Hampir tengah malam.
Alisa duduk memeluk tubuhnya di kursi halte bis. Udara dingin menusuk kulit dan hatinya yang terluka. Ia sungguh tidak mengerti, kenapa semua orang bersikap begitu jahat padanya hari ini. Malam semakin larut. Sudah tidak ada angkutan umum yang beroperasi jam segini. Ingin memesan ojek online, tapi tidak ada paketan data. Ingin naik taksi juga tidak ada uang. Dimatikan segera daya ponsel karena kesal. Kesal pada situasi dan kondisi yang tidak mendukungnya sama sekali. Tak lama berselang, dari kejauhan tampak motor yang lampunya berpendar terang hingga menyilaukan matanya. Alisa pun menoleh ke arah jalan. Ternyata ada motor sport warna merah yang menepi, lalu memanggilnya dengan akrab, “Hei, anak baru! Butuh tumpangan gak?” teriak laki-laki berhelm teropong itu cukup keras. Begitu kaca gelap helm dibuka, tampaklah siluet wajah yang ia kenal. Melihat kedatangan sang dewa penolongnya, Alisa langsung bangkit dan menghambur dengan riangnya. “Tentu saja, Rel! Kenapa gak dari tadi sih? Kakiku sampek kriting nungguin kamu loh!” selorohnya sok akrab. “Pret! Bukannya dari tadi udah kriting kaki kamu. Harusnya sekarang jadi Kribo dong!” canda sang bartender sambil menunggu Alisa naik keatas jok belakang motornya. Tangan Alisa menepuk gemas pundak Farel. “Ingatanmu tajam juga! Pasti tiap hari kamu makan pisau ya? Ya udah, buruan berangkat sana!” “Emangnya aku kerasukan jin! Peluk yang erat dong, Babe! Gantinya ongkos ojek!” Kelakar Farel yang sempat-sempatnya mengambil keuntungan dalam kesempatan. “Hadeuh, bisa aja tuh otak Bisnis! Tidak tulus nolongin sesama.” Gerutu Alisa dengan sebal. “Mana ada yang gratisan di dunia ini, Babe!” jawab Farel menanggapi dengan sinis. “Cerewet! Ya udah aku peluk nih! Buruan berangkat sana! Aku ngantuk! Besok harus sekolah!” Alisa dengan terpaksa memeluk pinggang Farel. Dan tidur di punggungnya. Farel tersenyum saat punggungnya mulai merasakan kehangatan dan kelembutan yang sungguh luar biasa. “Ini bukan Bisnis, Babe! Tapi Simbiosis Mutualisme. Kerjasama yang saling menguntungkan.” Jelasnya singkat, padat dan penuh makna. “Dasar mesum!” Alisa hanya diam tidak menanggapi. “Terimakasih sudah datang untuk menolongku, Rel! Kamu laki-laki yang baik.” bathinnya mengucap syukur sambil mengulum senyum. Ia mengeratkan lagi pelukannya. Merasakan luka di hatinya perlahan memudar karena kehadiran satu orang ini. Dan Farel pun langsung tancap gas ngebut di jalanan yang mulai lengang. Menuju ke rusun yang berada disisi luar kawasan mandiri nan elit yang terbentang luas disisi utara kota Pahlawan. Pagi harinya, Alisa bangun kesiangan. Ia pun tidak sempat mandi dan gosok gigi. Berganti seragam dan langsung mengayuh cepat sepeda jadulnya dengan kekuatan penuh. “Semoga gerbangnya belum ditutup sama Pak Udin.” Harapnya dengan cemas pada penjaga sekolah yang bertugas di posnya. Dari jarak 500 meter, Alisa sudah mendengar lonceng tanda masuk sekolah berbunyi. Semakin cepat kakinya mengayuh berpacu melawan waktu. Tidak ingin terlambat masuk gerbang sekolah. Akan tetapi, kurang dari 50 meter, pintu gerbang sudah tertutup sempurna. Tidak mau menerima detensi atau hukuman dari Pak Setyo bagian kesiswaan atau Bu Retno guru BK, Alisa pun memutar otak, mencari cara agar dia bisa masuk kedalam sekolah tanpa diketahui siapa pun. Karena sebagai siswa penerima Beasiswa penuh, ia dituntut untuk selalu menjaga sikap, tutur kata dan perilakunya di sekolah. Kesalahan sedikit pun tidak bisa ditolerir pihak sekolah. Sebelum