Home / Romansa / Dibalik Bayang / 2. Potret tak Bernyawa

Share

2. Potret tak Bernyawa

last update Last Updated: 2025-07-27 16:20:48

kelap-kelip lampu bersinar begitu gemilang menerangi tiap-tiap sudut kota, membawa secercah harap dalam doa. Malam hadir membawa kerinduan. Dingin menerpa, menyapa ingatan yang telah pudar. Mungkin hanya sembahyanglah mampu menyejukkan hati yang telah rapuh diterpa badai.

Perlahan Suci Roswita bangkit dari duduknya sebelum melihat cakrawala sesaat, 'Aku rindu,' batinnya.

Raut wajah Suci Roswita sendu, ketika kembali terpaku melihat ayunan tua yang telah di rawatnya selama ini, “Sudah waktunya untuk aku mengatakan ini dengan jelas, daripada menyembunyikan semuanya dari Deviana. Aku tak mampu lagi. Aku tak kuak terus membohonginya,” gumamnya dengan nada lirih seakan mau menangis sejadi-jadinya.

Deviana yang baru saja memasuki kamarnya, merasa gundah. Ribuan tanya mencari kepastian tentang sang ayahnya tergambar jelas di raut wajahnya yang anggun. Kerinduannya terus memuncak, menghantam keras tiap-tiap langkahnya yang sayu. Raut wajah yang seanggun malaikat kecil kini kusam diterpa bencana, "Kapan Ayah pulang!" jerit Deviana pelan.

Tangan kecil yang selembut salju terkepal erat. Langkah Deviana semakin sayu saja. Di setiap hentakan kakinya teriring keluh. Dia merindu. Merindukan sosok pelindung angkuh. Yang mungkin mampu membawa damai di hati.

Di depan, tepat di samping kanan tempat tidurnya tergantung potret tak bernyawa dari sosok tangguh yang duduk sama rendah menemani ibunya dalam balutan kaca menatap Deviana dengan senyuman penuh makna.

Sebelum melemparkan tubuh mungilnya ke atas tempat tidur, Deviana berdiri sesaat menatap foto itu, "Ini Ayah aku?" tanya Deviana. Tatapannya menyimpan seribu rindu terukir duka yang dalam dan tak pasti. Menitikan sepi yang semakin memburu, mengingat yang menemanunya ketika tidur hanyalah selembar kertas bergambar dalam balutan kaca tanpa pemilik raga.

“Nak, kamu belum tidur?" tanya Suci Roswita, sontak membuat Deviana.

"Ibu," pinta Deviana memejamkan matanya yang indah terpancar lara, menanti jawab yang masih dibungkus tanya dalam benak, "Bukankah Ibu menunggu Ayah?" tanyanya dengan nada ketus.

"Iya," jawab Suci Roswita setelah tersenyum kecil menatap putrinya. Suci Roswita kemudian melangkah perlahan mendekati Deviana, sebelum rangkulan tangan yang lembut penuh kasih membelai sosok kecil seanggun bidadari di matanya. Mengusap air mata yang masih membendung di bawah kelopak mata yang sayu penuh kerinduan, "Nak, tidur, ya. Mungkin belum waktunya Ayahmu kembali," jelas Suci Roswita.

Sedangkan Deviana terpaku diam dalam pelukan ibunya. Walau hatinya masih gundah mencari jawaban pasti tentang Ayahnya.

Selang beberapa saat, terdengar suara hentakan kaki yang keras membawa dendam menelusuri ruang tamu.

"Di mana Suci," gumam salah seorang wanita paruh baya yang bersolek seksi layaknya anak-anak muda jaman sekarang. Walau ayu parasnya terlihat sedikit keriput yang menghiasi kedua sisi kelopak matanya, itu tidak mampu menyeret jiwa mudanya untuk menua.

"Kemana saja dia," pinta wanita paruh baya itu dengan acuh tak acuh, di bawah sorotan mata yang terus mengitari sekitar demi mencari sosok Suci Roswita.

