Share

Chapter 3

Author: kakakjutex
last update Huling Na-update: 2025-10-07 11:16:12

“Mah, kenapa?” bahu Madeline menegang, tapi ia berusaha tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Oh, enggak, tadi Mamah lupa ngomong,” ujar Sandra riang. “Sebagai tanda terima kasih, Paman David kasih voucher gratis buat glamping dua hari. Besok kan Sabtu, kalian libur kan? Bisa dong?”

Madeline tercekat.

Glamping? Dua hari.

Berarti… dua puluh empat jam penuh di tempat yang sama dengan Marcus. Tidak ada ruang untuk bersembunyi.

Marcus tersenyum samar saat menuruni tangga nyaris tak terlihat. “Tentu saja, Mah. Kita kan jarang quality time bareng.”

Ia menoleh sekilas ke arah Madeline, matanya menelusuri wajah adiknya tanpa benar-benar tersenyum.

“Bagus juga. Supaya kita bisa lebih… dekat. Benar, Maddie?”

Nada suaranya datar, tapi penekanannya jelas. Hanya Madeline yang tahu maksudnya.

Madeline menelan ludah, berusaha mempertahankan senyum. “Iy–iya, Mah…”

Ia ingin menolak, tapi melihat wajah Mamanya yang penuh semangat, kata-katanya menguap begitu saja.

Sandra tampak lega. “Syukurlah! Mamah pikir kalian bakal nolak. Ya udah, nanti malam siap-siap ya, besok kita berangkat jam delapan pagi.”

Sandra melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua dalam diam yang menegangkan.

Marcus menatap Madeline tanpa berkedip. Bibirnya terangkat samar, bukan senyum—lebih seperti ancaman yang dibungkus senyum lembut.

Ia mendekat sedikit, menunduk hingga napasnya menyentuh telinga Madeline.

“Bersiaplah, kelinci kecil,” gumamnya rendah, sebelum berbalik pergi.

Madeline terpaku. Jemarinya mencengkeram ujung pakaiannya, dada terasa sesak. Ia tidak tahu apakah yang ia rasakan itu takut… atau cemas karena sesuatu yang lain.

Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, Madeline belum juga tidur. Tubuhnya gelisah di atas ranjang, pikirannya berputar pada rencana glamping besok. Ia sudah berkemas, tapi hatinya menolak ikut serta.

‘CTAK!’

Suara ledakan kecil terdengar, dan seketika ruangan gelap.

“Mati lampu lagi,” desisnya.

Ia menyalakan senter di ponselnya, berjalan pelan ke luar kamar. Rumah terasa terlalu sepi—Hugo dan Sandra belum pulang. Bayangan di lorong membuat bulu kuduknya berdiri.

Ketika tubuhnya menabrak sesuatu, jantungnya seperti jatuh.

“AAAAAAAA!” jeritnya spontan.

“Berhentilah berteriak.”

Suara datar itu menembus kegelapan.

Madeline membeku. Saat cahaya ponselnya menyorot wajah di depannya, napasnya langsung melambat.

Marcus.

“Ada pemadaman listrik di area sini. Akan lama,” katanya tenang, seolah tak terjadi apa-apa.

Madeline hanya mengangguk.

Marcus menaikkan alis. “Kau tiba-tiba bisu?” sindirnya.

Madeline mendengus, berbalik hendak pergi. Tapi sesuatu menahan perutnya. Tarikan tangan yang kuat, terlalu akrab.

Marcus.

“Kau mengabaikanku, kelinci kecil?” suaranya rendah, nyaris berbisik di dekat telinganya.

Madeline meronta. “Lepas, Marcus!”

“Tidak.”

Satu kata, datar, tapi penuh kuasa.

“Marcus! Kalau Papa sama Mamah lihat—”

“Mereka belum pulang,” potongnya, masih dengan nada santai.

Madeline makin marah. Ia mencoba melepaskan diri, tapi Marcus bergerak cepat.

Dalam hitungan detik, ia sudah terpojok di dinding. Tubuh Marcus menjulang di hadapannya, tangan besar pria itu menahan pergelangan tangannya.

“Diamlah,” suara berat itu nyaris seperti perintah.

“Marcus, apa yang sebenarnya kau pikirkan?!” desis Madeline, suaranya bergetar. Kegelapan membuat napas keduanya terdengar lebih keras dari seharusnya.

Marcus menunduk sedikit. Tatapan matanya gelap. “Aku sudah mengecewakan Papa,” katanya lirih, hampir seperti bicara pada diri sendiri.

Madeline tertegun. “Apa maksudmu?”

Marcus menatapnya lama, lalu tiba-tiba membentak, “Jangan berpura-pura tak mengerti! Jangan bertingkah seolah kau tidak merasakan apa-apa!”

