Kecurigaan yang Kinan rasakan selama hampir sebulan terakhir perlahan mulai luntur setelah Raga akhirnya mulai sedikit terbuka dengan mengajaknya pulang menemui Nenek Lasmi setelah urusan seminarnya selesai.
“Assalamualaikum.” Kinan mengucapkan salam seraya melangkahkan kaki di jalan setapak menuju pintu masuk.
“Waalaikumsalam.” Seorang wanita berambut panjang yang digelung cepol muncul dari dalam rumah Nenek Lasmi.
Seketika saja langkah Kinan terhenti. Matanya menatap penampilan Tari yang mengenakan baju terusan khas rumahan berwarna hijau muda bermotif bunga dan dedaunan. Keningnya mengerut dan benaknya sudah dipenuhi satu pertanyaan besar.
Kenapa Tari sudah berkunjung sepagi ini dengan pakaian yang lebih pantas disebut baju tidur itu?
“Halo Kinan,” sapaan Tari dengan suara yang terlalu kentara dibuat-buat itu menyadarkannya dari lamunan.
Kinan menyunggingkan senyum terpaksa. “Tari? Sudah berkunjung sepagi ini?”
Bukannya menjawab, wanita itu hanya menyunggingkan senyum penuh makna sebelum akhirnya menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumah.
“Nenek ada di dalam.”
Dari tempatnya berdiri, Kinan bisa melihat bagaimana Tari mencuri pandang ke arah suaminya sebelum akhirnya berbalik badan memasuki rumah. Sementara di sebelahnya, Raga tampak bergeming tak nyaman. Hal itu tentu tak luput dari perhatian Kinan.
Semilir perasaan aneh mulai memasuki relung jiwanya. Perasaan was-was yang pernah ia kenali sejak pertemuannya dengan Tari kini kembali muncul.
Dengan langkah yang berat, Kinan menyeret kakinya memasuki rumah dan mendapati Sang Nenek sedang duduk di depan televisi sambil menikmati kue basah dan teh manis hangat sebagai menu sarapannya.
Pergelangan kaki Nenek Lasmi terlihat masih di balut dengan perban dan masih tampak cukup bengkak. Di sebelahnya, ada tongkat yang tersampir di sisi kursi.
“Nenek…” Kinan menghampiri Nenek Lasmi. Mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangan wanita itu. “Maafin Kinan baru sempat datang ke sini.”
“Iya, nggak apa-apa kok,” jawab Nenek Lasmi datar.
“Bagaimana dengan kakinya, Nek? Apa sudah lebih baik?”
“Alhamdulillah sudah lebih baik. Berkat bantuan Tari, bengkak di kaki juga udah sembuh. Seharusnya kontrol bulan depan udah boleh lepas perban.”
Kinan melirik Tari yang duduk tak jauh dari Nenek hanya menyunggingkan senyum simpul.
“Makasih ya, Tari udah mau repot-repot nemenin Nenek bolak-balik ke rumah.” Kinan memaksakan senyumannya.
“Sama-sama Kinan, nggak repot sama sekali kok.”
“Dia memang anak yang baik sampai-sampai mau tinggal bersama wanita tua ini demi memastikan semuanya aman dan berjalan dengan baik.”
Seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya, sontak saja Kinan menoleh.
“A-apa maksudnya, Nek? Tari tinggal di sini?” Matanya diam-diam melirik Tari yang masih bergeming di tempatnya duduk.
“Iya. Tari tinggal disini. Apa Raga tidak memberitahumu?”
Kinan mengerjapkan matanya. Keningnya berkerut. Informasi ini malah baru ia dengar dari mulut Nenek Lasmi. Bukan dari suaminya. Sontak saja ia menoleh ke arah Raga yang sedang duduk di kursi ruang tamu yang juga sedang memandangnya dengan wajah yang bisa dibilang pucat pasi.
Hati Kinan mencelos.
Pandangannya kembali berpaling ke arah Nenek Lasmi dan juga Tari yang tengah menatapnya dengan sorot mata penuh keingintahuan. Ujung matanya menangkap bahwa Tari tengah menyunggingkan senyum miring yang disembunyikan dengan gerakan membetulkan rambutnya yang sengaja ia urai.
“Oh, sepertinya Mas Raga pernah bilang tapi mungkin aku nggak ngeuh.” Kinan mengangkat kepalanya memalsukan senyumannya.
Tangannya mengepal dari balik punggungnya. Menahan untuk tidak meringis meski hatinya sudah pasti teriris.
