Home / Young Adult / Diasuh Bos Besar / Bab 7. Beasiswamu Dicabut!

Share

Bab 7. Beasiswamu Dicabut!

Author: Maemoonah
last update Last Updated: 2025-08-10 20:46:15

Ditelusurinya koridor sekolah dengan gerak cepat, menaiki tiap anak tangga hingga sampai juga didepan kelasnya. Kelas XI-2.

Tampak olehnya guru pelajaran jam pertama, Bu Warni tengah sibuk mengabsen teman-temannya. Alisa pun segera masuk dengan mode merintih memegang perut.

“Maaf, Bu War! Saya habis dari toilet tadi. Biasa, lagi PMS, Buk!” ucap Alisa beralasan. Ia berjalan tertatih-tatih menuju bangkunya. Sungguh akting yang sempurna.

Bu Warni hanya melengos tidak peduli mendengar alasan klise Alisa, kemudian lanjut mengabsen siswanya.

Sambil menahan senyum lega di dada karena tidak ketahuan, Alisa pun duduk di kursinya dan menyiapkan bukunya, mulai serius menerima pelajaran.

Walaupun ia mendapat beasiswa melalui jalur titipan panti milik Dinas Sosial, namun nilai akademik Alisa cukup bagus dibanding rata-rata kelas. Peringkat ke 3 kelas, sudah cukup membuktikan kalau otaknya lumayan encer.

Ting... Ting...

Lonceng istirahat ke satu berbunyi.

“Liz, gorenganmu mana?”

“Kamu gak jualan gorengan lagi?”

“Lho iya. Mana kue-kue daganganmu?”

Di saat dirinya tidak menggelar dagangannya, teman-teman sekelasnya langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan.

“Sorry gaes! Aku sudah tidak jualan lagi sekarang! Takut ketahuan.” Jawab Alisa apa adanya.

Bahkan ia harus mengulangi ucapannya berkali-kali begitu siswa siswi dari kelas X sampai kelas XII mendatanginya dan menanyakan hal yang sama.

Mereka semua tampak kecewa begitu mendapatkan jawabannya. Harus bagaimana lagi, keuntungannya dalam berdagang gorengan di kelas, tidak sebanding dengan kerugian yang akan ia dapat, apabila harus kehilangan Beasiswanya. Yang nilainya bisa mencapai puluhan kali lipat dari hasil dagangannya.

Tak lama kemudian, Ketua kelas menghampirinya dan berkata, “Liz, kamu dipanggil Bu Retno guru BK tuh!”

DEG!

“Apa? Dipanggil guru BK?”

Anggukan kepala diberikan ketua kelas ke arah Alisa yang begitu terkejut mendengarnya.

“Apa perbuatanku tadi pagi ketahuan ya?”

Ucapnya cemas ketika melangkahkan kaki ke ruang BK yang letaknya dekat ruang UKS.

“Pasti Dika yang sudah ngelaporin ke guru BK. Hanya dia satu-satunya orang yang tahu kalau aku melewati pagar sekolah.”

 Tuduhan telak Alisa tujukan pada sosok Andika sebagai pelaku utamanya. Ingin sekali ia mencakar mukanya biar jera.

“Permisi, Bu Retno? Apa ibu mencari saya?” Sapa Alisa dengan sopan sebelum ia duduk di kursi.

Wanita setengah baya yang berhijab dan berkacamata itu mengambil map yang tertumpuk di rak sampingnya lalu bertanya, “Apa kamu yang bernama Alisa Wahid?”

“Benar, bu. Saya Alisa Wahid. Mm, sebenarnya ada apa ya memanggil saya?” tanya Alisa yang masih berdiri didepan meja.

“Duduklah!” perintah Bu Retno yang sibuk mencari map yang berisi berkas-berkas milik Alisa.

Alisa pun menurut. Ia duduk didepan meja menatap Bu Retno penasaran, karena pertanyaannya tidak juga dijawab.

Setelah bu Retno menemukan map data siswa yang tertulis namanya, barulah bu Retno berbicara.

“Kamu siswi penerima beasiswa penuh dari jalur titipan panti ya?”

“Be-nar! Sebenarnya ada apa  bu?” tanya Alisa tidak sabar.

Bu Retno mengirup napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kamu pasti tahu kalau semua siswa siswi penerima beasiswa wajib mematuhi peraturan di sekolah. Termasuk menjaga attitude, sikap, perilaku, tutur kata dan nilai akademiknya, agar kami selaku pihak sekolah tidak merasa rugi atau kecewa oleh kalian. Apa kamu mengerti akan hal tersebut?”