ketahuan penjaga sekolah, Alisa memutar balik arah sepedanya. Menuju ke area kosong yang ada dibelakang sekolah. Yang ia ingat, sedang ada perluasan area parkir kendaraan disana. Kebetulan ada pohon randhu yang cukup lumayan besar didekat tembok belakang pembatas sekolah, yang salah satu dahannya menjulur ke area parkir belakang yang sedang dibangun. Alisa meletakkan sepedanya persis disamping pohon randhu. Menyingsing lengan kemeja, melepas sepatu dan memasukkannya dalam tas. Memanggul tas ranselnya. Meskipun kakinya belum sembuh benar. Ia memaksakan diri memanjat pohon tersebut hingga tepat dibagian atas tembok pagar pembatas. Sepeda sengaja ditinggalkannya dibawah sana. Menurutnya, mana mungkin ada yang mau mencuri sepeda jelek, karatan dan jadul seperti miliknya di kawasan kota mandiri nan elit ini. Ia mengamati keadaan sekitar sekolah. Suasana tampak lengang. Mungkin guru-guru tengah sibuk menuju ke kelasnya masing-masing untuk pelajaran jam pertama. Para buruh pekerja proyek juga belum ada yang datang. Dengan keseimbangan penuh, kakinya merangkak meniti dahan pohon yang mengarah ke dalam parkir sekolah. Dirasa cukup, ia duduk didahan dengan kaki menggantung, lalu kedua tangannya memeluk erat batang pohon tersebut, kemudian bergelantungan seperti monyet. Setelah mantap, barulah ia melepas pegangannya dan melempar tubuhnya ke bawah. BUGH! Tubuhnya jatuh di sambut lantai paving stone yang tertata rapi dan simetris, yang terasa sungguh keras di bokongnya. “Kebiasaan yang sulit dirubah. Selalu menyalahi aturan sekolah. Kamu itu ternyata tipe cewek bandel ya?” decak seorang siswa yang sedang memergoki perbuatannya dengan sinis. Alisa bangkit dan mengibas roknya yang berdebu, mencari datangnya suara. Dan dia menemukannya di pojok sana. Tampak seorang siswa tengah asyik menghisap rokoknya lalu mengepulkan asapnya ke udara. Siswa itu begitu menikmati rokoknya sambil duduk santai didekat tumpukan paving stone. Sengaja menyembunyikan diri agar tidak ketahuan warga sekolah. “Dika? Baru jam pertama, kamu sudah bolos? Benar-benar gak niat sekolah!” Sindir balik Alisa ke arah siswa yang dua hari yang lalu, sempat membuat harinya sial. Tapi ia sudah melupakannya. Yang lalu biarlah berlalu. “Jangan sok Alim! Lihat dirimu sendiri!” balas Andika yang kembali menghisap rokoknya lalu membuangnya ke tanah. Ia bangkit, menginjak puntungnya dan berjalan ke arah Alisa. “Ah, ya sudahlah, ini hidupmu. Atur sendiri sesuka hatimu! Ngapain aku peduli?” pikir Alisa sia-sia. Tak perlu berdebat. Sungguh, dia tidak ingin terlibat masalah lagi dengan Andika, hingga berakhir tidak menyenangkan seperti tempo hari. Ia merapikan seragamnya dan bersiap menuju ke kelas. Ia tidak mau meladeni Andika dulu, karena harus bergegas masuk kelas sebelum dicurigai oleh guru pelajaran jam pertama bahwa dirinya terlambat. Namun, baru saja ia berbalik hendak melangkah, tas ranselnya ditarik paksa oleh Andika dari belakang. “Hei, mau kemana kau tukang gorengan? Jangan lupakan upetimu! Sudah dua hari kamu tidak setor! Ingat itu!” Ucap Andika mengingatkan kewajiban Alisa. Alisa berbalik sambil mendengus kesal menatap serius wajah kakak kelasnya, Si pembuat onar yang bertubuh jangkung namun atletis, dengan gaya rambut mohawk warna dark brown. Meskipun kata teman-teman sekelasnya dia itu tampan dan cool, namun baginya, Andika itu sosok yang aneh, badung dan menyebalkan. “Kemarin aku gak masuk, Dika! Lagi pula, Aku sudah berhenti jual gorengan. Kamu sendiri yang bilang