Senja yang indah mewarnai langit. Semilir angin berhembus membawa damai. Di atas ayunan bersenandung Suci Roswita duduk menyaksikan senja yang perlahan ditaklukan oleh malam.
Kebahagian terukir membungkus anggun raut wajahnya. Senyuman yang menawan menghiasi bibir merahnya. Halusnya usapan tangan di atas perutnya yang diselimuti daster membuat bayi yang ada di dalam kandungannya melonjak kegirangan. Elusan tangan Suci Roswita yang terus menerus membuat buah hatinya tak pernah diam, seakan merasakan kebahagian yang sama seperti apa yang dirasakannya. "Ih… Sudah Ibu ingatkan malah makin menjadi-jadi. Sakit perut Ibu, Nak," ucap Suci Roswita setelah tertawa geli, "Apakah kamu ingin segera melihat dunia, Nak? Ibu pun rindu ingin segera melihat wajahmu, memeluk dan menimang kamu sepanjang waktu. Bersabarlah hingga saatnya tiba ya, Nak. Di sini Ibu akan terus melantunkan kidung-kidung doa terbaik untuk dirimu," sambungnya. Lelah hati menunggu. Sembilan bulan lamanya telah terlewati bukanlah hal yang mudah. Penantian yang digilir kesabaran penuh tidak akan sia-sia. Janin kecil hasil buah cinta kini telah menjadi sosok bayi kecil yang mungil akan segera hadir diwarnai tawa dan senyuman yang membuat kehidupan Suci Roswita dan suaminya penuh warna, penuh makna. "Sayang, ngapain kamu di sini?" tanya seorang pemuda yang tersenyum penuh makna menatap Suci Roswita. Pemuda itu tak lain adalah Arttha Caustaria, suaminya. Celana bahan berwarna hitam, kaos putih yang ditutupi dengan jas yang sama serasinya dengan celana yang dikenakan membuat dirinya sangat berwibawa. Apalagi perawakannya yang tinggi serta hidungnya layak orang keturunan Eropa membuat dirinya begitu mempesona di mata Suci Roswita. Dia yang baru saja pulang dari tempat kerjanya tidak langsung bergegas menuju ke dalam rumah mereka untuk mengganti pakaiannya, malah menghampiri Suci Roswita yang berada di taman. Tangan kiri Arttha Caustaria terlipat di depan dadanya. Sedangkan tangan kanannya memegang erat dagunya, "Akhir-akhir ini kamu terlihat sangat cantik sayang," gombalnya setelah menggelengkan kepala pelan. "Mas," tutur Suci Roswita tersipu malu menatap suaminya. Hatinya berbunga-bunga melihat senyuman yang disuguhkan Arttha Caustaria. Lelaki yang kini ada di hadapannya terus membuatnya terkesima dari waktu ke waktu. Gayanya, cara bicaranya dan tindakan yang dia lakukan dianggap oleh Suci Roswita sebagai sesuatu yang sangat istimewa walaupun itu tidak berguna sama sekali. Setahun sudah lamanya mereka hidup bersama, namun cinta yang berlebih melewati batas kadarnya membuat hari-hari Suci Roswita penuh dengan kisah asmara. "Sini, Mas. Duduk di sini," pinta Suci Roswita tersenyum tipis. “Mas, sini,” ucapnya lagi, sembari menunjuk tempat kosong yang berada di samping kirinya dengan raut wajah cemberut, karena Arttha Caustaria tidak mempedulikan dirinya. "Kamu masih seperti dulu ya, tidak mau aku jauh-jauh dari kamu," pinta Arttha Caustaria seraya mencubit pipi Suci Roswita yang mulai memerah, sebelum merangkul erat istri tercintanya. "Kamu tidak malu, Mas?" tanya