Alisa menelan ludahnya susah payah, “Iya bu, tentu saja saya mengerti akan hal tersebut.”  Semakin resah hatinya.

“Kalau kamu mengerti, lantas kenapa kamu malah melanggarnya?”  tanya bu Retno tidak percaya.

“Maafkan saya, bu! Saya... tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh!” ucap Alisa tertunduk. Mengakui kesalahannya.

“Karena perbuatanmu ini cukup fatal, Dewan sekolah terpaksa harus mencabut beasiswamu untuk sementara pada semester ini. Apabila tidak ada pelanggaran lagi, Beasiswa akan aktif kembali semester depan.” Kata bu Retno dengan tegas menjelaskan.

Seakan runtuh masa depannya, Alisa begitu shock usai mendengarnya. Walaupun hanya sementara, tapi, darimana dia harus membayar SPP dan kegiatan sekolah perbulannya. Sedangkan ini Sekolah elit. Sekolahnya anak-anak orang kaya.

“A – apa, bu?”

“Tapi saya baru melakukannya sekali. Kenapa konsekuensinya begitu fatal?” jelas Alisa tidak terima dengan keputusan sepihak sekolah.

Dengusan kesal dari wanita paruh baya didepannya, terdengar jelas di  telinga Alisa. “Apa benar hanya sekali katamu? Saya sangat membenci siswa yang suka berbohong. Dan ini sudah termasuk pelanggaran kedua yang sudah kamu lakukan.”

“Tapi, saya beneran baru hari ini terlambat datang ke sekolah selama  bersekolah disini, bu.” Jelas Alisa dengan jujur pada guru BK-nya.

“Apa? Jadi kamu tadi datang terlambat? Lalu, bagaimana bisa kamu masuk kelas tanpa sepengetahuan saya?” tanya bu Retno begitu murka.

Semakin kesal saja guru BK itu mendengar pengakuan jujur dari Alisa yang tidak diketahuinya.

Sedangkan Alisa jadi bingung sendiri, kenapa wanita didepannya itu malah terkejut mendengar pengakuannya. Lantas yang sedari tadi yang mereka bahas itu soal apa?

“Maaf bu, Bukannya saya disuruh kesini itu terkait keterlambatan saya tadi?” Alisa balik bertanya.

Wajah bu Retno kini tampak merah menyala dan hidungnya kembang kempis kekurangan oksigen. “Ini sudah ketiga kalinya kamu melanggar tata tertib sekolah. Sepertinya, Dewan sekolah akan mencabut beasiswamu untuk selamanya, Alisa!”

“Apa bu? Beasiswa saya dicabut? Untuk selamanya?” tanya Alisa terperangah, shock dan hampir tidak percaya.

“Ya benar! Beasiswamu dicabut untuk selamanya.”

Tangan bu Retno mencengkeram erat penanya, berusaha meredam emosinya. Lalu matanya menatap lembar kertas yang ada diatas meja. Dada masih naik turun, dan 5 detik kemudian barulah tangannya bergerak cepat menulis sesuatu di berkas-berkas miliknya.

“Sebenarnya, pelanggaran saya yang pertama tadi itu apa, bu?” tanya Alisa yang tidak menyangka semuanya jadi semakin runyam saat ia berbicara jujur.

Bu Retno menghentikan catatannya, ia menatap wajah Alisa dengan sinis. “ Jangan bilang kamu lupa ingatan setelah berjualan makanan didalam kelas. Bahkan hingga tiga bulan lamanya.”

“Jadi soal yang itu, bukan karena terlambat masuk sekolah?”

Alisa menutup mulutnya tidak percaya. Ternyata sedari tadi yang mereka bahas mengenai bisnis gorengannya.

“Tapi saya sudah berhenti berjualan sejak kemarin, bu.”

“Tapi laporannya sudah masuk sejak dua hari yang lalu, dan itu merupakan pelanggaran berat. Itu sebabnya kami bertindak tegas padamu.”

Usai menyelesaikan kalimatnya, guru BK itu kembali melanjutkan kegiatannya mencatat laporan tentang pelanggaran yang sudah dilakukan Alisa pada sebuah kertas dan lanjut mengetik sesuatu di komputer. Hingga akhirnya, Surat panggilan pada pengurus panti diterimanya.

“Berikan surat ini pada Pengurus Panti.” Ucap bu Retno datar sembari menyerahkan surat resmi dari sekolah pada Alisa.

“Baik, bu.” Jawabnya lesu.

Dengan wajah masam, Alisa menerima suratnya. Setelah itu guru BK menyuruhnya kembali ke kelas untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar lagi.