Napasnya kasar. “Tubuhmu sendiri bahkan tak jujur.”

Madeline menatap balik, bibirnya bergetar. “Kau gila.”

Air matanya menumpuk, tapi tak jatuh.

Marcus menatap lebih dalam. “Kenapa terus bilang ini salah?” suaranya rendah, pelan tapi tajam. “Siapa yang bilang begitu? Dunia? Atau cuma rasa takutmu sendiri?”

Ia mendekat. Genggamannya di pergelangan Madeline menguat. “Tidak ada yang tahu, Maddie. Tidak ada yang terluka. Hanya kau dan aku.”

Tatapannya menusuk. “Kalau perasaan ini nyata… apa itu masih dosa?”

Madeline terdiam. Kata-kata itu seperti racun yang lembut, menelusup ke pikirannya.

‘Tidak ada yang tahu.’

Kalimat itu berulang di kepalanya, mengikis logika sedikit demi sedikit.

Marcus mengangkat dagunya, memaksanya menatap. “Berhentilah melawan perasaanmu,” bisiknya pelan.

Madeline terdiam. Napasnya tercekat, antara takut dan bingung.

Ia ingin berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar.

Marcus menatapnya lama, seolah menunggu sesuatu. Lalu, tanpa peringatan, ia mendekat lebih jauh—terlalu dekat. Napas mereka bertemu di udara.

Madeline menutup mata, separuh karena takut, separuh karena tak tahu harus bagaimana.

Hanya satu detik sebelum bibir mereka nyaris bersentuhan—

pintu depan rumah berderit pelan.

Keduanya langsung terhenti.

Marcus menegakkan tubuhnya, rahangnya mengeras, sementara Madeline menatap ke arah pintu dengan wajah pucat pasi.

Langkah kaki terdengar di ruang tamu.

Suara Sandra. “Madeline? Marcus? Lampu mati, ya?”

Marcus menarik napas panjang, lalu berbisik tanpa menatap Madeline, “Besok… kita lanjutkan lagi.”

Ia berbalik pergi ke arah kamarnya, meninggalkan Madeline yang berdiri kaku menahan degup jantungnya tak karuan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 26

    Kedua pria tampan yang pernah saling mencintai itu, kini memandang tajam satu sama lain. Sorot mata mereka jelas menyimpan amarah yang mereka pendam masing-masing. Mereka tidak mempedulikan keadaan sekitar mereka. Tidak juga peduli kepada pelayan yang segera berlari ketakutan setelah mengantarkan pesanan makanan milik Gavin. "Bukankah keterlaluan kalau kau juga menargetkan ibuku? " Marcus memandang Gavin dengan tatapan suram. Sementara Gavin hanya tersenyum miring mendengarnya, "Wanita itu adalah ibu Madeline, " suara Gavin terdengar dingin. "Perempuan yang merupakan selingkuhan kekasih ku sendiri. " "Gavin!!" Marcus membentak. Urat di pelipisnya terlihat menonjol, menunjukan seberapa kuat ia menahan emosinya agar tidak meledak. "Kau telah menyakiti hatiku, " tanpa mempedulikan amarah Marcus, Gavin tetap memandang pria di depannya datar. "Bukankah adil kalau aku juga mengacaukan hidup orang yang telah menjadi sumber dari rasa sakit hatiku? " Dengan raut wajah

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 25

    Gavin tersenyum miring, saat melihat pria di depannya menatapnya tajam. Dagunya bergerak menunjuk kursi yang tersedia. "Duduklah... " Marcus tetap tenang, ia duduk perlahan menatap datar seseorang dari masa lalunya ini. Tak ada getaran... Dulu saat mereka masih bersama, Marcus bisa merasakan kehangatan yang menyeruak di dadanya setiap kali mereka bertemu.. Sekarang pikiranya justru dipenuhi dengan senyuman manis milik Madeline. "Mengejutkan sekali, akhirnya kamu menelpon ku kembali setelah sekian lama.. " suara Gavin terdengar lembut, tapi siapapun yang mendengarnya dapat menangkap kegetiran yang ada. "Masa lalu adalah masa lalu... " Marcus tak ingin berkomentar banyak tentang hubungan mereka dulu. Baginya apa yang sudah berlalu adalah moment yang sudah terlewati. Tidak lebih. "Benar.. " Pandangan Gavin terlihat tenang saat menatapnya. "Aku sampai lupa, bahwa kita benar-benar sudah tak memiliki hubungan lagi.. " Itu adalah sindiran. Marcus menyadari bahwa mere

