“Mah, kenapa?” bahu Madeline menegang, tapi ia berusaha tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Oh, enggak, tadi Mamah lupa ngomong,” ujar Sandra riang. “Sebagai tanda terima kasih, Paman David kasih voucher gratis buat glamping dua hari. Besok kan Sabtu, kalian libur kan? Bisa dong?” Madeline tercekat. Glamping? Dua hari. Berarti… dua puluh empat jam penuh di tempat yang sama dengan Marcus. Tidak ada ruang untuk bersembunyi. Marcus tersenyum samar saat menuruni tangga nyaris tak terlihat. “Tentu saja, Mah. Kita kan jarang quality time bareng.” Ia menoleh sekilas ke arah Madeline, matanya menelusuri wajah adiknya tanpa benar-benar tersenyum. “Bagus juga. Supaya kita bisa lebih… dekat. Benar, Maddie?” Nada suaranya datar, tapi penekanannya jelas. Hanya Madeline yang tahu maksudnya. Madeline menelan ludah, berusaha mempertahankan senyum. “Iy–iya, Mah…” Ia ingin menolak, tapi melihat wajah Mamanya yang penuh semangat, kata-katanya menguap begitu saja. Sandra tampak lega. “Syukurlah! Mamah pikir kalian bakal nolak. Ya udah, nanti malam siap-siap ya, besok kita berangkat jam delapan pagi.” Sandra melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua dalam diam yang menegangkan. Marcus menatap Madeline tanpa berkedip. Bibirnya terangkat samar, bukan senyum—lebih seperti ancaman yang dibungkus senyum lembut. Ia mendekat sedikit, menunduk hingga napasnya menyentuh telinga Madeline. “Bersiaplah, kelinci kecil,” gumamnya rendah, sebelum berbalik pergi. Madeline terpaku. Jemarinya mencengkeram ujung pakaiannya, dada terasa sesak. Ia tidak tahu apakah yang ia rasakan itu takut… atau cemas karena sesuatu yang lain. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, Madeline belum juga tidur. Tubuhnya gelisah di atas ranjang, pikirannya berputar pada rencana glamping besok. Ia sudah berkemas, tapi hatinya menolak ikut serta. ‘CTAK!’ Suara ledakan kecil terdengar, dan seketika ruangan gelap. “Mati lampu lagi,” desisnya. Ia menyalakan senter di ponselnya, berjalan pelan ke luar kamar. Rumah terasa terlalu sepi—Hugo dan Sandra belum pulang. Bayangan di lorong membuat bulu kuduknya berdiri. Ketika tubuhnya menabrak sesuatu, jantungnya seperti jatuh. “AAAAAAAA!” jeritnya spontan. “Berhentilah berteriak.” Suara datar itu menembus kegelapan. Madeline membeku. Saat cahaya ponselnya menyorot wajah di depannya, napasnya langsung melambat. Marcus. “Ada pemadaman listrik di area sini. Akan lama,” katanya tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Madeline hanya mengangguk. Marcus menaikkan alis. “Kau tiba-tiba bisu?” sindirnya. Madeline mendengus, berbalik hendak pergi. Tapi sesuatu menahan perutnya. Tarikan tangan yang kuat, terlalu akrab. Marcus. “Kau mengabaikanku, kelinci kecil?” suaranya rendah, nyaris berbisik di dekat telinganya. Madeline meronta. “Lepas, Marcus!” “Tidak.” Satu kata, datar, tapi penuh kuasa. “Marcus! Kalau Papa sama Mamah lihat—” “Mereka belum pulang,” potongnya, masih dengan nada santai. Madeline makin marah. Ia mencoba melepaskan diri, tapi Marcus bergerak cepat. Dalam hitungan detik, ia sudah terpojok di dinding. Tubuh Marcus menjulang di hadapannya, tangan besar pria itu menahan pergelangan tangannya. “Diamlah,” suara berat itu nyaris seperti perintah. “Marcus, apa yang sebenarnya kau pikirkan?!” desis Madeline, suaranya bergetar. Kegelapan membuat napas keduanya terdengar lebih keras dari seharusnya. Marcus menunduk sedikit. Tatapan matanya gelap. “Aku sudah mengecewakan Papa,” katanya lirih, hampir seperti bicara pada diri sendiri. Madeline tertegun. “Apa maksudmu?” Marcus menatapnya lama, lalu tiba-tiba membentak, “Jangan berpura-pura tak mengerti! Jangan bertingkah seolah kau tidak merasakan apa-apa!” Napasnya kasar. “Tubuhmu sendiri bahkan tak jujur.” Madeline menatap balik, bibirnya bergetar. “Kau gila.” Air matanya menumpuk, tapi tak jatuh. Marcus menatap lebih dalam. “Kenapa terus bilang ini salah?” suaranya rendah, pelan tapi tajam. “Siapa yang bilang begitu? Dunia? Atau cuma rasa takutmu sendiri?” Ia mendekat. Genggamannya di pergelangan Madeline menguat. “Tidak ada yang tahu, Maddie. Tidak ada yang terluka. Hanya kau dan aku.” Tatapannya menusuk. “Kalau perasaan ini nyata… apa itu masih dosa?” Madeline terdiam. Kata-kata itu seperti racun yang lembut, menelusup ke pikirannya. ‘Tidak ada yang tahu.’ Kalimat itu berulang di kepalanya, mengikis logika sedikit demi sedikit. Marcus mengangkat dagunya, memaksanya menatap. “Berhentilah melawan perasaanmu,” bisiknya pelan. Madeline terdiam. Napasnya tercekat, antara takut dan bingung. Ia ingin berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Marcus menatapnya lama, seolah menunggu sesuatu. Lalu, tanpa peringatan, ia mendekat lebih jauh—terlalu dekat. Napas mereka bertemu di udara. Madeline menutup mata, separuh karena takut, separuh karena tak tahu harus bagaimana. Hanya satu detik sebelum bibir mereka nyaris bersentuhan— pintu depan rumah berderit pelan. Keduanya langsung terhenti. Marcus menegakkan tubuhnya, rahangnya mengeras, sementara Madeline menatap ke arah pintu dengan wajah pucat pasi. Langkah kaki terdengar di ruang tamu. Suara Sandra. “Madeline? Marcus? Lampu mati, ya?” Marcus menarik napas panjang, lalu berbisik tanpa menatap Madeline, “Besok… kita lanjutkan lagi.” Ia berbalik pergi ke arah kamarnya, meninggalkan Madeline yang berdiri kaku menahan degup jantungnya tak karuan.Jemari Marcus mengepal kencang. Tapi seperti biasa, ia lihai untuk mengendalikan emosi nya. Wajahnya tetap tenang. Tapi aura ancaman keluar dari tubuhnya. "Marcus?" Madeline terkejut saat melihatnya tiba di pet hotelnya. Martin menoleh, keningnya berkerut saat seorang pria tiba dan mentapnya tajam. "Lihat siapa ini?" senyum miring pria itu terlihat samar, langkahnya perlahan mendekati 'kelinci kecilnya'. "Kak... ini temanku Martin," Madeline buru-buru menjelaskan. "Martin, teman kuliah Madeline" tangannya terulur kepada Marcus yang menatapnya intens. "Marcus..." tangannya menjabat erat Martin. Terlalu erat. Martin menatap mata Marcus. Ia bisa merasakan ketidaksukaan dari tatapannya. "Maddie... aku titip Zico ya," sambil menyerahkan anjingnya. "Martin, aku isi formulirnya dulu ya sebentar..." Madeline bisa merasakan ketegangan diantara dua pria yang sedang berhadapan. Ia berlalu bersama Zico dalam pelukannya. "Jadi teman kuliah?" Marcus membuka suara. "Ya, kam
Gonggongan anjing yang berlari ke arahnya membuat Madeline menoleh cepat. “DEREK!” jeritnya lega. Senyum langsung merekah di wajahnya saat melihat anjing kesayangannya muncul dari balik semak. “Derek! Kamu kemana sih?! Jangan lari jauh-jauh, ya Tuhan… aku hampir gila nyariin kamu!” ia mengomel, tapi tetap memeluk tubuh anjing itu erat, menciumi kepalanya penuh sayang. Marcus segera mengambil ponselnya. “Pah, Derek sudah ketemu. Aku sama Madeline akan balik ke dome,” katanya singkat. Setelah mematikan panggilan, ia menatap langit yang mulai menggelap. “Kita balik sekarang, Maddie. Hari udah sore.” Marcus meraih bahu Madeline, menuntunnya keluar dari hutan sebelum malam benar-benar turun. ---------- Tiga hari berlalu. Madeline kembali ke rutinitasnya di pet hotel miliknya, tempat yang kini jadi dunia kecilnya. Tawa dan gonggongan anjing memenuhi ruangan; aroma sabun dan bulu anjing yang lembap membuat suasana hangat sekaligus riuh. Ia berjongkok, bermain dengan seekor Po
