Sepuluh menit sudah berlalu, pasca Kinan menjelaskan keadaan kepada kedua orang tuanya selama setengah jam penuh. Wajah Sang Ayah tampak mengeras. Pandangannya tak lagi menatap Kinan, putri semata wayangnya. Melainkan menunduk menatap meja kayu yang dilapisi taplak warna putih gading bermotif embos kembang. Kinan menahan napasnya. Ayahnya memang tipikal seorang ayah yang tidak banyak berbicara. Namun, kalau marah pria itu bisa terlihat cukup menyeramkan walaupun hanya dengan diamnya. Dan sekarang, ini bukanlah sesuatu yang baik. “Kenapa kamu menyembunyikan masalah sebesar ini dari kami, Kinan?” Sang Ayah akhirnya membuka suaranya. “Itu karena ….” Kinan menunduk. Tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Karena kesehatan Ayah?” Kinan menggigit bibir bawahnya. “Mestinya kamu katakan yang sejujurnya pada Ayah. Apapun kondisinya.” “Kinan nggak mau Ayah drop lagi. Makanya saat itu Kinan putuskan untuk mengikuti keinginan Mas Raga yang juga sebenarnya tidak ingin berpisah.” Ayah Kinan
Kinan melangkah memasuki sebuah gedung perkantoran yang terletak di atas pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Langkahnya agak tergesa, bulir keringat terlihat di pelipisnya. Ketika pintu lift terbuka tepat di lantai 20, sosok Adrian tepat muncul di depan lift. “Kinan?” tanyanya. Pria itu tampak terkejut. “Bukankah seharusnya kamu habis persidangan?” Kinan menarik napas panjang. “Maaf, Mas Adrian, bisa minta waktunya sebentar?” Adrian mengangguk singkat setelah menyadari raut wajah Kinan yang agak sedikit berbeda dari biasanya. Pria itu kemudian menuntun jalan menuju ruang meeting tempat pertama kali mereka bertemu. “Ada apa? Apa yang terjadi, Kinan?” “Maaf sebelumnya, Mas. Aku sudah mengirimkan dua artikel melalui email untuk finalisasi untuk materi dua minggu depan. Boleh tolong di-cek terlebih dahulu, kalau ada yang kurang bisa aku perbaiki sekarang.” Kinan tampak tergagap. Wanita itu bersusah payah mengeluarkan laptop dari totebag-nya. Namun, Adrian tampak menahannya. “Ki
Setelah pertemuannya dengan Adrian, Kinan tidak menampik bahwa perkataan dari pria itu mengambil andil yang besar bagi cara pandangnya. “Apa kamu yakin dia hanya teman lamamu aja?” Pertanyaan Raras menyadarkannya dari lamunan. Saat ini, mereka sedang kembali bertemu di salah satu coffee shop yang tak jauh dari tempat tinggal Kinan. Raras bersikeras untuk menemui Kinan untuk melanjutkan pembicaraan mereka lewat telepon tempo hari yang lalu. “Yakin, Ras. Kami memang hanya beberapa kali bersinggungan semasa di kampus dulu.” Kinan menyeruput minumannya. Tapi tampaknya Raras tidak langsung mempercayainya. “Tapi kayaknya raut wajahmu agak menunjukkan hal yang lain?” Kinan mengibaskan tangannya. “Jangan mikir yang aneh-aneh, kita memang purely hanya teman.” “Oh. Kirain kalian dulunya pernah terlibat suatu rasa gitu ….” “Nggak lah, pikiran dari mana itu?” Kinan menggeleng kencang. Demi menutupi kegelisahannya, Kinan kembali menyeruput kopi dingin yang terbukti cocok diminum di siang
“Boleh?” Adrian bertanya lagi. Pintu lift masih terbuka lebar dengan tangan Adrian yang menahannya dari tombol di luar. Kinan mengerjap sekali lagi sebelum akhirnya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Pria itu menyunggingkan senyum simpul. Dengan gerakan yang luwes, Adrian melangkah memasuki lift dan berdiri di samping Kinan setelah menekan tombol lantai dasar.Sementara Kinan sendiri masih mematung di tempatnya. “Don’t get me wrong. Aku ingin mengobrol denganmu karena kita sudah lama tidak bertemu. Sebagai teman di kampus, boleh dong?” ujar Adrian. Menolehkan kepalanya, menatap Kinan dengan sorot mata yang ramah. Kinan menoleh dan mata mereka saling bertemu. Dalam sekejap saja, ia bisa merasakan pipinya memerah karena menahan rasa malu. Bukan karena salah tingkah. Tapi Kinan mengakui bahwa dirinya sempat berpikir yang tidak-tidak terhadap Adrian. “Tentu. Tentu saja boleh. Aku nggak mikir yang aneh-aneh kok.” Kinan terkekeh canggung. Pria itu hanya terkekeh pelan. Ingin
