Setelah kejadian itu, perasaannya mulai makin tidak karuan.
Berulang kali ia mengatakan bahwa sikap Raga yang kontradiktif dengan pernyataannya sebelumnya membuat mereka kerap kali dilanda pertikaian kecil.
“Aku hanya spontan, Kinan. Kalaupun itu bukan Tari, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama,” tuturnya pada saat itu.
Tapi Kinan tentu saja tidak mudah langsung percaya. Firasatnya mengatakan hal yang lain. Namun, Kinan tidak bisa semakin mencecar suaminya hanya berdasarkan firasatnya saja. Terlebih mereka sudah beberapa kali berada dalam situasi panas.
“Percaya sama aku, Kinan. Aku khawatir bukan berarti aku masih ada rasa sama dia. Aku hanya spontan dan kejadiannya itu begitu cepat. Kamu harus percaya aku yah,” tutup Raga malam hari itu.
Katanya, apa yang kita takutnya, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan bukan? Meski berat, tapi Kinan mencoba untuk menekan rasa tidak nyaman yang masih bercokol di hatinya. Setengah berharap bahwa ini semua hanya terjadi dalam kepalanya saja.
Namun ternyata, perasaan tak nyaman itu masih bercokol di hatinya sampai berminggu-minggu kemudian. Ditambah, Raga setiap dua minggu sekali ada bisnis trip yang mana mengharuskan pergi ke luar kota bertepatan pada akhir pekan.
Bisnis trip di akhir pekan. Terdengar aneh bagi telinga Kinan yang mana Raga tidak pernah melakukannya sejak dulu.
***
Untuk mengisi kekosongan hari Minggunya tanpa suami. Kinan memutuskan untuk pergi ke luar untuk menghirup udara segar. Dengan harapan ia bisa menepis pikiran negatif yang masih belum bisa ia kendalikan.
Pilihannya jatuh pada sebuah kedai kopi yang letaknya cukup dekat dari rumah. Memesan Vanilla Latte kesukaannya. Membawa sebuah novel di tangannya untuk mengisi waktu luangnya. Sesekali ia hanya melihat orang-orang yang datang lalu lalang.
Di kedai kopi tempatnya ‘menyendiri’ ini, terdapat beberapa anak muda tampak berkutat dengan laptopnya meski hari ini merupakan hari Minggu. Hari dimana seharusnya semua pekerja mendapatkan jatah libur.
Tapi entah kenapa, melihat itu membuat Kinan merasa iri.
Ia memimpikan sebuah jenjang karir yang ingin ia capai dahulu. Adalah bekerja di sebuah kantor yang terletak di sebuah gedung bertingkat. Mengenakan lanyard dan berpakaian bebas ala-ala pekerja kantoran.
Semua itu hampir terjadi ketika ia diterima kerja di sebuah perusahaan bergengsi. Tempat ia bertemu dengan Raga yang saat itu menjadi atasannya. Karena di perusahaan itu tidak diperbolehkan pasangan suami istri berada dalam satu kantor, maka setelah memutuskan menerima pinangan Raga, ia memilih untuk resign.
Meski begitu, Kinan tidak benar-benar menyesali keputusannya. Kalau bukan karena menikah dengan Raga dan menetap di rumah saja, mungkin Kinan tidak tahu kalau dia punya potensi lain dalam dirinya yang sedang berusaha ia kembangkan.
Sebenarnya Raga tidak mempermasalahkan jika Kinan mau mencoba bekerja di perusahaan lain. Namun, karena ia sadar akan prioritasnya setelah menjadi istri, Kinan memutuskan untuk menjadi Istri Rumah Tangga sambil mempersiapkan dirinya agar bisa hamil.
Yang sayangnya hingga di tahun ketiga pernikahannya ini juga belum mendapatkan hasil positif.
Perlahan Kinan menarik napas panjang lalu membuangnya.
Mungkin ini memang sudah menjadi suratan takdirnya.
“Kinan?”
Seseorang menyapanya. Sontak saja membuat Kinan menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang perempuan berpakaian cukup stylish dengan rambut pendek tertata rapi tengah berdiri tak jauh darinya.
“Raras?” Kinan bangkit dari kursi lalu menghampirinya.
Ia mengenali Raras sebagai temannya saat sama-sama bekerja di kantornya yang pertama kali. Kala itu mereka sama-sama anak baru yang diterima dan ditempatkan dalam satu divisi Finance & Accounting.
“Aku tadinya nggak yakin ngeliat kamu disini. Tapi ternyata memang benar kamu.” Raras menyunggingkan senyum manisnya itu memeluk Kinan.
“Kamu apa kabar?” tanya Kiran ramah.
“Aku baik. Kamu bagaimana?”
“Aku… Baik.” Kinan memaksakan senyumannya tanpa ia sadari. Padahal beberapa saat yang lalu ia tengah merindukan masa-masa lajangnya.
