Share

7. Harga Diri

Author: nanderstory
last update Last Updated: 2025-04-02 14:48:04

Kecurigaan yang Kinan rasakan selama hampir sebulan terakhir perlahan mulai luntur setelah Raga akhirnya mulai sedikit terbuka dengan mengajaknya pulang menemui Nenek Lasmi setelah urusan seminarnya selesai. 

“Assalamualaikum.” Kinan mengucapkan salam seraya melangkahkan kaki di jalan setapak menuju pintu masuk. 

“Waalaikumsalam.” Seorang wanita berambut panjang yang digelung cepol muncul dari dalam rumah Nenek Lasmi. 

Seketika saja langkah Kinan terhenti. Matanya menatap penampilan Tari yang mengenakan baju terusan khas rumahan berwarna hijau muda bermotif bunga dan dedaunan. Keningnya mengerut dan benaknya sudah dipenuhi satu pertanyaan besar. 

Kenapa Tari sudah berkunjung sepagi ini dengan pakaian yang lebih pantas disebut baju tidur itu? 

“Halo Kinan,” sapaan Tari dengan suara yang terlalu kentara dibuat-buat itu menyadarkannya dari lamunan.

Kinan menyunggingkan senyum terpaksa. “Tari? Sudah berkunjung sepagi ini?” 

Bukannya menjawab, wanita itu hanya menyunggingkan senyum penuh makna sebelum akhirnya menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah. 

“Nenek ada di dalam.” 

Dari tempatnya berdiri, Kinan bisa melihat bagaimana Tari mencuri pandang ke arah suaminya sebelum akhirnya berbalik badan memasuki rumah. Sementara di sebelahnya, Raga tampak bergeming tak nyaman. Hal itu tentu tak luput dari perhatian Kinan. 

Semilir perasaan aneh mulai memasuki relung jiwanya. Perasaan was-was yang pernah ia kenali sejak pertemuannya dengan Tari kini kembali muncul. 

Dengan langkah yang berat, Kinan menyeret kakinya memasuki rumah dan mendapati Sang Nenek sedang duduk di depan televisi sambil menikmati kue basah dan teh manis hangat sebagai menu sarapannya. 

Pergelangan kaki Nenek Lasmi terlihat masih di balut dengan perban dan masih tampak cukup bengkak. Di sebelahnya, ada tongkat yang tersampir di sisi kursi.

“Nenek…” Kinan menghampiri Nenek Lasmi. Mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangan wanita itu. “Maafin Kinan baru sempat datang ke sini.” 

“Iya, nggak apa-apa kok,” jawab Nenek Lasmi datar. 

“Bagaimana dengan kakinya, Nek? Apa sudah lebih baik?” 

“Alhamdulillah sudah lebih baik. Berkat bantuan Tari, bengkak di kaki juga udah sembuh. Seharusnya kontrol bulan depan udah boleh lepas perban.” 

Kinan melirik Tari yang duduk tak jauh dari Nenek hanya menyunggingkan senyum simpul. 

“Makasih ya, Tari udah mau repot-repot nemenin Nenek bolak-balik ke rumah.” Kinan memaksakan senyumannya. 

“Sama-sama Kinan, nggak repot sama sekali kok.” 

“Dia memang anak yang baik sampai-sampai mau tinggal bersama wanita tua ini demi memastikan semuanya aman dan berjalan dengan baik.” 

Seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya, sontak saja Kinan menoleh. 

“A-apa maksudnya, Nek? Tari tinggal di sini?” Matanya diam-diam melirik Tari yang masih bergeming di tempatnya duduk. 

“Iya. Tari tinggal disini. Apa Raga tidak memberitahumu?” 

Kinan mengerjapkan matanya. Keningnya berkerut. Informasi ini malah baru ia dengar dari mulut Nenek Lasmi. Bukan dari suaminya. Sontak saja ia menoleh ke arah Raga yang sedang duduk di kursi ruang tamu yang juga sedang memandangnya dengan wajah yang bisa dibilang pucat pasi.

