“Ada apa, Mas?” tanya Suci Roswita yang mulai masuk ke dalam kamar.
“Duduklah terlebih dahulu, sayang,” pinta Arttha mulai melepaskan Jas dan jam tangan yang dikenakan sebelum meletakkannya di atas meja. “Mas, kenapa kamu terlihat sangat panik? Ada apa? Apa yang dikatakan Daniel, barusan? Jawab, Mas,” tanya Suci Roswita penuh kekhawatiran. “Ah, masa, sih? Kita makan dulu ya, sayang. Aku sangat lapar. Seharian ini pekerjaanku sangat padat, aku sampai lupa makan.” “Aneh… Katamu, ingin mengatakan sesuatu kepadaku, malah kamu berniat menyembunyikannya dari aku. Ya, sudahlah,” cetus Suci Roswita. “Tuan, Nyonya, makan malamnya telah aku siapkan,” ucap salah seorang wanita seraya mengetuk pintu kamar mereka. Dia tidak lain adalah Siska Juleha, seorang pembantu rumah tangga yang baru tiga minggu bekerja di sini. “Iya, Bi,” jawab Arttha. “Tuan, Nyonya, Nyonya besar sudah menunggu kalian di meja makan untuk makan bersama,” pinta Siska. “Iya, iya. Tunggu sebentar iya, Bi,” jawab Arttha. “Mas, makanlah terlebih dahulu. Nafsu makanku tidak ada,” pinta Suci. “Ayo Sayang, Ibu sudah menunggu kita. Tidak baik untuk kesehatan jikalau kamu tidak makan, nanti bayi kita kekurangan gizi,” ajak Arttha. Suci Roswita diam tanpa kata menatap tajam Arttha yang mulai memanjakannya, sebelum bergegas terlebih dahulu menuju ke ruangan makan. Arttha, seorang yang di kenal sangat dingin, acuh tak acuh dan lebih mementingkan pekerjaan daripada istrinya, kini sifatnya berubah drastis semenjak Suci Roswita hamil. Suci Roswita bagaikan permaisuri, selalu ingin dilayani. Dia bagaikan ratu, segala keinginannya pasti akan terpenuhi. Perubahan karakter Arttha secara total membuat Suci Roswita semakin hari semakin terpesona. “Dimana Arttha?” tanya mertuanya. “Sementara ganti pakaian, Bu,” Jawab Suci, “Nah, itu dia,” sambungnya. “Bu, ayo makan,” pinta Arttha seraya menggeser kusir yang mau diduduki oleh Suci, “Ayo sayang, duduklah.” Seperti biasa setelah selesai makan malam, keluarga kecil yang harmonis itu bercengkrama satu sama lain, berbagi cerita tentang tentang seharian penuh yang telah terlewati. Banyak kisah telah berlalu, lelah dibawa santai. Suka, karena pekerjaan yang dilakukan seharian tidak terlalu padat, bersyukur karena yang Kuasa mempermudah segala urusan dan duka semuanya berakhir disini. Meja makan selalu setia menjadi saksi bisu tentang seluk-beluk dunia, mengajarkan arti dari kehidupan yang dijalani. “Nak, bagaimana keadaan di perusahaan?” tanya Helena Caustaria. “Baik, semuanya aman terkendali,” jawab Arttha,“Tapi… Ayah sedang tidak baik-baik saja,” sambungnya, sontak membuat Helena Caustaria dan Suci terperanjat kaget. “Ada apa? Apa yang terjadi pada Ayah?” tanya Suci Roswita penuh khawatir. “Nak, apa yang terjadi pada Marcell?” tanya Helena Caustaria. “Penyakit yang diderita Ayah kambuh lagi. Dan keadaannya sedang kritis di rumah sakit,” jawab Arttha tak berdaya. “Apa! Bagaimana mungkin itu bisa terjadi. Baru tadi sore aku berbicara dengan Daniel dan katanya mereka baik-baik saja. Arttha, telfon Daniel sekarang juga. Anak itu sangat munafik!" pinta Helena Caustaria