Ditelusurinya koridor sekolah dengan gerak cepat, menaiki tiap anak tangga hingga sampai juga didepan kelasnya. Kelas XI-2.
Tampak olehnya guru pelajaran jam pertama, Bu Warni tengah sibuk mengabsen teman-temannya. Alisa pun segera masuk dengan mode merintih memegang perut. “Maaf, Bu War! Saya habis dari toilet tadi. Biasa, lagi PMS, Buk!” ucap Alisa beralasan. Ia berjalan tertatih-tatih menuju bangkunya. Sungguh akting yang sempurna. Bu Warni hanya melengos tidak peduli mendengar alasan klise Alisa, kemudian lanjut mengabsen siswanya. Sambil menahan senyum lega di dada karena tidak ketahuan, Alisa pun duduk di kursinya dan menyiapkan bukunya, mulai serius menerima pelajaran. Walaupun ia mendapat beasiswa melalui jalur titipan panti milik Dinas Sosial, namun nilai akademik Alisa cukup bagus dibanding rata-rata kelas. Peringkat ke 3 kelas, sudah cukup membuktikan kalau otaknya lumayan encer. Ting... Ting... Lonceng istirahat ke satu berbunyi. “Liz, gorenganmu mana?” “Kamu gak jualan gorengan lagi?” “Lho iya. Mana kue-kue daganganmu?” Di saat dirinya tidak menggelar dagangannya, teman-teman sekelasnya langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan. “Sorry gaes! Aku sudah tidak jualan lagi sekarang! Takut ketahuan.” Jawab Alisa apa adanya. Bahkan ia harus mengulangi ucapannya berkali-kali begitu siswa siswi dari kelas X sampai kelas XII mendatanginya dan menanyakan hal yang sama. Mereka semua tampak kecewa begitu mendapatkan jawabannya. Harus bagaimana lagi, keuntungannya dalam berdagang gorengan di kelas, tidak sebanding dengan kerugian yang akan ia dapat, apabila harus kehilangan Beasiswanya. Yang nilainya bisa mencapai puluhan kali lipat dari hasil dagangannya. Tak lama kemudian, Ketua kelas menghampirinya dan berkata, “Liz, kamu dipanggil Bu Retno guru BK tuh!” DEG! “Apa? Dipanggil guru BK?” Anggukan kepala diberikan ketua kelas ke arah Alisa yang begitu terkejut mendengarnya. “Apa perbuatanku tadi pagi ketahuan ya?” Ucapnya cemas ketika melangkahkan kaki ke ruang BK yang letaknya dekat ruang UKS. “Pasti Dika yang sudah ngelaporin ke guru BK. Hanya dia satu-satunya orang yang tahu kalau aku melewati pagar sekolah.” Tuduhan telak Alisa tujukan pada sosok Andika sebagai pelaku utamanya. Ingin sekali ia mencakar mukanya biar jera. “Permisi, Bu Retno? Apa ibu mencari saya?” Sapa Alisa dengan sopan sebelum ia duduk di kursi. Wanita setengah baya yang berhijab dan berkacamata itu mengambil map yang tertumpuk di rak sampingnya lalu bertanya, “Apa kamu yang bernama Alisa Wahid?” “Benar, bu. Saya Alisa Wahid. Mm, sebenarnya ada apa ya memanggil saya?” tanya Alisa yang masih berdiri didepan meja. “Duduklah!” perintah Bu Retno yang sibuk mencari map yang berisi berkas-berkas milik Alisa. Alisa pun menurut. Ia duduk didepan meja menatap Bu Retno penasaran, karena pertanyaannya tidak juga dijawab. Setelah bu Retno menemukan map data siswa yang tertulis namanya, barulah bu Retno berbicara. “Kamu siswi penerima beasiswa penuh dari jalur titipan panti ya?” “Be-nar! Sebenarnya ada apa bu?” tanya Alisa tidak sabar. Bu Retno mengirup napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kamu pasti tahu kalau semua siswa siswi penerima beasiswa wajib mematuhi peraturan di sekolah. Termasuk menjaga attitude, sikap, perilaku, tutur kata dan nilai akademiknya, agar kami selaku pihak sekolah tidak merasa rugi atau kecewa oleh kalian. Apa kamu mengerti akan hal tersebut?” Alisa menelan ludahnya susah payah, “Iya bu, tentu saja saya mengerti akan hal tersebut.” Semakin resah