Kira-kira jam 10 pagi di hari Sabtu, Mereka berempat: Mama, Ipar Sondang, Friska dan Sondang, sudah sibuk di dapur. Nanti sore akan ada acara ‘partangiangan’ atau acara doa bersama. Ini acara rutin sekali sebulan, yang dilakukan secara bergilir oleh para jemaat gereja. Bulan ini, giliran jatuh pada keluarga Sondang.
Sebenarnya kalaupun hanya menyajikan kue-kue, jemaat yang hadir pasti tidak keberatan. Tapi Mama memutuskan untuk menyediakan makan malam, meski cuma sekedarnya. Itu sebabnya pagi-pagi tadi, Sondang dan Abang sudah pergi berbelanja ke pasar, membeli 6 ekor ayam kampung, dan keperluan lainnya.
Selain memasak Ayam gulai andaliman, tombur ikan nila dan sayur daun singkong tumbuk, Mama memutuskan untuk membuat Lampet beras. Jadilah apa yang disebut sebagai makan malam sekedarnya itu, malah berubah menjadi makan malam berat, bagi yang bertugas mempersiapkannya.
Karena itu, mereka segera berbagi tugas. Sondang memasak ayam, da
Dan Idris ternyata tidak datang malam itu. Sondang menduga, mungkin karena dia sebenarnya masih kesal, mendengar Sondang akan latihan musik berdua dengan Justin. Idris tidak tahu, setelah Sondang menolak cinta Justin, dia sendiripun bingung, bagaimana tetap bersikap tenang di dekat Justin yang sudah dibuatnya patah hati itu. Mereka memang sudah berjanji akan tetap menjadi teman, tapi semuanya pasti butuh waktu. Dan belum seminggu sejak Sondang menolak Justin, bagaimana luka hati bisa sembuh, dalam waktu sesingkat itu? Seandainya bisa, ingin sekali sebenarnya Sondang membatalkan ‘duet’ mereka ini. Tapi apa boleh buat, pengantin sendiri-yang adalah teman kursus musik mereka dulu- yang meminta mereka untuk bermain musik di acara pemberkatan nikahnya. Jadi jalan satu-satunya hanyalah melakukannya, meski keduanya sedang merasa tak nyaman. Malam ini, hati Sondang merasa sakit dan kesepian. Seperti ada harapan yang terlepas, ketika sosok Idri
“Ya, ampun, Mama Sondang niat banget kayaknya menjodohkan Sondang dengan Justin, ya. Nyari alasannya maksa banget,” keluh Friska ketika mobil Idris sudah meluncur ke luar dari halaman gereja, dalam perjalanan menuju rumah Amelia. Idris diam saja, hatinya merasa rusuh dan kecewa. Sulit sekali ternyata untuk mendekati Sondang. Ada-ada saja hambatannya. Cuma Andi yang bereaksi dengan tertawa kecil. Siapapun yang ada di situ tadi tahu, bahwa Mama Sondang memang membuat-buat alasan, untuk memaksa Sondang pergi berdua dengan Justin. “Namanya orang tua, Fris, hanya bisa tenang, kalau anak perempuannya sudah menikah.” “Iya, sih. Cuma aku kasihan lihat Sondang tadi. Dia kaget banget, waktu tahu bahwa dia akan pergi berdua dengan Justin. Mungkin dia sangka, dia bisa minta kita temani, ya?” kata Friska prihatin. Andi tertawa lagi, lalu berkata, “Mungkin besok-besok, kalau Mama Sondang butuh beli jarum
“Itu Bou, yang di kiri. Iya, itu..” teriak salah satu ponakannya pada Sondang yang sedang memetik Mangga. Minggu siang sepulang gereja itu, dia sedang memanjat pohon Mangga yang tumbuh di halaman belakang, di dekat kandang ayam.Musim Mangga sebenarnya sudah hampir berakhir, dan ini hanya tinggal buah sisa saja. “Pegang kuat kainnya!” seru Sondang ke arah bawah, kepada kedua keponakannya yang sejak tadi memegangi ujung-ujung kain untuk menampung buah Mangga yang dilemparkan Sondang ke bawah.Satu per satu buah Mangga Manalagi yang sudah tua dipetik oleh Sondang, dan dilemparkannya ke dalam kain. “Coba hitung, sudah berapa jumlahnya?” tanyanya pada kedua keponakannya. Kedua anak 5 tahun itu terdengar membilang angka-angka dengan bersuara.“12. Bou..”“Sudah cukup berarti, ya? Sudah banyak itu..”Tak ada jawaban untuk sesaat. Si Kembar itu ternyata sedang berdiskusi berdua.“Seorang dapat berapa buah, Bou?” tanya yang termuda.“2,” jawab Sondang sambil bersiap-siap turun. Dijejakkan
Idris menelepon Sondang di hari Selasa malam.Sondang sedang di kamarnya, berlatih musik biola, untuk penampilannya dengan Justin di hari Minggu sore. Dia merasa hampir pingsan karena terlalu gugup, ketika matanya melihat photo Idris terpampang memenuhi layar teleponnya: sedang tersenyum, seperti khusus diberikan untuk Sondang.Bukannya diangkat, Sondang malah berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya yang kecil, tak tahan menanggung gejolak perasaannya. Ingin mengangkat, tapi dia malu sekali, tak berani memikirkan akan mendengar suara Idris yang merayu-rayunya seperti biasa.Telepon itu akhirnya berhenti berbunyi, setelah 2 kali putaran panggilan, dan Sondang tak juga mengangkat. Seketika itu juga, Sondang malah merasa patah hati.“Ayo, bunyilah lagi.. Ayo.,” pintanya sambil melihat layar telepon yang perlahan-lahan menjadi gelap.Tapi tak ada bunyi apapun terdengar, dan itu membuat kegembiraannya terampas.Dalam getirnya penyesalan, dia kembali meletakkan biola ke atas bahunya, meng