Wanita itu tak lain adalah Helena Cautaria, mertua Suci Roswita. Semenjak anaknya, Almarhum Arttha Caustaria meninggal, dia menghabiskan seluruh waktunya untuk merawat cucunya, Deviana Roswita. Dilain sisi Helena Caustaria tidak memiliki siapa-siapa lagi di Yogyakarta selain anaknya, Almarhum Arttha caustaria. Sedangkan keluarga besarnya kini berada di California.

"Aku harap kau pandai melapangkan dada bila pada masanya kita harus berpisah. Tetapi harus kau tahu, meski hatiku kerap terombang-ambing, namamu tetap terukir dan berdiri kokoh di salah satu sudut kalbuku. Bisikan cinta biar aku yang dengar. Belaianmu yang lembut biar aku yang rasa. Serta rindu ini biar aku yang menanggung bebannya. Berat, tapi inilah jalanku. Kita cukup sampai di sini. Meski tanpa ada kata pisah. Aku melepasmu selamanya. Ratusan hari telah berlalu tanpamu, tanpa tawamu dan tanpa hadirmu pula. Sepi merasuk ke dalam hati di setiap waktu...."

Suci Roswita yang terbaring menyuarakan alunan nada-nada indah dari bait aksara yang tersusun rapi dari novel (Hadir yang bukan Takdir) seketika berhenti, saat mendengar bisingnya suara sayat yang memanggil namanya.

Selain membaca novel untuk mengantar tidur Deviana, Suci Roswita juga sangat senang bila diminta menceritakan dongen oleh putri kecilnya. Apalagi Deviana kini sungguh sangat membutuhkan sosoknya demi melepas rindu yang tak kunjung menemui akhir.

Suci Roswita menatap Deviana yang baru saja terlelap penuh dengan kerumitan yang menjerat tiap-tiap hembusan nafasnya, "Hm... Tidur ya, Nak," gumamnya disertai sebuah kecupan yang mengukir kasih sayang yang dalam mendarat di kening Deviana.

"Suci," sapa Helena Caustaria setelah mendorong pintu kamar Deviana. Tatapannya yang rumit terus teralih secara bergantian memperhatikan kedua sosok yang ada di hadapannya, "Suci, kamu tidak dengar aku memanggilmu?" tanyanya.

"Eh, Ibu," sahut Suci Roswita terperanjat kaget melihat mertuanya, 'Ada apa Ibu sampai mencariku seperti ini?' tanyanya dalam benak, sebab tindakan yang dilakukan oleh Helena Caustaria benar-benar diluar pemikirannya.

Dilain sisi, selama 7 tahun hidup bersama, Helena Caustaria tidak mencarinya seperti ini, walau ada hal-hal penting yang sangat mendesak. Baginya sangat aneh, seorang Helena Caustaria bersikap demikian.

"Maaf, Bu. Aku tidak bisa menyahut kamu karena takut mengganggu tidur Devi," ucap Suci Roswita dengan lirih, setelah melambaikan tangannya untuk mengambil selimut yang teratur rapi di bawah kedua kaki Deviana, sebelum menutupi tubuh kecil putrinya.

"Benarkah," cetus Helena Caustaria acuh tak acuh.

Suci tersenyum tipis di bawah sorotan mata yang membawa sedikit keraguan, "Yakinlah, Bu. Ada apa Ibu memanggil aku?" tanyanya.

Helena Caustaria tersenyum manis. Raut wajahnya terlihat sangat girang di bawah tatapan yang dalam tanpa kedipan mengunci kedua bola mata Suci Roswita, "Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," pintanya.

"Jikalau demikian, mari kita bicarakan di ruang tamu, Bu."

"Baiklah," ucap Helena Caustaria seraya melangkah keluar dari kamar Deviana menuju ke ruang tamu.

Suci Roswita berdiri dalam diam sesaat. Tatapannya yang penuh dengan keraguan tersorot tepat pada punggung Helena Caustaria yang mulai menjauh dari kamar Deviana, 'Tumben… Apa yang ingin Ibu bicarakan?' benaknya penuh tanya.

"Sangat penting, kah,"gumam Suci Roswita setelah menggelengkan kepala tanpa daya.

Tidak seperti biasanya, Ibu mertua Suci Roswita yang selalu santai menghadapi masalah rupanya menyimpan sesuatu, sehingga dia mencari Suci Roswita. Padahal sejak tadi sore, Suci Roswita telah ada di rumah.