“Sendirian?”
“Iya, kalau kamu sendirian juga, sini gabung. Aku kangen sama kamu, Ras. Kita udah lama nggak komunikasian.”
Raras mengulum senyumnya dan setuju untuk bergabung setelah ia memesan minuman.
“Penampilanku cukup banyak berubah, Ras. Masih betah bekerja di kantor yang lama kan?”
“Masih, Nan. Betah nggak betah sih ini juga.” Raras terkekeh pelan. “Kamu sendiri gimana? Apa kegiatanmu sekarang ini?”
“Aku? Ya aku mah gini-gini aja. Di rumah, mengurus suami, beberes rumah. Hanya itu kegiatanku saat ini.” Kinan tersenyum getir.
“Enak dong, di rumah aja sambil nunggu suami pulang. Belakangan ini aku lagi cukup capek di kantor. Jadi pengen dinafkahin aja. Tapi pacar aja belum punya.” Raras terkekeh pelan.
“Ada enaknya. Ada juga nggak enaknya. Kadang aku rindu punya kegiatan di luar.”
“Balik kerja lagi, Nan. Dibolehin kan sama Pak Raga?” Raras menyunggingkan senyum jahil. “Aku sampai lupa kalau kamu itu sekarang istrinya Pak Raga. Atasan kita yang dulu kamu naksir itu.”
Kinan tertawa. Mengenang bagaimana dirinya memang memuja Raga Satria, yang notabenenya adalah atasannya sendiri di kantor. Siapa yang sangka kalau ternyata Raga juga menyimpan rasa yang sama terhadap Kinan?
“Aku juga sempat lupa kalau kamu masih anak buahnya Pak Raga kan?”
Keduanya kini tertawa bersama. Menimbulkan rasa hangat yang mulai menjalar ke dalam tubuhnya. Melupakan sejenak rasa gelisah yang belakangan ini mendominasi dirinya.
“Iya, dia nggak melarang. Hanya saja aku masih punya beban moral karena belum hamil juga,” lanjutnya kemudian.
Lama Raras terdiam. Menatap Kinan dengan sorot mata sendu.
“Nggak apa-apa. Belum waktunya saja mungkin. Yang sabar ya, Nan. Namanya juga ujian hidup. Mau yang menikah dan yang belum menikah juga pasti akan selalu dihadapkan dengan ujian. Semoga penantianmu datang di waktu yang tepat.”
“Makasih ya, Ras. Kata-katamu sejak dulu itu selalu buatku lebih baik. Kamu cocok jadi motivator.”
Raras tergelak. “Kan sudah aku bilang, aku capek kerja. Pengennya dinafkahin. Ngomong-ngomong, kamu kenapa sendirian banget di hari Minggu? Kemana suaminya?”
“Iya nih. Dia lagi pergi bisnis trip. Jadinya aku menghabiskan akhir pekan sendirian lagi.”
“Bisnis trip? Lagi?” Raras mengerutkan keningnya. Senyumnya perlahan memudar.
“Iya. Belakangan ini Mas Raga lagi sering keluar kota. Seminar dan ada beberapa kali bisnis trip.”
Raut wajah Raras seketika berubah. Tangannya dengan kikuk membetulkan beberapa bagian yang tidak perlu.
“Kamu kenapa, Ras?”
Sontak Raras menggeleng cepat. Hal itu menimbulkan kerutan dalam kening Kinan.
“Sepertinya kantor lagi cukup sibuk ya? Kemarin Mas Raga ada seminar, bisnis trip, terus outing kantor minggu lalu. Ceritain dong, seru gak sih outingnya? Ah aku pengen liburan tapi Mas Raga selalu sibuk.”
Mendengar hal itu, Raras mengerjapkan matanya dan menatap lama Kinan dengan kehati-hatian. Tubuhnya menegang.
“Kinan, hubungan kalian sedang baik-baik saja kan?”
“Baik kok. Cuma akunya lagi sering ditinggal aja.” Sebuah senyuman terbalik melekuk di bibirnya.
Tak lama kemudian, kopi pesanan Raras datang. Satu cup besar Americano langsung ia teguk hingga menyisakan setengahnya.
“Kamu baik-baik saja, kan Ras?” tanya Kinan dengan nada suara khawatir melihat Raras yang kini sudah pucat pasi.
Sementara di hadapannya, Raras menarik napas panjang lalu kemudian menghembuskannya perlahan.
“Kinan,” ujar Raras. “Ada yang ingin aku katakan. Dengarkan baik-baik ya.”
***
Kinan berjalan keluar kedai kopi dengan langkah yang sudah teramat sangat berat. Telinganya seakan terus mendengungkan kalimat Raras yang membuatnya tidak mampu merespon apa-apa.
