Dekorasi ruangan yang sangat menawan membuat suasana menjadi semakin nyaman. Apalagi di tiap-tiap sudut ruangan tamu dihiasi lukisan yang indah, mampu memanjakan mata.
Suci Roswita yang baru saja keluar dari kamar Deviana langsung menempatkan dirinya tepat di hadapan Helena Caustaria, hanya dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang berukuran minimalis. Di atas meja itu dihiasi dua bunga hidup yang berada di tengah-tengahnya dan juga ada secangkir teh hangat. Sebelum menatap Helena Caustaria, Suci Roswita menyodorkan secangkir teh hangat itu kepada dia, yang memang telah disiapkan oleh Siska, pembantu rumah tangga, seperti biasanya. Namun Helena Caustaria menolak mentah-mentah niat baik Suci Roswita. "Hm..." Suci Roswita tersenyum tipis memandangi tiap-tiap gerakan air yang berada di dalam gelas tersebut, sebelum mengarahkan pandangannya ke arah Helena Caustaria, "Ibu, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya. "Suci, kamu sendiri tahu sudah berapa lama aku tinggal di sini bersama kalian," ucap Helena Caustaria dengan tatapan yang berbinar-binar, seakan tak mampu meluapkan apa yang ingin dikatakannya. Suci Roswita terdiam sesaat. Jelas dia tahu apa yang ingin dibicarakan oleh mertuanya ini. Raut wajahnya seketika berubah sendu dan tak pasti, "Apakah Ibu ingin pulang?" tanyanya. Helena Caustaria terdiam sesaat. Tatapannya yang dalam penuh dengan ketidakpercayaan terpoles menutupi kedua sisi kelopak matanya yang keriput, seakan tak ingin meninggalkan Suci Roswita dan cucunya. Mengingat kebersamaan yang kian lama terukir membuatnya enggan untuk pergi. Walau itu mungkin hanya beberapa tahun, namun dia juga tak mampu membendung rindu yang bergejolak di hatinya. Keheningan tercipta. Keduanya tak ada yang mampu membuka suara. Jelas, tujuh tahun telah terlewatkan bukanlah waktu yang sangat singkat. Berbagai kisah telah terukir bersama dari musim yang terus berganti, baik suka maupun duka telah di lalui, walau kadang kerap menyiksa hati. Suci Roswita jelas tidak bisa menahan mertuanya yang telah dianggapnya sebagai ibunya sendiri untuk tetap tinggal bersama mereka. Mengingat mertuanya juga memiliki keluarga dan juga Suci Roswita tidak menginginkan keluarga besar Caustaria berprasangka buruk terhadapnya, apalagi suaminya telah tiada. Namun Deviana juga pastinya tidak mau membiarkan omanya yang telah mengasuhnya dari kecil pergi meninggalkan dia. Apalagi di saat-saat rindunya berkecumbu. Hal ini membuat Suci Roswita enggan membiarkan mertuanya pergi, namun apalah daya belenggu ini memang sudah seharusnya ditanggung. Perlahan Suci Roswita mengangkat kepalanya. Sorotan matanya yang tajam penuh percaya diri menatap Helena Caustaria dengan sangat serius. Raut wajahnya yang murung dipenuhi belenggu, kini elok dihiasi senyuman yang menawan melebar di kedua sisi bibirnya, "Kapan Ibu akan pulang?" tanyanya. "Seminggu lagi," jawab Helena Caustaria singkat dan tanpa ekspresi, sontak membuat Suci Roswita kaget. Satu minggu dari sekarang merupakan waktu yang sangat singkat. Apalagi untuk pergi ke California perlu persiapan yang matang dan membutuhkan biaya yang banyak. Begitu pula dengan