Untuk beberapa saat, Alisa diam terpaku menatap surat digenggaman tangannya. “Siapa orangnya, yang sudah tega melaporkanku ke guru BK?”

“Apa iya Andika pelakunya? Kalau benar dia, kenapa dia malah meminta upetinya selama dua hari? Sepertinya bukan dia. Terus siapa pelakunya?” Begitu banyak kejanggalan yang mengurungkan niatnya untuk melabrak Andika.

Ia meremas rambutnya frustrasi. Memikirkan masa depan sekolahnya nanti. “Nenek dan Ibu Panti pasti akan kecewa denganku kalau mengetahui hal ini. Lantas, aku harus bekerja apa lagi untuk membayar biaya sekolahku bulan depan dan seterusnya?”

Semakin pusing saja kepalanya. Rasanya mau meledak. Masalah terus bermunculan tanpa henti.

Setelah jam pelajaran berakhir, Alisa melangkah gontai keluar gerbang sekolah menuju sisi belakang gedung untuk mengambil sepeda ontel-nya dan segera pulang. Ia ingin tidur saja demi menghilangkan sakit di kepalanya, apalagi semalam ia kurang tidur gara-gara pulang dini hari.

Akan tetapi, begitu kakinya tiba di lokasi, ia tidak menemukan sepedanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diasuh Bos Besar   Bab 9. Dewa Penolong

    Bullshit penghasilan besar! Bullshit jalur orang dalam. Dan Bullshit teman akrab. Ia sudah tidak tahan lagi menghadapi semua orang yang berhubungan dengan Klub malam itu. Mereka semua sepertinya sengaja bersekongkol untuk mempermainkan nasibnya malam ini. Sambil menahan nyeri di kaki, Alisa terus berlari menembus remangnya lampu trotoar dan pekatnya malam. Hari ini, kembali menjadi hari sialnya lagi. Di-dzalimi oleh orang kaya brengsek, di-exploitasi oleh manajer, dan di-benci teman akrab yang sudah dia anggap saudara sendiri. Dan Parahnya, dia malah pulang tidak membawa uang sepeser pun. Sia-sia sudah usahanya sejak petang tadi.Sementara itu, di tempatnya, Tuan Malik tertegun beberapa saat, menyesali perbuatannya. Ia sadar telah bersikap keterlaluan pada Alisa. Sungguh, dia tidak berniat melarang gadis yang sempat menjadi pemandunya tadi, untuk bekerja di tempatnya demi memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Hanya saja dia belum waktunya.Ia mengambil ponsel dan mulai melakukan pang

  • Diasuh Bos Besar   Bab 8. Kenakalan Andika

    Alisa merasa begitu nelangsa. Tak sanggup bertahan, ia menjatuhkan tubuhnya hingga menyentuh tanah. Kakinya sudah tidak kuat lagi menopang tubuhnya yang kembali dibuat shock. Padahal pikiran, hati bahkan tubuhnya begitu lelah menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi dalam hidupnya. Ia mengambil tas ranselnya lalu menutupkan ke mukanya. Setelah itu, dia berteriak dan menangis sejadi-jadinya. “Apa salahku, ya Allah! Hingga Kamu terus menerus menimpakan kesialan padaku?” “Apa Engkau tidak sayang padaku?” “Padahal aku selalu berbuat baik pada semua orang.” “Tapi kenapa mereka semua membenciku?” “Terus aku harus bagaimana setelah ini?” “Aku harus bagaimana?” Huu... huu... huu... Protes Alisa pada Tuhannya. Tidak terima menerima semua kenyataan ini. Menyampaikan keluh kesahnya tanpa henti. Disaat sedang serius-seriusnya melampiaskan kesedihan didalam dada, sayup-sayup terdengar olehnya sekawanan kendaraan bermotor yang mendekat. Bunyinya begitu mengganggu pendengaran. Sangat b

  • Diasuh Bos Besar   Bab 7. Beasiswamu Dicabut!

