Share

Tanpa Pilihan

Mobil berhenti di depan rumah kontrakan. Aisyah melihat dari dalam mobil, pemilik kontrakan sedang mengetuk-ngetuk pintu. Aisyah bergegas keluar dari dalam mobil dan menghampirinya.

            “Assalamualaikum…” Aisyah mengucapkan salam. Bibirnya yang tersenyum walau tidak kelihatan, dia tetap tersenyum.

            “Waalikumsalam…”

            “Ustazah Aisyah, darimana saja?”

            “Maafkan saya, Bu.”

            Rahman dengan santai keluar dari mobil. Pemilik kontrakan sebenarnya merasa kesal karena sudah dua minggu Aisyah menunggak membayar uang kontrakan, ditambah lagi dia menghilang begitu saja.

            “Sudah ada uangnya belum ustazah?”

            Saat Aisyah sedang mengatur ucapannya supaya pemilik kontrakan bisa memberinya kelonggaran waktu lagi. Tiba-tiba Rahman mengambil uang dari dalam kantong jasnya.

            “Ini cukup?” ucap Rahman.

            Bu Wiwin sang pemilik kontrakan matanya langsung melotot melihat segepok uang lembaran merah semua. Aisyah juga baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. Ada sepuluh juta yang dikeluarkan oleh Rahman.

            “Cukup, Tuan.” Pemilik kontrakan langsung tersenyum sumringah.

            Uang itu langsung pindah tangan. Aisyah merasa pusing, bagaimana harus mengganti uang sebanyak itu. Honornya memberikan les privet pasti akan lama sekali untuk melunasinya.

            “Saya pamit dulu ustazah, assalamualikum…”

            “Waalaikumsalam…”

            Rahman masih berdiri menunggu Aisyah membuka pintu. Paling tidak dia membiarkan Rahman untuk masuk dan melihat-lihat isi rumah. Aisyah tidak setuju dan meminta Rahman untuk pulang, dia takut ada warga yang melihat dan menjadi fitnah.

            “Aku yang membayar kontrakan tadi, jadi aku bebas masuk.”

            Rahman mengambil kunci pintu yang dipegang oleh Aisyah. Kontrakan yang hanya ada satu kamar dan satu kamar mandi, serta dapur yang minimalis. Rahman menatap heran.

            “Tidak layak disebut rumah.” Ucap Rahman ketus sambil melihat dapur.

            Aisyah tidak peduli dengan omongan pria itu. Baginya dia sudah nyaman tinggal di sini, daripada di rumah seperti istana tapi penuh tekanan batin. Setelah puas melihat-lihat kontrakan Aisyah, Rahman pun pergi. Aisyah merasa lega bisa bebas dari pria itu.

            “Assalamualikum ustazah…” ucap Rahman sambil mendekatkan wajahnya ke arah Aisyah.

            “Hah?”

            Aisyah mendadak kaget dengan ucapan Rahman. Kenapa dia bisa berubah drastis seperti itu, apakah dia sedang mengejeknya. Tapi biar bagaimanapun, Aisyah harus menjawab salam sesama muslim.

            “Waalaikumsalam…” Aisyah merasa canggung mengucapkannya karena masih sangat kaget.

                                                              ***

            Kepulangan Aisyah sangat dirindukan oleh anak-anak yang belajar mengaji atau les privet. Sorenya, bu Indah mengantarkan putrinya, Sovia untuk les mengaji. Meski penampilan bu Indah belum tertutup tapi dia mempunyai kesadaran untuk memberikan ilmu agama untuk putrinya. Setiap hari ada sekitar lima atau tujuh anak yang latihan mengaji. Aisyah tidak memberikan tarif dalam memberikan ilmunya, namun kesadaran dari para orangtua yang juga melihat kondisi Aisyah sebagai pendatang dan belum bekerja tetap.

            Selesai mengaji, bu Indah menanyakan lamaran kerja Aisyah. Dari bu Indah-lah, Aisyah tahu ada lowongan pekerjaan di kantor Rahman, namun semua itu membawa ujian baginya. Ujian dan cobaan dari Tuhan untuknya di kota ini.

            “Belum rezeki, Bu.” Jawab Aisyah.

            “Yang sabar ya, ustazah…”

            “Terima kasih, Bu.”

            “Saya pamit dulu. Ini rezeki sedikit untuk ustazah.”