data-data yang memang sangat penting untuk pergi keluar negeri mulai dari paspor, visa, exit permit dan lain sebagainya, mana mungkin dalam kurun waktu seminggu Suci Roswita dapat mengurus semuanya. "Bisakah Ibu menundanya sedikit lebih lama lagi?" tanya Suci Roswita. "Bagaimana, ya," gumam Helena Caustaria mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Bu, kali ini bukan hanya Ibu sendiri yang akan pulang. Aku berniat mengajak Devia menemani Ibu," pinta Suci Roswita sebelum menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Raut wajahnya seketika sendu dan di setiap kedipan matanya berkaca-kaca, teriring keluh serta ungkapan rasa sakit yang masih saja tergores dalam benaknya, "Bu, aku ingin memberitahukan ini semua kepada Deviana dan menunjukan di mana tempat terakhir ayahnya bernaung," sambungnya penuh kesedihan. Tanpa disadari tumpukkan rindu dan goresan luka yang membekas di benak, membuatnya meneteskan air mata. "Suci, kau ini apa-apaan. Sudahlah…, Kau dan Devia tidak boleh mengikuti aku," ucap Helena Caustaria menatap dalam Suci Roswita. "Ibu… Pernahkah kau berfikir dalamnya derita yang kutanggung dari tiap-tiap tanya yang terus dilontarkan oleh Devi. Aku bosan, Bu. Aku lelah. Bu, Devi sangat merindukan Ayah-nya. Sampai kapan kisah yang seharusnya dia tahu, kita tutup darinya," pinta Suci Roswita setelah tersenyum pahit menatap Helena Caustaria. "Jikalau aku bilang tidak boleh. Ya, kalian tidak boleh mengikuti aku," ucap Helena Caustaria acuh tak acuh, sebelum beranjak dari tempat duduknya dan bergegas menuju ke kamarnya tanpa peduli dengan Suci Roswita yang duduk termenung memikirkan nasib buah hatinya. Suci Roswita tersenyum pahit memandangi Helena Caustaria, yang sikapnya mendadak berubah. Tidak seperti dulu. Ketika ada masalah yang menimpa, diselesaikan dengan kepala dingin, namun sangat berbeda dengan sekarang. Helena Caustaria benar-benar mendesak Suci Roswita, padahal dia sendiri tahu bahwa pergi ke California tidak semudah yang dipikirkannya. 'Mungkinkah akan terus begini,' benak Suci Roswita. Suci Roswita benar-benar merasa tersudutkan, digores oleh luka, diburu rindu, yang kian terus menari dalam sepi. Seandainya Suci Roswita tak menutup hatinya, mungkin kini tiada lagi masa yang telah hilang menyisakan duka. Seandainya saja Suci Roswita tidak menyembunyikan kebenaran dari buah hatinya, mungkin kini tiada lagi malam membawa cumbu, pagi tak akan ada tanya yang menunggu sebuah kepastian. ****** Di dalam kamar yang terbilang cukup mewah dengan dihiasi berbagai poster artis-artis kelas atas di dindingnya, Suci Roswita berdiri tertegun menatap sebuah gambar dalam bingkai yang ada di hadapannya. "Mas, semoga tenang kau di sana. Aku segera kembali," gumam Suci Roswita. Gambar lelaki paruh baya yang hidungnya sangat mancung, berkumis tipis dan berjenggot lebat itu tak lain adalah suaminya yang telah lama meninggal. Namun hingga kini dia sendiri tidak pernah berziarah ke makam suaminya, karena inilah Suci Roswita ingin mengikuti Helena Caustaria ke California. Setelah merasa bosan menatap gambaran suaminya, dia bergegas ke meja riasnya yang berada tepat di samping kiri foto berbingkai itu, sebelum menempatkan dirinya duduk di atas kursi menghadap kaca riasnya. Perasaan yang kian lama memburu rindu rasanya sangatlah hina. Indahnya kisah lama yang telah terhapus waktu menyeret Suci Roswita ke dalam duka, walau itu telah berlalu ditutupi rangkaian cerita baru. 