"Suci, cepatlah kemari," pinta Helena Caustaria seraya duduk di atas sofa.

"Iya, Bu," jawab Suci Roswita seraya melangkah keluar dari kamar Deviana.

Helena Caustaria tersenyum lebar sebelum menghembuskan napasnya dalam-dalam dengan tatapan yang terus mengitari ruangan tamu seakan mencari sesuatu.

"Aku sudah bosan. Ini waktu yang tepat untuk mengatakan apa yang aku mau," gumam Helena Caustaria setelah mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibalik Bayang   7. Lekuk Tubuh

    “Devi, cepat ganti pakaian, ya. Setelah itu langsung kemari untuk sarapan,” pinta Helena Caustaria kepada Deviana yang telah selesai mandi.“Iya, Oma,” jawab Deviana langsung bergegas menuju ke dalam kamarnya.Dia sangat mandiri, tidak seperti anak-anak pada umumnya yang segala keperluannya selalu mengharap pada orangtua mereka. Apa-apa dilakukannya sendiri tanpa bantuan siapapun.Dilain sisi Suci Roswita sangat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga jarang memiliki waktu luang untuk mengurusi anaknya. Ada pembantu, namun Deviana sendiri tidak mau diatur-atur oleh Siska Juleha.Walaupun semua hidangan telah disiapkan oleh Siska Juleha di atas meja makan, Helena Caustaria tidak lupa menunggu cucu kesayangannya untuk menyantap hidangan tersebut bersama.“Siska, Kamu juga langsung sarapan, ya,” ajak Helena Caustaria.“Nanti aja, Bu,” jawab Siska Juleha.“Iya sudahlah,” pinta Helena Caustaria sebelum mengambil piring, “Devi, sini,” sambungannya ketika melihat Deviana yang hendak menuju ke me

  • Dibalik Bayang   6. Perusahaan

    ( Kring… Kring… Kring… ) Bunyi HandPhone Suci Roswita.“Ah, Siapa sih yang nelpon. Ada keperluan apa sih, masih pagi sudah telfon," gerutu Suci Roswita seraya merapikan tempat tidurnya.Setelah selesai merapikan tempat tidurnya, Suci Roswita langsung mengambil HandPhone yang di letakkannya di atas meja rias untuk melihat siapa yang menelponnya. Namun sebelum diambilnya, Handphonenya berdering lagi.“Ah, nomor baru. Biarkan saja,”cetus Suci Roswita yang tak mau menerima panggilan itu.( Kring… Kring… Kring… ) Lagi-lagi Handphone Suci Roswita berdering lagi. Karena terus saja di teflon, Suci Roswita akhirnya menyerah juga.°°°°°“Halo, ada keperluan apa, sih,” cetus Suci Roswita.“Selamat pagi, Bu. Sebelumnya saya minta maaf karena telah mengganggu Ibu.” “Iya, tidak apa-apa. Ada keperluan apa, ya?“ tanya Suci Roswita.“Bu, saya Lini. Ini ada informasi penting dari pihak Perpajakan,” pinta Lini.Lini Sapta yang biasa disapa Lini adalah Sekretaris dari Suci Roswita.“Lini… Informasi apa?

  • Dibalik Bayang   5. Flashback 1

    “Ada apa, Mas?” tanya Suci Roswita yang mulai masuk ke dalam kamar.“Duduklah terlebih dahulu, sayang,” pinta Arttha mulai melepaskan Jas dan jam tangan yang dikenakan sebelum meletakkannya di atas meja.“Mas, kenapa kamu terlihat sangat panik? Ada apa? Apa yang dikatakan Daniel, barusan? Jawab, Mas,” tanya Suci Roswita penuh kekhawatiran. “Ah, masa, sih? Kita makan dulu ya, sayang. Aku sangat lapar. Seharian ini pekerjaanku sangat padat, aku sampai lupa makan.”“Aneh… Katamu, ingin mengatakan sesuatu kepadaku, malah kamu berniat menyembunyikannya dari aku. Ya, sudahlah,” cetus Suci Roswita.“Tuan, Nyonya, makan malamnya telah aku siapkan,” ucap salah seorang wanita seraya mengetuk pintu kamar mereka. Dia tidak lain adalah Siska Juleha, seorang pembantu rumah tangga yang baru tiga minggu bekerja di sini.“Iya, Bi,” jawab Arttha.“Tuan, Nyonya, Nyonya besar sudah menunggu kalian di meja makan untuk makan bersama,” pinta Siska.“Iya, iya. Tunggu sebentar iya, Bi,” jawab Arttha.“Mas, m