            Aisyah tidak menolak karena memang dia juga membutuhkan uang untuk bertahan hidup di ibukota. Setelah mengajari Sovia, lalu datang Amirah, Mira, dan Meggy. Semua anak-anak itu berasal dari RT lain. Warga mendapatkan informasi dari mulut ke mulut. Namun Aisyah tidak mempermasalahkan karena semua atas permintaan orangtua.

            Aisyah bersender di kursi. Meski bukan sofa yang empuk tapi bisa menyenderkan lelahnya. Pintu masih dibiarkan terbuka karena baru beberapa menit, Meggy dijemput ibunya.

            Rahman melihat Aisyah yang tampak lelah, tersentuh juga hatinya. Dari informasi yang didapat dari Pak Darto, akhirnya Rahman menjadi tahu keseharian Aisyah. Pantas saja orang memanggilnya ustazah. Selain itu Rahman juga berhasil mendapatkan informasi tentang Aisyah lainnya, termasuk dari mana dia berasal.

            Rahman meletakkan makanan di meja. Merasa ada suara, Aisyah membuka matanya. Dia menuju ke dapur.

            “Kamu? Kapan datang?” tanya Aisyah terkejut.

            “Aku tidak tega membangunkanmu. Aku bawakan makan buatmu.” Ucap Rahman dengan lembut.

            “Tidak usah repot-repot aku bisa masak sendiri.” Kata Aisyah karena merasa tidak enak jika hutangnya bertambah.

            Rahman membuka lemari dapur. Tidak ada bahan makanan apa pun, bahkan makanan instan pun tidak ada. Rahman mendekati Aisyah dan berkata.

            “Pantas saja kamu betah nahan lapar.” Ledeknya.

            Aisyah tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya diam dan berharap pria itu segera pergi dari rumah kontrakannya.

            “Baiklah, kalau kamu tidak ingin aku berlama-lama di sini. Aku pergi.”

            “Terima kasih untuk kebaikkanmu, Tuan.”

            Rahman merasa tersanjung mendengar ucapan seperti itu. Hatinya merasa semakin tersentuh dengan ketulusan Aisyah. Selama di istananya, Rahman memperlakukan Aisyah dengan kasar tapi dia tidak menunjukkan dendam sama sekali. Aisyah membuka kotak makan yang dibawakan oleh Rahman. Bibirnya mengucapkan syukur, malam ini dia bisa makan enak.

                                                              ***

            Rahman menuangkan minuman memabukkan lagi ke dalam gelasnya. Bersama perempuan penghibur bergelanyutan dan mencumbuinya. Mood Rahman sedang baik malam ini, hingga dia sangat royal memberikan tips. Namun pada saat perempuan itu ingin membuka sabuk Rahman, tangannya langsung menahannya. Rahman langsung teringat dengan wajah Aisyah. Bahkan dia berhalusinasi melihat sosok Aisyah berdiri di depannya.

            “Kamu… minggir…”

            Rahman menyingkirkan kupu-kupu malam itu.

            “Sayang, kamu kenapa?”

            “Pergi…” Rahman menyuruh kupu-kupu malam itu pergi. Meski malam ini tidak melampiaskan hasratnya tapi sudah mendapatkan tips banyak membuat perempuan itu cukup puas.

            Pak Darto seperti biasanya memapah Rahman yang mabuk berat.

            “Howeekkkk…”

            Rahman memuntahkan isi perutnya sampai bajunya kotor dan sangat menjijikkan. Pak Darto berusaha menahan baunya dan membantu Tuannya itu masuk ke dalam mobil. Malam yang pekat, jalanan berwarna warni oleh pancaran lampu gedung-gedung pencakar langit.

            Mbok Darsih membuka pintu dan membantu suaminya membawa Rahman ke kamar. Mbok Darsih menyiapkan air dan handuk untuk suaminya membersihkan Tuannya itu.

            Pak Darto membuka baju Rahman yang kotor oleh muntahannya sendiri. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, tidak bisa dibayangkan, jika Pak Darto yang sangat setia itu semakin menua dan tidak bisa berbakti lagi.

            “Aisyah…”

            Rahman mengingau. Membuat Pak Darto menghentikan tangannya membersihkan wajah Rahman. Rahman memegang tangan Pak Darto lalu menciuminya. Pak Darti merasa geli juga melihat tingkah konyol Rahman yang masih mengingau menyebut nama Aisyah.