kalau aku tidak boleh bisnis di sekolah karena akan nyaingin Kantin.” Jawab Alisa yang balik mengingatkan ucapan Andika tempo hari. Meskipun alasan sebenarnya bukan itu. Ia sungguh takut kehilangan Beasiswanya bila sampai ketahuan Dewan Sekolah. “Baguslah! Aku kira kamu takut masuk selokan lagi!” ejek Andika. Ucapan Andika sungguh menyulut emosi Alisa yang sejak dua hari yang lalu tertahan. Ia melepas tas ranselnya, lalu mendorong tubuh Andika dengan kuat kebelakang menggunakan tasnya hingga jatuh, lalu memukulinya dengan tas. “Kamu memang brengsek, Dika! Pergi sana! Jangan ganggu aku lagi! Aku benci kamu!” Lagi, Andika tidak menyangka akan diperlakukan seperti itu lagi oleh Alisa. Tubuhnya pun jatuh terduduk dan susah payah menutupi kepalanya dengan kedua lengannya, agar tidak kena hantam tas ransel Alisa. Dirasa cukup puas. Alisa berlari meninggalkan Andika yang terpuruk disana. Dengan senyum lebar, Kaki Alisa berlari meninggalkan Andika yang terlihat cukup kesal dan marah karena ulahnya.Pukul 7 malam, kendaraan yang mengantar Alisa, sudah tiba didepan lobby Sugar Babe Night Club. “Pak Hendro langsung saja balik ke rumah ya! Saya nanti pulang bareng temen!” Titah dan pesan Alisa pada supir pribadinya sebelum kakinya melangkah keluar dari pintu kendaraan. “Tapi, Non! Bagaimana kalau Tuan bertanya nanti? Saya harus jawab apa?” Ujar Pak Hendro yang tampak sedikit khawatir. Alisa yang sudah keluar dari pintu mobil pribadinya, cukup terkejut mendengar pertanyaan supir pribadinya itu yang terkesan takut. “Bagaimana Tuan Malik bisa bertanya, Pak? Dia khan sedang tidak ada di rumah, pergi keluar kota, ke Jakarta.” Jelas Alisa yang berusaha mengembalikan ingatan supir pribadinya itu, yang menurutnya kemungkinan lupa itu. Pak Hendro belum juga beranjak pergi dari lobby. “Saya tahu itu, Non! Akan tetapi... bagaimana kalau Tuan menelpon saya setelah ini?” Sebenarnya, Pak Hendro ingin memberitahu lebih detail pada Alisa, bahwa setiap kali dirinya usai mengantar Nona majikan
“Kamu tidak apa-apa, Dek!” Tanya Tamara setelah berada didepan Alisa, sembari memindai rahang Alisa dengan lebih teliti.“Jangan sok perhatian padaku, Kak Ketos! Pergi sana! Aku tidak butuh bantuanmu!”Cemooh Alisa yang dengan cepat melangkah pergi meninggalkan ketua OSIS sendiri disana.“Tunggu, Dek! Apa kamu masih marah padaku?” Tanya Tamara sembari melangkahkan kakinya dengan cepat mengejar Alisa.“Pikirlah sendiri, Kak!” Alisa menanggapinya dengan ketus.Langkahnya kini sedikit berlari menaiki tangga demi menghindari kejaran Tamara.“Kita harus bicara, Dek! Akan aku jelaskan semuanya padamu!” Pinta Tamara yang masih terus mengejar Alisa.“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Kak! Jangan memaksaku! Pergi sana!” Hardik Alisa yang dengan terang-terangan menolak permintaan ketua OSIS.Berhubung Alisa sudah tiba dan memasuki kelasnya, dan tidak mungkin baginya untuk terus memaksakan kehendaknya didepan teman sekelasnya, terpaksalah Tamara berhenti mengejar. Ia berbalik arah dan menuju ke