Dari dulu Sondang sudah tahu, bahwa Mamanya ahli dalam membuat rencana mendadak.Dan yang paling mengesalkan dari semuanya itu adalah: biasanya rencana itu melibatkan Sondang. Alasannya tentu saja, karena Sondang adalah anak perempuan satu-satunya, dan belum menikah pula, sehingga dia yang paling mungkin untuk menjadi teman Mama mengerjakan ini-itu, dan untuk pergi ke sana-sini.Mama seringkali tak tertolak, sebab selalu gigih membujuk, dan akhirnya memaksa. Menjadi perempuan yang sudah mengandung dan membesarkan Sondang, pada akhirnya membuat Mama merasa memiliki hak veto.Seperti malam di hari Kamis ini, Sondang sudah menduga yang buruk saja, saat sambil menonton sinetron di ruang tengah, Mama tiba-tiba berbicara pada Sondang yang membaca ulang ‘Azab dan Sengsara’, yang terakhir kali dibacanya, saat dia masih kuliah dulu.“Ndang, kamu kapan mulai libur?”Nah, kalau sudah begini, Sondang mulai memasang moda ‘waspada’ di otaknya. Ini pasti tanda-tanda ‘tak baik’.“Kenapa, Ma?” Sondan
Idris telah menghancurkan semua rencana indah yang Sondang susun sejak hari Rabu.Dengan pedih hati, dipandangnya rambut barunya yang kusut, sepadan dengan wajahnya yang kusut pula. Hari ini seharusnya dia cantik untuk Idris, namun orang yang dicintainya itu, malah memberikan dia mimpi buruk semalam, membuat dia menumpahkan air mata, di saat dia merencanakan untuk tertawa. Sesedih inikah bangun pagi, bagi seseorang yang sedang patah hati?Dia tak ingin bangun sebenarnya, tak ingin ke luar dari kamarnya. Maunya berbaring saja, melanjutkan tangis yang semalam dibawanya sampai tertidur. Hatinya belum puas marah dan benci. Siapa yang tidak sakit hati, mereka belum lagi berpacaran, kenapa malah sudah diduakan?Kalau Idris memang bosan menunggu Sondang, mestinya dia tinggal bicara saja. Meski Sondang pasti akan menangis, tapi pasti tak akan sesedih ini.Apakah Idris cuma butuh untuk ‘menaklukkan Sondang’? Untuk menghukum Sondang yang telah mengulur waktu memberi jawaban atas cintanya, denga
Idris memang sedang marah. Dia sudah berkata pada Sondang di hari Minggu sore lalu, bahwa dia akan berusaha datang di hari Sabtu. Dia bekerja keras untuk menepati janjinya, tanpa henti mengerjakan laporan demi laporan, hanya demi bisa bertemu Sondang dengan tenang. Dia membawa rindunya pada Sondang. Namun ketika tiba di sini, alih-alih menyambutnya dengan ramah, yang ditemuinya justru adalah Sondang yang sedang akan pergi bersama Justin. Mereka bahkan terdengar berbincang akrab, membuat siapapun yang tidak tahu, mungkin akan menyangka bahwa mereka adalah pacar. Suara tawa Sondang tadi, saat mendengar Justin mengatakan sesuatu, akhirnya berhasil membuat Idris yang sebelumnya berusaha untuk tetap tenang, perlahan-lahan dibakar cemburu. Bahkan Sondang tak terlihat ingin menjelaskan sesuatu pada Idris, padahal kalau memang dia mau, dia bisa memberitahukannya lewat pesan telepon. Sikap dingin yang ditunjukkan Sondang hari ini, membuat Idris sesaat merasa, bahwa semua kehangatan yang
Instrumental lagu ‘Berkatilah’ indah sekali dimainkan oleh Sondang dan Justin sore itu. Sebenarnya mungkin permainan Sondang tak istimewa, hatinyalah yang sedang bahagia, setelah mendengar Idris begitu berharap untuk bisa menjemputnya.Sondang menatap penuh terima kasih pada Justin, yang telah berbesar hati bermain musik dengannya, meski cintanya telah ditolak. Lelaki ini memang dewasa sekali, dan sangat pantas membuat Idris merasa cemburu. Sesaat dia teringat kata-kata Idris tadi: "Aku sudah merelakan Justin menjemputmu pergi, tapi kamu harus pulang dengan aku.." Bahkan mengingatnya saja sudah membuat Sondang melambung. Ketika acara pemberkatan nikah itu usai, Sambil berjalan ke luar lokasi pernikahan, Sondang berkata kepada Justin:“Tin, aku pulang sendiri, ya. Tidak usah diantar.” Sondang sengaja memberitahukan niatnya itu, setelah acara selesai. Dia tak mau merusak 'mood' Justin, dan berpotensi mengacaukan permainan musiknya, jika Sondang memberitahunya sebelum acara dimulai.D