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 24

    Selama beberapa hari, Hugo dan Marcus telah berupaya menekan pendapat netizen yang terus menyerang Toko roti milik Sandra, dengan berbagai macam kecaman dan komentar negatif. Sedangkan, Sandra masih tidak berani melihat ponsel miliknya sejak berita itu meledak. Akhirnya, Madeline lah, yang mengambil alih untuk memberi pernyataan permintaan maaf, menggunakan sosial media bisnis milik Sandra guna mengurangi opini publik. Tapi entah bagaimana, berita ini terus meluas dan bahkan berberapa selebriti dan influencer kelas atas ikut membuka suara, mengomentari berita yang semakin viral. "@jxfoodies , laki-laki berusia 35 tahun, memiliki nama asli Galen Araka, belum menikah dan sudah menjalani profesinya sebagai food reviewer selama 2 tahun... " Rex Pranadipa, laki-laki berusia 28 tahun ini adalah asisten pribadi baru Marcus yang ia hire, guna mengurangi beban kerja yang semakin bertambah. Ia menyerahkan dokumen yang berisi data milik Galen yang sudah Marcus minta. Marcus memb

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 23

    Saat tiba dirumah, Madeline segera membuka pintu rumahnya, ia masuk disusul Gavin yang berjalan dibelakangnya. "Mah..., " Sandra yang tengah menonton televisi menoleh. Saat melihat putrinya yang memanggil, senyum tipis tersungging di bibirnya. Wajahnya masih pucat. Lingkaran hitam di bawah matanya membuat kondisi Sandra terlihat kian suram. "Tante..., " Gavin menganggukan kepalanya, menyapa dengan sopan. Senyum Sandra semakin melebar saat melihat seseorang yang ia tahu sebagai sahabat putranya juga datang. Kedua tangan Gavin membawa bunga yang telah ia pesan dan buah-buahan yang telah Madeline beli di supermarket saat mereka bertemu tadi. "Gavin.. masuk, nak," Sandra menyambut ramah. "Bunga yang cantik untuk wanita yang hebat." Gavin memberikan bunga di tangannya dengan gestur membungkuk. Sandra tertawa dibuatnya. "Cantik sekali.. " Sandra melihat bunga di tangannya. Sejenak, ia mengernyit saat melihat bunga berwarna merah tua dipadu dengan warna kuning yan

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 22

    Gavin memarkirkan mobilnya dengan mulus. Pria itu turun dan dengan cepat berputar membuka pintu samping mobilnya, tempat dimana Madeline duduk. "Ayo turun, " Gavin tersenyum ramah. Tertegun sebentar, Madeline mencoba mengulas senyum. Gadis itu turun, dan mereka berjalan beriringan memasuki toko florist yang dituju. Madeline mencoba menenangkan dirinya. Walaupun masih canggung, tapi Gavin tidak menunjukkan gerakan yang mengintimidasi seperti sebelumnya. Aroma mawar segar menyambut mereka saat pintu kaca terbuka. Rak-rak penuh bunga berdiri rapi, dengan warna-warna lembut yang menenangkan mata. "Selamat Datang di Velvet Rose, ada yang bisa saya bantu kak? " Seorang pramuniaga yang bertugas menyambut dengan antusias saat Gavin dan Madeline melangkah masuk. Gavin memandang deretan bunga yang berjajar rapi. Kepalanya menoleh melihat pramuniaga yang masih senantiasa berdiri, siap untuk melayani. "Aku ingin campuran rangkaian bunga Dahlia hitam dan Hyacinth kuning, tolo

  • Dibalik Ciuman Kaka Tiriku!    Chapter 21

    Madeline menimbang apel di tangannya. Matanya dengan jeli melihat buah itu dengan cermat. "Coba tekan apelnya dengan lembut. Jika terasa keras dan padat, itu kualitas apel yang bagus. " Suara berat di belakangnya, mengejutkan Madeline. Gadis itu membalikkan tubuhnya, melihat siapa yang berbicara. "Kak.. Gavin?"" suara Madeline terdengar ragu. Gavin melangkah mendekat, tangannya dengan lihai memilih beberapa apel di depannya dengan teliti. Tangannya sigap memasukannya dalam plastik yang tersedia dan menimbangnya. "Apel-apel ini sudah ku pilihkan, ambilah.. " tangan pria itu menyodorkannya ke Madeline. Madeline terdiam menatapnya sesaat, tapi tangannya tetap terulur mengambilnya. "Makasih kak.. " mencoba bersikap biasa, gadis itu tersenyum melihat Gavin yang memandangnya. Gavin tersenyum, raut wajahnya terlihat sangat tenang. "Kamu sangat menyukai buah? " mata pria itu melirik ke dalam troli Madeline yang berisi beberapa buah di dalamnya. Madeline tersenyum

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status