Share

Sembunyi Dalam Keramaian

Malam ini, malam kedua keluarga besarnya berkumpul. Ada beberapa kesepakatan yang dibuat oleh mereka semua tanpa menimbulkan pertentangan apa pun. Kesepakatan yang mereka putuskan tentang beberapa barang yang di wariskan, rumah dan rencana untuk berkumpul kembali di akhir tahun serta lebaran tahun depan. Luna hanya terdiam di antara hiruk pikuk kehebohan yang terjadi di depannya, dia melihat bagaimana om dan tantenya juga mama, papanya yang saling menggoda. 

Namun Luna merasakan kalau hatinya saat ini sangat kesepian walau berada di tengah keramaian, itu karena eyang putrinya sudah tak ada lagi di sampingnya. Mamanya yang sempat melirik ke arah Luna seakan mengerti dengan apa yang dirasakan anaknya itu.

“Luna, sini Dear. Tolong bantu Mama,” panggilan lembut Mamanya itu menyadarkan Luna.

Dear? Seperti panggilan sayang yang dilontarkan Arun untuknya. Luna sempat menatap heran Mamanya.

“Lho, kenapa Mama tiba-tiba panggil Dear? Nggak biasanya...” komentar Lili yang sedang membereskan tumpukan pakaian dan pigura foto.

Mama tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata pada putri sulungnya, dalam sekejap Luna paham dan dia pun bisa membaca isi hati Mamanya. Hati Mamanya memang bagaikan buku yang terbuka. Mudah sekali dibaca. Mama takkan pernah bisa menyembunyikan apa-apa dari Luna. Dia dapat memastikan Mamanya sudah membuka dan membaca e-mailnya. Hanya Mama yang tahu password e-mail dan semua account social medianya.

Luna melihat Mama membuka dua buah kotak berukuran sedang di hadapannya. Begitu tutup kotak itu dibuka, tampak beberapa cangkir porselen dan gelas kristal di sana. Luna langsung mendekati Mamanya, dia terlihat sangat menyukai benda-benda cantik itu.

“Wow..., ini sangat cantik. Ini punya siapa?” serunya kagum.

“Tentu saja milik Mama. Ini adalah hadiah pernikahan Mama. Waktu Mama dan Papa pindah, Mama sengaja menyimpannya di sini. Sekarang Mama akan membawanya lagi,” Mama menjelaskan.

“Iya Ma, bawa aja. Awas hati-hati..., takut pecah. Itu pasti mahal,” kata Laras mengiyakan.

Laras adalah anak dari adik Mamanya Luna atau anak dari Putri ke empat dari eyang Putri, sedangkan Mama merupakan putri ke dua dari eyang putri. Sejak kecil, Laras terbiasa memanggil ibu kandung Luna itu dengan sebutan Mama.

“Cieee...nanti di rumah berasa pengantin baru nih!” goda Sukma dan Ishak.

“Ah, nanti aku mau ngungsi ke tempat Mbak di Jakarta ya. Biar Mama, Papa bisa berduaan di rumah,” kata Luna tak tahan untuk melemparkan canda.

Hati yang sedih dan kesepian bukan alasan baginya untuk berhenti menampakkan keceriaan di depan keluarga besarnya. Sejurus kemudian Ishak melirik arlojinya.

“Si Kevin kok belum balik juga sih?” katanya terlihat gusar.

“Memangnya Kevin kemana?” tanya Sukma menatap Iskak ingin tahu.

“Kan dia lagi jemput Pakde Lukman.”

“Lho, Pakde kemarin sore pamit mau ke luar kota. Berarti...?”

“Kevin udah bisa bawa mobil ke luar kota!”

“Wow.....super sekali!” seru para sepupu bersamaan.

“Si Kevin harus ngobrol nih sama aku! Kalian tahu nggak, dia teknik nyetirnya halus apa nggak?” kata Shinta antusias.

“Halus banget, Mbak. Dibanding Alan, dia yang lebih halus. Tapi tingkat emosinya jauh lebih halus si Alan. Dia sabar, nggak suka ngomel dan klakson sana-sini. Nggak brutal,” jelas Ishak.

Para cucu yang sedang berkumpul pun jadi membicarakan soal teknik menyetir mobil masing-masing dan membandingkannya. Tingkat emosi seseorang bisa dilihat dari caranya mengemudi. Luna mengerjapkan matanya. Jika dia ingin bisa menyetir selincah sepupu-sepupu dan kakaknya, kedua matanya harus terus dijaga. Kedua matanya harus sehat. Ia bahkan rela melakukan operasi lagi jika probabilitas penglihatan matanya kembali seratus persen.

Sekarang sudah lebih baik, namun dia bertekad kedua matanya harus tetap sehat. Bukan Luna namanya jika tidak nekat dan tidak berani menguji sampai mana batas kemampuannya. Dia nekat, menyukai tantangan, dan tak suka dilarang. Ketiga sifat itu ditambah sifat keras kepala. Kuat sudah tekad dan kemauannya untuk mencapai sesuatu yang dia inginkan.

