Pagi itu Dina sudah berada di restoran, ia membantu di dapur dan sesekali melayani pelanggan. Menjelang sore, saat bersiap untuk pulang, ponselnya berdering. Nama Arka tertera di layar, refleks ia langsung mengangkatnya.
“Dina, kamu dimana?” Suara dingin itu langsung terdengar tanpa basa-basi. “Di restoran, Mas,” jawab Dina hati-hati. “Pulang sekarang. Bersihkan diri, lalu kembali lagi ke restoran. Malam ini mama-papaku, kakek, dan keluarga sahabatku akan makan malam di sana. Bilang pada orang tuamu untuk bersiap. Dandan yang rapi dan jangan membuatku malu. Aku ingin mengenalkanmu pada sahabatku,” ujar Arka, nadanya terdengar seperti perintah. “Baik, Mas. Tapi me—” Sambungan terputus begitu saja sebelum Dina sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghembuskan napas berat. Ia berbalik menuju meja kasir, tempat ibunya sedang menghitung hasil penjualan hari ini. “Ma,” panggil Dina pelan sambil mendekat ke meja kasir. Rina menoleh. “Iya, Nak, ada apa?” “Tadi Mas Arka telepon. Katanya malam ini kakek dan mama-papa mas Arka sekaligus keluarga sahabatnya mau makan malam di sini. Mas Arka minta kita semua bersiap,” jelas Dina hati-hati. Mendengar itu, wajah Rina langsung berubah antusias. Ia segera berdiri dan menoleh mencari suaminya. “Pa! Cepat bersiap, ya. Besan kita malam ini mau datang ke restoran!” serunya bersemangat. Lalu tatapannya kembali pada Dina. “Kamu juga pulang, bersihkan diri dan dandani wajahmu sedikit. Jangan sampai besan Mama lihat kamu dengan tampang kucel begitu. Ingat, kamu menantu mereka, harus kelihatan pantas.” Dina mengangguk pelan. “Iya, Ma.” Saat ibunya sibuk memberi instruksi pada karyawan, Dina menatap kedua orang tuanya yang tampak bersemangat. Ada kebahagiaan di wajah mereka karena menantu yang mereka banggakan akan datang berkunjung. Senyum kecil terbit di bibir Dina menutupi perih di dadanya. Mereka tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik tembok rumah itu. Bagaimana setiap hari ia hidup dalam pengabaian yang seakan tak pernah berakhir. Bagi orang tuanya, Arka adalah menantu idaman. Ia pria mapan, sopan, dan bertanggung jawab. Mereka tak pernah tahu, di balik citra yang nyaris tanpa cela itu tersembunyi seorang suami yang lihai melempar kata-kata tajam daripada memberi perhatian. Dina menahan perih yang mengalir pelan ke tenggorokan. Ia tak tega merusak kebahagiaan di wajah kedua orang tuanya, tak sanggup menukar senyum mereka dengan kekecewaan. Maka ia memilih diam membiarkan kebohongan kecil itu, agar senyum mereka tetap ada, dan dirinya tetap punya alasan untuk bertahan. “Dina, kenapa masih berdiri di situ? Cepat pulang dan siap-siap,” tegur Rina gemas melihat putrinya hanya terpaku di tempat. “Iya, Ma. Dina berangkat sekarang.” Begitu sampai di rumah, Dina langsung menuju kamar dan segera bersiap. Setelah memastikan penampilannya rapi, Dina mengambil tasnya, lalu memesan ojek online. Sesampainya di restoran, Dina langsung turun tangan membantu menata makanan yang akan disajikan malam itu. Ia memastikan semuanya tersusun rapi di ruangan VIP yang memang disiapkan khusus untuk jamuan keluarga besar. Begitu semua hampir siap, suara bariton yang hangat terdengar dari arah pintu depan. Dina langsung mengenali suara itu—Arman Wiratama, kakek