Niken mengetuk pintu. Rahman masih termenung dengan ucapan Pak Darto. Kehadiran Niken pun tak kalah dilewatkan oleh mata Rahman. Niken yang memakai rok di atas lutut dan baju hem yang ketat berbalut blazer.
“Maaf Pak… meeting sebentar lagi.”
“Bukankah siang ini?”
“Jadwalnya diajukan Pak, sudah saya beritahu Pak Rahman kemarin.”
“Oh yah.”
Rahman mengangguk dan tidak begitu pusing memikirkannya. Niken memberikan berkas-berkas yang harus disiapkan untuk presentasi. Niken menjelaskan kalau Rahman tidak bertindak tegas dan cepat, bisa saja proyek cabang baru bisa jatuh ke tangan lawan.
“Niken, coba hubungi bagian HRD dan mintakan data diri pelamar atas nama Nur Aisyah.”
“Baik, Pak. Permisi.”
Rahman tidak begitu tertarik dengan berkas yang ada di mejanya. Pikirannya saat ini ingin mencari tahu tentang Aisyah. Menyembunyikan Aisyah di rumahnya, timbul rasa khawatirnya. Rahman masih berpikir tentang Adiknya yang sedang kuliah di Singapura, bagaimana jika Adiknya juga diperlakukan seperti Aisyah. Pasti orangtuanya akan khawatir.
Tok tok!
Niken masuk ke ruangan Rahamn dan memberikan salinan data pelamar kemarin. Rahman membuka CV Nur Aisyah dengan saksama. Bahkan di profile, Aisyah tetap memaki niqam. Seketika, Rahman langsung mengenali mata Aisyah yang hitam namun mudah dikenali meski wajahnya ditutupi.
Di meeting Rahman tidak konsentrasi sehingga membuat lawannya tertawa. Melihat Rahman yang sudah mengepalkan tangan, Niken berdiri dan menggantikan presentasi Rahman. Usaha Niken tidak maksimal, Rahman langsung keluar dari ruangan meeting begitu saja.
“Kamu lihat bossmu itu. Sudah tidak bisa diandalkan.”
Niken menarik napas dan merapikan berkas, dia mencoba untuk mengejar Rahman namun sudah tidak kelihatan. Niken mencoba menghubungi handphone Rahman namun tidak aktif.
“Kamu kenapa sih, Rahman.”
“Sayang…” Tiba-tiba ada yang merangkul pundak Niken dari belakang dan mencium pipinya.
“Kamu, bikin kaget saja.”
“Kamu sudah lihat sendiri sikap Rahman? Sebentar lagi, anak cabang akan pindah ke tanganku dan kamu juga.”
“Aku bukan barang, Robi.”
“Sampai ketemu nanti malam, aku jemput.”
Robi mengaitkan tangannya ke pinggang Niken, dan bibirnya mengulum pelan bibir Niken sampai lipstiknya berantakan.
“Emmm, sweet…” Ucap Robi sambil mengelap bibirnya.
Rahman hanya bisa memandang kelakuan mereka dari balik pilar. Rahman sudah menduga pasti hal itu akan terjadi. Rahman merapikan jasnya dan menuju ke mobilnya.
***
Rahman menyelesaikan membaca berkas lamaran Aisyah. Gadis berumur dua puluh dua tahun, lulusan STAIA jurusan Manajemen Islam. Pantas saja penampilan Aisyah berbeda dengan pelamar lainnya.
Niken masuk ke ruangan Rahman dengan tatapan yang sangat kecewa. Meski dia kekasih Robi tapi Niken tidak ingin jika Rahman harus kehilangan kesempatan memegang saham utama. Biar bagaimanapun Rahman pernah menolong keluarganya yang kesusahan.
“Pak…”
“Sudahlah Niken. Saya tidak ingin diganggu. Oh, ya, siapkan mobil.”
“Pak Rahman mau ke mana?”
“Jam siang, aku mau pulang. Mungkin tidak akan kembali ke kantor.”
Rahman mengambil tasnya dan meninggalkan ruangannya. Niken menelepon Pak Darto untuk bersiap-siap di depan kantor.
Jalanan yang berdebu, roda mobil melaju dengan kencang melewati pohon-pohon di pinggir jalan. Rahman tidak sabar untuk sampai ke rumah dan melihat Aisyah memohon untuk diberikan makan.
Mobil warna hitam masuk di halaman rumah. Mbok Darsih menghidangkan makanan yang masih hangat. Rahman melihat menu di atas meja sangat menggoda lidah. “Panggil dia untuk turun, Mbok.”
“Baik, Tuan.”
Mbok Darsih mengambil kunci kamar Tuannya dan membuka pintu. Aisyah malah tertidur pulas di atas kasur. Mbok Darsih melihat jelas wajah Aisyah yang tidak memakai niqam. Ternyata cantik sekali dalam penglihatannya. Mbok Darsih sampai tidak tega untuk membangunkan Aisyah.
“Disuruh memanggil Aisyah saja lama sekali…”
Rahman beranjak dari kursinya dan naik ke atas. Mbok Darsih yang mendengar langkah Rahman langsung bersuara keras sehingga membangunkan Aisyah.