Hati Kinan mencelos. 

Pandangannya kembali berpaling ke arah Nenek Lasmi dan juga Tari yang tengah menatapnya dengan sorot mata penuh keingintahuan. Ujung matanya menangkap bahwa Tari tengah menyunggingkan senyum miring yang disembunyikan dengan gerakan membetulkan rambutnya yang sengaja ia urai.  

“Oh, sepertinya Mas Raga pernah bilang tapi mungkin aku nggak ngeuh.” Kinan mengangkat kepalanya memalsukan senyumannya. 

Tangannya mengepal dari balik punggungnya. Menahan untuk tidak meringis meski hatinya sudah pasti teriris. 

Ia sengaja berbohong, demi harga dirinya. Dilihatnya sekali lagi, Raga mematung di tempatnya. 

*** 

Selama ini Kinan selalu merasa bahwa Nenek Lasmi tidak pernah menyukainya. Nenek Lasmi tidak pernah repot-repot bertanya apa makanan kesukaannya, kapan tanggal ulang tahunnya. Sejak awal ia dikenalkan kepada Sang Nenek, Kinan yang selalu berusaha untuk mendekati dan mempelajari apa yang Nenek sukai dan yang tidak ia sukai. 

Raga tidak punya orang tua. Mereka meninggal karena kecelakaan. Hanya Nenek Lasmi lah keluarga yang ia punya. Bahkan para tetangga dan para saudara sampai berkata bahwa Raga adalah anak bungsu Nenek Lasmi. 

Belakangan, Kinan diberitahu bahwa sikap Nenek Lasmi memang cenderung keras, terlebih pada ucapannya yang seringkali membuat orang salah paham. 

Kinan mencoba memaklumi itu semua. Meski ia dibesarkan di keluarga dengan tutur kata yang lembut. Tapi demi rasa cintanya kepada Raga dan keinginannya untuk menjadi bagian dari keluarga, Kinan menepis semua rasa itu. 

Namun, semakin kesini, Nenek Lasmi seolah memperlihatkan rasa ketidaksukaannya. Terlebih ketika Kinan belum juga berhasil hamil. 

Itu semua diperparah dengan kehadiran Astari, wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidup Raga dan satu-satunya wanita yang Nenek Lasmi restui sebagai istrinya Raga. Meski pada akhirnya hubungan mereka kandas dan keduanya menjalani peran masing-masing dalam hidupnya. 

Takdir berkata lain, pertemuan mereka kembali seolah membuat Nenek Lasmi kembali mengungkit masa lalu dan tidak peduli dengan perasaan Kinan. 

Seperti hari ini, Nenek Lasmi secara terang-terangan menginginkan Tari memasak untuk makan siang mereka bersama. 

Dengan hati yang teriris perih, Kinan melipir ke halaman belakang Nenek. Duduk di sebuah kursi kayu sederhana sambil memandangi lanskap pegunungan dan sawah yang hijau. 

Langit berubah menjadi kelabu, pertanda mungkin sebentar lagi akan hujan. Semilir angin menerpa kulitnya. 

“Kenapa kamu sendirian disini?” Raga muncul dari dalam rumah. 

Kinan tidak mengalihkan pandangannya. Membiarkan Raga akhirnya duduk di sebelahnya. 

“Aku tahu kamu pasti marah sama aku,” lanjut pria itu lagi. Seolah sadar akan kesalahannya. 

Lagi. Kinan memilih untuk tidak memberikan respon. 

“Kinan… Sayang…,” panggil Raga bernada lembut. 

“Kenapa kamu nggak cerita kalau ternyata Tari sudah tinggal di rumah bersama Nenek?” Kinan akhirnya membuka suara. Nada suaranya datar tapi kalimatnya penuh dengan penekanan. 

Raga memberikan anggukan lemah. 