hatinya. “Kalau kamu mengerti, lantas kenapa kamu malah melanggarnya?” tanya bu Retno tidak percaya. “Maafkan saya, bu! Saya... tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh!” ucap Alisa tertunduk. Mengakui kesalahannya. “Karena perbuatanmu ini cukup fatal, Dewan sekolah terpaksa harus mencabut beasiswamu untuk sementara pada semester ini. Apabila tidak ada pelanggaran lagi, Beasiswa akan aktif kembali semester depan.” Kata bu Retno dengan tegas menjelaskan. Seakan runtuh masa depannya, Alisa begitu shock usai mendengarnya. Walaupun hanya sementara, tapi, darimana dia harus membayar SPP dan kegiatan sekolah perbulannya. Sedangkan ini Sekolah elit. Sekolahnya anak-anak orang kaya. “A – apa, bu?” “Tapi saya baru melakukannya sekali. Kenapa konsekuensinya begitu fatal?” jelas Alisa tidak terima dengan keputusan sepihak sekolah. Dengusan kesal dari wanita paruh baya didepannya, terdengar jelas di telinga Alisa. “Apa benar hanya sekali katamu? Saya sangat membenci siswa yang suka berbohong. Dan ini sudah termasuk pelanggaran kedua yang sudah kamu lakukan.” “Tapi, saya beneran baru hari ini terlambat datang ke sekolah selama bersekolah disini, bu.” Jelas Alisa dengan jujur pada guru BK-nya. “Apa? Jadi kamu tadi datang terlambat? Lalu, bagaimana bisa kamu masuk kelas tanpa sepengetahuan saya?” tanya bu Retno begitu murka. Semakin kesal saja guru BK itu mendengar pengakuan jujur dari Alisa yang tidak diketahuinya. Sedangkan Alisa jadi bingung sendiri, kenapa wanita didepannya itu malah terkejut mendengar pengakuannya. Lantas yang sedari tadi yang mereka bahas itu soal apa? “Maaf bu, Bukannya saya disuruh kesini itu terkait keterlambatan saya tadi?” Alisa balik bertanya. Wajah bu Retno kini tampak merah menyala dan hidungnya kembang kempis kekurangan oksigen. “Ini sudah ketiga kalinya kamu melanggar tata tertib sekolah. Sepertinya, Dewan sekolah akan mencabut beasiswamu untuk selamanya, Alisa!” “Apa bu? Beasiswa saya dicabut? Untuk selamanya?” tanya Alisa terperangah, shock dan hampir tidak percaya. “Ya benar! Beasiswamu dicabut untuk selamanya.” Tangan bu Retno mencengkeram erat penanya, berusaha meredam emosinya. Lalu matanya menatap lembar kertas yang ada diatas meja. Dada masih naik turun, dan 5 detik kemudian barulah tangannya bergerak cepat menulis sesuatu di berkas-berkas miliknya. “Sebenarnya, pelanggaran saya yang pertama tadi itu apa, bu?” tanya Alisa yang tidak menyangka semuanya jadi semakin runyam saat ia berbicara jujur. Bu Retno menghentikan catatannya, ia menatap wajah Alisa dengan sinis. “ Jangan bilang kamu lupa ingatan setelah berjualan makanan didalam kelas. Bahkan hingga tiga bulan lamanya.” “Jadi soal yang itu, bukan karena terlambat masuk sekolah?” Alisa menutup mulutnya tidak percaya. Ternyata sedari tadi yang mereka bahas mengenai bisnis gorengannya. “Tapi saya sudah berhenti berjualan sejak kemarin, bu.” “Tapi laporannya sudah masuk sejak dua hari yang lalu, dan itu merupakan pelanggaran berat. Itu sebabnya kami bertindak tegas padamu.” Usai menyelesaikan kalimatnya, guru BK itu kembali melanjutkan kegiatannya mencatat laporan tentang pelanggaran yang sudah dilakukan Alisa pada sebuah kertas dan lanjut mengetik sesuatu di komputer. Hingga akhirnya, Surat panggilan pada pengurus panti diterimanya. “Berikan surat ini pada Pengurus Panti.” Ucap bu Retno datar sembari menyerahkan surat resmi dari sekolah pada Alisa. “Baik, bu.” Jawabnya lesu. Dengan wajah masam, Alisa menerima suratnya. Setelah itu guru BK menyuruhnya kembali ke kelas untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar lagi. Untuk beberapa saat, Alisa diam terpaku menatap surat digenggaman tangannya. “Siapa orangnya, yang sudah tega melaporkanku ke guru BK?” “Apa iya Andika pelakunya? Kalau benar dia, kenapa dia malah meminta upetinya selama dua hari? Sepertinya bukan dia. Terus siapa pelakunya?” Begitu banyak kejanggalan yang mengurungkan niatnya untuk melabrak Andika. Ia meremas rambutnya frustrasi. Memikirkan masa depan sekolahnya nanti. “Nenek dan Ibu Panti pasti akan kecewa denganku kalau mengetahui hal ini. Lantas, aku harus bekerja apa lagi untuk membayar biaya sekolahku bulan depan dan seterusnya?” Semakin pusing saja kepalanya. Rasanya mau meledak. Masalah terus bermunculan tanpa henti. Setelah jam pelajaran berakhir, Alisa melangkah gontai keluar gerbang sekolah menuju sisi belakang gedung untuk mengambil sepeda ontel-nya dan segera pulang. Ia ingin tidur saja demi menghilangkan sakit di kepalanya, apalagi semalam ia kurang tidur gara-gara pulang dini hari. Akan tetapi, begitu kakinya tiba di lokasi, ia tidak menemukan sepedanya.Pukul 7 malam, kendaraan yang mengantar Alisa, sudah tiba didepan lobby Sugar Babe Night Club. “Pak Hendro langsung saja balik ke rumah ya! Saya nanti pulang bareng temen!” Titah dan pesan Alisa pada supir pribadinya sebelum kakinya melangkah keluar dari pintu kendaraan. “Tapi, Non! Bagaimana kalau Tuan bertanya nanti? Saya harus jawab apa?” Ujar Pak Hendro yang tampak sedikit khawatir. Alisa yang sudah keluar dari pintu mobil pribadinya, cukup terkejut mendengar pertanyaan supir pribadinya itu yang terkesan takut. “Bagaimana Tuan Malik bisa bertanya, Pak? Dia khan sedang tidak ada di rumah, pergi keluar kota, ke Jakarta.” Jelas Alisa yang berusaha mengembalikan ingatan supir pribadinya itu, yang menurutnya kemungkinan lupa itu. Pak Hendro belum juga beranjak pergi dari lobby. “Saya tahu itu, Non! Akan tetapi... bagaimana kalau Tuan menelpon saya setelah ini?” Sebenarnya, Pak Hendro ingin memberitahu lebih detail pada Alisa, bahwa setiap kali dirinya usai mengantar Nona majikan
“Kamu tidak apa-apa, Dek!” Tanya Tamara setelah berada didepan Alisa, sembari memindai rahang Alisa dengan lebih teliti.“Jangan sok perhatian padaku, Kak Ketos! Pergi sana! Aku tidak butuh bantuanmu!”Cemooh Alisa yang dengan cepat melangkah pergi meninggalkan ketua OSIS sendiri disana.“Tunggu, Dek! Apa kamu masih marah padaku?” Tanya Tamara sembari melangkahkan kakinya dengan cepat mengejar Alisa.“Pikirlah sendiri, Kak!” Alisa menanggapinya dengan ketus.Langkahnya kini sedikit berlari menaiki tangga demi menghindari kejaran Tamara.“Kita harus bicara, Dek! Akan aku jelaskan semuanya padamu!” Pinta Tamara yang masih terus mengejar Alisa.“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Kak! Jangan memaksaku! Pergi sana!” Hardik Alisa yang dengan terang-terangan menolak permintaan ketua OSIS.Berhubung Alisa sudah tiba dan memasuki kelasnya, dan tidak mungkin baginya untuk terus memaksakan kehendaknya didepan teman sekelasnya, terpaksalah Tamara berhenti mengejar. Ia berbalik arah dan menuju ke