Ia sengaja berbohong, demi harga dirinya. Dilihatnya sekali lagi, Raga mematung di tempatnya.
***
Selama ini Kinan selalu merasa bahwa Nenek Lasmi tidak pernah menyukainya. Nenek Lasmi tidak pernah repot-repot bertanya apa makanan kesukaannya, kapan tanggal ulang tahunnya. Sejak awal ia dikenalkan kepada Sang Nenek, Kinan yang selalu berusaha untuk mendekati dan mempelajari apa yang Nenek sukai dan yang tidak ia sukai.
Raga tidak punya orang tua. Mereka meninggal karena kecelakaan. Hanya Nenek Lasmi lah keluarga yang ia punya. Bahkan para tetangga dan para saudara sampai berkata bahwa Raga adalah anak bungsu Nenek Lasmi.
Belakangan, Kinan diberitahu bahwa sikap Nenek Lasmi memang cenderung keras, terlebih pada ucapannya yang seringkali membuat orang salah paham.
Kinan mencoba memaklumi itu semua. Meski ia dibesarkan di keluarga dengan tutur kata yang lembut. Tapi demi rasa cintanya kepada Raga dan keinginannya untuk menjadi bagian dari keluarga, Kinan menepis semua rasa itu.
Namun, semakin kesini, Nenek Lasmi seolah memperlihatkan rasa ketidaksukaannya. Terlebih ketika Kinan belum juga berhasil hamil.
Itu semua diperparah dengan kehadiran Astari, wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidup Raga dan satu-satunya wanita yang Nenek Lasmi restui sebagai istrinya Raga. Meski pada akhirnya hubungan mereka kandas dan keduanya menjalani peran masing-masing dalam hidupnya.
Takdir berkata lain, pertemuan mereka kembali seolah membuat Nenek Lasmi kembali mengungkit masa lalu dan tidak peduli dengan perasaan Kinan.
Seperti hari ini, Nenek Lasmi secara terang-terangan menginginkan Tari memasak untuk makan siang mereka bersama.
Dengan hati yang teriris perih, Kinan melipir ke halaman belakang Nenek. Duduk di sebuah kursi kayu sederhana sambil memandangi lanskap pegunungan dan sawah yang hijau.
Langit berubah menjadi kelabu, pertanda mungkin sebentar lagi akan hujan. Semilir angin menerpa kulitnya.
“Kenapa kamu sendirian disini?” Raga muncul dari dalam rumah.
Kinan tidak mengalihkan pandangannya. Membiarkan Raga akhirnya duduk di sebelahnya.
“Aku tahu kamu pasti marah sama aku,” lanjut pria itu lagi. Seolah sadar akan kesalahannya.
Lagi. Kinan memilih untuk tidak memberikan respon.
“Kinan… Sayang…,” panggil Raga bernada lembut.
“Kenapa kamu nggak cerita kalau ternyata Tari sudah tinggal di rumah bersama Nenek?” Kinan akhirnya membuka suara. Nada suaranya datar tapi kalimatnya penuh dengan penekanan.
Raga memberikan anggukan lemah.
Kinan menarik napas panjang lalu menghembuskannya keras.
“Bukan maksudku nggak memberitahumu.”
“Lalu?”
“Aku hanya nggak menyangka kalau permintaan Nenek disetujui oleh Tari.” Raga menundukkan kepalanya. Nada suaranya melemah.
“Itu berarti pembicaraan itu pernah ada.” Kinan menarik kesimpulan. “Bukan sekali dua kali, kamu nggak terbuka sama aku, Mas.”
“Tapi aku kan nggak berbohong apapun sama kamu.”
“Dengan kamu nggak terbuka soal ini, itu sama aja dengan berbohong,” jawab Kinan ketus.
“Bukan begitu, Sayang. Aku hanya merasa hal ini tidak ada hubungannya dengan kita. Toh, keputusan Tari untuk tinggal bersama Nenek, bukan sesuatu yang merugikan kita kan?”
Kinan sontak menoleh. Mengerjapkan matanya. Seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya.
“Aku pikir kamu sadar kalau aku tidak nyaman.”
Perlahan Raga meraih tangan istrinya dan membelainya lembut. “Kenapa kamu harus merasa tidak nyaman? Menurutku ini adalah win-win solution. Nenek ada yang menemani, kita jadi tidak usah khawatir.”