“Wah, gila sih! Dia beneran ngomong begitu?!” Raras berteriak histeris dari seberang panggilan. “Iya, kamu nggak salah denger kok, Ras.”Kinan menghubungi Raras pada malam harinya usai bertemu dengan mantan suaminya dengan Tari. Setelah meninggalkan mereka berdua dengan dramatis, Kinan agaknya cukup puas dengan sedikit mempermalukan mereka. “Tapi tindakan kamu keren banget sih, Nan! Malah harusnya kamu bisa lebih kejam.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. “Jangan, kasihan nanti dia nggak bisa makan.” “Ckckck! Kamu itu korban, Nan. Jangan terlalu mikirin orang lain lah. Apalagi mereka benar-benar jahat sama kamu. Jangan kasihani orang yang seperti itu.” Raras berdecak. Selanjutnya ia mendengar wanita itu menceramahi dirinya yang terlalu mentingin perasaan orang lain. “Emang aku seperti itu ya?” “Bukan lagi. Mulai sekarang, kamu harus bisa cuek sama orang.” Lama Kinan tertegun. Membiarkan benaknya bekerja keras untuk memvalidasi perkataan Raras. Di tengah itu, denting notifi
Kinan menjabat tangan seorang wanita berambut pendek dan kacamata yang bertengger di wajahnya yang bulat. “Mohon bantuannya Bu Eliza. Saya nggak butuh harta gono-gini, yang penting saya ingin prosesnya bisa selesai dengan cepat.” Wanita bernama Eliza itu mengangguk mantap. “Beruntung, Ibu Kinan belum ada anak. Jadi tidak ada kasus gugatan hak asuh anak yang mungkin akan memperlambat prosesnya. Saya juga turut prihatin atas apa yang menimpa Ibu Kinan.” Kinan menyunggingkan senyum miris. Jika selama ini ia mendapatkan pandangan iba dari banyak pihak karena belum hamil-hamil juga, justru kini ia mendengar pendapat yang kontradiktif. Sejurus kemudian, Kinan keluar dari ruangan Eliza Wardhana selaku pengacara yang akan mendampingi proses perceraiannya dengan Raga menjadi sebuah langkah nyata yang berhasil ia laksanakan seminggu kemudian. Sebagai orang yang awam, tentu Kinan tidak mengerti alur untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Lagipula, tentu ia juga tidak mempersiapkan pernikaha
Butuh tiga hari untuk Kinan akhirnya bangkit dari keterpurukannya. Tangisannya berhenti di hari ini, menyisakan ruang hampa yang cukup besar di hatinya. Bohong jika Kinan mengatakan bahwa rasa cintanya sudah menguap begitu saja. Ia pernah jatuh hati dengan dalam pada pria yang mencuri hatinya dan pria yang pertama kali membuktikan keseriusannya di depan kedua orang tuanya. Meski pada akhirnya perjuangannya harus dibuang begitu saja. Kehadirannya tak cukup membuat Raga mempercayainya lagi. Sudah cukup, Kinan. Semua tinggal persoalan waktu. Kinan bangkit dari ranjang dan berjalan untuk membuka tirai jendela kamar hotel. Sinar matahari langsung menyergap matanya dan sontak saja langsung memenuhi seluruh ruangan. Seolah menamparnya bahwa hidupnya masih bisa berjalan meski kemarin sedang diterpa kegelapan. Langkah selanjutnya ialah membersihkan diri sekaligus menyegarkan badannya selama tiga hari ini hanya berdiam diri di kamar hotel. Yang ia lakukan hanya tidur dan bangun hanya untu
Tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa ia akan menyeret kopernya keluar dari rumah yang sudah ditempatinya seumur rumah tangganya berjalan bersama Raga Satria, suaminya –kini mantan suaminya dan pernah hidup tentram damai sebelum perusak rumah tangga itu mulai menggerogoti pernikahannya. Di depan pagar rumah, Kinan menolehkan kepala dan menatap sekali lagi rumah yang menjadi saksi bisu pernikahan yang akhirnya harus ia lepaskan. “Mestinya sejak dulu aku menyerah,” gumamnya lirih. “Mestinya aku nggak luluh sama ucapannya,” lanjutnya kemudian sebelum akhirnya berbalik badan dan kembali menyeret kopernya. Hari masih siang dengan sinar matahari yang sudah setinggi ubun-ubun kepalanya. Kinan menegakkan kepalanya meski hal itu menjadi sangat menarik perhatian oleh orang yang melihatnya. Bertepatan dengan itu, sebuah mobil taksi tanpa penumpang terlihat melintas. Kinan dengan cepat melambaikan tangan untuk mencegat taksi tersebut. Kinan buru-buru membuka pintu belakang dan membiarkan Sa
Sudah hampir empat jam Raga juga belum kembali.Kinan menunggu di dalam rumah dengan gelisah. Dirinya melangkah mondar-mandir di tengah rumah dan sesekali mengintip dari jendela.Rentetan pesan yang ia kirimkan kepada suaminya hanya dibalas satu kalimat singkat dan menusuk.Raga: Nanti kita bahas di rumah.Hanya itu. Dari sekian isi pertanyaan mengenai kondisi Tari hingga penjelasan dari apa yang sebenarnya terjadi, pria itu hanya membalas singkat tanpa mengatakan apapun lagi.Lima belas menit kemudian suara mobil yang ia kenali itu akhirnya terdengar. Raga memarkirkan mobilnya di depan rumah, dan melangkahkan kakinya gontai memasuki rumah.Kinan bangkit dari duduk dan menghampiri Raga p