Share

Bincang Hati

“Luna, Mama pergi dulu ya? Kamu di rumah saja..,” kata Mama setiba di teras depan.

Luna mengalihkan pandang. Menatap Mamanya yang telah berpakaian lengkap. Nyonya Ambarwati pelan menyentuh tangan kirinya.

“Mama mau kemana?” tanyanya.

“Mama mau belanja. Buat keperluan Tahlilan nanti malam. Kamu di rumah saja ya?” ulang Mama.

“Iya...”

“Jangan khawatir,” Nyonya Ambarwati berkata menenangkan.

“Anakmu bersamaku.”

Mama mengangguk, lalu melangkah menuju mobil. Luna menatapi mobil Mamanya yang perlahan menjauh, lalu meneruskan ceritanya. Nyonya Ambarwati mendengarkan dengan sabar. Sekali-dua kali ekspresinya berubah. Dielusnya rambut gadis itu penuh kasih. Dirangkulnya pundak gadis itu hangat. Kesedihan terpancar di wajahnya.

“Uti bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Sungguh..,” tukasnya.

“Iya, Uti. Aku percaya Uti bisa merasakan apa yang kurasakan.”

Rumah itu terasa hening. Putra-putri Eyang dan para menantu sebagian besar tertidur. Hanya Papa yang terjaga. Sibuk membersihkan rumah dibantu Tuan Frans, suami Nyonya Ambarwati. Tuan Frans menyapu halaman, Papa membersihkan bagian dalam rumah. Fitri dan Zikri diajak jalan-jalan oleh Sukma. Ishak, Kevin, dan Alan pergi menjemput kerabat mereka di bandara. Sementara Laras, Zaki, Shinta, dan Lili ikut bersama Mama. Situasi seperti ini dimanfaatkan Luna dan Nyonya Ambarwati untuk bicara dari hati ke hati.

“Panggilan adalah misteri. Hanya Tuhan dan dia sendiri yang tahu. Seperti Sandi saja. Dia awalnya mau jadi Romo, apa lagi setelah ke Seminari. Tapi akhirnya dia memutuskan jadi awam.”

Luna mengangguk membenarkan. Teringat cerita anak kedua Nyonya Ambarwati yang pernah terpanggil menjadi Pastor.

“Hidup sebagai Frater tidaklah mudah. Uti punya banyak teman Frater, Romo, dan mantan Frater serta Romo. Uti memahami kesulitan mereka, dan Uti sering bicara dari hati ke hati dengan mereka. Terlebih sewaktu Uti aktif di Mudika beberapa puluh tahun lalu.”

“Aku paham, Uti. Menjalani cara hidup membiara memang tidak mudah. Aku bahkan respek dan salut pada para Religius itu. Sering muncul pertanyaan di hatiku. Bagaimana cara mereka mengatasi kesepian? Apa mereka bahagia? Adakah beban di pikiran mereka? Aku sering kasihan pada mereka,” ungkap Luna.

“Mereka mengatasi kesepian dengan doa.”

Hening sesaat. Tuan Frans datang. Mengulurkan mangkuk berisi buah-buahan. Tersenyum, Nyonya Ambarwati menerimanya. Lembut berujar, “Terima kasih, Pa.”

“Sama-sama. Makanlah. Nanti kalau kurang, kuambilkan lagi.”

Kedua perempuan berbeda generasi itu memakan buah-buahan pemberian Tuan Frans. Luna terkesan pada sikap Tuan Frans. Tipikal suami dan ayah yang baik. Sabar, penuh perhatian, dan pengertian. Ayah tiga anak itu selalu ada untuk keluarganya.

"Luna jatuh cinta padanya, itu tidak salah. Seorang Frater jatuh cinta, itu pun tidak salah. Rasa cinta itu wajar, cinta adalah anugerah dari Tuhan. Kita tidak bisa mencegahnya. Akan ada dua kemungkinan, Luna. Keduanya adalah pilihan terbaik. Kita tidak bisa mendikte Tuhan untuk memberikan pilihan seperti yang kita inginkan, serahkan semua padaNya. Biarkan Tuhan yang mengaturnya.”

“Iya, Uti. Aku hanya bisa menunggu dan menyerahkan segalanya. Bagaimana dengan teman-teman Uti yang menikah dengan mantan Frater, Romo, Bruder, Diakon, atau Suster?”

“Mereka? Mereka sangat bahagia. Mereka mendapatkan figur yang mereka butuhkan dan cintai. Figur yang tulus menyayangi, mencintai, menerima kekurangan, dan memahami mereka luar-dalam.”

Seulas senyum merekah di wajah Luna. Pastilah orang-orang yang menikah dengan mantan kaum berjubah itu bahagia. Mungkin mereka merasakan apa yang ia rasakan. Kenyamanan dan penerimaan yang tulus. Kebaikan hati dan kelembutan sikap. Kesabaran dan perhatian yang lebih besar. Seperti itulah yang Luna rasakan saat ia dekat dengan kaum Religius.

“Tapi segala sesuatu ada sisi positif-negatifnya. Mereka pun mendapatkan itu.”

“Apa maksud Uti?”

“Luna, sisi positif dan negatif harus kamu pikirkan jika pada akhirnya kamu ditakdirkan hidup bersama mantan Frater.”

Detik berikutnya, Nyonya Ambarwati menjelaskan banyak hal. Luna menyimak, tak satu kata terlewat. Kini ia memahami sisi positif dan negatifnya. Ia jadi tahu banyak hal. Namun justru penjelasan Nyonya Ambarwati menjadi bahan perenungan baginya. Hatinya terasa ringan, tetapi masih banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya.

“Uti bisa memberi pandangan seperti ini,” Nyonya Ambarwati meletakkan tangannya di kepala Luna.