Jika berbulan-bulan yang lalu, ia berusaha untuk membenarkan firasatnya yang sudah tidak karuan, justru sekarang ia berharap bahwa apa yang didengarnya itu hanyalah kebohongan belaka.
‘Jadi selama ini tidak ada seminar, bisnis trip dan bahkan outing kantor?’ bisiknya pada diri sendiri.
Langkahnya terhenti di sebuah jalan setapak yang dikhususkan pejalan kaki itu hingga membuat beberapa orang di belakangnya mengeluhkan tindakannya. Bahkan ada yang menggerutu terlalu keras.
Namun, Kinan tidak peduli.
Rasa sesak mulai memenuhi paru-parunya. Megap-megap Kinan mencari sumber udara padahal ia tengah berada di udara terbuka.
‘Lalu kemana Mas Raga sebenarnya pergi?’ jeritnya dari dalam hati.
Kinan mengeluarkan ponselnya dan mencoba untuk menghubungi suaminya. Dering panjang sambungan seolah tak berujung itu semakin membuatnya frustasi.
Dengan gerakan yang begitu cepat dan tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, Kinan melompat ke jalan raya, bermaksud untuk menyebrang ke sebuah halte bus namun ternyata langkahnya yang terlalu terburu-buru itu membuat kendaraan bermotor yang tengah melintas tak sempat menarik tuas rem.
Tabrakan pun tak terelakan diiringi dengan teriakan histeris dari orang sekitar yang menyaksikan kejadian itu dengan begitu cepat. Beberapa orang sudah mulai mengerubungi dirinya dan pemotor yang juga sudah tersungkur di jalan beraspal sama seperti dirinya.
Rintihan kesakitan keluar dari mulutnya. Namun, Kinan masih berusaha untuk bangkit.
“Bu, Bu. Jangan bangun dulu,” kata suara seorang pria tak jauh darinya.
“Saya nggak apa-apa. Saya… harus mencari suami saya.” Tangannya meraba-raba aspal jalan mencari tas yang sudah terlepas dari genggamannya.
Kinan masih berusaha untuk mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, sedetik kemudian pandangannya perlahan mengabur dan ia tidak ingat apa-apa lagi setelahnya.
***
Selamat membaca dan semoga kalian suka dengan cerita ini. Jangan sungkan untuk tinggalkan jejak dan kritikan yang membangun. Luv!
Nenek Lasmi membuka matanya yang sayu. Dilihatnya langit-langit kamar rumah sakit yang tampak familier satu dengan yang lainnya dengan pandangan yang kosong. Bertanya-tanya apa yang membawanya sampai harus dilarikan ke rumah sakit?Perlahan sekelebat bayangan kejadian terakhir membuatnya sadar. Walaupun, wanita itu hanya mengingat bagian semuanya menjadi gelap setelah mendengar paling mengejutkan.Diliriknya ke samping, terdapat Raga tengah duduk dengan kepala tertunduk sambil memegang tangannya yang lemah.“Raga,” panggil Nenek dengan suaranya yang masih serak dan terdengar lemah.Sontak saja Raga mendongak. “Alhamdulillah, Nenek sudah sadar. Tunggu sebentar ya, Raga panggilin dokter dulu.”“Nenek sudah tidak apa-apa.” Nenek menggelengkan kepalanya.“Diperiksa sama Dokter dulu ya, Nek.” Pria itu pun segera bangkit. Namun, Nenek menggenggam tangan Raga di sisa tenaganya.“Nenek sudah baik-baik saja. Ceritakan saja, apa yang sebenarnya terjadi?” Suaranya masih terdengar lemah.Sementar
Entah sudah berapa kali Kinan menghembuskan napas berat selagi menatap langit kelabu yang menggantung pada sore hari itu.“Seharusnya aku nggak terburu-buru membuka hati kalau ujungnya akan begini,” ujarnya lirih.Di belangannya, Raras ikut menghela napas. Tangannya terulur dan mengelus pelan punggung teman baiknya. Sudah dua hari setelah kejadian itu ia menolak untuk keluar dan bertemu dengan siapapun.Tadinya itu termasuk dengan Raras, tapi karena wanita itu paham betul dengan perubahan gelagat Kinan, maka disinilah sekarang. Tanpa perlu meminta izin, Raras sudah berdiri di depan pintu unit apartemen Kinan dan menolak pergi sebelum wanita itu luluh.“Siapa yang menyangka kalau keluarga bisa bertindak sejauh itu.”Kinan pun menoleh. Hanya menatap tapi tanpa memberikan respon.“Katamu, kalian pernah bertemu waktu masih sama-sama kuliah? Apa saat itu kamu nggak tahu bagaimana latar belakang keluarga Adrian?” kata Raras kemudian.Kinan menggeleng lemas. “Waktu itu kami hanya saling liha