'Bagaimanapun aku dan Devia harus mengikutinya,' benak Suci Roswita. Suci Roswita memikirkan berbagai cara, mencari akal agar wanita tua bersolek seksi layaknya biduan itu memperbolehkan mereka mengikutinya. Lagipula tempat dimana Suaminya dikebumikan, Suci Roswita sendiri sama sekali tidak tahu. Oleh karena itu, Dia bersikeras mengikuti mertuanya demi mencari tahu makam suaminya dan juga ingin menjelaskan semua yang telah terjadi kepada Deviana. Suci Roswita menutup rapat kelopak matanya yang masih menyimpan lara. Kepalan tangan yang menyisahkan jari telunjuk terus mengetuk keningnya tanpa henti. Sedangkan raut wajahnya dipenuhi dilema dari rangkain kisah lama yang masih saja membayang-bayangi dirinya, "Andai saja waktu itu belum tiba saatnya aku melahirkan putri kita, Devi, mungkin takdir sekalipun tak mampu memisahkan kita," gumamnya pelan.“Devi, cepat ganti pakaian, ya. Setelah itu langsung kemari untuk sarapan,” pinta Helena Caustaria kepada Deviana yang telah selesai mandi.“Iya, Oma,” jawab Deviana langsung bergegas menuju ke dalam kamarnya.Dia sangat mandiri, tidak seperti anak-anak pada umumnya yang segala keperluannya selalu mengharap pada orangtua mereka. Apa-apa dilakukannya sendiri tanpa bantuan siapapun.Dilain sisi Suci Roswita sangat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga jarang memiliki waktu luang untuk mengurusi anaknya. Ada pembantu, namun Deviana sendiri tidak mau diatur-atur oleh Siska Juleha.Walaupun semua hidangan telah disiapkan oleh Siska Juleha di atas meja makan, Helena Caustaria tidak lupa menunggu cucu kesayangannya untuk menyantap hidangan tersebut bersama.“Siska, Kamu juga langsung sarapan, ya,” ajak Helena Caustaria.“Nanti aja, Bu,” jawab Siska Juleha.“Iya sudahlah,” pinta Helena Caustaria sebelum mengambil piring, “Devi, sini,” sambungannya ketika melihat Deviana yang hendak menuju ke me
( Kring… Kring… Kring… ) Bunyi HandPhone Suci Roswita.“Ah, Siapa sih yang nelpon. Ada keperluan apa sih, masih pagi sudah telfon," gerutu Suci Roswita seraya merapikan tempat tidurnya.Setelah selesai merapikan tempat tidurnya, Suci Roswita langsung mengambil HandPhone yang di letakkannya di atas meja rias untuk melihat siapa yang menelponnya. Namun sebelum diambilnya, Handphonenya berdering lagi.“Ah, nomor baru. Biarkan saja,”cetus Suci Roswita yang tak mau menerima panggilan itu.( Kring… Kring… Kring… ) Lagi-lagi Handphone Suci Roswita berdering lagi. Karena terus saja di teflon, Suci Roswita akhirnya menyerah juga.°°°°°“Halo, ada keperluan apa, sih,” cetus Suci Roswita.“Selamat pagi, Bu. Sebelumnya saya minta maaf karena telah mengganggu Ibu.” “Iya, tidak apa-apa. Ada keperluan apa, ya?“ tanya Suci Roswita.“Bu, saya Lini. Ini ada informasi penting dari pihak Perpajakan,” pinta Lini.Lini Sapta yang biasa disapa Lini adalah Sekretaris dari Suci Roswita.“Lini… Informasi apa?