Kinan menarik napas panjang lalu menghembuskannya keras.

“Bukan maksudku nggak memberitahumu.” 

“Lalu?” 

“Aku hanya nggak menyangka kalau permintaan Nenek disetujui oleh Tari.” Raga menundukkan kepalanya. Nada suaranya melemah. 

“Itu berarti pembicaraan itu pernah ada.” Kinan menarik kesimpulan. “Bukan sekali dua kali, kamu nggak terbuka sama aku, Mas.”

“Tapi aku kan nggak berbohong apapun sama kamu.” 

“Dengan kamu nggak terbuka soal ini, itu sama aja dengan berbohong,” jawab Kinan ketus. 

“Bukan begitu, Sayang. Aku hanya merasa hal ini tidak ada hubungannya dengan kita. Toh, keputusan Tari untuk tinggal bersama Nenek, bukan sesuatu yang merugikan kita kan?” 

Kinan sontak menoleh. Mengerjapkan matanya. Seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya. 

“Aku pikir kamu sadar kalau aku tidak nyaman.” 

Perlahan Raga meraih tangan istrinya dan membelainya lembut. “Kenapa kamu harus merasa tidak nyaman? Menurutku ini adalah win-win solution. Nenek ada yang menemani, kita jadi tidak usah khawatir.” 

“Karena dia adalah mantan pacar kamu,” jawab Kinan setengah berbisik. “Awalnya aku mencoba untuk tidak terlalu mikirin. Tapi entah kenapa hati aku tetap merasa tidak tenang.” 

Raga tercenung. Yang ia lakukan hanyalah menatap istrinya dengan sorot mata yang lain. 

“Aku dan dia hanya pernah menjalani kehidupan di masa lalu. Sekarang aku sudah punya kamu. Dia juga sudah punya jalan hidupnya sendiri,” lanjut Raga. Nada suaranya sedikit bergetar dan Kinan tidak menyadari hal itu. 

Kepalanya masih tertunduk. Masih bergumul dengan perasaannya sendiri. 

Melihat itu, Raga menarik istrinya ke dalam pelukannya. Membelai lembut punggung Kinan hingga wanita itu sedikit merasa lebih baik. 

“Sudah, jangan terlalu dipikirin. Semuanya akan baik-baik saja. Sebentar lagi kan kamu ulang tahun, kamu mau kado apa?” Raga mengalihkan pembicaraan. 

“Entahlah, Mas. Aku nggak mengharapkan kado lain selain kehadiran anak di dalam rahimku.” 

“Pasti. Suatu saat nanti kamu pasti segera hamil. Aku yakin itu.” Raga menjawab mantap. “Kalau begitu, kita makan malam di luar saja bagaimana? Perayaan kecil-kecilan tapi juga tetap spesial? Katamu mau coba fine dining?” 

Mau tidak mau, Kinan tersenyum mendengarnya. “Boleh juga. Tapi ini bukan sogokan kan?” 

Raga tergelak lalu terkekeh pelan. “Anggaplah ini sogokan. Aku nggak apa-apa kok. Akan rela melakukan itu demi melihatmu tersenyum.” 

“Gombalnya…” 

Mereka berdua tertawa bersama selama beberapa saat sebelum kemudian disadarkan dengan sebuah benda yang jatuh diiringi dengan suara rintihan menahan sakit. 

Baik Raga maupun Kinan sontak menoleh ke belakang dan mendapati Tari sedang mengaduh kesakitan. Di tanah sudah berserakan cangkir dan teko yang sudah pecah. 

“Tari!” Raga bangkit dan langsung menghampiri wanita itu. Menggapai tangannya yang sudah memerah akibat tersiram air panas. 

“Aduh. Panas.” 

“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya. Nada suaranya menyiratkan kekhawatiran.  