Adrian hanya mampu menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Apa status itu begitu penting bagi Mami?” “Tentu saja! Kamu harus tahu posisimu sebagai siapa? Kamu bukan hanya menikah untuk diri kamu tapi juga penyatuan dua keluarga. Yang paling penting lagi, kamu membawa nama keluarga Raharja. Maka keturunanmu juga akan menyandang nama keluarga itu. Maka anakmu tidak boleh berasal dari sembarang orang!” Sekali lagi, Adrian dibuat terpukau dengan perkataan Mami yang menggebu-gebu sejurus kemudian terlihat napasnya tersengal. “Nggak semua hal yang Mami pikir terbaik adalah yang terbaik,” ujarnya kemudian. Mami mengulas senyum miring. “Mungkin kamu melupakan sesuatu, kamu juga bilang itu saat kamu mempertahankan dia yang melemparkan kotoran di muka kita!” “Semua itu nggak akan terjadi kalau misalkan Mami lebih percaya sama dia.” Rahang Adrian mengeras dan tubuhnya sudah hampir bergetar lantaran menahan gejolak perasaan di dalam tubuhnya.Sementara wanita itu menatap anak
Beberapa jam yang lalu, Adrian sudah tidak sanggup lagi berada dalam ketidakpastian perubahan sikap Kinan yang terlalu drastis.Pesannya yang terakhir tak kunjung dibalas padahal sudah jelas-jelas dibaca oleh sang penerimanya; Kinan.“Ini nggak bisa dibiarkan. Lama-lama aku bisa gila kalau begini terus.”Ia tahu bahwa pasti sedang ada yang terjadi, tapi ia tidak ingin memaksa wanita itu untuk bercerita. Maka Adrian memberikan ruang dan jarak untuknya.“Aku harus menemuinya.”Sejurus kemudian, Adrian sudah berada di kawasan menuju apartemen Kinan dengan membawa bingkisan makanan kesukaannya dengan harapan jika ia datang tanpa memberitahunya, wanita itu akan luluh dan mau menemuinya.Ketika Adrian membelokkan setir kemudi menuju lahan parkir tamu yang persis di depan pintu masuk menuju lobi, ia dikejutkan dengan seseorang yang terasa sangat ia kenal tampak baru keluar.Seorang wanita paruh baya yang mengenakan dress sebatas betis berwarna hijau emerald lengkap dengan tas jinjing berwarna
Setelah kelahiran putri kecil mereka, rumah menjadi terasa lebih hidup. Para tetangga juga turut datang untuk menjenguk Tari dan Tarra yang menjadi bintang utama pada hari itu. “Tumben, biasanya anak perempuan itu mirip sama bapaknya banget tapi Tarra itu malah mirip ibunya ya?” ujar salah satu tetangga yang mengamati Tarra tertidur dari krib yang diberikan kelambu. “Katanya kalau anak perempuan itu harus mirip dengan bapaknya, begitu juga dengan laki-laki harus mirip dengan ibunya. Pokoknya selang-seling begitu deh. Karena kalau nggak salah satunya ada yang kalah,” kata salah satu tetangga yang usianya lebih tua dan terkenal dengan mitos-mitos yang berkembang dari zaman terdahulu. “Ah, ibu-ibu ini. Itu berarti gen ibunya lebih dominan. Apa-apa jangan dikaitkan dengan mitos,” timpal salah satu tetangga lainnya.Nenek Lasmi lalu muncul dari dapur membawa nampan berisi aneka macam kue basah untuk disuguhkan. “Tarra itu mirip kakeknya. Ayahnya Raga waktu masih kecil,” tukas Nenek Lasm
Sehari sebelumnya … Cukup lama Kinan memandangi layar ponsel yang berisi pesan singkat dari wanita paruh baya yang ia temui siang tadi. Kami berencana untuk membuat makan malam perpisahan melepas Liara kembali ke Melbourne. Kalau kamu tidak keberatan, Adrian pasti akan senang sekali melihat kehadiranmu. “Sebenarnya apa maksud dari ini semua?” gumamnya pelan. Tak mampu merespon pesan singkat itu, ia menaruh kembali ponsel ke atas meja nakas. Kinan menghembuskan napas berat. Pertemuannya yang tidak disengaja siang tadi masih membuatnya tak menyangka. Bahwa ia bertemu dengan Retno Wulandari? Mami-nya Adrian? Wanita itu mengatakan bahwa Adrian sudah bercerita cukup banyak tentang dirinya. “Bahkan kami saja belum mengobrol sampai pada tahap itu.” Kinan mengerutkan keningnya dalam. Kepalanya sedang berpikir keras, melawan gejolak hatinya yang merasakan ada sesuatu yang mengganjal. “Kenapa Mas Adrian tidak pernah cerita ya?” Kinan kembali menoleh ke ponsel yang sunyi senyap. Terakh