ngurus anak-anak kita, Abang udah gagal jadi suami dan ayah yang baik buat anak-anak kita, Abang terlalu mengikuti nafsu buat punya segalanya, rumah mewah, kendaraan bagus, sampai Abang lupa tugas Abang kasih kebahagiaan buat keluarga kita.”

Ayu masih diam saja, bahkan enggan untuk sekedar menatapku, pandangannya tertunduk ke arah sajadah.

“Kalau Adek mau marah, Adek marahin aja Abang, Adek juga boleh pukul Abang, tolong Abang dek.”

Aku menarik tangan kanan Ayu kuletakan didada.

“Tolong kurangi rasa sakit Abang sedikit aja. Abang harus bagaimana? Bilang sama Abang, jangan dipendam sendirian!”

Aku menangis tergugu di hadapan Ayu, sungguh baru kali ini kurasakan benar-benar takut kehilangannya. Ayu menepuk bahu menundukkan kepalanya, jarinya menyeka air mataku, lihat saja Ayu seperti seorang ibu yang tengah menenangkan anak kecil yang menangis karena benda kesayangannya hilang. Kuciumi punggung tangan Ayu.

“Jangan tinggalkan Abang Dek, jangan tinggalin Abang, Abang minta maaf, Abang Abang Abang.....”

“Heiy Bang, aku enggak ke mana-mana, aku masih di sini.” Suara itu suara yang begitu aku rindukan.

“Adek harus percaya, Abang enggak pernah melakukan hubungan badan Dek, demi Allah. Adek percaya kan?”

“Abang, tolong berhenti mempertaruhkan nama Tuhan!”

“Terus Abang harus ngapain lagi, Adek mau Abang dan Tiara visum, Abang siap dek, ayo kita ke rumah sakit sekarang!”

Tiba-tiba Ayu tersenyum, melihatnya tersenyum seakan ada angin segar yang merasuk ke dalam hati, senyum itu, senyum yang begitu kurindukan, akhirnya aku melihatnya lagi.

“Ingusmu Bang!” katanya, sembari bersiap berdiri, mencopot mukenanya dan berlalu meninggalkanku.

Aku tak peduli ingusku Dek, biarkan saja dia mengalir asalkan itu bisa membuatmu tersenyum. Apakah harus sesakit ini, aku memiliki raganya tapi tidak dengan jiwanya. Akhirnya aku pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah, takut kalau ketahuan anak-anak.

Aku sudah biasa diabaikan, ini bukan pertama kalinya Ayu seperti ini. Hanya saja senyumannya tadi. Sungguh itu adalah secercah harapan, mungkin Ayu hanya perlu waktu untuk bisa memaafkanku.

“Dek besok pagi kita ke Bandung ya, kita menginap di sana,” ucapku kini kami sudah berada di kamar.

“Iya,” ucapnya singkat sekali.

Tak ada raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya, aku pikir dia akan langsung menghambur memelukku, karena yang kutahu dia sangat ingin pergi ke kota itu, tak menunggu lama kemudian Ayu memasukkan beberapa helai pakaian ke koper, aku pun membantunya menyiapkan keperluan yang lain.

Saat menyiapkan keperluan untuk besok tiba-tiba aku teringat Dian, tetangga kami, dia cukup dekat dengan Ayu, walau pun dia seorang ibu rumah tangga ku dengar dia Sarjana Psikologi, kalaupun liburan kami gagal membuat Ayu mau bicara, aku akan menyuruh Dian untuk menemui Ayu.

Masa bodoh orang jadi tahu masalah rumah tanggaku, ketakutanku kalau Ayu akan depresi jauh lebih besar.

~~

Seperti dugaanku liburan ke Bandung kami gagal. Sepulang dari sana Ayu tak banyak berubah, tetap hemat bicara, apalagi sekarang Reno sudah mulai curiga karena ibunya yang tak lagi ceria seperti dulu.

Aku terpaksa berbohong kalau ibunya mungkin sedang banyak pikiran. Maafkan papah Ren, Papah terlalu pengecut untuk mengakui kesalahan Papah pada mamahmu.