Dari tempatnya berdiri, Kinan hanya mampu menatap kejadian yang tepat berada di depannya dengan sorot mata kebingungan. 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibalas Dengan Dusta    53. Sulit

    Nenek Lasmi membuka matanya yang sayu. Dilihatnya langit-langit kamar rumah sakit yang tampak familier satu dengan yang lainnya dengan pandangan yang kosong. Bertanya-tanya apa yang membawanya sampai harus dilarikan ke rumah sakit?Perlahan sekelebat bayangan kejadian terakhir membuatnya sadar. Walaupun, wanita itu hanya mengingat bagian semuanya menjadi gelap setelah mendengar paling mengejutkan.Diliriknya ke samping, terdapat Raga tengah duduk dengan kepala tertunduk sambil memegang tangannya yang lemah.“Raga,” panggil Nenek dengan suaranya yang masih serak dan terdengar lemah.Sontak saja Raga mendongak. “Alhamdulillah, Nenek sudah sadar. Tunggu sebentar ya, Raga panggilin dokter dulu.”“Nenek sudah tidak apa-apa.” Nenek menggelengkan kepalanya.“Diperiksa sama Dokter dulu ya, Nek.” Pria itu pun segera bangkit. Namun, Nenek menggenggam tangan Raga di sisa tenaganya.“Nenek sudah baik-baik saja. Ceritakan saja, apa yang sebenarnya terjadi?” Suaranya masih terdengar lemah.Sementar

  • Dibalas Dengan Dusta    52. Pilihan

    Entah sudah berapa kali Kinan menghembuskan napas berat selagi menatap langit kelabu yang menggantung pada sore hari itu.“Seharusnya aku nggak terburu-buru membuka hati kalau ujungnya akan begini,” ujarnya lirih.Di belangannya, Raras ikut menghela napas. Tangannya terulur dan mengelus pelan punggung teman baiknya. Sudah dua hari setelah kejadian itu ia menolak untuk keluar dan bertemu dengan siapapun.Tadinya itu termasuk dengan Raras, tapi karena wanita itu paham betul dengan perubahan gelagat Kinan, maka disinilah sekarang. Tanpa perlu meminta izin, Raras sudah berdiri di depan pintu unit apartemen Kinan dan menolak pergi sebelum wanita itu luluh.“Siapa yang menyangka kalau keluarga bisa bertindak sejauh itu.”Kinan pun menoleh. Hanya menatap tapi tanpa memberikan respon.“Katamu, kalian pernah bertemu waktu masih sama-sama kuliah? Apa saat itu kamu nggak tahu bagaimana latar belakang keluarga Adrian?” kata Raras kemudian.Kinan menggeleng lemas. “Waktu itu kami hanya saling liha

  • Dibalas Dengan Dusta    51. Terkuaknya Sebuah Kebenaran

    Adrian hanya mampu menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Apa status itu begitu penting bagi Mami?” “Tentu saja! Kamu harus tahu posisimu sebagai siapa? Kamu bukan hanya menikah untuk diri kamu tapi juga penyatuan dua keluarga. Yang paling penting lagi, kamu membawa nama keluarga Raharja. Maka keturunanmu juga akan menyandang nama keluarga itu. Maka anakmu tidak boleh berasal dari sembarang orang!” Sekali lagi, Adrian dibuat terpukau dengan perkataan Mami yang menggebu-gebu sejurus kemudian terlihat napasnya tersengal. “Nggak semua hal yang Mami pikir terbaik adalah yang terbaik,” ujarnya kemudian. Mami mengulas senyum miring. “Mungkin kamu melupakan sesuatu, kamu juga bilang itu saat kamu mempertahankan dia yang melemparkan kotoran di muka kita!” “Semua itu nggak akan terjadi kalau misalkan Mami lebih percaya sama dia.” Rahang Adrian mengeras dan tubuhnya sudah hampir bergetar lantaran menahan gejolak perasaan di dalam tubuhnya.Sementara wanita itu menatap anak