“Pa, boleh pinjam kunci mobil,” kata Luna sambil mengulurkan tangannya pada Papa.

“Mau apa?” tanya Papa sedikit heran.

“Nggak apa-apa kok Pa, Luna hanya mau ambil laptop,” kata Luna sambil tersenyum pada Papa.

Papa melemparkan kunci ke tangan Luna, lalu gadis bergaun kombinasi warna putih dan coklat itu melangkah ke halaman depan. Menekan tombol pada central lock. Pintu mobil pun terbuka otomatis.

Luna duduk di bangku pengemudi. Menstarter mesin mobil, lalu menyalakan AC dan radio. Sebenarnya dia hanya ingin sendiri. Dia ingin mengenali senti demi senti dari mobil ini. Menginjak pedal gas dalam-dalam sambil menikmati kesepiannya, Kesendiriannya dan pergolakan dalam batinnya.

Sejak awal dia sudah salah. Mencintai seorang Frater adalah kesalahan terbesar. Bahkan mungkin sebuah kebodohan dan kesia-siaan. Namun dia sudah terlanjur mencintai. dIa belajar banyak hal dari Arun. Dia  yang ulurkan tangan untuk membantu pemuda tampan itu. DIa memahami dan mengerti pemuda itu.

Padahal jelas-jelas pemuda yang dicintainya sudah memiliki pembimbing rohani dan bisa menyelesaikan masalah dengan cara Seminari. Menyelesaikan sendiri. Luna terlalu mudah mengasihani orang lain. Luna terlalu mudah berasosiasi pada masalah orang lain.

Mungkin dirinya tidak berarti apa-apa. Hanya seorang gadis bodoh, nekat, keras kepala, ambisius, senang modeling, make up, sekuler, benci bila dilarang melakukan sesuatu yang diinginkannya, perfeksionis, dan manja. Mungkin dia tidak ada apa-apanya dengan mereka yang berjubah. Dunianya justru sangat kontras dengan dunia para Frater. Toh sejak awal ia sudah salah. Dirinya layak disalahkan.

Ponselnya berdering beberapa kali. Ia ingin mengabaikannya, namun ia tak tega. Ternyata Indra yang menghubunginya. Seketika hatinya menghangat. Sepupunya yang tampan itu selalu membuat Luna senang. Detik berikutnya dia tersadar. Indra seumuran dengan Arun. Parasnya yang baby face diimbangi postur tubuhnya yang ideal membuat banyak orang sulit menebak usianya yang sebenarnya. Sejauh yang ia perhatikan, sampai saat ini Indra masih single.

“Apa pun yang terjadi, keluarga harus tetap bersatu,” Luna membaca tulisan itu. Tersenyum, mengangguk setuju, lalu membalasnya.

“Sayangku..., cintaku..., kenapa kamu masih di sini?” Sebuah suara sopran memecah konsentrasinya.

Luna berbalik, mendapati Nyonya Yulia berdiri di depan pintu mobil. Kakak ipar Nyonya Ambarwati itu menggamit lengannya.

“Kenapa kamu sendirian? Ayo ke rumah Uti. Uti punya gaun dan sepatu buat kamu,”katanya dengan lembut.

Tak kuasa menolak, Luna mengikuti ajakan nyonya Yulia. Sebelumnya dia mematikan mesin dan mengunci pintu mobil. Melangkah di samping ibu dua anak yang pernah mengajar di taman kanak-kanak itu.

Sepasang sepatu dan beberapa potong dress dicobanya bergantian. Nyonya Yulia tak bosan-bosannya memasangkan pakaian dan menuntunnya ke cermin. Tersenyum puas. Lalu mengantar Luna kembali ke tengah keluarga besar.

“Aduh...yang pernah ikutan Mojang dan Jajaka Bumi Siliwangi sudah ganti gaun lagi. Kamu ganti baju berapa jam sekali sih?” canda Laras dan Sukma.

Luna tak menjawab. Hanya tersenyum penuh Arti, dia lalu mengembalikan kunci mobil pada Papa. Dia kembali mengesampingkan masalahnya untuk kesekian kali. Berdamai untuk sesaat di depan keluarga besarnya, dia ingin kembali menampakkan keceriaan. DIa tak ingin merusak suasana kebahagiaan yang tercipta. Lagi pula, bukankah dia sudah belajar ilmu ikhlas? Kini keluarganya tengah menertawakan kumpulan surat-surat masa kecil mereka. Mengenang hal lucu yang pernah terjadi di dalamnya. Tegakah ia merusak kebahagiaan mereka dengan problemnya? Tentu saja tidak. Ilmu ikhlas, dia harus menerapkan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status