dipenuhi rasa panik bercampur marah. “Mas, segera teflon Daniel.” “Iya, akan aku telpon dia,” ucap Arttha seraya mengambil HandPhone dari dalam saku celananya. Segera Arttha Caustaria mengutak-atik handphone yang berada di genggamnya untuk menelpon Daniel. [Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan...] Tiap kali Arttha menelpon Daniel selalu saja operator Telkomsel yang menjawabnya. “Bu, nomornya tidak bisa dihubungi,” pinta Arttha. “Anak itu benar-benar, ya. Keadaan Marcell sedang tidak baik-baik saja saat ini, dia malah tidak bisa dihubungi.” “Mas, mungkin salah orang kali. Nomor kamu, kan baru diganti kemarin gara-gara kehilangan Hp. Masa, Daniel tahu nomormu,” pinta Suci Roswita seraya mengambil HandPhone yang berada di genggaman Arttha, “Coba aku lihat nomornya,” sambungnya. “Iya, ya. Dari mana Daniel bisa tahu nomor aku?” tanya Arttha sedikit merasa janggal. Dilain sisi, saat ini penipuan lewat media elektronik sering terjadi. Kalau tidak waspada, pasti akan masuk ke dalam perangkap yang dibuat sedemikian rupa sesuai dengan realita hidup. “Aku yang kasih nomor kamu ke dia, Nak,” jawab Helena Caustaria, “Tadi sore Daniel menelpon aku dan meminta nomormu,” sambungnya. “Eh, ini bukan nomornya Daniel, Mas. Kuambil HandPhone aku dulu, ya. Biar aku saja yang menghubunginya,” pinta Suci Roswita seraya bangkit dari tempat duduk, sebelum bergegas ke kamarnya untuk mengambil HandPhone. “Cepat sedikit Suci, aku tidak sabar ingin berbicara dengan Daniel,” pinta Helena Caustaria. “Iya, Bu,” jawab Suci Roswita. 5 tahun yang lalu Marcell jatuh sakit dan di diagnosis oleh dokter bahwa Marcell terkena kanker otak stadium satu. Segala upaya telah di lakukan oleh Arttha Caustaria untuk kesembuhan Ayahnya. Namun apa yang mereka lakukan semuanya sia-sia, sebab tidak ada obat ampuh yang mampu menyembuhkan penyakit tersebut. Hanya ada obat yang mampu menghentikan penyebaran sel-sel kanker. Penyakit yang diderita Marcell terbilang sangat ganas, sehingga Arttha Caustaria bersama Ibunya memutuskan untuk mengobati Marcell di Amerika. Setelah keadaan Marcell sudah membaik Arttha Caustaria bersama Ibunya kembali ke Indonesia, sedangkan Marcell dan Daniel (Adik dari Arttha Caustaria) tetap menetap di Amerika. “Halo, Daniel.” “Sini biar aku saja yang bicara dengannya,” pinta Helena. “Ini, Bu,” ucap Suci Roswita seraya memberikan HandPhone kepada Helena. “Nak, bagaimana keadaan Ayahmu. Dia baik-baik saja, kan?” tanya Helena. “Ibu, Ayah baik-baik saja. Eh, Ibu, Ayah kritis. Keadaannya sekarang aku tidak tahu, soalnya lagi di tangani sama dokter dan aku tidak di ijinkan masuk untuk menemui Ayah,” jawab Daniel. “He…. A, apa,” ucap Helena Caustaria terbata-bata. “Iya, Bu. Ayah kritis. Tolong sampaikan pada mas Arttha, secepatnya datang ke Amerika ya, Bu,” pinta Daniel. “Apa? Aku harus segera ke Amerika? Mana mungkin, Daniel. Dalam waktu dekat ini Istriku akan melahirkan. Bagaimana mungkin aku meninggalkannya sendirian ketika melahirkan nanti?” ucap Arttha Caustaria. “Mas, Ayah sedang kritis! Dan aku tidak bisa mengurusnya sendirian jikalau terjadi