Marcus memegang kaki kanannya yang terkilir. “Ah…” rintihannya pecah, wajahnya menegang menahan sakit.Sial! Sakit sekali… batin lelaki itu mengumpat.Madeline panik menghampirinya, tangisnya kembali pecah. Perasaannya bercampur aduk—takut kehilangan Derek sekaligus khawatir melihat Marcus meringis begitu. “Kak, kaki kamu berdarah!” suaranya bergetar. Dengan tangan gemetar, ia merobek kaos yang dipakainya, lalu membalut luka Marcus dengan hati-hati.“Gapapa.” Marcus hanya terdiam, matanya menatap setiap gerakan Madeline. Tiba-tiba tangannya terulur, menyentuh lembut wajah gadis itu. “Jangan menangis lagi,” ucapnya pelan, namun mantap.Madeline terhenti. Napasnya tercekat, matanya terkunci pada tatapan pria itu—hangat, intens, seakan mampu menelan seluruh keresahannya. Ia ingin berpaling, tapi tubuhnya membeku.Sampai rintihan Marcus kembali terdengar. Sontak Madeline sadar, buru-buru menopang tubuhnya. “Kak… aku bantu berdiri ya.” Ia menuntun tangan Marcus melingkar di lehernya, la
Marcus menatap Madeline yang terbaring di bawahnya. Napas mereka bertabrakan, panas, tak beraturan. Semua batas yang sempat ia pasang di kepalanya runtuh bersamaan dengan detak jantungnya yang menggila.Ia menyambar bibir Madeline.Ciuman itu bukan kelembutan—itu luapan dari marah, rindu, dan rasa bersalah yang tak bisa ia jelaskan.Madeline menegang di bawahnya. Jemarinya mencoba menolak, tapi Marcus menahan kedua tangannya di sisi kepala. Napas mereka saling bertubrukan, getir dan getir lagi.“Berhenti…” bisiknya di sela napas yang nyaris habis. Tapi suaranya terlalu pelan, kalah oleh degup yang menggila di dada mereka berdua.Marcus mendekat, menunduk di sisi telinganya. “Sampai kapan kamu pura-pura nggak tahu, Maddie?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti desis. “Kamu pikir aku bisa berhenti setelah malam itu?”Madeline memejamkan mata. Ada panas di ujung matanya, bukan hanya karena takut—tapi karena kebingungan yang menyesakkan.Namun tiba-tiba, Marcus menghentikan dirinya se
Semua berawal sebulan lalu, saat Papa Marcus menikahi Mama Madeline.Sejak hari itu, segalanya menjadi rumit. Rumah yang dulu terasa seperti tempat aman, kini berubah menjadi medan penuh bisu dan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Madeline berusaha menganggap Marcus hanya sebagai kakak tiri—tetapi bayangan malam itu, ketika ia memeluknya di dapur gelap setelah hujan deras, masih menempel di kulit.“Marcus… Maddie… kenapa gelap sekali?” suara Hugo, Papa Marcus, terdengar dari ruang tamu. Langkah kakinya menabrak kursi karena lampu padam.Madeline menahan napas. Marcus masih menggenggam wajahnya, lalu—dengan keberanian yang gila—menyentuh bibirnya sekali lagi sebelum menjauh.Adrenalin Madeline berpacu. Dia tidak sadar apa yang baru saja dilakukan?“Kenapa gelap banget?” suara Sandra menyusul dari belakang.“Mati lampu, Pah. Ada pemadaman,” jawab Marcus santai. Nada suaranya seolah tak ada yang salah. Madeline tetap diam. Napasnya pendek, jantungnya seolah menendang dada.“Madie mana?”
“Mah, kenapa?” bahu Madeline menegang, tapi ia berusaha tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa.“Oh, enggak, tadi Mamah lupa ngomong,” ujar Sandra riang. “Sebagai tanda terima kasih, Paman David kasih voucher gratis buat glamping dua hari. Besok kan Sabtu, kalian libur kan? Bisa dong?”Madeline tercekat. Glamping? Dua hari. Berarti… dua puluh empat jam penuh di tempat yang sama dengan Marcus. Tidak ada ruang untuk bersembunyi.Marcus tersenyum samar saat menuruni tangga nyaris tak terlihat. “Tentu saja, Mah. Kita kan jarang quality time bareng.” Ia menoleh sekilas ke arah Madeline, matanya menelusuri wajah adiknya tanpa benar-benar tersenyum. “Bagus juga. Supaya kita bisa lebih… dekat. Benar, Maddie?” Nada suaranya datar, tapi penekanannya jelas. Hanya Madeline yang tahu maksudnya.Madeline menelan ludah, berusaha mempertahankan senyum. “Iy–iya, Mah…” Ia ingin menolak, tapi melihat wajah Mamanya yang penuh semangat, kata-katanya menguap begitu saja.Sandra tampak lega. “Syukurl