“Karena dia adalah mantan pacar kamu,” jawab Kinan setengah berbisik. “Awalnya aku mencoba untuk tidak terlalu mikirin. Tapi entah kenapa hati aku tetap merasa tidak tenang.”
Raga tercenung. Yang ia lakukan hanyalah menatap istrinya dengan sorot mata yang lain.
“Aku dan dia hanya pernah menjalani kehidupan di masa lalu. Sekarang aku sudah punya kamu. Dia juga sudah punya jalan hidupnya sendiri,” lanjut Raga. Nada suaranya sedikit bergetar dan Kinan tidak menyadari hal itu.
Kepalanya masih tertunduk. Masih bergumul dengan perasaannya sendiri.
Melihat itu, Raga menarik istrinya ke dalam pelukannya. Membelai lembut punggung Kinan hingga wanita itu sedikit merasa lebih baik.
“Sudah, jangan terlalu dipikirin. Semuanya akan baik-baik saja. Sebentar lagi kan kamu ulang tahun, kamu mau kado apa?” Raga mengalihkan pembicaraan.
“Entahlah, Mas. Aku nggak mengharapkan kado lain selain kehadiran anak di dalam rahimku.”
“Pasti. Suatu saat nanti kamu pasti segera hamil. Aku yakin itu.” Raga menjawab mantap. “Kalau begitu, kita makan malam di luar saja bagaimana? Perayaan kecil-kecilan tapi juga tetap spesial? Katamu mau coba fine dining?”
Mau tidak mau, Kinan tersenyum mendengarnya. “Boleh juga. Tapi ini bukan sogokan kan?”
Raga tergelak lalu terkekeh pelan. “Anggaplah ini sogokan. Aku nggak apa-apa kok. Akan rela melakukan itu demi melihatmu tersenyum.”
“Gombalnya…”
Mereka berdua tertawa bersama selama beberapa saat sebelum kemudian disadarkan dengan sebuah benda yang jatuh diiringi dengan suara rintihan menahan sakit.
Baik Raga maupun Kinan sontak menoleh ke belakang dan mendapati Tari sedang mengaduh kesakitan. Di tanah sudah berserakan cangkir dan teko yang sudah pecah.
“Tari!” Raga bangkit dan langsung menghampiri wanita itu. Menggapai tangannya yang sudah memerah akibat tersiram air panas.
“Aduh. Panas.”
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya. Nada suaranya menyiratkan kekhawatiran.
Dari tempatnya berdiri, Kinan hanya mampu menatap kejadian yang tepat berada di depannya dengan sorot mata kebingungan.
***
Kinan melangkahkan kakinya kembali ke kantor Literas dengan totebag yang membawa laptop kemanapun ia pergi. Kedatangannya itu disambut oleh Putri dengan senyuman merekah. “Mbak? Kemana aja? Kok nggak kelihatan dari kemarin?” “Lagi ada urusan aku, Put. Jadi balik kampung,” jawab Kinan santai. Ia dan Putri cukup akrab berkomunikasi via email ataupun telepon baik itu untuk urusan pekerjaan ataupun sedikit merumpi. “Oh, pantesan udah nggak dateng lagi.” Putri manggut-manggut. “Oh ya, Mbak kok nggak bilang kalau sudah kenal sama Pak Adrian?” “Oh, itu.” Kinan mengusap tengkuknya tampak kikuk. “Aku juga baru tahu ketika bertemu langsung.” “Pantesan … kalian terlihat cukup akrab.” Putri menarik kesimpulan. “Pak Adrian juga akrab dengan yang lain kan.” “Kelihatan bedanya kok, Mbak.” Putri mengibaskan tangannya santai. “Kalau sama Mbak Kinan. Beda.” Kinan mengerjap. Ini pasti karena kejadian waktu kemarin saat pria itu menggenggam tanganya dan disaksikan oleh seluruh orang yang ada di r
“Silahkan dinikmati minumannya, Mas.” Kinan tersenyum kecil bermaksud untuk meledek Adrian yang sejak tadi duduk di sofa pada sebuah kafe yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Pilihan yang tidak terlalu sulit mengingat mereka tengah berada di salah satu mall yang cukup besar. “Thank you.” Adrian terkekeh. Tangannya terulur untuk mengambil satu gelas kopi dingin dan meneguknya perlahan, dan Kinan pun melakukan hal yang sama. “So … ada perihal apa yang membawamu kembali kesini?” Kinan menaruh kopinya dan sedikit tertegun. “It’s okay kalau kamu belum mau cerita,” lanjut Adrian lagi setelah memperhatikan perubahan raut wajah Kinan. “Nanti … kalau semuanya sudah beres, aku pasti akan cerita. Sekarang masih terlalu abu-abu. Boleh dibilang, aku juga tidak menyangkanya.” “Is it a good thing?” tanyanya. “Tentu saja. Ini kesempatan emas yang bahkan nggak pernah terbesit sekalipun dalam benakku." Adrian manggut-manggut, benaknya sibuk menebak-nebak apa yang sedang dibicarak