"Buka pintumu, Lisa!”“Tok... Tok... Tok...”“Ijinkan aku masuk!”“Akan aku lepas pakaianmu, Lisa sayangku!”Tuan Malik tak henti-hentinya mengetuk pintu kamar Alisa. Ia tahu bila Alisa belum tidur. Akan tetapi, tIdak ada jawaban dari si penghuni kamar. Karena suara Tuan Malik dan ketukan pintu yang bersahut-sahutan itu, teredam oleh alunan lagu melankolis dari earphone yang menancap di telinganya.“Apakah kamu marah padaku, sayang?””Karena sudah membuatmu menunggu?”“Kalau begitu, maafkan aku!”Lelah berjuang dan berdiri lama didepan pintu kamar Alisa yang berada di lantai 3, Tuan Malik pun memutuskan untuk pergi dari sana. Ia sadar bila Alisa tidak mau membukakan pintu dan berbicara padanya karena marah. Marah karena telah membuatnya menunggu.“Aku ingin memelukmu, Lisa sayangku!” Gelisah Tuan Malik yang membolak-balik tubuhnya diatas ranjang. Malam ini ia tidak bisa tidur dengan tenang, karena tidak ada tubuh Alisa yang bisa ia peluk seperti malam-malam sebelumnya.Pagi hari, Al
“Aku benci kamu, Kak!” Hardik Alisa kesal meluapkan isi hatinya, lalu pergi meninggalkan Ketua OSIS itu begiti saja.“Tunggu dulu, Dek! Biar aku jelaskan dulu alasannya!” Kejar Tamara dan meraih tangan Alisa. Ia tidak ingin adik kelasnya itu salah paham atas tindakannya, apalagi berakhir membencinya.“Tidak perlu! Kamu dan Andika itu sama saja! Kalian semua mengesalkan! Pergi, Kak!” Alisa menghempas dengan kuat pegangan tangan Tamara darinya hingga terlepas.Kakinya terus berlari meninggalkan Kakak Ketua OSIS itu sendiri yang diam terpaku menatap kepergiannya.“Kenapa hari ini semua orang terbaikku begitu mengecewakan sih! Marlena dan Tamara. Padahal aku tidak pernah menyakiti hati mereka.” Gerutu Alisa dengan memendam rasa kecewa didalam dada.Mata pelajaran jam terakhir berjalan begitu cepat hingga tepat pukul 15.15 sore, terdengar...Ting... Ting... Ting...Lonceng terakhir pun berbunyi. Waktunya pulang sekolah.Alisa bergegas keluar dari kelasnya dan menuju ke toilet putri untuk
"Jadi itu hanya Hoax ya?”Hembusan nafas panjang dikeluarkan Kepala sekolah menanggapi pengakuan Andika.“Bu Retno, tolong nyalakan layar LCD Proyektor, karena saya ingin menampilkan beberapa gambar sebagai bukti.” Perintah Kepala sekolah yang meminta bantuan guru BK.Guru BK menurut. “Baik, Pak!” Ia bangkit dan segera menyalakan kotak mesin layar proyeksi yang terhubung langsung pada Laptop milik Kepala Sekolah.Semua seketika terperanjat begitu menyaksikan gambar-gambar yang ditampilkan oleh layar. Alisa bahkan menganga lalu menutup mulutnya rapat dengan telapak tangannya. Tidak menyangka gambar dirinya yang setengah telanjang, terpampang jelas di layar sana.“Astaga? Apa itu tubuhmu, hei penjual gorengan? Mulus juga. Tidak jerawatan dan panuan. Kulit eksotis yang alami. Meskipun tidak putih sih!” Komentar Andika dengan nada menyindir.“Jaga ucapanmu, Dika! Itu tidak sopan sama sekali!” Bentak bu Retno yang tidak suka dengan komentar Andika yang terlalu vulgar.Wajah Alisa seket
Mendengarnya, dahi Marlena berkerut curiga, “Ngapain Andika mencarimu lagi, Liz? Apa masalah kalian belum juga selesai?”“Aku gak tahu, Lena! Padahal teman-teman Andika juga sudah membuliku dengan menginjak-injak tubuhku, di hari saat kamu berhasil mengalahkan Andika adu balap motor di jalan jum’at lalu. Harusnya sudah impas. Atau mungkin karena...”“Apa? Kamu dibuli sama gengnya Andika?” Potong Marlena cepat. Wajahnya seketika merah padam begitu mendengar cerita Alisa. “Dengar ya, Liz! Aku gak mau kamu sampai melibatkan aku dalam masalahmu ya! Kalau sampai aku ikutan dibuli sama mereka, maka aku tidak akan menganggapmu sebagai temanku lagi. Hubungan pertemanan kita putus!” Ancam Marlena begitu murkanya.Tubuh Alisa semakin melorot hingga menyentuh lantai. “Kamu kok gitu sih sama aku, Lena?” Ucapnya kecewa. “Tapi tenang saja, Aku jamin, mereka tidak akan membulimu, Karena mereka semua tidak ada satupun yang mengenali wajahmu.”“Semoga saja kamu benar!” Harap Marlena yang hatinya masih