@Wildan
[Bu, uangnya sudah aku transfer, lima belas juta seperti yang, Ibu minta]Alina termenung setelah membaca pesan yang Wildan---suaminya kirim kepada ibunya. Sering sekali Wildan mentransfer uang dengan jumlah yang menurutnya tak wajar. Karena bukan hanya sekali atau dua kali saja."Sudah sepuluh kali lebih, Mas Wildan memberikan ibu uang dengan jumlah yang banyak. Padahal anaknya kan bukan, Mas Wildan saja," gumamnya. Setelah itu Alina kembali meletakkan ponsel milik suaminya itu."Alina, tolong buatkan kopi ya, nanti bawa ke ruang kerja aku," titah Wildan yang baru saja keluar dari kamar mandi."Ah iya, Mas." Alina mengangguk. Setelah itu ia bergegas turun ke bawah, lalu menuju dapur untuk menyeduh kopi seperti yang suaminya itu perintahkan."Sampai kapan kamu dimanfaatkan terus oleh ibu serta saudara kamu sendiri, Mas." Alina membatin. Usai menyeduh kopi, Alina beranjak naik ke lantai atas, di mana ruang kerja suaminya berada.Setibanya di ruang kerja, Alina berjalan menghampiri suaminya yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Wildan menoleh sekilas lalu kembali fokus pada layar laptopnya. Sementara Alina menaruh cangkir yang berisi kopi tersebut di atas meja."Lembur lagi, Mas?" tanya Alina."Iya, malam ini harus selesai. Kamu tidur duluan saja," ujar Wildan dengan mata tetap fokus pada deretan tulisan yang ada di hadapannya."Ya sudah, kalau udah selesai langsung istirahat, Mas." Setelah mengatakan itu, Alina memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut dan memilih untuk masuk ke dalam kamar."Kok tumben Alina diam, biasanya kalau lihat aku lembur suka protes," gumamnya. Wildan mengusap wajahnya."Apa Alina marah, gara-gara aku tidak menambahkan uang jatah bulanannya. Padahal aku sudah berjanji bulan ini untuk menambahnya, tapi ibu lebih butuh," batinnya lagi. Setelah itu Wildan memilih fokus pada pekerjaannya.Biasanya Alina akan protes saat melihat suaminya kerja lembur di rumah. Menurut Alina, cukup bekerja di kantor, saat di rumah waktunya untuk beristirahat. Namun, bagi Wildan, entah itu di rumah atau di kantor jika masih ada pekerjaan yang beli selesai, harus diselesaikan terlebih dahulu.***Pagi menyapa, pukul setengah tujuh pagi Wildan sudah siap untuk berangkat ke kantor. Sementara Alina tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi. Selang beberapa menit, Wildan turun, melihat suaminya sudah di bawah. Alina berjalan menghampirinya."Sarapannya sudah siap, Mas." Alina memberitahu suaminya, jika sarapan paginya sudah siap."Iya, sebentar," sahut Wildan. Tiba-tiba ponselnya berdering, dengan segera Wildan mengambil benda pipih tersebut.Setelah selesai menerima panggilan tersebut, Wildan berjalan menghampiri istrinya yang sudah menunggu di meja makan. Terlihat jika sarapan sudah siap, tapi pagi ini Wildan harus pergi lebih awal."Alina aku pergi sekarang ya, ada meeting pagi ini," ucap Wildan."Ya sudah, hati-hati di jalan," sahut Alina. Detik itu juga Wildan terdiam. Satu keanehan lagi terjadi pada istrinya, biasanya Alina tidak akan membiarkan dirinya pergi sebelum sarapan pagi."Kamu nggak marah?" tanya Wildan.Alina tersenyum. "Untuk apa aku marah, aku tidak ingin kamu tertekan hanya karena aku sering ngekang kamu, Mas."Wildan terdiam, terasa aneh dengan ucapan istrinya itu, tapi dalam hatinya terasa senang. Itu artinya sejarah ia bebas melakukan apapun tanpa larangan dari sang istri. Setelah itu