Hari ini seperti rencanaku, aku telah mengatur Dian, untuk bertemu dengan Ayu, kuceritakan semuanya dengan Detail, Dian sampai menangis mendengarnya. Dia berinisiatif untuk membuat kue dan memberikannya esok hari ke rumahku, tak lupa kupasang CCTV berbentuk pen yang aku sembunyikan dibalik vas bunga. Supaya aku tahu apa yang mereka bicarakan nantinya.

Keesokan harinya, aku pergi ke kantor seperti biasa, di kantor aku tak bisa fokus. Setelah Dian memberitahu bahwa dia akan pergi ke rumah, aku langsung bersiap membuka ponsel untuk melihat keadaan di rumah lewat CCTV, Dian benar-benar datang Ayu terlihat menyambutnya dengan ramah.

“Mbak ke mana aja, kok gak pernah kelihatan, Ibu-ibu sini juga pada nanyain loh, malah kemarin Bu sari udah gembar-gembor mau nengokin takut sakit katanya,” ucap Dian

“Aku baik-baik aja kok, Di.”

“Mbak, anggap aku adik ‘kan?”

“Kenapa tanya gitu, Di?”

“Mbak bisa bohong sama orang lain, tapi aku bisa lihat mbak enggak lagi baik-baik aja.”

Ayu terdiam sejenak.

“Mbak, enggak apa-apa kalau mbak enggak mau cerita, setiap orang pasti punya masalah tapi enggak baik kalau kita terus memendam semuanya sendirian,” ucap Dian.

Mata Ayu terlihat mulai berembun.

“Aku enggak akan paksa Mbak buat cerita, Mbak kalau mau nangis enggak apa-apa, jangan di tahan.”

“Aku baik-baik aja Di,” ucap Ayu sembari, memalingkan wajahnya, seperti berusaha keras menahan matanya yang mulai berembun agar tak tumpah.

“Mbak lihat Ilham deh, dulu dia anak yang periang, Ilham suka sekali main kartu, apalagi ada Aksan, mereka berdua selalu bersitegang , sampai aku yang melihatnya pusing sendiri, sekarang lihatlah dia hanya mau memainkan hafiz dollnya, Mbak ingat dulu Mbak yang membelikan Ilham mainan itu, Mbak sering menyuruh Ilham mendengarkan itu, tapi Ilham malah memilih kabur ke rumahku,” tutur Dian, Aksan adalah anak Dian umurnya sama dengan Ilham.

“Mbak tahu artinya apa? Ilham sedang mencari perhatian Mbak, Ilham merasa dia telah berbuat salah, sehingga dia berusaha melakukan apa yang membuat Mbak senang,” tutur Dian.

“Ilham merepotkanmu, Di?"

“Enggak sama sekali, aku suka anak kecil, terlebih Ilham sudah kuanggap ponakanku sendiri. Justru kalau enggak ada Ilham Aksan gak ada temen main,” ucap Dian.

“Terima kasih, ya.”

“Mbak, Istri itu seperti cuaca dan suami serta anak-anaklah penduduknya, kalau cuacanya cerah pastilah penduduknya akan merasa senang tapi kalau cuacanya mendung.”

Untuk sejenak Dian berhenti menghentikan ucapannya, seperti sengaja memberi jeda untuk Ayu berpikir.

“Mbak pasti tahu kan maksudku?”

Tiba-tiba saja Ayu malah berlari ke arah dapur.

Air mata Ayu luruh, bahunya berguncang hebat, dia mulai menangis terisak.

“Aku tahu Mbak orang yang kuat, menangis enggak akan membuat Mbak jadi orang lemah, setidaknya itu mengurangi sedikit beban dihati mbak.”

Dian terlihat di camera tengah menyusul Ayu ke dapur, sepertinya Ayu tak ingin anak-anak melihat mamahnya menangis.

“Aku bisa terima semuanya Di, tapi tidak dengan ini.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
siti mutmainah
asli aq membacanya ikut sedih
goodnovel comment avatar
Puspita852
jiah, ada Diyan juga ... nama anakku diborong semua ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status