Hari minggu yang cerah, rumah keluarga Kusuma terlihat sangat ramai. Luna kedatangan saudara-saudara sepupunya, tapi hanya Radit yang sekarang ada di sampingnya dan berbicara berdua. Mereka banyak memiliki kesamaan, bahkan bisa saling berbagi cerita. Meskipun Radit lebih muda 3 tahun dari Luna. Mereka bernyanyi bersama, saling menumpahkan kegelisahan lewat lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan. Hanya saja kadang mereka merasa kesal, karena selalu dianggap anak kecil oleh orang-orang dewasa di sekeliling mereka.
"Hai...., kamu pasti sedang mengingat dia ya?" Kata Luna menggoda Radit dengan mengerlingkan sebelah matanya.
Radit hanya tersenyum, pikirannya memang sedang melayang pada gadis pujaannya. Gadis cantik keturunan Gorontalo yang sejak bertemu pertama kali saat penerimaa
Pagi tadi saat Luna dan Mamanya baru sampai di rumah eyang putri, suasana rumah sudah ramai dengan celoteh para saudara sepupu Luna. Seperti saat ini, Luna yang duduk di bangku taman belakang sambil memandang Radit yang sedang bermain dengan Andi. "Lihat Andi, kakak bisa bikin bintang dengan karet ini," seru Radit sambil memperlihatkan benda yang membentuk bintang berukuran kecil di tangannya. Andi yang masih berumur 5 tahun itu tertawa dengan riang sambil menerima bintang dari karet yang ada di tangan Radit. Dia lalu berlari menghampiri sepupu yang lebih kecil, Fitri dan Zikri. Radit terus memperhatikan ketiga sepupu kecilnya sambil tersenyum. Pemuda berumur 16 tahun itu sangat menyukai anak-anak, mungkin karena dia sering merasa kesepian saat berada di rumah. Luna yan
Luna tersenyum sambil mengucapkan syukur dalam hatinya, dia kagum dengan perjuangan Arun yang melihat sebuah peluang akan kesembuhan sakitnya Arun. Dia juga sering memperhatikan bagaimana cara Arun menyibukkan dirinya dengan paduan suara dan sesi hipnoterapi dengan salah satu terapis yang baru-baru ini dikunjungnya dan itu membuat banyak kemajuan.Gadis bermata abu ini mulai lihai menyusun kata demi kata dalam merangkum semua cerita yang dia tulis kata per kata dengan meleburkan semua rasa dan dituangkan dalam kertas putih, berharap rasa yang dia tuangkan lewat surat itu bisa sampai pada pria yang namanya tertera di bagian atas kertas itu. Sebuah rasa yang sangat menyenangkan yang dia dengar saat latihan paduan suara, dengan notasi yang lembut hingga membuat alunan irama yang terdengar cantik merdu dan dinyanyikan dengan penuh keyakinan.Surat itu telah selesai dia tulis, dia melipatnya dengan rapi kemudian memasukkannya ke dalam sebuah amplop berwarna pink, lalu menut
Sebuah mobil berhenti tak jauh dari rumah duka. Mobil yang ditumpangi oleh tiga orang gadis muda yang terlihat matanya mengmbang oleh air mata. Dengan tergesa ketiga gadis itu turun dari mobil, kedatangan mereka ternyata yang paling ditunggu dari semua yang berada di rumah duka itu. Mereka adalah yang paling terakhir datang sebelum jenasah akan diberangkatkan ke pemakaman umum yang agak jauh dari rumah duka.Anggota keluarga yang sudah datang lebih awal sebagian besar berdiri di tepi jalan depan rumah, mereka menyambut ketiga gadis itu. Memeluk mereka dengan erat, membisikkan sapaan dan kata-kata penghiburan untuk ketiga gadis itu.“Syukurlah kalian sampai dengan cepat, Kalian memang gadis-gadis hebat yang kuat... ” bisik Tuan Lukman dan Tuan Frans hampir bersamaan sambil menepuk pelan bahu ketiga gadis itu bergantian.Ke tiga gadis itu adalah Luna, Shinta dan Lili, mereka langsung menghampiri papanya, yang menyambut mereka dengan pelukan. Papa memel
Usai pemakaman, keluarga besar berkumpul. Bersama-sama bangkit dari kesedihan. Syukurlah mereka semua cepat melepaskan diri dari deraan kesedihan dan cepat mengikhlaskan. Mereka semua senang bercanda. Apa pun bisa mereka jadikan bahan candaan dan bisa membuat mereka tertawa.Saat si kecil Zikri yang tampan dan adiknya yang cantik, Fitri, tiba di rumah, suasana hangat dan ceria makin terasa. Celotehan Fitri dan tingkah lucu Zikri amat menggemaskan.“Zikri... sini Sayang, sini. Aduh, kamu ganteng banget sih. A