                                                                        ***

            Sebelum turun ke bawah, Rahman mendapatkan telepon dari Ibunya. Meski Ibunya telah tahu hubungan Rahman dengan Cindy gagal ke pelaminan, tapi Ibunya tetap ingin Rahman segera menikah karena jika tidak, setelah lulus kuliah Adiknya akan dilamar oleh kekasihnya. Ibunya tidak ingin jika Rahman dilangkahi. Jika Adiknya memiliki anak, maka posisi Rahman bisa tergeser sebagai ahli waris utama.

            Percuma saja jika menikah. Rahman gagal menikah dengan Cindy juga karena dirinya dinyatakan tidak subur. Kemungkinan kecil untuk memiliki anak. Oleh karena itu orangtua Cindy membatalkan pernikahan.

            Rahman membanting handphonenya hingga terdengar suara yang sangat keras. Mbok Darsih mengelus dada.

            “Tuan, kenapa?”

            “Jemput Aisyah hari ini juga, Mbok.”

            “Baik, Tuan.”

            Mbok Darsih bergegas menyampaikan permintaan Rahman kepada suaminya. Pak Darto yang sedang mengelap mobil pun merasa bingung. Jika Tuannya menginginkan sesuatu pasti harus segera dilaksanakan.

            Rahman duduk di kursi makan. Tubuhnya diam tidak banyak bergerak sama sekali. Bahkan Mbok Darsih tidak berani mendekatinya walau hanya untuk menuangkan segelas air putih, dia memilih menunggu suaminya datang membawa Aisyah.

            “Non, saya mohon. Temui Tuan Rahman sebentar saja.” Bujuk Pak Darto.

            “Saya ada janji dengan wali murid, Pak, tidak bisa sekarang.” Aisyah memberikan alasan yang masuk akal.

            Rahman berdiri mendengar suara mobil masuk ke halaman rumahnya yang sangat luas. Dia sudah menduga pasti Aisyah tidak mau ikut. Belum juga Pak Darto keluar dari mobil, Rahman sudah membuka pintu mobil belakang dan langsung meminta Pak Darto kembali ke kontrakan Aisyah.

            Aisyah mengunci pintu melihat mobil Rahman kembali. Dia berdoa semoga terhindar dari pria kasar itu. Rahman yang sudah merasa membayar kontrakan itu, pun tanpa sepengetahuan Aisyah, dia sudah memiliki kunci pintu juga. Tanpa sepengetahuan Aisyah, pemilik kontrakan telah memberikan kunci kepada Rahman.

            Aisyah sembunyi di balik pintu kamar dan sudah siap-siap tidak mendengar ketukan pintu. Pikirannya keliru. Rahman sudah membuka pintu kamar. Aisyah menutup mulutnya dan ketakutan. Rahman menutup pintu, saat Aisyah hendak kabur, Rahman langsung meraih tanganya dengan kasar, hingga Aisyah merasa kesakitan.

            “Lepaskan…”

            Rahman menarik tangan Aisyah dan melemparkannya ke tempat tidur.

            “Kamu gila, yah…” bentak Aisyah.

            “Beraninya kamu menolak untuk dijemput!” Rahman mencengkram tangan Aisyah.

            “Aku tidak bisa, aku ada janji dengan wali murid.” Aisyah membela diri.

            Tiba-tiba banyak orang yang berkerumun. Pak Darto melihat dari samping mobil dengan tatapan yang santai. Pak RT memanggil Aisyah untuk keluar. Melihat kerumunan warga Aisyah pun merasa panik. Takut akan fitnah dan prasangka buruk yang akan membuatnya diusir.

            “Ustazah, siapa laki-laki itu? Apakah muhrimnya?” tanya Pak RT.

            “Saya bisa jelaskan Pak RT.” Ucap Aisyah.

            “Silakan dijelaskan, ustazah…”

            Aisyah pun bingung bagaimana harus memulai darimana untuk menjelaskan. Terpaksa Pak RT meminta Aisyah untuk sementara meninggalkan kontrakan dan kembali lagi jika masalahnya sudah selesai, takut akan menimbulkan fitnah dan menambah dosa.