Arka. Senyum spontan merekah di wajahnya. Dari seluruh keluarga besar Arka, hanya kakek itulah yang benar-benar menerimanya dengan tulus. “Cucuku sayang,” sapa Arman, tangannya terbuka lebar. “Kakek!” Dina langsung berlari kecil dan memeluknya hangat. Pelukan itu terasa seperti rumah, tempat yang aman di tengah kehidupannya yang penuh luka. “Bagaimana kabarmu, Dina?” tanya Arman sambil menepuk lembut punggungnya. “Baik, Kek. Kabar Kakek bagaimana?” “Sehat, seperti biasa,” jawab beliau dengan tawa ringan. Dina melepas pelukan dan menunduk sopan pada kedua mertuanya yang berdiri di belakang sang kakek. “Ma, Pa.” Keduanya hanya mengangguk sambil tersenyum ramah, tapi tetap berjarak. Mereka tak pernah memperlakukannya buruk, tapi juga tak pernah benar-benar menganggapnya bagian dari keluarga. Dina melirik ke arah pintu, mencari sosok Arka yang belum juga muncul. Bukankah tadi ia bilang akan datang bersama orang tuanya? “Suamimu sedang menunggu sahabatnya di luar,” ujar Ester—ibu Arka— seolah memahami kegelisahan di wajah Dina. Dina tersentak kecil. “Ah, begitu ya, Ma.” “Kalau kamu mau, pergilah ke depan. Sekalian sambut tamunya Arka,” tambah Ester lagi dengan nada lembut tapi tegas. “Baik, Ma.” Dina mengangguk patuh. “Aku ke depan dulu.” Ia berbalik, namun belum sampai pintu, benda itu sudah lebih dulu terbuka. Arka muncul dengan langkah tenang. Di belakangnya tampak sepasang suami istri yang belum ia kenal. Pakaian mereka rapi dan berwibawa, jelas mereka bukan tamu biasa. “Pak Adrian, senang sekali akhirnya bisa bertemu,” sambut Hendrik—ayah Arka— sambil menjabat tangan tamunya dengan hangat. “Pak Hendrik, selamat malam,” jawab Adrian. Ia juga menatap ke arah kakek Arka. “Selamat malam, Pak Arman.” “Selamat malam,” sahut Arman ramah. “Senang bisa berkumpul bersama malam ini.” Ramdani—Ayah Dina— segera maju menyambut. “Silakan, mari duduk. Meja sudah kami siapkan.” Mereka saling bertukar basa-basi hangat sebelum akhirnya menuju meja panjang besar. Di tengah semua sapaan itu, Dina berdiri di samping Arka. “Jangan pasang wajah muram. Ini acara keluarga bukan pemakaman,” bisik Arka menoleh singkat memberi peringatan. Dina menelan ludah, mengangguk dan memaksa seulas senyum. Pintu ruang VIP kembali terbuka. Dina dan Arka menoleh. Seorang pria masuk. Postur tegap, langkah percaya diri, dan senyum hangat yang dulu begitu Dina kenal, matanya membeku. Davin. Nama itu muncul begitu saja di kepalanya, diikuti denyut halus di dada yang sudah lama tak ia rasakan. Dulu mereka satu jurusan. Lelaki itu sering duduk di sebelahnya di kelas ilmu perdagangan, membagi catatan, berbagi tawa kecil di antara tugas dan ujian. Dan dulu pula, sebelum sempat saling mengungkapkan perasaan, lelaki itu menghilang begitu saja setelah wisuda, tanpa kabar, dan hidup membawa Dina ke arah yang sama sekali berbeda. Kini, ia berdiri di hadapannya lagi. Wajahnya tampak lebih dewasa, sorot matanya tenang, dan senyumnya hangat. Dina mencoba tersenyum sopan, tapi rasa hangat yang sempat terlupakan merayap perlahan di dadanya. “Davin,” seru Arka, menyambut sahabat lamanya itu dengan pelukan singkat. Mereka tampak akrab. Dina hanya diam. Tangannya meremas ujung baju berusaha terlihat tenang. “Dina, kenalin,” kata Arka kemudian, “ini temanku, Davin