“Ada apa, Mas?” tanya Suci Roswita yang mulai masuk ke dalam kamar.“Duduklah terlebih dahulu, sayang,” pinta Arttha mulai melepaskan Jas dan jam tangan yang dikenakan sebelum meletakkannya di atas meja.“Mas, kenapa kamu terlihat sangat panik? Ada apa? Apa yang dikatakan Daniel, barusan? Jawab, Mas,” tanya Suci Roswita penuh kekhawatiran. “Ah, masa, sih? Kita makan dulu ya, sayang. Aku sangat lapar. Seharian ini pekerjaanku sangat padat, aku sampai lupa makan.”“Aneh… Katamu, ingin mengatakan sesuatu kepadaku, malah kamu berniat menyembunyikannya dari aku. Ya, sudahlah,” cetus Suci Roswita.“Tuan, Nyonya, makan malamnya telah aku siapkan,” ucap salah seorang wanita seraya mengetuk pintu kamar mereka. Dia tidak lain adalah Siska Juleha, seorang pembantu rumah tangga yang baru tiga minggu bekerja di sini.“Iya, Bi,” jawab Arttha.“Tuan, Nyonya, Nyonya besar sudah menunggu kalian di meja makan untuk makan bersama,” pinta Siska.“Iya, iya. Tunggu sebentar iya, Bi,” jawab Arttha.“Mas, m
Senja yang indah mewarnai langit. Semilir angin berhembus membawa damai. Di atas ayunan bersenandung Suci Roswita duduk menyaksikan senja yang perlahan ditaklukan oleh malam.Kebahagian terukir membungkus anggun raut wajahnya. Senyuman yang menawan menghiasi bibir merahnya. Halusnya usapan tangan di atas perutnya yang diselimuti daster membuat bayi yang ada di dalam kandungannya melonjak kegirangan. Elusan tangan Suci Roswita yang terus menerus membuat buah hatinya tak pernah diam, seakan merasakan kebahagian yang sama seperti apa yang dirasakannya."Ih… Sudah Ibu ingatkan malah makin menjadi-jadi. Sakit perut Ibu, Nak," ucap Suci Roswita setelah tertawa geli, "Apakah kamu ingin segera melihat dunia, Nak? Ibu pun rindu ingin segera melihat wajahmu, memeluk dan menimang kamu sepanjang waktu. Bersabarlah hingga saatnya tiba ya, Nak. Di sini Ibu akan terus melantunkan kidung-kidung doa terbaik untuk dirimu," sambungnya.Lelah hati menunggu. Sembilan bulan lamanya telah terlewati bukanlah
Dekorasi ruangan yang sangat menawan membuat suasana menjadi semakin nyaman. Apalagi di tiap-tiap sudut ruangan tamu dihiasi lukisan yang indah, mampu memanjakan mata.Suci Roswita yang baru saja keluar dari kamar Deviana langsung menempatkan dirinya tepat di hadapan Helena Caustaria, hanya dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang berukuran minimalis. Di atas meja itu dihiasi dua bunga hidup yang berada di tengah-tengahnya dan juga ada secangkir teh hangat.Sebelum menatap Helena Caustaria, Suci Roswita menyodorkan secangkir teh hangat itu kepada dia, yang memang telah disiapkan oleh Siska, pembantu rumah tangga, seperti biasanya. Namun Helena Caustaria menolak mentah-mentah niat baik Suci Roswita."Hm..."Suci Roswita tersenyum tipis memandangi tiap-tiap gerakan air yang berada di dalam gelas tersebut, sebelum mengarahkan pandangannya ke arah Helena Caustaria, "Ibu, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya."Suci, kamu sendiri tahu sudah berapa lama aku tinggal di sini bersama kalian,"
kelap-kelip lampu bersinar begitu gemilang menerangi tiap-tiap sudut kota, membawa secercah harap dalam doa. Malam hadir membawa kerinduan. Dingin menerpa, menyapa ingatan yang telah pudar. Mungkin hanya sembahyanglah mampu menyejukkan hati yang telah rapuh diterpa badai.Perlahan Suci Roswita bangkit dari duduknya sebelum melihat cakrawala sesaat, 'Aku rindu,' batinnya.Raut wajah Suci Roswita sendu, ketika kembali terpaku melihat ayunan tua yang telah di rawatnya selama ini, “Sudah waktunya untuk aku mengatakan ini dengan jelas, daripada menyembunyikan semuanya dari Deviana. Aku tak mampu lagi. Aku tak kuak terus membohonginya,” gumamnya dengan nada lirih seakan mau menangis sejadi-jadinya.Deviana yang baru saja memasuki kamarnya, merasa gundah. Ribuan tanya mencari kepastian tentang sang ayahnya tergambar jelas di raut wajahnya yang anggun. Kerinduannya terus memuncak, menghantam keras tiap-tiap langkahnya yang sayu. Raut wajah yang seanggun malaikat kecil kini kusam diterpa benca