Suci Roswita yang mulai gugup, dihadapkan pada hangatnya pelukan suami nya. "Hm… Kenapa harus malu?" tanya Arttha Caustaria. "Mas, berhentilah memeluk aku. Lihat, kamu tidak malu sama putri kita," tutur Suci Roswita menunjuk perutnya yang terus di tendang oleh buah hati mereka. "Hm… Hai, Sayang," sapa Arttha Caustaria sembari mengelus-elus perut Suci Roswita dengan penuh cinta. "Ih, duduk sini, Mas. Geli tau, Mas," pinta Suci Roswita seraya mendorong dengan lembut dagu Arttha Caustaria yang menyangga di pundak kirinya. "Lihat sayang tingkah ibumu," pinta Arttha Caustaria seraya mencubit-cubit pipi Heraswati Suci, "Ibumu sangat malu sayang. Padahal dia tidak mau Ayahmu ini jauh-jauh darinya," sambungnya sebelum mencium pipi kiri Suci Roswita. "Mas, kamu…." ucapnya tersipu malu dengan sikap suaminya yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya. Setelah beberapa saat keduanya menghabiskan waktu bersama penuh suka cita, kebersamaan yang indah itu pun berakhir saat suara handphone Arttha Caustaria berdering memotong pembicaraan mereka. "Sayang, sebentar ya. Aku angkat telpon ini dulu," pinta Arttha Caustaria seraya mengambil handphone dari saku celananya. "Siapa Mas?" tanya Suci Roswita yang penasaran. "Ini Daniel, sayang," jawab Arttha menatap tajam layar kaca yang berada di genggamannya, "Sebentar ya, sayang," sambungnya seraya beranjak dari tempat duduknya. Suci Roswita menatap punggung suaminya dengan sangat serius, "Ada apa, sih," gerutunya yang merasa curiga terhadap sikap suaminya yang seakan-akan ingin menghindar darinya. Setelah beberapa saat Arttha Caustaria kembali menghampirinya. Senyuman yang menawan dari waktu ke waktu membuat Heraswati Suci salah tingkah dihadapkan pada pandang yang sangat membawa cumbu. Walau keduanya sudah lama hidup bersama, namun sikap konyol inilah yang membuat Suci Roswita makin tergila-gila dengan pria yang telah menjadi suaminya ini. "Berhentilah memandangku seperti itu," ucap Suci Roswita seraya mendorong wajah Arttha Caustaria. "Memangnya kenapa sayang?" tanya Arttha Caustaria. "Tidak apa-apa," jawab Suci Roswita yang tidak mau mengatakan yang sebenarnya, "Mas, bagaimana keadaan Daniel dan Ayah sekarang?" tanya Suci Roswita. "Mereka baik-baik saja Sayang. Tapi ada hal penting yang ingin aku katakan kepadamu," pinta Arttha Caustaria. "Ada apa, Mas?" tanya Suci Roswita. Arttha Caustaria berjalan perlahan mendekatinya, sebelum meraih pergelangan tangan Heraswati Suci, "Ayo, masuklah terlebih dahulu," pintanya. "Pelan-pelan, Mas. Ada apa, Mas? Kenapa kamu terlihat sangat gelisah. Katakan apa yang terjadi dengan Ayah dan Daniel?" tanya Suci Roswita. "Iya, maaf sayang. Kita bicarakan di dalam saja ya," pinta Arttha Caustaria. ‘Ada apa, sih? Kenapa harus di dalam?’ benak Suci Roswita penuh tanya. “Ya sudah. Ayo, Mas,” ucap Suci Roswita seraya bangkit dari tempat duduknya. Keduanya pun langsung bergegas menuju ke dalam rumah mereka. ***** “Akhirnya rencanaku berhasil juga. Hm… Tapi, masih terlalu dini merayakannya. Setelah ini, butuh beberapa tahun lagi sebelum menjalankan misi yang kedua. Aku sangat tidak tahan hidup seperti ini, tetapi ini juga demi kebaikan,” gumam seorang yang berpakaian serba hitam dan sangat tertutup. Siapapun yang melihatnya, pasti tidak bisa menjelaskan seperti apa orang itu. Apakah dia seorang wanita ataupun pria, masih mendua. Rupanya orang tersebut daritadi mengawasi Suci Roswita dan suaminya dari balik jendela hotel yang berada tepat di samping rumah mereka. Keberadaannya orang tersebut tidak di sadari oleh Suci Roswita dan suaminya, walaupun terbilang cukup dekat. Mungkin kebersamaan keduanya yang selalu dipenuhi cinta membuat mereka tak memperdulikan apa yang sedang terjadi. “Suci… Suci… Nikmati saja alur yang aku buat… Akan aku buat hidupmu menderita perlahan-lahan, hingga pada akhirnya engkau tetap sendiri. Menyendiri dan terpuruk. Jangan salahkan aku, tapi tanyakanlah pada dirimu apa yang telah kamu perbuat. Ha… Ha,” ucap orang itu tertawa puas melihat Suci Roswita dan suaminya yang mulai melangkah masuk ke dalam rumah mereka, sebelum menutup kembali jendela hotel yang ditempatinya.“Devi, cepat ganti pakaian, ya. Setelah itu langsung kemari untuk sarapan,” pinta Helena Caustaria kepada Deviana yang telah selesai mandi.“Iya, Oma,” jawab Deviana langsung bergegas menuju ke dalam kamarnya.Dia sangat mandiri, tidak seperti anak-anak pada umumnya yang segala keperluannya selalu mengharap pada orangtua mereka. Apa-apa dilakukannya sendiri tanpa bantuan siapapun.Dilain sisi Suci Roswita sangat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga jarang memiliki waktu luang untuk mengurusi anaknya. Ada pembantu, namun Deviana sendiri tidak mau diatur-atur oleh Siska Juleha.Walaupun semua hidangan telah disiapkan oleh Siska Juleha di atas meja makan, Helena Caustaria tidak lupa menunggu cucu kesayangannya untuk menyantap hidangan tersebut bersama.“Siska, Kamu juga langsung sarapan, ya,” ajak Helena Caustaria.“Nanti aja, Bu,” jawab Siska Juleha.“Iya sudahlah,” pinta Helena Caustaria sebelum mengambil piring, “Devi, sini,” sambungannya ketika melihat Deviana yang hendak menuju ke me
( Kring… Kring… Kring… ) Bunyi HandPhone Suci Roswita.“Ah, Siapa sih yang nelpon. Ada keperluan apa sih, masih pagi sudah telfon," gerutu Suci Roswita seraya merapikan tempat tidurnya.Setelah selesai merapikan tempat tidurnya, Suci Roswita langsung mengambil HandPhone yang di letakkannya di atas meja rias untuk melihat siapa yang menelponnya. Namun sebelum diambilnya, Handphonenya berdering lagi.“Ah, nomor baru. Biarkan saja,”cetus Suci Roswita yang tak mau menerima panggilan itu.( Kring… Kring… Kring… ) Lagi-lagi Handphone Suci Roswita berdering lagi. Karena terus saja di teflon, Suci Roswita akhirnya menyerah juga.°°°°°“Halo, ada keperluan apa, sih,” cetus Suci Roswita.“Selamat pagi, Bu. Sebelumnya saya minta maaf karena telah mengganggu Ibu.” “Iya, tidak apa-apa. Ada keperluan apa, ya?“ tanya Suci Roswita.“Bu, saya Lini. Ini ada informasi penting dari pihak Perpajakan,” pinta Lini.Lini Sapta yang biasa disapa Lini adalah Sekretaris dari Suci Roswita.“Lini… Informasi apa?
