Rahman melihat kamarnya masih terang. Dia tidak melihat Aisyah di kamarnya, hatinya langsung panik. Dia bergegas mencari Aisyah ke bawah. Menurut pengakuan Mbok Darsih, Aisyah tidur di kamar tamu.
Pintu kamar yang tidak dikunci membuat Rahman dengan mudah masuk. Aisyah mengucapkan salam selesai salat tahajudnya. Dia langsung kaget melihat Rahman yang duduk di kasur.
“Ngapain kamu ke sini?”
Rahman masih diam sambil memandang wajah Aisyah yang tanpa niqam melihatkan bentuk hidung mancung Aisyah dan bibir mungilnya, sehingga membuat Rahman menelan salivanya. Melihat kecantikan Aisyah siapa yang tidak akan tertarik. Paras perempuan-perempuan penghibur di club malam, kalah dengan kecantikan Aisyah yang tanpa polesan make up.
Aisyah menundukkan wajah, dia sadar mungkin Rahman muncul jiwa mesumnya. Dia ingat kelakuan Rahman saat di kantor waktu itu. Pasti, dia sedang membayangkan imajinasi liar terhadapnya.
“Tolong, keluar dari sini.” Pinta Aisyah lembut supaya Rahman tidak tersinggung.
“Ini rumahku, aku bebas mau melakukan apa saja.”
“Tapi kita bukan muhrim tidak baik berduaan di kamar.”
“Aku tidak masalah.”
Aisyah merasa kesal. Ternyata Rahman sangat kerasa kepala.
“Aku akan berteriak.”
“Silakan saja.”
Rahman seolah menantang Aisyah. Dia membentangkan tangannya dan tersenyum. Aisyah merasa terpojok, saat Rahman terus-terussan mendekatinya. Bahkan bunyi napas Rahman sangat terdengar jelas, pria ini seperti sedang meraih puncak. Aisyah lalu mendorong tubuh kekar Rahman dan berlari keluar.
“Mbok… Mbok… buka pintunya.”
Aisyah menggedor-nggedor pintu kamar Mbok Darsih. Rahman langsung menuju ke kamarnya. Mbok Darsih dan Pak Darto merasa kaget melihat ketakutan di wajah Aisyah.
“Ada apa Non?” tanya Mbok Darsih.
“Tuan kalian gila!”
“Tenang yah, Non.”
Mbok Darsih mengantar Aisyah kembali ke kamar tamu dan menemaninya tidur malam ini. Melihat Aisyah yang ketakutan seperti itu membuat Mbok Darsih tidak tega. Tuannya itu bisa melakukan apa saja yang dia mau, bahkan bercinta dengan seorang perempuan tanpa ikatan halal, tapi tidak dengan Aisyah yang tidak bersalah apa-apa.
Bagiamana dulu Rahman kerap membawa perempuan ke rumah dan melampiaskan segala amarahnya yang tidak bisa terkendali. Emosinya setiap hari bertambah liar dan tidak terkendali.
Dengan kuasa dan uang yang dimiliki membuat Rahman bebas memilih perempuan dan membawa pulang. Hanya setelah kedatangan Aisyah sepertinya sifat itu mulai tidak terlihat lagi.
Rahman melumat bibirnya sendiri. Hampir saja dia berhasil merasakan sensasi bibir Aisyah. Namun entah kenapa dia merasa bersalah. Melihat Aisyah yang berlari ketakutan tidak seperti perempuan-perempuan malam yang dijumpainya di club langsung memberikan tubuhnya walau secara percuma mereka tidak menolak. Dada yang datar kerap menjadi rebahan kepala perempuan-perempuan malam, setelah puas bersama.
Paginya Rahman menganggap tidak terjadi apa-apa. Kejadian tengah malam, baginya sudah dilupakan. Dia tidak melihat Aisyah membantu Mbok Darsih membantu menyiapkan sarapan. Mungkinkah Aisyah marah.
“Dimana dia, Mbok?” tanya Rahman.
“Non Aisyah masih tidur, Tuan. Semalam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.” Mbok Darsih menjelaskan.
Rahman berdiri dari duduknya lalu menyingkirkan kursinya. Mbok Darsih sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Tuannya itu.
Pintu kamar tamu diraihnya. Perlahan Rahman membuka handel pintu. Benar saja, Aisyah masih tertidur dengan pulas. Wajahnya kelihatan sangat lelah. Perlahan Rahman masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Mbok Darsih tidak bisa berbuat apa-apa.
Pipi Aisyah yang mulus tidak ada bekas jerawat satu pun disentuhnya. Rahman mengelus pipi Aisyah menggunakan jari telunjuknya. Saat jempol tangan kanannya hampir menyentuh bibir Aisyah dia terkejut melihat Aisyah membuka mata. Aisyah pun merasa kaget melihat Rahman sudah di kamarnya. Kedatangannya sangat tidak dinantikan. Meski mata masih terasa berat Aisyah mencoba bangun dan menghindari pria yang dianggapnya aneh.
“Jam segini belum bangun. Kamu pikir ini hotel?” ucap Rahman dengan mata yang tajam.
“Apa maumu?” seru Aisyah.
“Cepat bersihkan dirimu dan temani aku sarapan.” Bentak Rahman.
“Baik.” Jawab Aisyah pelan.
Aisyah merasa sangat senang sekali. Itu tandanya dia bisa pulang. Di meja makan, Aisyah bisa menunjukkan kegembiraannya. Menemani Rahman makan dan segera bebas dari istana yang tidak diharapkan ini.
“Setelah ini kamu akan mengantarkanku pulang, kan?” tanya Aisyah.