  • Dibalik Bayang   4. Flashback

    Senja yang indah mewarnai langit. Semilir angin berhembus membawa damai. Di atas ayunan bersenandung Suci Roswita duduk menyaksikan senja yang perlahan ditaklukan oleh malam.Kebahagian terukir membungkus anggun raut wajahnya. Senyuman yang menawan menghiasi bibir merahnya. Halusnya usapan tangan di atas perutnya yang diselimuti daster membuat bayi yang ada di dalam kandungannya melonjak kegirangan. Elusan tangan Suci Roswita yang terus menerus membuat buah hatinya tak pernah diam, seakan merasakan kebahagian yang sama seperti apa yang dirasakannya."Ih… Sudah Ibu ingatkan malah makin menjadi-jadi. Sakit perut Ibu, Nak," ucap Suci Roswita setelah tertawa geli, "Apakah kamu ingin segera melihat dunia, Nak? Ibu pun rindu ingin segera melihat wajahmu, memeluk dan menimang kamu sepanjang waktu. Bersabarlah hingga saatnya tiba ya, Nak. Di sini Ibu akan terus melantunkan kidung-kidung doa terbaik untuk dirimu," sambungnya.Lelah hati menunggu. Sembilan bulan lamanya telah terlewati bukanlah

  • Dibalik Bayang   3. Rencana Mertuanya

    Dekorasi ruangan yang sangat menawan membuat suasana menjadi semakin nyaman. Apalagi di tiap-tiap sudut ruangan tamu dihiasi lukisan yang indah, mampu memanjakan mata.Suci Roswita yang baru saja keluar dari kamar Deviana langsung menempatkan dirinya tepat di hadapan Helena Caustaria, hanya dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang berukuran minimalis. Di atas meja itu dihiasi dua bunga hidup yang berada di tengah-tengahnya dan juga ada secangkir teh hangat.Sebelum menatap Helena Caustaria, Suci Roswita menyodorkan secangkir teh hangat itu kepada dia, yang memang telah disiapkan oleh Siska, pembantu rumah tangga, seperti biasanya. Namun Helena Caustaria menolak mentah-mentah niat baik Suci Roswita."Hm..."Suci Roswita tersenyum tipis memandangi tiap-tiap gerakan air yang berada di dalam gelas tersebut, sebelum mengarahkan pandangannya ke arah Helena Caustaria, "Ibu, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya."Suci, kamu sendiri tahu sudah berapa lama aku tinggal di sini bersama kalian,"

  • Dibalik Bayang   2. Potret tak Bernyawa

    kelap-kelip lampu bersinar begitu gemilang menerangi tiap-tiap sudut kota, membawa secercah harap dalam doa. Malam hadir membawa kerinduan. Dingin menerpa, menyapa ingatan yang telah pudar. Mungkin hanya sembahyanglah mampu menyejukkan hati yang telah rapuh diterpa badai.Perlahan Suci Roswita bangkit dari duduknya sebelum melihat cakrawala sesaat, 'Aku rindu,' batinnya.Raut wajah Suci Roswita sendu, ketika kembali terpaku melihat ayunan tua yang telah di rawatnya selama ini, “Sudah waktunya untuk aku mengatakan ini dengan jelas, daripada menyembunyikan semuanya dari Deviana. Aku tak mampu lagi. Aku tak kuak terus membohonginya,” gumamnya dengan nada lirih seakan mau menangis sejadi-jadinya.Deviana yang baru saja memasuki kamarnya, merasa gundah. Ribuan tanya mencari kepastian tentang sang ayahnya tergambar jelas di raut wajahnya yang anggun. Kerinduannya terus memuncak, menghantam keras tiap-tiap langkahnya yang sayu. Raut wajah yang seanggun malaikat kecil kini kusam diterpa benca

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status