Wildan berpamitan untuk segera pergi."Ya sudah, aku pergi sekarang ya, assalamu'alaikum." Wildan mencium kening istrinya."Wa'alaikumsalam." Alina mencium punggung tangan suaminya. Setelah itu ia mengantarkan Wildan sampai di teras depan.Setelah mobil suaminya menghilang dari pandangan matanya. Alina memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, setelah itu ia akan bersiap-siap untuk pergi.Waktu berjalan begitu cepat, tepat pukul dua belas siang Wildan pergi ke sebuah resto untuk makan siang. Wildan tidak pergi sendiri, melainkan pergi bersama dengan seorang wanita. Wanita yang sudah hampir satu tahun ini menemaninya saat berada di luar rumah.Setibanya di resto, Wildan langsung mencari meja yang kosong, setelah itu ia memanggil seorang pelayan untuk memesan makanan."Mbak." Wildan mengacungkan tangan kanannya, untuk memanggil pelayan yang berdiri tak jauh dari mejanya.Wanita berjilbab yang memakai seragam kerja di restoran itu menoleh. Seketika Wildan terkejut setelah melihat siapa wanita yang bekerja sebagai pelayan restoran di mana ia akan makan siang. Bukan hanya Wildan saja yang terkejut, tetapi pelayan itu juga tak kalah terkejut."Syukurlah, mudah-mudahan ini awal yang baik," gumamnya. Amara ikut bahagia melihat mantan ibu mertua dan suami yang kini sudah berbaikan. ***Tidak terasa lima tahun telah berlalu, kini Asha tumbuh menjadi anak yang cantik dan juga cerdas, tak beda dengan Nafisa. Sementara Iqbal juga semakin dewasa, bahkan kini Iqbal tengah melanjutkan kuliahnya di Jakarta, awalnya di Bandung, tetapi Adam memintanya untuk pindah ke Jakarta. Iqbal mengambil fakultas kedokteran, karena memang cita-citanya ingin menjadi dokter. Lima tahun lebih Alina membina rumah tangga bersama dengan Adam. Perbedaan usia tak menjadi masalah, justru Alina merasa lebih nyaman jika bersanding dengan suaminya yang sekarang. "Sayang dasinya di mana," teriak Adam dari dalam kamar. "Masih di laci, Mas." Alina pun ikut berteriak. Saat ini wanita berjilbab itu sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. "Sayang nggak ketemu." Adam kembali beteriak, hal itu membuat Alina menghela napas. "Sayang sebentar ya, bunda ke atas dulu,"
"Iya, mas Wildan mengira jika ibu adalah kamu," ucap Amara. Sejak saat itu, ibu mertuanya trauma dan memilih untuk mengurung diri di kamar.***Sejak pulang dari rumah Wildan, Arina sering melamun, jujur Alina merasa kasihan melihat mantan suaminya itu. Sejahat apapun Wildan, tetapi pria itu pernah menjadi bagian dari hifup Alina. Pernah menjadi imam dalam bahtera rumah tangganya dulu. "Sayang kamu kenapa? Kok ngelamun gitu, apa yang kamu pikirkan." Adam duduk di sebelah istrinya. Alina menghela napas. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma masih kepikiran tentang ... keadaan mas Wildan yang sekarang. Maaf, Mas aku nggak bermaksud untuk .... ""Iya, nggak apa-apa, aku ngerti bagaimana perasaan kamu. Bagaimanapun juga, kalian pernah hidup bersama, kamu do'akan saja semoga Wildan bisa sembuh seperti dulu." Adam memotong ucapan istrinya, lalu merengkuhnya. "Mas, Nafisa di mana?" tanya Alina. "Masih di rumah mama, memangnya kenapa." Adam balik bertanya. "Memangnya belum pulang ya, kok tad