“Ada apa, Mas?” tanya Suci Roswita yang mulai masuk ke dalam kamar.“Duduklah terlebih dahulu, sayang,” pinta Arttha mulai melepaskan Jas dan jam tangan yang dikenakan sebelum meletakkannya di atas meja.“Mas, kenapa kamu terlihat sangat panik? Ada apa? Apa yang dikatakan Daniel, barusan? Jawab, Mas,” tanya Suci Roswita penuh kekhawatiran. “Ah, masa, sih? Kita makan dulu ya, sayang. Aku sangat lapar. Seharian ini pekerjaanku sangat padat, aku sampai lupa makan.”“Aneh… Katamu, ingin mengatakan sesuatu kepadaku, malah kamu berniat menyembunyikannya dari aku. Ya, sudahlah,” cetus Suci Roswita.“Tuan, Nyonya, makan malamnya telah aku siapkan,” ucap salah seorang wanita seraya mengetuk pintu kamar mereka. Dia tidak lain adalah Siska Juleha, seorang pembantu rumah tangga yang baru tiga minggu bekerja di sini.“Iya, Bi,” jawab Arttha.“Tuan, Nyonya, Nyonya besar sudah menunggu kalian di meja makan untuk makan bersama,” pinta Siska.“Iya, iya. Tunggu sebentar iya, Bi,” jawab Arttha.“Mas, m
Senja yang indah mewarnai langit. Semilir angin berhembus membawa damai. Di atas ayunan bersenandung Suci Roswita duduk menyaksikan senja yang perlahan ditaklukan oleh malam.Kebahagian terukir membungkus anggun raut wajahnya. Senyuman yang menawan menghiasi bibir merahnya. Halusnya usapan tangan di atas perutnya yang diselimuti daster membuat bayi yang ada di dalam kandungannya melonjak kegirangan. Elusan tangan Suci Roswita yang terus menerus membuat buah hatinya tak pernah diam, seakan merasakan kebahagian yang sama seperti apa yang dirasakannya."Ih… Sudah Ibu ingatkan malah makin menjadi-jadi. Sakit perut Ibu, Nak," ucap Suci Roswita setelah tertawa geli, "Apakah kamu ingin segera melihat dunia, Nak? Ibu pun rindu ingin segera melihat wajahmu, memeluk dan menimang kamu sepanjang waktu. Bersabarlah hingga saatnya tiba ya, Nak. Di sini Ibu akan terus melantunkan kidung-kidung doa terbaik untuk dirimu," sambungnya.Lelah hati menunggu. Sembilan bulan lamanya telah terlewati bukanlah
Dekorasi ruangan yang sangat menawan membuat suasana menjadi semakin nyaman. Apalagi di tiap-tiap sudut ruangan tamu dihiasi lukisan yang indah, mampu memanjakan mata.Suci Roswita yang baru saja keluar dari kamar Deviana langsung menempatkan dirinya tepat di hadapan Helena Caustaria, hanya dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang berukuran minimalis. Di atas meja itu dihiasi dua bunga hidup yang berada di tengah-tengahnya dan juga ada secangkir teh hangat.Sebelum menatap Helena Caustaria, Suci Roswita menyodorkan secangkir teh hangat itu kepada dia, yang memang telah disiapkan oleh Siska, pembantu rumah tangga, seperti biasanya. Namun Helena Caustaria menolak mentah-mentah niat baik Suci Roswita."Hm..."Suci Roswita tersenyum tipis memandangi tiap-tiap gerakan air yang berada di dalam gelas tersebut, sebelum mengarahkan pandangannya ke arah Helena Caustaria, "Ibu, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya."Suci, kamu sendiri tahu sudah berapa lama aku tinggal di sini bersama kalian,"
kelap-kelip lampu bersinar begitu gemilang menerangi tiap-tiap sudut kota, membawa secercah harap dalam doa. Malam hadir membawa kerinduan. Dingin menerpa, menyapa ingatan yang telah pudar. Mungkin hanya sembahyanglah mampu menyejukkan hati yang telah rapuh diterpa badai.Perlahan Suci Roswita bangkit dari duduknya sebelum melihat cakrawala sesaat, 'Aku rindu,' batinnya.Raut wajah Suci Roswita sendu, ketika kembali terpaku melihat ayunan tua yang telah di rawatnya selama ini, “Sudah waktunya untuk aku mengatakan ini dengan jelas, daripada menyembunyikan semuanya dari Deviana. Aku tak mampu lagi. Aku tak kuak terus membohonginya,” gumamnya dengan nada lirih seakan mau menangis sejadi-jadinya.Deviana yang baru saja memasuki kamarnya, merasa gundah. Ribuan tanya mencari kepastian tentang sang ayahnya tergambar jelas di raut wajahnya yang anggun. Kerinduannya terus memuncak, menghantam keras tiap-tiap langkahnya yang sayu. Raut wajah yang seanggun malaikat kecil kini kusam diterpa benca