"Buka pintumu, Lisa!”“Tok... Tok... Tok...”“Ijinkan aku masuk!”“Akan aku lepas pakaianmu, Lisa sayangku!”Tuan Malik tak henti-hentinya mengetuk pintu kamar Alisa. Ia tahu bila Alisa belum tidur. Akan tetapi, tIdak ada jawaban dari si penghuni kamar. Karena suara Tuan Malik dan ketukan pintu yang bersahut-sahutan itu, teredam oleh alunan lagu melankolis dari earphone yang menancap di telinganya.“Apakah kamu marah padaku, sayang?””Karena sudah membuatmu menunggu?”“Kalau begitu, maafkan aku!”Lelah berjuang dan berdiri lama didepan pintu kamar Alisa yang berada di lantai 3, Tuan Malik pun memutuskan untuk pergi dari sana. Ia sadar bila Alisa tidak mau membukakan pintu dan berbicara padanya karena marah. Marah karena telah membuatnya menunggu.“Aku ingin memelukmu, Lisa sayangku!” Gelisah Tuan Malik yang membolak-balik tubuhnya diatas ranjang. Malam ini ia tidak bisa tidur dengan tenang, karena tidak ada tubuh Alisa yang bisa ia peluk seperti malam-malam sebelumnya.Pagi hari, Al
“Aku benci kamu, Kak!” Hardik Alisa kesal meluapkan isi hatinya, lalu pergi meninggalkan Ketua OSIS itu begiti saja.“Tunggu dulu, Dek! Biar aku jelaskan dulu alasannya!” Kejar Tamara dan meraih tangan Alisa. Ia tidak ingin adik kelasnya itu salah paham atas tindakannya, apalagi berakhir membencinya.“Tidak perlu! Kamu dan Andika itu sama saja! Kalian semua mengesalkan! Pergi, Kak!” Alisa menghempas dengan kuat pegangan tangan Tamara darinya hingga terlepas.Kakinya terus berlari meninggalkan Kakak Ketua OSIS itu sendiri yang diam terpaku menatap kepergiannya.“Kenapa hari ini semua orang terbaikku begitu mengecewakan sih! Marlena dan Tamara. Padahal aku tidak pernah menyakiti hati mereka.” Gerutu Alisa dengan memendam rasa kecewa didalam dada.Mata pelajaran jam terakhir berjalan begitu cepat hingga tepat pukul 15.15 sore, terdengar...Ting... Ting... Ting...Lonceng terakhir pun berbunyi. Waktunya pulang sekolah.Alisa bergegas keluar dari kelasnya dan menuju ke toilet putri untuk
"Jadi itu hanya Hoax ya?”Hembusan nafas panjang dikeluarkan Kepala sekolah menanggapi pengakuan Andika.“Bu Retno, tolong nyalakan layar LCD Proyektor, karena saya ingin menampilkan beberapa gambar sebagai bukti.” Perintah Kepala sekolah yang meminta bantuan guru BK.Guru BK menurut. “Baik, Pak!” Ia bangkit dan segera menyalakan kotak mesin layar proyeksi yang terhubung langsung pada Laptop milik Kepala Sekolah.Semua seketika terperanjat begitu menyaksikan gambar-gambar yang ditampilkan oleh layar. Alisa bahkan menganga lalu menutup mulutnya rapat dengan telapak tangannya. Tidak menyangka gambar dirinya yang setengah telanjang, terpampang jelas di layar sana.“Astaga? Apa itu tubuhmu, hei penjual gorengan? Mulus juga. Tidak jerawatan dan panuan. Kulit eksotis yang alami. Meskipun tidak putih sih!” Komentar Andika dengan nada menyindir.“Jaga ucapanmu, Dika! Itu tidak sopan sama sekali!” Bentak bu Retno yang tidak suka dengan komentar Andika yang terlalu vulgar.Wajah Alisa seket
Mendengarnya, dahi Marlena berkerut curiga, “Ngapain Andika mencarimu lagi, Liz? Apa masalah kalian belum juga selesai?”“Aku gak tahu, Lena! Padahal teman-teman Andika juga sudah membuliku dengan menginjak-injak tubuhku, di hari saat kamu berhasil mengalahkan Andika adu balap motor di jalan jum’at lalu. Harusnya sudah impas. Atau mungkin karena...”“Apa? Kamu dibuli sama gengnya Andika?” Potong Marlena cepat. Wajahnya seketika merah padam begitu mendengar cerita Alisa. “Dengar ya, Liz! Aku gak mau kamu sampai melibatkan aku dalam masalahmu ya! Kalau sampai aku ikutan dibuli sama mereka, maka aku tidak akan menganggapmu sebagai temanku lagi. Hubungan pertemanan kita putus!” Ancam Marlena begitu murkanya.Tubuh Alisa semakin melorot hingga menyentuh lantai. “Kamu kok gitu sih sama aku, Lena?” Ucapnya kecewa. “Tapi tenang saja, Aku jamin, mereka tidak akan membulimu, Karena mereka semua tidak ada satupun yang mengenali wajahmu.”“Semoga saja kamu benar!” Harap Marlena yang hatinya masih