"Janji kamu untuk menikahi Sindy," jawab Mila, seketika Alina terkejut mendengar hal itu. Bukan hanya Alina, Adam pun demikian. ***Suasana menjadi tegang, khawatir terjadi kesalah pahaman terhadap sang istri. Adam berjalan mendekati Alina. Adam tidak pernah merasa berjanji untuk menikahi Sindy, adik kandung Winda mendiang istrinya. Namun kenapa tiba-tiba mereka datang dan menagih janji. "Maaf, tapi aku tidak pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," ucap Adam. "Adam, mbak itu nggak lupa, kalau kamu pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," kekehnya. Mila tetap bersikeras untuk meminta agar Adam menikah dengan Sindy. Adam menggelengkan kepala. "Enggak, Mbak. Kalau, Embak tidak percaya, kita tanya langsung ke mama sama papa!" tegasnya. Adam tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba kakak iparnya datang dan bicara omong kosong seperti itu. "Apa alasan kamu, tidak mau menikah dengan Sindy?" tanya Mila. "Karena aku sudah menikah dengan perempuan kini berdiri di sampingku," jawab Ada
"Aku nggak mau, lepas, Boby aku nggak mau." Rena terus berteriak agar Boby mengurungkan niatnya itu, tetapi Boby tidak peduli dengan teriakan Rena. Ia tersenyum karena rencananya telah berhasil. ***Kini kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Adam, Alina berhasil melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Meski harus melalui operasi, kini bayi mungil itu tengah menjadi rebutan oleh kakek serta neneknya. Sementara Adam memilih untuk menemani istrinya, yang kondisi masih lemah. "Terima kasih ya, Sayang." Adam mencium kening istrinya dengan lembut. Kebahagiaan itu kembali Adam rasakan, meski bukan dengan wanita yang sama. Namun Adam beruntung bisa memiliki istri seperti Alina. "Sama-sama, Mas." Alina menganggukkan kepalanya. Bagi Alina, kebahagiaan yang ia rasakan saat ini bahagia yang tidak ada duanya. Kini Alina bisa merasakan menjadi istri yang sesungguhnya, menjadi ibu dari anak yang ia lahirkan, meski bukan dari rahimnya sendiri. "Mas kapan aku boleh pulang?" tanya Alina. Ju
Tiba-tiba bug, tubuh Wildan ambruk dan jatuh tersungkur. Alina yang melihat itu seketika terkejut, lalu ia menoleh ke arah belakang. Alina kembali terkejut saat melihat siapa yang menolongnya. ***"Iqbal, kamu .... ""Ma, Mama nggak apa-apa kan?" tanya Iqbal dengan raut wajah khawatir. "Iya, dari mana kamu tahu kalau .... ""Ayah yang kasih tahu, ayah nggak bisa jemput, lalu nyuruh aku untuk jemput, Mama." Iqbal kembali memotong ucapan Alina. Alina benar-benar bahagia, mungkinkah jika Iqbal telah menerimanya. Wildan memegang tengkuknya yang masih terasa sakit, perlahan pria itu bangun. Melihat Wildan bangun, Alina berjalan menghampiri Iqbal dan berdiri di belakangnya. Wildan meringis seraya memijit tengkuknya. "Dasar bocah bau kencur, jangan sok jadi pahlawan kamu," ujar Wildan. Sesekali ia memijit tengkuknya. "Lebih baik sekarang, Om pergi saja, sebelum aku panggil temen-temen untuk menghajar, Om." Iqbal menyuruh Wildan untuk mundur dan pergi. "Kamu yang harus pergi dari sini,
"Kami suruhan, Tuan Burhan. Kami bertugas untuk mengosongkan rumah ini, karena Tuan Burhan telah menyitanya sebagai pelunas hutang Rena," jelasnya. Mendengar itu, jantung Wildan serasa ingin loncat. Rena benar-benar keterlaluan, sudah membohonginya, dan sekarang membuatnya sengsara. ***Setelah membereskan pakaian, Wildan memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut. Rumah yang sengaja ia beli untuk Rena dulu, tapi dengan gampang Rena melenyapkan rumah itu. Kini Wildan memilih untuk pulang ke rumah ibunya. "Apa?! Jadi Alva itu bukan anak kamu! Dan sekarang Rena pergi dengan laki-laki lain." Erika terkejut mendengar cerita Wildan. "Iya, Bu." Wildan mengangguk. "Terus kalau sudah seperti ini, kita mau bagaimana?" tanya Erika. "Aku nggak tahu, Bu." Wildan menggelengkan kepalanya, lalu menyenderkannya di sandaran sofa. "Alina sekarang sudah bahagia dengan orang lain, sementara kamu. Diusir Amara dan diselingkuhin Rena," ujar Erika, mendengar itu kepala Wildan bertambah pusing. "Ter