“Tuan…”
Aisyah yang langsung terbangun segera memakai niqamnya. Dia masih kaget dan menyadari sudah ada Mbok Darsih dan Rahman yang berjalan menghampirinya.
“Temani aku makan.”
“Aku tidak mau.”
“Jangan buat aku marah.”
Aisyah mendorong dada Rahman yang berusaha mendekatinya. Rahman tertawa geli, tidak disangka, perempuan itu berani mendorongnya sampai mau terjatuh. Punya nyali dan kekuatan juga rupanya. Mbok Darsih mendekati Aisyah dan membujuknya.
“Jadi kamu tidak mau pulang?” ucap Rahman ngasal.
Aisyah langsung bersemangat dan setuju untuk menemani Rahman makan dan setelah itu dia bisa pulang ke kontrakannya. Daripada menjadi tahanan di rumah ini.
“Baik, aku setuju.”
Rahman merasa kesal. Betapa bodohnya dia, jika Aisyah menemaninya makan, dia pun harus menepati ucapannya tadi. Sejenak Rahman memutarkan otaknya untuk mencari alasan agar Aisyah tidak langsung pulang.
Aisyah sudah duduk di kursi menunggu Rahman turun. Hatinya sudah bahagia, setelah ini bisa pulang. Namun Rahman tidak turun-turun juga membuat Aisyah merasa ragu. Hatinya mulai menggerutu.
“Kenapa Tuan lama sekali turunnya?” ucap Mbok Darsih pelan.
“Jangan-jangan dia menipuku, Mbok.” Jawab Aisyah.
“Tidak Non, Tuan Rahman selalu menepati ucapannya.” Bela Mbok Darsih.
Aisyah akhirnya merasa penasaran dan menuju ke kamarnya. Pintu yang masih terbuka, perlahan Aisyah melongok ke dalam. Terlihat kaki Rahman yang masih memakai sepatu.
“Hei…”
Aisyah tercengang. Dia tidak melanjutkan ocehannya. Melihat Rahman terbaring tidak sadarkan diri.
“Mbok…” Aisyah menjerit.
“Bangun, kamu kenapa?”
Aisyah mengguncang-ngguncang pundak Rahman. Pak Darto dan Mbok Darsih bergegas untuk melihat Tuannya. Melihat Aisyah khawatir seperti itu membuat Mbok Darsih kasihan juga. Pak Darto pura-pura menelepon dokter, sementara Rahman tersenyum merasa berhasil membohongi Aisyah.
Dokter memberikan resep untuk ditebus ke apotek. Aisyah tidak berprasangka buruk, mungkin benar apa yang dikatakan oleh dokter, jika Rahman memang beneran sakit. Apalagi tadi pagi dia tidak sarapan. Andaikan saja Aisyah mau menemaninya sarapan mungkin magh Rahman tidak kambuh.
“Mbok Darsih membawakan segelas air putih dan bubur.” Mbok Darsih memainkan perannya tanpa arahan dari Rahman.
“Non, maafkan Tuan Rahman yah. Non tidak jadi pulang.” Ucap Mbok Darsih.
“Nggak apa-apa Mbok, mungkin sudah takdir saya begini.” Aisyah membuang pandangannya melihat gorden warna putih.
Rahman membuka matanya dan menangkap mata Aisyah yang berkaca. Pasti hatinya sangat sedih. Tapi mau bagaimana lagi, Rahman tidak ingin Aisyah pergi dari sini. Meski dia juga tidak tahu, apa maksudnya menahan Aisyah.
“Tuan, sudah bangun. Ayok makan dulu, supaya bisa makan obatnya.”
Aisyah menghapus airmatanya dan menoleh melihat Rahman yang perlahan terbangun dibantu Mbok Darsih. Aisyah melihat Rahman, tumbuh rasa kasihan. Potret keluarga Rahman di samping meja, kelihatan bahagia membuat Aisyah teringat bagaimana dulu dimasukkan ke penjara suci karena orangtuanya berpisah.
“Jika kamu mau pulang, biar Pak Darto yang mengantarkanmu.” Ucap Rahman berpura-pura.
“Kamu memang tidak bertanggung jawab. Kamu yang membawaku ke sini tapi meminta Pak Darto untuk mengantarkanku pulang.” Aisyah menghapus airmatanya.
“Jangan menangis. Hapus airmatamu. Aku antarkan kamu pulang sekarang juga.” Rahman mencoba berdiri namun dia terjatuh. Kali ini Mbok Darsih tidak bisa menebak apakah Tuannya hanya acting atau jatuh sungguhan. Aisyah merasa tidak tega melihat Rahman, akhirnya menurunkan egonya.
“Kalau kamu sudah sembuh saja, baru antarkan aku pulang.”
“Berhentilah menangis…”
Mbok Darsih mengambilkan tisu untuk Aisyah, niqamnya sudah basah oleh airmatanya. Sebenarnya Aisyah menangis bukan karena tidak jadi pulang, tapi dia rindu dengan orangtuanya yang kini entah dimana.
“Yang sabar ya, Non…”
Mbok Darsih mendekap Aisyah untuk menenangkannya. Sungguh, Rahman merasa sangat iri sekali. Ingin juga dia memeluk Aisyah.
***
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n