“Luna, Mama pergi dulu ya? Kamu di rumah saja..,” kata Mama setiba di teras depan.Luna mengalihkan pandang. Menatap Mamanya yang telah berpakaian lengkap. Nyonya Ambarwati pelan menyentuh tangan kirinya.“Mama mau kemana?” tanyanya.“Mama mau belanja. Buat keperluan Tahlilan nanti malam. Kamu di rumah saja ya?” ulang Mama.“Iya...”“Jangan khawatir,” Nyonya Ambarwati berkata menenangkan.“Anakmu bersamaku.”Mama mengangguk, lalu melangkah menuju mobil. Luna menatapi mobil Mamanya yang perlahan menjauh, lalu meneruskan ceritanya. Nyonya Ambarwati mendengarkan dengan sabar. Sekali-dua kali ekspresinya berubah. Dielusnya rambut gadis itu penuh kasih. Dirangkulnya pundak gadis itu hangat. Kesedihan terpancar di wajahnya.“Uti bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Su
Malam ini, malam kedua keluarga besarnya berkumpul. Ada beberapa kesepakatan yang dibuat oleh mereka semua tanpa menimbulkan pertentangan apa pun. Kesepakatan yang mereka putuskan tentang beberapa barang yang di wariskan, rumah dan rencana untuk berkumpul kembali di akhir tahun serta lebaran tahun depan. Luna hanya terdiam di antara hiruk pikuk kehebohan yang terjadi di depannya, dia melihat bagaimana om dan tantenya juga mama, papanya yang saling menggoda.Namun Luna merasakan kalau hatinya saat ini sangat kesepian walau berada di tengah keramaian, itu karena eyang putrinya sudah tak ada lagi di sampingnya. Mamanya yang sempat melirik ke arah Luna seakan mengerti dengan apa yang dirasakan anaknya itu.“Luna, sini Dear. Tolong bantu Mama,” panggilan lembut Mamanya itu menyadarkan Luna.Dear? Seperti panggilan sayang yang dilontarkan Arun untuknya. Luna sempat menatap heran Mamanya.“Lho, kenapa Mama tiba-tiba
Menjelang dini hari Luna terbangun, dia tak menemukan Shinta tidur di sampingnya. Dengan perasaan khawatir, dia pun mencari Shinta dan dia terkejut saat mendapati Shinta kakaknya tidur di kamar sebelah. Kamar tempat eyang putrinya di temukan meninggal. Shinta tergeletak tidur di sana dengan laptop yang masih menyala. Luna hanya menggelengkan kepalanya saat mendapati Shinta yang seperti itu.Rupanya Semalaman Shinta berkutat dengan pekerjaannya, Luna menarik napas dalam -dalam dengan tingkah kakaknya itu. Sudah jadi kebiasaan Shinta jika mengejar deadline pasti akan seperti itu. Shinta memang sudah sangat kental dengan sifat pekerja kerasnya, yang tentunya dia warisi dari Mama. Tapi bukan hanya Shinta yang seperti itu Luna dan Lili juga sudah tak biasa dielakkan lagi dan seluruh keluarga besarnya mengakui hal itu.Luna menyelimuti kakaknya yang tertidur pulas, dia tersenyum kecil melihat Shinta yang tak ada takut-takutnya tidur di kamar eyang putri sendiri
Hari ini Luna bersama Syifa sedang berada di rumah duka, Dewa pacar Syifa telah meninggal dunia. Dia terus menangisi kepergian pacarnya itu. "Luna, aku masih belum bisa mempercayai kalau Dewa sudah enggak ada, aku tak percaya ini.....," isak Syifa di pelukan Luna. Syifa gadis cantik berdarah sunda itu langsung Shock saat mendapat kabar kematian Dewa kekasihnya. Gadis supel yang berperasaan tajam dan penyabar. Sejak Luna mengenalnya, dia selalu memprioritaskan orang lain, jarang sekali Luna melihat Syifa mementingkan egonya sendiri. Selama mereka sekolah di SMAN Bunga Bangsa, Syifa aktif menjadi pengurus OSIS bahkan dia sampai menjabat selama 2 periode. Dia tumbuh menjadi gadis yang penuh dengan rasa sosial dan pandai. Dia juga terkenal sangat ekspresif ketika mengikuti teater di sekolah. Setelah lulus Syifa menempuh S1 di Psikologi Linguistik dan menjadi salah satu pelatih teater di kampusnya. Dia juga salah satu alumni yang masih peduli dan masih ser