“Terima kasih atas waktunya ya, Kinan.”Kinan menggelengkan kepalanya pelan. “Saya yang berterima kasih karena telah diberikan kepercayaan pada kesempatan ini.”“Takdir yang mempertemukan kita lewat karyamu yang luar biasa, Kinan. Saya yakin tulisanmu akan meledak segera setelah kita umumkan pemberitahuan bahwa bukumu akan segera diterbitkan.”Kinan mengulas senyumnya. “Sejujurnya saya takut dengan ekspektasi pembaca.”“Jangan pernah meragukan kemampuanmu, Kinan. Kami semua yakin tulisanmu akan menjadi the next best seller. Percaya pada editormu.” Hesti mengedipkan sebelah matanya sesaat sebelum kemudian tersenyum.“Tentu aku percaya dengan penilaian Mbak Hesti.”Siapa yang tidak mengenal Hesti Parasayu. Seorang editor yang sudah cukup terkenal dalam memprospek karya dari penulis yang bertalenta dan membuat karyanya masuk ke dalam jajaran hit different karena Hesti tidak berkutat pada satu genre naskah, melainkan hampir ke semua genre yang memiliki nilai lebih menurut sudut pandangnya
“Udah ya, Mi. Aku nggak mau dijebak-jebak kayak gini lagi.”Adrian memasuki ruang kerjanya dengan tangan menggenggam ponsel dan meletakkan di telinga kiri. Tampak serius berbicara dengan Mami via telepon.Tepat pada saat jam makan siang tadi, ibunya tiba-tiba menghubungi untuk menemuinya di salah satu restoran tak jauh dari kantornya berada. Hal yang jarang sekali ibunya lakukan lantaran jarak dari rumah ke kantornya terbilang cukup jauh.Namun, dengan polosnya Adrian mendatangi salah satu restoran yang letaknya di dalam sebuah hotel dan mendapati sang ibunda tengah duduk bersama seorang perempuan muda yang tidak ia kenal.Belum sempat Adrian berbalik badan, ibunya sudah terlanjur menyadari kehadirannya dan memanggilnya. Detik berikutnya, ia tahu bahwa ia sudah sangat amat terlambat untuk kabur.Dan Adrian terjebak dalam skenario ibunya sendiri.Seseorang dari seberang telepon berdecak sebal. “
Sepuluh menit sudah berlalu, pasca Kinan menjelaskan keadaan kepada kedua orang tuanya selama setengah jam penuh. Wajah Sang Ayah tampak mengeras. Pandangannya tak lagi menatap Kinan, putri semata wayangnya. Melainkan menunduk menatap meja kayu yang dilapisi taplak warna putih gading bermotif embos kembang. Kinan menahan napasnya. Ayahnya memang tipikal seorang ayah yang tidak banyak berbicara. Namun, kalau marah pria itu bisa terlihat cukup menyeramkan walaupun hanya dengan diamnya. Dan sekarang, ini bukanlah sesuatu yang baik. “Kenapa kamu menyembunyikan masalah sebesar ini dari kami, Kinan?” Sang Ayah akhirnya membuka suaranya. “Itu karena ….” Kinan menunduk. Tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Karena kesehatan Ayah?” Kinan menggigit bibir bawahnya. “Mestinya kamu katakan yang sejujurnya pada Ayah. Apapun kondisinya.” “Kinan nggak mau Ayah drop lagi. Makanya saat itu Kinan putuskan untuk mengikuti keinginan Mas Raga yang juga sebenarnya tidak ingin berpisah.” Ayah Kinan