sesuatu pada Ayah,” pinta Daniel segera menutup telfonnya. “Ngawur….” cetus Arttha. “Mas, apa yang di katakan Daniel itu ada benarnya. Segala keperluan yang di butuhkan rumah sakit tidak mungkin juga Daniel yang Handel semuanya. Lagian Ayahmu sangat membutuhkan kamu. Apa lagi disaat-saat seperti ini, dia pasti sangat merindukan sosokmu,” pinta Suci Roswita. “Iya, Nak. Biarlah Suci bersamaku disini. Kamu tenang, Nak, aku pasti akan menjaganya dengan baik,” pinta Helena. “Ibu….” “Mas, aku tidak apa-apa bersama Ibu disini,” ucap Suci Roswita. Tidak terduga keputusan yang di ambil malam itu membawa mala petaka. Kelahiran buah hati yang seharusnya membawa bahagia, malah menyiksanya. Bukan karena Suci Roswita tidak menginginkannya. Dia tentunya sangat senang dengan kehadiran sosok kecil yang mungil hasil buah cintanya bersama suaminya, Arttha Caustaria. Namun kabar lain menyayat hati, meremukkan raganya. Bagaimana tidak? Arttha Caustaria mengalami kecelakaan disaat itu, di tempat yang berbeda. Hal yang tidak di inginkannya pun terjadi, kecelakaan tersebut merenggut nyawa Arttha Caustaria.“Devi, cepat ganti pakaian, ya. Setelah itu langsung kemari untuk sarapan,” pinta Helena Caustaria kepada Deviana yang telah selesai mandi.“Iya, Oma,” jawab Deviana langsung bergegas menuju ke dalam kamarnya.Dia sangat mandiri, tidak seperti anak-anak pada umumnya yang segala keperluannya selalu mengharap pada orangtua mereka. Apa-apa dilakukannya sendiri tanpa bantuan siapapun.Dilain sisi Suci Roswita sangat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga jarang memiliki waktu luang untuk mengurusi anaknya. Ada pembantu, namun Deviana sendiri tidak mau diatur-atur oleh Siska Juleha.Walaupun semua hidangan telah disiapkan oleh Siska Juleha di atas meja makan, Helena Caustaria tidak lupa menunggu cucu kesayangannya untuk menyantap hidangan tersebut bersama.“Siska, Kamu juga langsung sarapan, ya,” ajak Helena Caustaria.“Nanti aja, Bu,” jawab Siska Juleha.“Iya sudahlah,” pinta Helena Caustaria sebelum mengambil piring, “Devi, sini,” sambungannya ketika melihat Deviana yang hendak menuju ke me
( Kring… Kring… Kring… ) Bunyi HandPhone Suci Roswita.“Ah, Siapa sih yang nelpon. Ada keperluan apa sih, masih pagi sudah telfon," gerutu Suci Roswita seraya merapikan tempat tidurnya.Setelah selesai merapikan tempat tidurnya, Suci Roswita langsung mengambil HandPhone yang di letakkannya di atas meja rias untuk melihat siapa yang menelponnya. Namun sebelum diambilnya, Handphonenya berdering lagi.“Ah, nomor baru. Biarkan saja,”cetus Suci Roswita yang tak mau menerima panggilan itu.( Kring… Kring… Kring… ) Lagi-lagi Handphone Suci Roswita berdering lagi. Karena terus saja di teflon, Suci Roswita akhirnya menyerah juga.°°°°°“Halo, ada keperluan apa, sih,” cetus Suci Roswita.“Selamat pagi, Bu. Sebelumnya saya minta maaf karena telah mengganggu Ibu.” “Iya, tidak apa-apa. Ada keperluan apa, ya?“ tanya Suci Roswita.“Bu, saya Lini. Ini ada informasi penting dari pihak Perpajakan,” pinta Lini.Lini Sapta yang biasa disapa Lini adalah Sekretaris dari Suci Roswita.“Lini… Informasi apa?