            Tanpa pilihan, Aisyah harus meninggalkan kontrakan dan dia bingung entah akan pergi ke mana. Gara-gara Aisyah tidak mau dijemput oleh Pak Darto, dia harus menanggung cobaan dari Tuhan.

            Aisyah berjalan beralaskan sandal jepit. Ibukota ini ternyata ngeri. Sebelum memutuskan merantau ke sini, dia tidak mendengarkan nasihat pengurus pondok. Antara mengabdi di pondok dan keluar dari penjara suci, ternyata lebih baik di penjara suci meski tidak bisa melihat dunia luar.

            Pak Darto menepikan mobil. Rahman keluar dari mobil dan menarik tangan Aisyah untuk masuk ke dalam mobil. Sekuat tenaga Aisyah menolak dan menjerit meminta tolong namun tidak ada yang peduli.

            “Diam!” Rahman memasangkan sabuk pengaman.

            Aisyah menolak, tangannya memukul-mukul dada Rahman namun tidak mempan. Hingga Aisyah menampar pipi Rahman sangat keras. Pak Darto langsung melajukan mobil tidak ingin melihat ada kekerasan lebih parah lagi.

            Aisyah menggigit bibirnya untuk menghilangkan rasa ketakutannya. Sementara Rahman memegang pipinya yang cukup sakit telah ditampar oleh Aisyah. Ternyata perempuan ini punya nyali untuk berbuat demikian. Baru seumur hidup, ada yang berani menampar Rahman itupun di depan Pak Darto, Rahman merasa sangat marah di dalam hati.

            Sampai di rumah, Rahman langsung menarik Aisyah masuk ke kamarnya. Kali ini kemarahan Rahman benar-benar tidak bisa dibendung lagi. Aisyah berusaha untuk kabur, dengan cepat Rahman menahannya. Pintu kamar dia kunci dan melemparkan kuncinya ke bawah tempat tidur.

            “Ambillah…”

            Aisyah masih menangis dan ketakutan. Bahkan dia tidak punya nyali untuk mengambil kunci di bawah tempat tidur.

            “Sebenarnya apa yang kamu mau, Tuan?”

            Rahman meraih dagu Aisyah dan melepaskan niqamnya. Bibir Aisyah  membentuk moncong, Rahman meremas pipinya dan memaksa merasakan bibir Aisyah yang ketakutan. Dengan kekuatan yang dimiliki Aisyah memberontak dan menggigit bibir Rahman sampai dia melepaskannya.

            “Aghhh…” Rahman memegangi bibirnya.

            Aisyah merangkak ke bawah tempat tidur dan berusaha mengambil kunci. Rahman menarik kaki Aisyah. Dengan perlawanan Aisyah masih mencoba menjaga kesuciannya. Aisyah merasa ada yang tidak beres, tidak sepatutnya Rahman memperlakukan dirinya seperti itu.

            “Tidak… tidak…”

            Aisyah memeluk tubuh Rahman yang six pack. Aisyah menangis dan tetap memeluk tubuh Rahman berharap pria itu sadar.

            “Jangan perlakukan aku seperti ini. Jika kamu menginginkanku, aku ikhlas jika kamu halalkan aku dulu…” Aisyah masih sesenggukkan memeluk Rahman.

            Ucapan Aisyah menampar Rahman sekali lagi. Perempuan yang tidak mengenal pribadinya bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Rahman perlahan melepaskan pelukan Aisyah dan meminta maaf.

            “Maafkan aku. Kamu boleh pergi.”

            Kini Aisyah yang merasa bingung. Kenapa pria itu sangat cepat sekali berubah pikiran. Aisyah tidak mau mengulur waktu, dia merangkak ke bawah tempat tidur dan mencari kunci.

            Aisyah meraih kunci pintu kamar dan membukanya. Dia menoleh, melihat Rahman yang duduk terdiam merasa tidak tega. Mbok Darsih dan Pak Darto melihat Aisyah menuruni anak tangga.

            “Kamu tidak apa-apa, Non?” Mbok Darsih melihat lebam di pipi Aisyah.

            “Aku tidak apa-apa, Mbok.”

            “Biar Mbok obati dulu lukamu.” Mbok Darsih mengajak Aisyah ke ruang tamu dan mengambilkan obat untuk mengobati luka lebam.

            Meski terasa sakit, Aisyah masih bersyukur bisa selamat dari serangan Rahman. Pria itu benar-benar hilang akal.

                                                                 ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status