"Aarrrght, sial." Wildan mengerang frustasi bahkan kaki kanannya ia gunakan untuk menendang pintu rumah Amara. Wildan tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. ***"Amara, kamu lihat saja nanti, kamu akan menyesal," gumamnya. Setelah itu Wildan memutuskan untuk pergi. "Apa aku pulang ke rumah Rena saja ya," batin Wildan. Kini ia sudah dalam perjalanan, Wildan bingung harus pulang ke mana. "Lebih baik aku ke rumah Rena saja," putusnya. Setelah itu Wildan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, kini Wildan tiba di rumah Rena. Setelah memarkirkan mobil Wildan bergegas turun, lalu melangkah menuju teras rumah. Namun tiba-tiba Wildan menyipitkan matanya saat melihat ada sebuah mobil terparkir di tak jauh dari mobil miliknya. "Itu mobil siapa, kok ada di sini," batin Wildan. Setelah itu ia memutuskan untuk masuk ke dalam, tetapi niatnya terhenti saat pintu rumah tiba-tiba terbuka. "Rena, kamu mau ke mana? Lalu dia siapa." Wildan
Alina terkejut lalu menoleh ke arah kiri, terlihat jika suaminya sudah berdiri di sebelahnya dengan wajah yang sudah merah padam. Ternyata bukan hanya Alina yang terkejut, Iqbal pun demikian, dan sepertinya usahanya akan gagal, karena potongan martabak yang ia campur dengan obat sudah terlempar ke lantai. ***"Mas, kenapa martabaknya .... ""Iqbal, ayah kecewa sama kamu. Apa ini yang ayah ajarkan, kamu sekolah itu untuk belajar yang bener, bukan seperti ini." Adam memotong ucapan Alina. Suasana benar-benar tegang, bahkan Nafisa langsung bangkit dan memeluk kaki Alina. "Iqbal melakukan ini karena, Ayah menikah lagi, apa ayah lupa kalau bunda meninggal gara-gara dia," ungkap Iqbal. "Iqbal." Adam mengangkat tangan hendak melayangkan tamparannya ke pipi Iqbal. Namun niatnya terhenti saat Alina memegangi tangan suaminya itu. "Jangan, Mas. Aku tahu kamu ayahnya dan berhak melakukan apa saja, tapi bukan seperti ini caranya," ujar Alina. Sementara Iqbal sudah memalingkan wajahnya. Adam m
Amara mengantar suaminya sampai di teras depan, saat membuka pintu utama. Seketika mereka terkejut saat melihat Rena sudah berada di depan pintu. Terlebih Wildan, jantungnya seakan ingin loncat saat melihat istri keduanya sudah ada di depan mata. ***"Rena." Wildan membatin. "Rena kamu ada di sini, sama siapa? Terus Alva mana?" tanya Amara. "Alva ada di rumah sakit, aku ke sini untuk memberitahu ayahnya. Kalau sudah seminggu lebih putranya mencarinya," ucap Rena dengan sorot mata yang tajam. Rena sudah tidak peduli lagi, jika nanti harus diceraikan oleh Wildan, asalkan ia sudah memberitahu jika lelaki yang bersama Amara bukan laki-laki baik. "Maksud kamu, Rena aku nggak ngerti ke mana arah bicara kamu," ujar Amara yang benar-benar merasa bingung dengan sikap Rena. "Sayang sudahlah mungkin Rena .... ""Temui putra kamu, Mas. Apa kamu lupa dengan darah dagingmu sendiri." Rena memotong ucapan Wildan. "Rena, mas Wildan itu suami aku, dia bukan .... ""Dia juga suamiku, ayah Alva." R