“Karena Uti melihat dan mendengar pengalaman teman-teman yang merasakan itu. Dan... Uti pernah berada di posisi Luna.”

Mendengar itu, Luna membelalakkan mata. Ditatapnya mata Nyonya Ambarwati lekat. Meminta kejujuran. Meminta cerita selengkapnya.

“Beberapa kali, Uti terlibat cinta dengan Frater dan mantan Frater.”

Dugaannya tepat. Ternyata Luna menitipkan rahasia kisah cintanya pada orang yang pernah berada di posisinya. Nyonya Ambarwati pun bercerita. Tentang aktivitasnya di Mudika dan kedekatannya dengan para Frater. Para Frater itu nyaman padanya, dan mulai membuka hati. Di tengah ceritanya, Nyonya Ambarwati terhenti. Tuan Frans menghampirinya.

“Sudah jam tiga. Aku ke dalam sebentar ya,” pamitnya.

“Iya, Pa,” sahut Nyonya Ambarwati hangat.

“Kenapa, Uti?” tanya Luna penasaran.

“Suami Uti mau melakukan doa khusus. Tepat jam tiga, mengenang wafatnya Kristus. Bukankah Kristus wafat jam tiga?” jelas Nyonya Ambarwati retoris.

Memastikan Tuan Frans masuk ke dalam rumah, Nyonya Ambarwati melanjutkan ceritanya. Dari sekian banyak Frater dan eks Frater yang dekat dengannya, ada satu orang yang selalu diingatnya. Seorang mantan Frater yang memiliki terlalu banyak kenangan dengannya. Sampai-sampai ia tidak bisa melupakannya hingga detik ini. Keduanya saling mencintai, namun situasi dan takdir Tuhan tidak berpihak.

“...Mami sangat menyayangi dia. Ketika Papi meninggal, dia yang mengurus semuanya. Dia yang banyak membantu Uti dan Mami. Tapi dia terlalu lama menggantungkan Uti. Uti ingin menunggu, di saat bersamaan Frans datang melamar Uti. Uti kasihan dan tidak bisa menolak. Beberapa tahun setelah pernikahan, dia akhirnya keluar dari biara. Sampai saat ini Uti masih merindukan dan mencintainya.”

Luna terhanyut dalam kisah Nyonya Ambarwati. Baru kali ini ia menemukan partner bicara yang benar-benar mengerti dan pernah berada di posisinya. Ia yakin seratus persen, Tuan Frans tidak tahu soal kisah cinta Nyonya Ambarwati dengan para Frater dan eks Frater.

“Uti menyesal, kenapa Uti terlalu terburu-buru dan tidak bisa menunggu lebih lama? Andai saja Uti bisa bersabar dan tidak mengasihani Frans, situasinya takkan begini. Uti masih menyimpan surat cintanya. Frans pernah menemukan surat itu, lalu dia marah. Tapi tentang hubungan Uti dengan Frater lainnya, dia tidak pernah tahu. Uti tidak bisa terbuka padanya.”

Mata wanita keibuan itu berkaca-kaca. Tanpa kata, Luna memeluknya. Segera saja Nyonya Ambareati menguasai diri.

“Uti sarankan, kamu jangan berharap untuk segera memperoleh jawaban. Biarkan semuanya mengalir mengikuti skenarioNya, jalan terus. Jalani prosesnya, okey? Apa pun jawabannya nanti, itu adalah keputusan terbaik.”

Tak lama, keduanya bangkit. Beranjak ke halaman. Berjalan-jalan di areal taman dan perkebunan yang sejuk itu.

“Jika pada akhirnya dia tetap menjadi Romo, apa yang akan Luna lakukan?” tanya Nyonya.

“Aku akan mendukung dan mengikhlaskannya. Mungkin aku harus mencintainya dengan cara lain, meski aku takkan pernah bisa melupakannya sekali pun aku sudah menikah dengan orang lain. Yah... seperti Uti.”

“Jika dia memutuskan keluar dan memilih panggilan hidup bersamamu?” lanjut Nyonya Ambarwati.

“Aku akan bahagia sekali. Hal pertama yang kulakukan adalah bersyukur. Aku tidak akan menyia-nyiakan cinta dari pria sebaik dia. Uti tahu? Dia begitu tampan, baik, pengertian, sabar, tulus, dan lemah lembut. Dia sederhana namun memesona. Aku mencintai Arun sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai Frater.”

Nyonya Ambarwati menggenggam tangan kanannya. Tersenyum, lalu berkata.

“Tadi Mama juga sempat bicara dengan Uti. Mama sudah tahu ya?”

“Sudah, Uti. Bahkan Mama sudah melihat dia.”

Teringat Mama, Luna makin mengagumi partisipasi wanita 51 tahun itu. Mama dan Tuan Daus yang telah banyak membantu semua urusan tadi pagi secara moril dan materil. Mama yang tak pernah lelah mencurahi keluarganya dengan perhatian dan kasih sayang. Mama yang begitu royal mengeluarkan budget jika itu menyangkut keluarga. Masih segar dalam ingatan Luna ucapan Mama dua hari setelah bertemu Arun.

“Mama bahagia kalau kamu bahagia. Jika pada akhirnya kamu memang bersama dia, Mama ikhlas. Tapi... satu hal yang ingin Mama tanyakan. Kenapa kamu bisa menyukai dia?”

Mama sedikit-banyak tahu tentang siapa dan bagaimana latar belakang laki-laki yang disukai tiga anaknya. Beliau selalu tahu, selalu memperhatikan, dan selalu mengerti. Luna tahu pasti, Mamanya adalah wanita yang penuh perhatian, halus perasaannya, dan penuh empati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status