  • Dibalas Dengan Dusta    50. Beri Sedikit Waktu

    Beberapa jam yang lalu, Adrian sudah tidak sanggup lagi berada dalam ketidakpastian perubahan sikap Kinan yang terlalu drastis.Pesannya yang terakhir tak kunjung dibalas padahal sudah jelas-jelas dibaca oleh sang penerimanya; Kinan.“Ini nggak bisa dibiarkan. Lama-lama aku bisa gila kalau begini terus.”Ia tahu bahwa pasti sedang ada yang terjadi, tapi ia tidak ingin memaksa wanita itu untuk bercerita. Maka Adrian memberikan ruang dan jarak untuknya.“Aku harus menemuinya.”Sejurus kemudian, Adrian sudah berada di kawasan menuju apartemen Kinan dengan membawa bingkisan makanan kesukaannya dengan harapan jika ia datang tanpa memberitahunya, wanita itu akan luluh dan mau menemuinya.Ketika Adrian membelokkan setir kemudi menuju lahan parkir tamu yang persis di depan pintu masuk menuju lobi, ia dikejutkan dengan seseorang yang terasa sangat ia kenal tampak baru keluar.Seorang wanita paruh baya yang mengenakan dress sebatas betis berwarna hijau emerald lengkap dengan tas jinjing berwarna

  • Dibalas Dengan Dusta    49. Tak Gentar

    Setelah kelahiran putri kecil mereka, rumah menjadi terasa lebih hidup. Para tetangga juga turut datang untuk menjenguk Tari dan Tarra yang menjadi bintang utama pada hari itu. “Tumben, biasanya anak perempuan itu mirip sama bapaknya banget tapi Tarra itu malah mirip ibunya ya?” ujar salah satu tetangga yang mengamati Tarra tertidur dari krib yang diberikan kelambu. “Katanya kalau anak perempuan itu harus mirip dengan bapaknya, begitu juga dengan laki-laki harus mirip dengan ibunya. Pokoknya selang-seling begitu deh. Karena kalau nggak salah satunya ada yang kalah,” kata salah satu tetangga yang usianya lebih tua dan terkenal dengan mitos-mitos yang berkembang dari zaman terdahulu. “Ah, ibu-ibu ini. Itu berarti gen ibunya lebih dominan. Apa-apa jangan dikaitkan dengan mitos,” timpal salah satu tetangga lainnya.Nenek Lasmi lalu muncul dari dapur membawa nampan berisi aneka macam kue basah untuk disuguhkan. “Tarra itu mirip kakeknya. Ayahnya Raga waktu masih kecil,” tukas Nenek Lasm

  • Dibalas Dengan Dusta    48. Ada yang Salah

    Sehari sebelumnya … Cukup lama Kinan memandangi layar ponsel yang berisi pesan singkat dari wanita paruh baya yang ia temui siang tadi. Kami berencana untuk membuat makan malam perpisahan melepas Liara kembali ke Melbourne. Kalau kamu tidak keberatan, Adrian pasti akan senang sekali melihat kehadiranmu. “Sebenarnya apa maksud dari ini semua?” gumamnya pelan. Tak mampu merespon pesan singkat itu, ia menaruh kembali ponsel ke atas meja nakas. Kinan menghembuskan napas berat. Pertemuannya yang tidak disengaja siang tadi masih membuatnya tak menyangka. Bahwa ia bertemu dengan Retno Wulandari? Mami-nya Adrian? Wanita itu mengatakan bahwa Adrian sudah bercerita cukup banyak tentang dirinya. “Bahkan kami saja belum mengobrol sampai pada tahap itu.” Kinan mengerutkan keningnya dalam. Kepalanya sedang berpikir keras, melawan gejolak hatinya yang merasakan ada sesuatu yang mengganjal. “Kenapa Mas Adrian tidak pernah cerita ya?” Kinan kembali menoleh ke ponsel yang sunyi senyap. Terakh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status