Rahman meletakkan sendok makannya dan mengelap bibirnya. Raut wajahnya berubah seketika. Aisyah menanggap ada yang tidak beres dan mulai khawatir.
“Atau jika kamu sibuk aku bisa pulang sendiri.” Aisyah mencoba menego.
“Berhenti mengoceh!”
Rahman menggebrak meja sehingga membuat Aisyah merasa kaget sekaligus takut. Pria ini berubah seperti serigala yang siap menerkamnya. Padahal tadi dia kelihatan dalam mood yang baik diajak bicara meskipun tatapannya bengis.
“Aku hanya ingin pulang dan membayar kontrakan. Aku khawatir pemilik kontrakan akan berburuk sangka terhadapku dan melaporkanku ke polisi. Aku mohon, Tuan…” kali ini suara Aisyah terbata-bata, jantungya berdetak sangat kuat.
“Jika kamu ingin aku di sini, aku akan kembali lagi. Kalau kamu tidak percaya, Pak Darto bisa mengantarkanku…” Aisyah masih bersuara dengan nada yang gemetar.
Rahman berpikir dengan menatap tajam mata Aisyah. Benar juga apa yang dikatakan oleh Aisyah. Rahman menyetujui permintaan Aisyah, namun dengan syarat, dia yang akan mengantarkannya.
Aisyah mengambil tasnya di kamar Rahman. Dia membuka isi dompetnya. Uang lembaran merah hanya tinggal dua, itu tidak cukup untuk membayar uang kontrakan. Aisyah hanya bisa duduk dan tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Pulang ke kontrakan juga percuma, memilih menunggu pemilik kontrakan untuk melaporkan ke polisi mungkin itu jalan terbaik.
“Kenapa lama sekali?” Rahman masuk ke kamar, dibuat bingung oleh Aisyah.
Aisyah berpaling dan membiarkan pria itu untuk murka lagi. Aisyah sudah pasrah. Dalam ketakutan Aisyah berusaha untuk menutupinya. Jika saja dia membagi ilmunya mengajar mengaji atau les secara privet mungkin uangnya akan cukup.
“Aku tidak punya waktu lama untuk menunggumu.”
“Biarkan saja pemilik kontrakan mencariku.”
Rahman merasa ada yang tidak beres. Barusan tadi, Aisyah memohon untuk pulang ke kontrakan tapi dengan sekejap berubah pikiran. Dia pikir bisa mempermainkan Rahman.
“Jangan mempermainkan kesabaranku…” Rahman menggenggam erat pergelangan tangan Aisyah. Rasa sakit tidak dihiraukan, Aisyah hanya bisa merintih pelan.
Rahman baru sadar melihat uang yang dipegang oleh Aisyah. Karena itulah, Aisyah mengundurkan niatnya untuk pulang.
“Berapa harga kontrakannya?” Rahman melepaskan tangan Aisyah.
“Lima ratus…” Aisyah tidak kuasa menahan tangisnya. Dia pun menangis tanpa merasa malu lagi.
“Coba saja kalau kamu tidak membawaku ke sini, uangku bisa genap untuk membayar kontrakan.” Aisyah bersuara lantang. Tidak peduli Rahman akan mengamuk atau tidak, setidaknya hati sedikit lega.
Rahman memegang pergelangan tangan Aisyah, namun kali ini tidak dengan kekerasan. Aisyah mengikuti langkah Rahman yang sangat cepat sampai dia menginjak gamisnya dan hampir terjatuh. Rahman langsung memegang tubuh Aisyah yang terasa ringan. Rahman menangkap wajahnya di dalam bola mata Aisyah, begitu pula dengan Aisyah.
“Hati-hati bisa tidak?” Rahman membantu Aisyah berdiri dengan benar.
“Kamu yang jalannya hati-hati.” Aisyah tidak mau disalahkan.
Tidak bisa menyembunyikan senyumnya, Rahman berusaha untuk memalingkan wajah. Aisyah merasa heran melihat Rahman tiba-tiba senyum sendiri. Benar-benar di luar dugaannya. Rahman berkacak pinggang dan melihat Aisyah. Anak tangga yang tinggal lima langkah kaki, Rahman meminta Aisyah untuk turun terlebih dahulu namun Aisyah menolak.
“Laki-laki di depan, tidak baik jika perempuan berjalan di depan pria.” Jelas Aisyah.
“Kenapa?”
“Karena bisa menimbulkan fitnah. Kita bukan muhrim.”
Anehnya Rahman pun menurut ucapan Aisyah. Dia berjalan di depan. Aisyah merasa lebih lega jika pria emosian itu bisa mengontrol kemarahan dalam hatinya. Rahman sampai di mobil dan berbalik.
“Kamu di depan atau di belakang?”
“Belakang.” Jawab Aisyah lantang.
Rahman membukakan pintu belakang mobil. Pak Darto yang sedang duduk pun terkejut melihat itu langsung bergegas membukakan pintu untuk tuannya. Rahman duduk di kursi depan.
“Langsung ke kantor, Tuan?”
“Antarkan dia dulu.”
“Alamatnya, Tuan.”
“Tanya saja kepadanya.”
“Non, alamatnya dimana?”
“Jalan Kenanga nomor tiga enam.”
Pak Darto langsung melajukan mobilnya lebih kencang. Jalanan yang mulai macet pasti akan membuat perjalanan terhambat. Aisyah memasang niqamnya karena tadi tidak sempat memakainya. Rahman melihatnya dari kaca spion. Aisyah merasa sedikit lebih lega. Dalam perjalanan hatinya terus berzikir, akhirnya bisa diantarkan pulang oleh CEO temperamental itu. Walau nanti dia harus kembali lagi.
***
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n