    Ditelusurinya koridor sekolah dengan gerak cepat, menaiki tiap anak tangga hingga sampai juga didepan kelasnya. Kelas XI-2.Tampak olehnya guru pelajaran jam pertama, Bu Warni tengah sibuk mengabsen teman-temannya. Alisa pun segera masuk dengan mode merintih memegang perut.“Maaf, Bu War! Saya habis dari toilet tadi. Biasa, lagi PMS, Buk!” ucap Alisa beralasan. Ia berjalan tertatih-tatih menuju bangkunya. Sungguh akting yang sempurna.Bu Warni hanya melengos tidak peduli mendengar alasan klise Alisa, kemudian lanjut mengabsen siswanya.Sambil menahan senyum lega di dada karena tidak ketahuan, Alisa pun duduk di kursinya dan menyiapkan bukunya, mulai serius menerima pelajaran.Walaupun ia mendapat beasiswa melalui jalur titipan panti milik Dinas Sosial, namun nilai akademik Alisa cukup bagus dibanding rata-rata kelas. Peringkat ke 3 kelas, sudah cukup membuktikan kalau otaknya lumayan encer.Ting... Ting...Lonceng istirahat ke satu berbunyi.“Liz, gorenganmu mana?”“Kamu gak jualan go

  • Diasuh Bos Besar   Bab 6. Dewa Penolong

    Hampir tengah malam. Alisa duduk memeluk tubuhnya di kursi halte bis. Udara dingin menusuk kulit dan hatinya yang terluka. Ia sungguh tidak mengerti, kenapa semua orang bersikap begitu jahat padanya hari ini. Malam semakin larut. Sudah tidak ada angkutan umum yang beroperasi jam segini. Ingin memesan ojek online, tapi tidak ada paketan data. Ingin naik taksi juga tidak ada uang. Dimatikan segera daya ponsel karena kesal. Kesal pada situasi dan kondisi yang tidak mendukungnya sama sekali.Tak lama berselang, dari kejauhan tampak motor yang lampunya berpendar terang hingga menyilaukan matanya. Alisa pun menoleh ke arah jalan. Ternyata ada motor sport warna merah yang menepi, lalu memanggilnya dengan akrab, “Hei, anak baru! Butuh tumpangan gak?” teriak laki-laki berhelm teropong itu cukup keras.Begitu kaca gelap helm dibuka, tampaklah siluet wajah yang ia kenal. Melihat kedatangan sang dewa penolongnya, Alisa langsung bangkit dan menghambur dengan riangnya. “Tentu saja, Rel! Kenapa

  • Diasuh Bos Besar   Bab 5. Luka Hati

    Senyum tipis tersungging di bibir tamu VIP yang tertutup kumis itu.“Gokil juga gadis ini. Dia bahkan tidak takut sedang berhadapan dengan siapa.” Bathin Tuan Malik terheran-heran, tidak menyangka bila gadis didepannya itu begitu berani dan percaya diri. Ia meletakkan kembali minuman kemasan botol kaca premium diatas meja. Entah kenapa adrenalinnya seketika terpacu saat bersama gadis yang menurutnya masih dibawah umur itu. Keinginan untuk menaklukkan sikap angkuh dan keras kepalanya begitu kuat hingga menyesakkan dada.“Kamu sendiri bagaimana? Saya juga butuh bukti yang bisa menguatkan posisimu kalau kamu memang benar dan layak untuk bekerja di tempat ini. Dengan begitu, saya akan menerima tuntutanmu. Akan saya obati kakimu dan membayar dendamu. Itu kompensasi yang bisa saya tawarkan padamu.” Tatap tajam Tuan Malik ke arah Alisa.“Jadi, bisakah kamu menunjukkan pada saya KTP-mu?” Balas Tuan Malik dengan elegan membalik semua pertanyaan Alisa.DEG!Dengan cepat, Alisa menggamit tas ke

  • Diasuh Bos Besar   Bab 4. Alasan Mangkir

    Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, sudah 30 menit berlalu. Di ruang loker wanita, Alisa hanya diam duduk terpaku memandangi Kartu Pelajarnya yang menunjukkan kalau usianya saat ini masih 16 tahun. Memang belum layak untuk bekerja. Sedangkan usia 17 tahunnya baru enam bulan lagi. “Ternyata usiaku memang belum layak untuk bekerja.” Desahnya memendam sedih.“Lantas aku harus bagaimana? Kalau ketahuan bagaimana? Apa Tuan Malik akan melaporkanku pada Bos Besar? Tapi, Marlena sudah bilang ke Pak Riko kalau usia kami sama.” ucapnya resah tiada akhir. Membuatnya tak kunjung beranjak dari kursi loker.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 22.10 wib. Di ruang VIP karaoke, Tuan Ibnu Malik duduk resah, tidak sabar menunggu Alisa. “Kemana gadis itu.” Tangannya bergerak menelpon Riko. “Riko! Suruh segera kesini, si Lisa itu! Dia pamit ke loker untuk mengambil KTP hampir satu jam yang lalu.” Titah sekaligus lapornya pada bawahan.Riko terlonjak kaget dari kursinya, begitu mendengar laporan dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status