Halim. Ia baru kembali dari luar negeri.” Arka menoleh pada Davin dengan senyum bangga, lalu menunjuk ke arah Dina. “Ini istriku.” Davin menatap, tapi cukup membuat Dina ingin berpaling. Tatapan itu seperti mencari kepastian, lelaki itu seolah perlu waktu untuk memastikan bahwa wanita di hadapannya benar-benar Dina yang dulu ia kenal. “Dinarayu?” ucap Davin pelan. Ada nada terkejut di sana, tapi cepat ia sembunyikan dengan senyum. “Dunia memang kecil,” katanya kemudian, menahan nada hangat dalam suaranya. Dina menunduk sopan. “Iya, ini aku, Mas Davin. Dinarayu.” ucapnya pelan. **Makan malam berakhir dengan tawa dan ucapan perpisahan yang sopan. Dina menunduk hormat sebelum beranjak, melangkah lebih dulu menuju parkiran. Malam sudah turun sempurna, cahaya lampu restoran memantul lembut di aspal. Belum sempat ia melangkah jauh, sebuah suara memanggil pelan dari belakang. Dina menoleh, melihat Davin berjalan tergesa ke arahnya. “Apakah kita masih bisa bertemu lagi?” tanya Davin cukup untuk mengguncang tenang yang berusaha Dina pertahankan. Dina menatapnya sesaat, napasnya terasa berat. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semua hanya berhenti di tenggorokan. Ia akhirnya tersenyum tipis. “Mungkin,” lirihnya. “Kalau waktunya mengizinkan, Mas.” Dina berbalik, melangkah pergi dengan langkah tenang, padahal di dalam dirinya segalanya terasa berantakan. Dina menatap pantulan dirinya di jendela mobil yang perlahan melaju menjauh. Ada sesuatu yang berbeda di sana, seulas senyum yang sudah lama tak berani muncul, dan getar halus di dadanya yang membuatny
“Kalau boleh tahu, sudah berapa lama Arka dan istrinya menikah?” tanya Veronika, nada suaranya ringan, disertai senyum sopan. “Setahun, Bu Vero,” jawab Rina, terdengar bangga tapi tetap menjaga nada agar terdengar santai. “Wah, masih bau-bau bulan madu, ya,” ujar Veronika terkekeh kecil. Tatapannya beralih pada Dina. “Apalagi Dina ini cantik sekali. Beruntung sekali Arka bisa mendapatkan istri secantik ini.” Rina tertawa lembut, matanya menyipit menahan senang. “Aduh, Ibu Vero bisa saja. Terima kasih, ya, sudah memuji. Tapi anak saya juga beruntung bisa mendapatkan suami seperti Arka.” Dina mencoba tampak tenang meski pipinya memanas. Ia tahu betul, kalimat pujian yang sederhana bisa berubah menjadi bahan pembicaraan panjang di meja seperti ini. Arka yang duduk di sebelah Dina, tersenyum lebar. Ia lalu meraih tangan istrinya dan menyentuh punggungnya dengan lembut, gerakan yang tampak penuh kasih. “Tentu saja, Bu Vero. Saya sangat beruntung memiliki Dina sebagai istri saya,” uja
Davin tersenyum lembut, ada kehangatan samar di matanya, seolah ia masih sulit percaya bahwa wanita yang kini berdiri di hadapannya adalah sosok yang dulu pernah ia kenal begitu dekat. “Kalian saling kenal?” tanya Arka sambil melirik bergantian antara Davin dan Dina, nadanya penuh selidik. Davin menoleh pada Arka, lalu kembali menatap Dina. “Dinarayu ini adik tingkatku semasa kuliah,” ujarnya tenang. “Aku tidak menyangka bisa bertemu lagi denganmu di sini. Dan ternyata kamu istrinya sahabatku.” Dina menelan ludah. Ada getar halus yang tak mampu ia sembunyikan. Lelaki ini masih membawa sesuatu dalam dirinya. Kenangan yang lembut, tapi menyesakkan. “Mas… apa kabarmu?” tanyanya tanpa sadar. Belum sempat Davin menjawab, Arka meremas pinggang Dina sedikit kasar, seolah memberi peringatan tanpa suara. Dina tersentak kecil, berusaha menyamarkan rasa perih dengan senyum kaku di wajahnya. “Baik,” jawab Davin akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi matanya menatap tajam ke arah Arka, meny