“Ada apa, Mas?” tanya Suci Roswita yang mulai masuk ke dalam kamar.“Duduklah terlebih dahulu, sayang,” pinta Arttha mulai melepaskan Jas dan jam tangan yang dikenakan sebelum meletakkannya di atas meja.“Mas, kenapa kamu terlihat sangat panik? Ada apa? Apa yang dikatakan Daniel, barusan? Jawab, Mas,” tanya Suci Roswita penuh kekhawatiran. “Ah, masa, sih? Kita makan dulu ya, sayang. Aku sangat lapar. Seharian ini pekerjaanku sangat padat, aku sampai lupa makan.”“Aneh… Katamu, ingin mengatakan sesuatu kepadaku, malah kamu berniat menyembunyikannya dari aku. Ya, sudahlah,” cetus Suci Roswita.“Tuan, Nyonya, makan malamnya telah aku siapkan,” ucap salah seorang wanita seraya mengetuk pintu kamar mereka. Dia tidak lain adalah Siska Juleha, seorang pembantu rumah tangga yang baru tiga minggu bekerja di sini.“Iya, Bi,” jawab Arttha.“Tuan, Nyonya, Nyonya besar sudah menunggu kalian di meja makan untuk makan bersama,” pinta Siska.“Iya, iya. Tunggu sebentar iya, Bi,” jawab Arttha.“Mas, m
Senja yang indah mewarnai langit. Semilir angin berhembus membawa damai. Di atas ayunan bersenandung Suci Roswita duduk menyaksikan senja yang perlahan ditaklukan oleh malam.Kebahagian terukir membungkus anggun raut wajahnya. Senyuman yang menawan menghiasi bibir merahnya. Halusnya usapan tangan di atas perutnya yang diselimuti daster membuat bayi yang ada di dalam kandungannya melonjak kegirangan. Elusan tangan Suci Roswita yang terus menerus membuat buah hatinya tak pernah diam, seakan merasakan kebahagian yang sama seperti apa yang dirasakannya."Ih… Sudah Ibu ingatkan malah makin menjadi-jadi. Sakit perut Ibu, Nak," ucap Suci Roswita setelah tertawa geli, "Apakah kamu ingin segera melihat dunia, Nak? Ibu pun rindu ingin segera melihat wajahmu, memeluk dan menimang kamu sepanjang waktu. Bersabarlah hingga saatnya tiba ya, Nak. Di sini Ibu akan terus melantunkan kidung-kidung doa terbaik untuk dirimu," sambungnya.Lelah hati menunggu. Sembilan bulan lamanya telah terlewati bukanlah
Dekorasi ruangan yang sangat menawan membuat suasana menjadi semakin nyaman. Apalagi di tiap-tiap sudut ruangan tamu dihiasi lukisan yang indah, mampu memanjakan mata.Suci Roswita yang baru saja keluar dari kamar Deviana langsung menempatkan dirinya tepat di hadapan Helena Caustaria, hanya dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang berukuran minimalis. Di atas meja itu dihiasi dua bunga hidup yang berada di tengah-tengahnya dan juga ada secangkir teh hangat.Sebelum menatap Helena Caustaria, Suci Roswita menyodorkan secangkir teh hangat itu kepada dia, yang memang telah disiapkan oleh Siska, pembantu rumah tangga, seperti biasanya. Namun Helena Caustaria menolak mentah-mentah niat baik Suci Roswita."Hm..."Suci Roswita tersenyum tipis memandangi tiap-tiap gerakan air yang berada di dalam gelas tersebut, sebelum mengarahkan pandangannya ke arah Helena Caustaria, "Ibu, apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya."Suci, kamu sendiri tahu sudah berapa lama aku tinggal di sini bersama kalian,"
kelap-kelip lampu bersinar begitu gemilang menerangi tiap-tiap sudut kota, membawa secercah harap dalam doa. Malam hadir membawa kerinduan. Dingin menerpa, menyapa ingatan yang telah pudar. Mungkin hanya sembahyanglah mampu menyejukkan hati yang telah rapuh diterpa badai.Perlahan Suci Roswita bangkit dari duduknya sebelum melihat cakrawala sesaat, 'Aku rindu,' batinnya.Raut wajah Suci Roswita sendu, ketika kembali terpaku melihat ayunan tua yang telah di rawatnya selama ini, “Sudah waktunya untuk aku mengatakan ini dengan jelas, daripada menyembunyikan semuanya dari Deviana. Aku tak mampu lagi. Aku tak kuak terus membohonginya,” gumamnya dengan nada lirih seakan mau menangis sejadi-jadinya.Deviana yang baru saja memasuki kamarnya, merasa gundah. Ribuan tanya mencari kepastian tentang sang ayahnya tergambar jelas di raut wajahnya yang anggun. Kerinduannya terus memuncak, menghantam keras tiap-tiap langkahnya yang sayu. Raut wajah yang seanggun malaikat kecil kini kusam diterpa benca