Kinan melangkah memasuki sebuah gedung perkantoran yang terletak di atas pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Langkahnya agak tergesa, bulir keringat terlihat di pelipisnya. Ketika pintu lift terbuka tepat di lantai 20, sosok Adrian tepat muncul di depan lift. “Kinan?” tanyanya. Pria itu tampak terkejut. “Bukankah seharusnya kamu habis persidangan?” Kinan menarik napas panjang. “Maaf, Mas Adrian, bisa minta waktunya sebentar?” Adrian mengangguk singkat setelah menyadari raut wajah Kinan yang agak sedikit berbeda dari biasanya. Pria itu kemudian menuntun jalan menuju ruang meeting tempat pertama kali mereka bertemu. “Ada apa? Apa yang terjadi, Kinan?” “Maaf sebelumnya, Mas. Aku sudah mengirimkan dua artikel melalui email untuk finalisasi untuk materi dua minggu depan. Boleh tolong di-cek terlebih dahulu, kalau ada yang kurang bisa aku perbaiki sekarang.” Kinan tampak tergagap. Wanita itu bersusah payah mengeluarkan laptop dari totebag-nya. Namun, Adrian tampak menahannya. “Ki
Setelah pertemuannya dengan Adrian, Kinan tidak menampik bahwa perkataan dari pria itu mengambil andil yang besar bagi cara pandangnya. “Apa kamu yakin dia hanya teman lamamu aja?” Pertanyaan Raras menyadarkannya dari lamunan. Saat ini, mereka sedang kembali bertemu di salah satu coffee shop yang tak jauh dari tempat tinggal Kinan. Raras bersikeras untuk menemui Kinan untuk melanjutkan pembicaraan mereka lewat telepon tempo hari yang lalu. “Yakin, Ras. Kami memang hanya beberapa kali bersinggungan semasa di kampus dulu.” Kinan menyeruput minumannya. Tapi tampaknya Raras tidak langsung mempercayainya. “Tapi kayaknya raut wajahmu agak menunjukkan hal yang lain?” Kinan mengibaskan tangannya. “Jangan mikir yang aneh-aneh, kita memang purely hanya teman.” “Oh. Kirain kalian dulunya pernah terlibat suatu rasa gitu ….” “Nggak lah, pikiran dari mana itu?” Kinan menggeleng kencang. Demi menutupi kegelisahannya, Kinan kembali menyeruput kopi dingin yang terbukti cocok diminum di siang
“Boleh?” Adrian bertanya lagi. Pintu lift masih terbuka lebar dengan tangan Adrian yang menahannya dari tombol di luar. Kinan mengerjap sekali lagi sebelum akhirnya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Pria itu menyunggingkan senyum simpul. Dengan gerakan yang luwes, Adrian melangkah memasuki lift dan berdiri di samping Kinan setelah menekan tombol lantai dasar.Sementara Kinan sendiri masih mematung di tempatnya. “Don’t get me wrong. Aku ingin mengobrol denganmu karena kita sudah lama tidak bertemu. Sebagai teman di kampus, boleh dong?” ujar Adrian. Menolehkan kepalanya, menatap Kinan dengan sorot mata yang ramah. Kinan menoleh dan mata mereka saling bertemu. Dalam sekejap saja, ia bisa merasakan pipinya memerah karena menahan rasa malu. Bukan karena salah tingkah. Tapi Kinan mengakui bahwa dirinya sempat berpikir yang tidak-tidak terhadap Adrian. “Tentu. Tentu saja boleh. Aku nggak mikir yang aneh-aneh kok.” Kinan terkekeh canggung. Pria itu hanya terkekeh pelan. Ingin
“Wah, gila sih! Dia beneran ngomong begitu?!” Raras berteriak histeris dari seberang panggilan. “Iya, kamu nggak salah denger kok, Ras.”Kinan menghubungi Raras pada malam harinya usai bertemu dengan mantan suaminya dengan Tari. Setelah meninggalkan mereka berdua dengan dramatis, Kinan agaknya cukup puas dengan sedikit mempermalukan mereka. “Tapi tindakan kamu keren banget sih, Nan! Malah harusnya kamu bisa lebih kejam.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. “Jangan, kasihan nanti dia nggak bisa makan.” “Ckckck! Kamu itu korban, Nan. Jangan terlalu mikirin orang lain lah. Apalagi mereka benar-benar jahat sama kamu. Jangan kasihani orang yang seperti itu.” Raras berdecak. Selanjutnya ia mendengar wanita itu menceramahi dirinya yang terlalu mentingin perasaan orang lain. “Emang aku seperti itu ya?” “Bukan lagi. Mulai sekarang, kamu harus bisa cuek sama orang.” Lama Kinan tertegun. Membiarkan benaknya bekerja keras untuk memvalidasi perkataan Raras. Di tengah itu, denting notifi