Pagi itu Dina sudah berada di restoran, ia membantu di dapur dan sesekali melayani pelanggan. Menjelang sore, saat bersiap untuk pulang, ponselnya berdering. Nama Arka tertera di layar, refleks ia langsung mengangkatnya. “Dina, kamu dimana?” Suara dingin itu langsung terdengar tanpa basa-basi. “Di restoran, Mas,” jawab Dina hati-hati. “Pulang sekarang. Bersihkan diri, lalu kembali lagi ke restoran. Malam ini mama-papaku, kakek, dan keluarga sahabatku akan makan malam di sana. Bilang pada orang tuamu untuk bersiap. Dandan yang rapi dan jangan membuatku malu. Aku ingin mengenalkanmu pada sahabatku,” ujar Arka, nadanya terdengar seperti perintah. “Baik, Mas. Tapi me—” Sambungan terputus begitu saja sebelum Dina sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghembuskan napas berat. Ia berbalik menuju meja kasir, tempat ibunya sedang menghitung hasil penjualan hari ini. “Ma,” panggil Dina pelan sambil mendekat ke meja kasir. Rina menoleh. “I
Pagi baru saja datang ketika suara ponsel di atas meja berdering. Dina menoleh malas, masih meringkuk di ranjang dengan tubuh yang terasa letih. Namun begitu melihat nama mama tertera di layar, ia tak punya pilihan selain mengangkatnya. “Din, bisa datang ke restoran sekarang? Ramai sekali. Kami butuh tenaga tambahan, Nak.” Suara Rina terdengar cemas sekaligus mendesak dari seberang. Dina terdiam beberapa detik. Ingin rasanya menolak, berkata kalau ia sedang tidak enak badan. Ia hanya ingin bersembunyi di balik selimut, menutup mata, dan hilang sejenak dari dunia luar. Tapi kata-kata itu mengendap di tenggorokan. Ia tak sanggup menolak permintaan sang ibu. “Iya, Ma… sebentar lagi Dina ke sana,” jawabnya pelan. Begitu panggilan berakhir, Dina menutup wajah dengan kedua tangan. Tubuhnya lelah, hatinya pun sama, tapi ia tak punya pilihan. Dengan langkah berat, ia akhirnya bangkit dari ranjang. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Dina duduk di depan meja rias. Ia meman
Begitu suara pintu berderit pelan terdengar, Dina spontan bangkit. Langkah sepatu yang semakin mendekat membuatnya bergegas ke ruang tamu, menyambut Arka—suaminya— yang baru pulang. “Mas baru pulang?” tanyanya pelan. “Ada pekerjaan tambahan di kantor, ya?” Arka tidak langsung menjawab. Ia menaruh tas kerja di sofa, melepas jasnya dengan gerakan malas. “Bisa tidak kamu jangan banyak tanya?” ucap Arka dingin, tanpa menoleh sedikit pun. “Aku bertanya karena khawatir, Mas. Biasanya kamu tidak pulang selarut ini.” Tak ada jawaban. Arka berjalan melewatinya, meninggalkan aroma parfum yang samar. Jas yang dijatuhkannya ke lantai Dina pungut perlahan, lalu ia lipat di lengannya. “Kamu pasti lapar,” tuturnya lembut, mencoba menawarkan kehangatan yang tak pernah disambut. “Makan dulu, ya, Mas. Aku siapkan untukmu.” “Aku tidak lapar.” Dina menatap punggung Arka yang menjauh menuju tangga. “Kalau begitu, mau aku siapkan air hangat?” “Tidak perlu.” “Mas, mungkin kalau makan s